Menu
Menu

Mantara, kepala desa sebelumnya yang tak lain ayahanda Mandro adalah salah seorang kepala desa terbaik yang pernah Kasalabra miliki.


Oleh: Erwin Setia |

Lahir pada 14 September 1998. Penulis lepas. Aktif menulis karya fiksi dan esai. Tinggal di Bekasi. Bisa dihubungi di Instagram @erwinsetia14 atau melalui surel: [email protected].


Setiap musim hujan tiba di Kasalabra, banyak pohon bertumbangan, sejumlah rumah di daerah rendah terendam banjir, dan anak-anak tersambar listrik. Namun di atas semua perkara itu, satu hal paling menghebohkan penduduk Kasalabra adalah kerasukan massal. Puluhan orang dalam rentang waktu sebentar tiba-tiba bertingkah aneh. Sebagian mereka meracau dalam bahasa asing dengan suara lemah dan kecil seperti suara orang tua; sebagian lainnya mengaum-aum seperti harimau. Bukan hanya perkara mengeluarkan suara aneh, mereka juga meronta-ronta dan tak jarang memasang gelagat hendak menyerang orang-orang yang ada di sekelilingnya. Fenomena semacam itu terus berulang di Kasalabra dan teka-teki penyebab keanehan tersebut tak pernah bisa dipecahkan.

Saat ini Mandro menjadi Kepala Desa Kasalabra. Ia menjadi kepala desa menggantikan ayahnya yang wafat pada musim kemarau karena penyakit batuk berdarah menahun yang tak kunjung sembuh. Kematian ayahnya membuat Mandro mengutuk keras musim kemarau. Ia menyalah-nyalahi musim yang berjalan hanya mengikuti pola semesta itu dengan aneka umpatan. Anjing, babi, bangsat, monyet, penghancur, perusak, dan segala hujatan lain dilemparkannya kepada musim yang tak berwujud. Dalena sang istri berusaha menenangkan Mandro. Namun emosi Mandro tak jua mereda. Ia terus mengutuk-kutuk musim kemarau sampai akhirnya hujan pertama turun di Kasalabra. Itu adalah hujan pertama pada masa kepemimpinan Mandro sebagai kepala desa di Kasalabra.

Dengan kedatangan hujan, Mandro merasa kutukan telah berakhir. Ia menganggap hujan sebagai tanda permulaan suatu fase yang baik. Semacam musim semi yang memekarkan bunga-bunga di daerah subtropis. Ia begitu mengagumi hujan. Ia bersyukur lebih banyak pada hari itu. Ia menyebarkan kabar turunnya hujan kepada seisi rumah dan seluruh warga yang dijumpainya. Kegembiraan itu membuat sebagian ingatan Mandro seperti tercerabut. Rasa duka dan kebencian kepada musim kemarau membuat kewarasan berpikirnya terkikis. Ia lupa bahwa musim kemarau barangkali memang telah membunuh ayahnya—setidaknya begitulah anggapannya—akan tetapi musim hujan bukan berarti sebuah masa tanpa problematika. Ia seharusnya tidak melupakan sejarah. Tapi, mengharapkan orang yang lebih dikuasai oleh kesedihan untuk berpikir lurus memang sesulit meluruskan batang besi yang bengkok dengan tangan kosong.

“Pak Kades, Pak Kades!”

Pagi berhujan itu pintu rumah Mandro diketuk-ketuk keras. Ia sedang berdoa untuk mendiang ayahnya di dalam kamar ketika ketukan itu semakin keras diiringi suara teriakan. Mandro kesal dengan gangguan, kekhusyukan doanya terusik. Namun, ia menyadari bahwa demikianlah risiko sebagai seorang kepala desa. Jauh sebelum hari itu, ayahandanya telah berpesan kepadanya untuk selalu membaktikan diri kepada warga. Mengingat itu Mandro bergegas ke luar kamar. Ia percaya ayahnya tidak akan kecewa walau ritual doa baru ia lakukan sebentar. Toh, pikirnya, sang ayah jugalah yang pernah berpetuah bahwa kepentingan umum harus lebih didahulukan daripada kepentingan pribadi.

“Istri saya kesurupan, Pak Kades!” seru Gustam dengan raut panik. Ia adalah warga yang tinggal hanya beberapa blok dari kediaman Mandro.

Mandro bergantian melihat ekspresi Gustam dan kondisi langit. Hujan mengguyur. Sesekali guntur menggelegar. Mandro segera mengambil payung dari dalam rumah dan pergi bersama Gustam.

Di ruang tamu rumah Gustam, sudah ramai orang berkumpul. Dua orang lelaki dewasa menahan tubuh istri Gustam yang meronta-ronta dan terus menggerak-gerakkan kukunya seolah ingin mencakar. Wanita itu meraung-raung dan mengeluarkan suara auman yang mengerikan. Dua orang yang memegangi tangannya terlihat kepayahan. Keringat mengalir deras di kening dan leher mereka.

“Tolong Pak Kades, tolong keluarkan makhluk pengganggu ini dari tubuh istri saya!” Gustam memohon.

Di Kasalabra, kepala desa bukan hanya orang yang bertugas memimpin desa. Kepala desa memiliki syarat tak tertulis bahwa ia harus memiliki berbagai kemampuan dan kecakapan. Pada satu titik, kepala desa di Kasalabra nyaris menyerupai seorang nabi yang dituntut untuk bisa melakukan berbagai hal ajaib dan menuntaskan permasalahan apa pun yang diderita oleh orang-orang di sekitarnya.

Mantara, kepala desa sebelumnya yang tak lain ayahanda Mandro adalah salah seorang kepala desa terbaik yang pernah Kasalabra miliki. Ia punya wawasan luas, paham masalah pertanian dan pertukangan, cakap sebagai pemimpin, dan juga punya ilmu mengenai hal-hal spiritual. Saat Mantara masih hidup, ia turun tangan seorang diri saban peristiwa kerasukan massal di musim hujan. Ia bisa menyembuhkan—dengan mudah maupun susah payah, tergantung sehebat apa si makhluk pengganggu merasuki korban—siapa pun, walaupun ia tak pernah bisa mengetahui penyebab pasti munculnya wabah kerasukan itu. Ia tak bisa memastikan apakah makhluk perasuk itu jin penunggu, jin kiriman dari jauh, atau apa pun. Oleh karena itu ia hanya menyebutnya sebagai ‘makhluk pengganggu’. Sebutan yang masih terus bertahan sampai sekarang, sampai masa kepemimpinan Mandro. Sebutan itu barangkali tidak akan pernah berubah sampai ada yang bisa betul-betul memecahkan misteri kerasukan massal tersebut.

Semasa dirinya muda, Mandro pernah diajarkan Mantara beberapa cara untuk mengusir makhluk pengganggu. Ia menghafal beberapa mantra dan merutinkan sejumlah ritual. Ia bersemadi dan menjauhi sejumlah pantangan. Mulanya Mandro enggan melakukan hal-hal semacam itu. Namun, tuntutan sang ayah serta rasa penasaran pada akhirnya membuat Mandro luluh. Dalam waktu singkat, ia bisa menguasai pelajaran-pelajaran yang ayahnya berikan.

Lambat laun Mandro ikut membantu ayahnya menangani orang kerasukan. Kemampuannya hampir setara dengan sang ayah. Itu membuat ayahnya dan para warga senang. Sebab mereka sudah menemukan sosok pemimpin masa depan mereka bahkan ketika pemimpin mereka saat itu masih terlihat segar bugar.

Seiring dengan meningkatnya kemampuan Mandro, tanpa siapa pun sadari—kecuali Mantara sendiri—kemampuan Mantara perlahan-lahan melemah. Tubuhnya juga menjadi gampang terpapar penyakit. Hingga akhirnya pada musim kemarau lalu nyawanya tandas. Mantara mati di pelukan anak semata wayangnya, Mandro, tanpa sempat mengucapkan wasiat terakhir. Mantara hanya meninggalkan isyarat berupa telunjuk tangan kanan yang mengacung ke jendela, mengarah ke langit yang sedang terik-teriknya. Mandro menafsirkan isyarat itu sebagai simbol kutukan. Bahwa musim kemaraulah penyebab kematian sang ayah. Bahwa pembunuh tidak hanya berbentuk manusia atau hewan buas, tapi juga bisa berupa sebuah musim.

Mandro memandangi istri Gustam yang meronta-ronta semakin kuat dengan pandangan tajam. Ia memejamkan mata, lalu melirihkan mantra. Ia sudah menggenggam segelas air putih. Setelah membaca mantra selama beberapa detik, ia meludahi gelas di genggamannya. Ludahan itu membuat air di gelas berbuih. Dengan sigap Mandro melempar air yang sudah berisi mantra tersebut ke tubuh istri Gustam. Tubuh itu bergerak-gerak tak keruan, menabrak sana-sini, meraung-raung, lalu jatuh berdebum. Istri Gustam tak sadarkan diri. Makhluk pengganggu itu sudah berhasil Mandro keluarkan.

Selepas dari rumah Gustam, ia berpindah ke beberapa rumah warga lain yang anggota keluarga mereka juga mengalami kerasukan. Itu adalah hari berhujan yang melelahkan bagi Mandro. Ia menangani sekitar dua puluh tiga orang selama seharian. Ia merasa capek bukan main. Ketika hari beranjak senja, tidak ada lagi aduan orang kerasukan. Mandro merasa lega. Ia beristirahat di rumahnya dengan sekujur tubuh pegal-pegal. Mengusir puluhan makhluk pengganggu sama meletihkannya dengan menukangi bangunan. Apalagi ia melakukannya seorang diri. Orang-orang hanya menonton atau paling bantar melakukan bantuan-bantuan kecil semacam mengambil segelas air putih dan memegangi tubuh korban.

Malam itu ia meminta Dalena memijatnya. Dalena tentu saja bersedia. Ia tahu betapa letihnya sang suami dan ia mesti membaktikan diri sepenuh-penuhnya kepada lelaki yang dicintainya tersebut. Dalena memijat Mandro dengan ketekunan dan kesabaran yang mengagumkan. Mandro sampai terkantuk-kantuk dibuatnya. Dalena merasakan tubuh suaminya itu lemas sekali. Ia tak pernah mendapati tubuh Mandro selemah itu. Selama dipijat, Mandro juga tak banyak bicara, bahkan ia betul-betul diam seperti patung.

Saat Dalena memijat bagian leher Mandro, suara guntur menggelegar di luar, dan tiba-tiba Mandro loncat. Mandro melompat menjauhi Dalena dan menunduk. Mandro mengaum-aum. Kedua tangannya mencakar-cakar lantai. Matanya melotot. Dua garis lurus tipis berwarna hijau terpampang pada bagian hitam bola mata Mandro. Dalena berteriak-teriak. Teriakannya berhasil mengalahkan suara hujan. Tak lama para tetangga berkumpul. Mereka memandang Mandro dengan ngeri. Mandro, sang kepala desa yang sangat mereka banggakan meraung-raung dan meronta-ronta, seperti warga yang kerasukan. Tidak ada yang berani mendekat. Tidak ada yang bergerak.

Saat orang-orang masih dilanda kebingungan, Mandro yang berlagak seperti harimau tiba-tiba lompat melewati pintu. Ia berlari-lari menerabas hujan dengan gerakan seekor harimau mengejar mangsa. Ia berlari-lari dan terus berlari-lari sampai jauh, sampai tak seorang pun tahu kemana dia pergi.

Pada musim hujan berikutnya, kerasukan massal tak terjadi di Kasalabra. Pada saat itu, Kasalabra masih belum memiliki pemimpin. Dan mereka juga tidak terlalu membutuhkan pemimpin. Hidup mereka baik-baik saja selama dua musim berturut-turut walau tanpa pemimpin. Dan mereka berpikir musim-musim berikutnya hidup mereka juga masih akan terus baik-baik saja. [*]


Ilustrasi dari Wikiart.org.

Baca juga:
Persidangan Batu – Cerpen Syafiq Addarisiy
Pintu Perubahan – Cerpen Aveus Har


4 thoughts on “Kasalabra”

  1. Dio berkata:

    Ending menggantung

  2. Nadnad berkata:

    keren

  3. Anisa berkata:

    Waah ini bahayanya politik dinasti ya, hihi

  4. Yor berkata:

    Bagus banget

Komentar Anda?