Menu
Menu

dan kita cerita tentang hantu-hantu Padang


Oleh: Esha Tegar Putra |

Kelahiran Solok, Sumatera Barat, 29 April 1985. Ia kini bekerja sebagai peneliti di Komisi Arsip dan Koleksi Dewan Kesenian Jakarta.


Hantu Padang (2)

Dan aku berjalan di jalan dulu,
dari Hiligoo ke Tepi Pasang.

Sebuah bangunan membesar dan bangunan lain menciut
aroma bawang goreng dari pembakaran sate danguang-danguang
tumpukan kerupuk jengkol di kedai soto, ketuntang kuali berisi kwetiau
dipukul sengaja dengan spatula, tukang parkir bergamis-bercelak
mengacung-acungkan siwak, sepasang pengamen buta (masih) itu juga
pengamen lain dengan drum mini di punggung dan simbal bertali
dikaitkan ke tumit sepatu (masih itu juga orangnya).

Aku berjalan di jalan dulu
aku melihat hantu
atau kota ini tak pernah ubah, serupa dulu?

2022

.

Hantu Padang (4)

Usus sapi bengkak dalam pingganku
gulai cempedak hangat, siang dengan panas berdengkang
suara gelas beradu gelas di pencucian, kasir bersorak-sorak
memanggil-manggil juru hitung—kedai nasi
berloteng rendah ini dari dulu tak pernah sudah
menekan-nekan pundak miringku.

Usus sapi bengkak dalam pingganku
air basuh tangan dalam botol bir berlumut, gulai gejeboh
tertunggang dari telenang, tukang masak kurus
berbaju lapang berangin-angin di muka kipas angin
dan aku merasa kedai nasi ini tak ubah serupa dulu
___________________________ masih serupa itu
___________________________ berdiam di masa lalu
terus bermain-main dari ruang mata sampai ke liang lambungku.

Dalam pingganku
usus sapi bengkak
kugigit-kunyah
biar hantu dalam perutku tidak lagi melulu bersiarak
biar hasrat akan hari lalu terus mendemam tergeletak.

2022

.

Hantu Padang (10)

Dari Jam Ria aku lurus ke arah Alai
hujan deras, angin lepas, rebahan pohon ketapang gadang
begitulah aku mengenang.

Ke Padang, aku kembali ke Padang
seperti dagang malang limbung mengenang hari lalu
jalan, kelokan, simpang, hingga bau getah ambacang
sedikit-sedikit membikin haru biru
sedikit-sedikit membikin gerak jantung terburu.

Dari Alai aku berkelok ke arah Jati
genangan bandar, air hitam, bau karbol pembersih rumah sakit
tidak patutkah aku mengenang?

Dan ke Padang, aku kembali ke Padang
ke kota masa muda di mana gairah pernah dibikin tak terkira
kedai kopi, bioskop, sampai nasi malam bergulai masam
aku kenang dengan girang
aku kenang dan tiada aku khianat.

Dari Jati aku tertumbuk di arah Sawahan
jembatan berganti, halte dibongkar, ruko-ruko meninggi
aku terus mengenang
segala hilang
dengan gemilang.

2022

.

Hantu Padang (24)

Aku tenggelamkan
sepasang cincin belah rotan
ke muara hitam
ketika bulan mengambang
dari balik pucuk angsana tua
dan embus-siul tujuh mambang hitam
terdengar
jauh
sampai
ke langit-langit rumah lama
dengan bau getah medang keladi
masih lekat-terperam.

Dan kini, aku kenang kau kembali
ketika malam semakin naik
dan punggungmu
menjauh
kemudian hilang
ke balik gudang
di mana suara tape
memainkan gamad
Mati Dibunuh.

Cincin belah rotan
aku tenggelamkan

dan kenangan
serupa santan
masam didiamkan.

Padang, 2022

.

Hantu Padang (32)

Aku jalan kembali ke Tarandam
depan bangunan runtuh bekas pembantaian sapi
semak belukar
beringin besar
angin berputar-putar.

Aku jadi ingat kamu
pada sebuah malam di mana bulan bulat
seakan menggantung dari arah langit Belantung
dan kita cerita tentang hantu-hantu Padang
_____ hantu kepala hilang
_____ hantu badan sebelah
_____ hantu kusir bendi
_____ hantu berlidah panjang
_____ hantu berkaki pincang
_____ segala hantu kita bilang.

Jalan ke Terandam
ingat kamu, ingat cerita hantu, ingat segala dulu
tapi tak lagi kulihat tukang kacang
dengan baskom besar
dan pusung di tangan
duduk bersiul di arah simpang.

Padang, 2022


Ilustrasi: Foto Kaka Ited, diolah dari sini.

Baca juga:
Menemukan Beberapa Pertanyaan di Pantai
Di Museum Kehilangan
Surga Itu


Komentar Anda?