Menu
Menu

Di Kamar; Mawar; Teman-Temanku yang Beradab; Aku Ingin Jadi Anjing; Percakapan Pagi Hari; Hantu di Belakang Rumah; Seorang Kawan Penyairku; Si Cantik Amelia; Alat Cukur dalam Tas.


Oleh: Dadang Ari Murtono |

Lahir di Mojokerto, Jawa Timur. Bukunya yang sudah terbit antara lain Ludruk Kedua (kumpulan puisi, 2016), Jalan Lain ke Majapahit (kumpulan puisi, 2019), Cara Kerja Ingatan (novel, 2020), Sapi dan Hantu (kumpulan puisi, 2022), serta Peta Orang Mati (kumpulan cerpen, 2023).


Di Kamar

Istriku memasang sulaman gambar Ka’bah dan
kaligrafi Allah Muhammad di seberang tempat tidur
bersebelahan dengan rak gantung di mana ia memajang
patung Bunda Maria, Ganesha, dan kepala Buddha.
Di lantai, ia letakkan arca Wishnu berdampingan dengan
Sri Sadhana dan tungku bakaran dupa.

Di rak buku kecil, ia tempatkan Quran dan Zabur dalam
deretan yang sama.
Di sebatang paku, ia gantungkan pula tasbih
dan rosario.

Sebuah salib kecil ia tempel di dinding, tepat
di samping ukir-ukiran Semar dari kayu jati.

Kadang-kadang, sebelum tidur
ia gumamkan doa singkat
entah kepada siapa.

. Membayangkan Tuhan Menginap di Swiss-Belhotel

Mawar

Aku sedang menulis sebuah puisi
yang terindah dari semua yang pernah kutulis
ketika anjingku menggonggong
dan istriku keluar
untuk menemukan seorang lelaki tua
berdiri di halaman
tampak lelah dan tersenyum.

Ia jalan kaki dari Kaliurang, katanya
20 km dari sini
menawarkan satu pot mawar
dengan satu kuntum kembang
seharga lima ribu rupiah.

Satu batang kehidupan
yang tampak lebih indah dari puisi yang sedang kutulis
dan dijual lima ribu rupiah.

Dan istriku berkata, anjing kami akan mengunyah kembang itu,
yang lebih menakjubkan ketimbang puisiku itu
jika kami membelinya.

. Membayangkan Tuhan Menginap di Swiss-Belhotel

Teman-Temanku yang Beradab

Teman-temanku yang beradab
datang bertamu pada suatu hari
dan bersemangat sekali
bercerita tentang Jogja Jazz, film-film yang diputar di JAFF,
seni garda depan di biennale, isu terbaru di Twitter.

Teman-temanku yang beradab
memandangiku seperti memandangi
fosil di museum sewaktu aku katakan
tak tahu apa pun yang mereka sampaikan.
Lantas dengan kemurahan hati yang berlebih
mereka beri aku kisi-kisi agar menjadi
lebih beradab seperti mereka.

Setelah itu, mereka keluhkan perut melilit,
asam lambung kambuh, nasi terakhir masuk
ke mulut kemarin pagi.

Aku suguhkan telur dan mie instan untuk teman-temanku
yang beradab, yang mengunyah dengan lidah kepanasan
sambil terus berkata, “Ini kota budaya

karena itu, jadilah lebih berbudaya.”

. Membayangkan Tuhan Menginap di Swiss-Belhotel

Aku Ingin Jadi Anjing

Aku ingin jadi anjing, kata kawanku
yang bertamu pada suatu Minggu
dan mengeluh tentang tenggat pekerjaan,
UMR Jogja yang menakjubkan,
jeratan pinjaman online,
naskah-naskah puisi yang ditolak,
hidup yang tak layak dijalani.

“Dengan begitu,” katanya lagi
sambil memandangi anjingku yang sedang bermain,
“aku hanya perlu sedikit menggonggong,
memasang tampang memelas, berguling-guling
dan menggali tanah
lalu makanan datang dan aku tak perlu
berpikir tentang uang kontrakan.”

Dan suatu kali, kataku,
seseorang akan melempar tulang berlapis racun
lalu kau mengunyahnya, atau seseorang menjerat
lehermu dan membawamu ke tukang jagal.

Kami lalu terdiam
dan ia berkata, “Di dunia ini, hidup sebagai apa pun
memang tak pernah cukup pantas dijalani.”

. Membayangkan Tuhan Menginap di Swiss-Belhotel

Percakapan Pagi Hari

Anjing kita bermain dan ia tampak
tak cemas pada hari depan.
Monstera kita bertunas dan ia seperti
tak takut pada kematian.

“Apakah mereka bahagia?” tanyamu.
“Mereka bahagia,” kataku. “Dan karena itu
mereka tak memerlukan agama atau filsafat.”

. Membayangkan Tuhan Menginap di Swiss-Belhotel

Hantu di Belakang Rumah

Induk semang rumah kontrakan
bercerita tentang hantu setinggi pohon kelapa
di kebun belakang rumah kami.

“Matanya merah,” katanya, “dan rambutnya gimbal
dan ia galak.

Ia membantu Ki Juru Taman menjaga Merapi,
menyertai Sultan Agung menumpas pemberontakan,
dan kini, senantiasa menjaga kampung dari pasangan
pezina dengan mengelem kelamin mereka
kuat-kuat.”

Lantas, ketika aku bertanya
apa yang dilakukan hantu itu ketika dulu
serdadu Belanda datang dan menganiaya warga kampung,
ketika maling menyelinap ke salah satu rumah
atau ketika pemburu menembak burung-burung di kebun,
dan virus membunuh enam penduduk dalam dua minggu,
induk semang kami, yang tua dan suka tertawa

hanya tertawa.
Dan aku tak tahu apa artinya.

. Membayangkan Tuhan Menginap di Swiss-Belhotel

Seorang Kawan Penyairku

Seorang kawan penyairku
berjalan limbung sepanjang Sorowajan
ketika malam merangkak dan bulan tak ada
dengan asam lambung naik,
dengan kabar ibu gering di kampung yang jauh
dan padi gagal panen.

Kepadaku, ia pernah berujar akan mengubah dunia
lewat puisi-puisinya, lewat kata-katanya yang sanggup
menggerakkan revolusi, meruntuhkan oligarki,
mencegah bongkahan es mencair di Kutub Utara.

Dan ia, kini, berjalan limbung sepanjang Sorowajan
ketika malam merangkak dan bulan tak ada.
Lalu keesokan harinya
ia menulis tentang pacarnya, tentang senja yang sedih,
tentang gerimis yang penuh kenangan, tentang rindu
yang merah muda

dan kepadaku, ia berkata akan mengubah dunia.

. Membayangkan Tuhan Menginap di Swiss-Belhotel

Si Cantik Amelia

Ini adalah cerita tentang si cantik Amelia,
kawan penyairku yang pernah menulis puisi
tentang cinta yang sanggup menahan apa pun:
segala macam kesepian, kemiskinan, dan seterusnya.

Yang tahun lalu memutuskan bercerai dari suaminya
dan berkata kepadaku, “Lelaki payah yang tak pernah
cukup memberi uang belanja memang pantas ditinggalkan.”

Dan ketika aku bertanya tentang cinta yang sanggup menahan
apa pun, segala macam kesepian dan kemiskinan itu,
ia berkata bahwa kata-kata sudah lama mati.
Dan puisi, barangkali, hanya area pemakaman yang kian
lama kian berhantu.

. Membayangkan Tuhan Menginap di Swiss-Belhotel

Alat Cukur dalam Tas

Ketika berkemas untuk pindah dari Jogja ke Samarinda,
aku menemukan sekotak alat cukur
bertuliskan Swiss-Belhotel di dalam salah satu tas kami.

Istriku tidak tampak terkejut sewaktu aku menunjukkan
hal itu kepadanya.
“Apa yang aneh?” tanyanya.

“Yang aneh adalah,” kataku,
“kita tak pernah pergi berdua ke sana.
Namun sepertinya tidak dengan salah satu dari kita.
Mungkin ia—salah satu dari kita itu—
pergi bersama seseorang yang lain, sembunyi-sembunyi.
Dan itu sudah pasti bukan aku.

Tak ada satu pun penyair di negeri ini
yang cukup kaya untuk menginap di Swiss-Belhotel
tanpa sponsor negara.”

“Tapi itu juga bukan aku,” kata istriku.
Namun aku teringat bagaimana ia kerap menjauh
dan menolak aku sentuh.

“Dan menurutmu,” kataku, “alat cukur itu tiba-tiba saja ada di sana?”

“Dengar,” kata istriku.
“Jika kau percaya manusia diciptakan dari segumpal lempung
dan bukannya hasil evolusi kera, jika kau percaya matahari terbit
atas kehendak Tuhan, jika kau percaya hantu-hantu menjaga Merapi
dan Laut Kidul,
kenapa kau tidak dapat percaya Tuhan meletakkan alat cukur itu
di sana?”

Dan begitulah aku membayangkan Tuhan menginap
di Swiss-Belhotel
—barangkali bersama istriku.

Dan betapa kini semua menjadi masuk akal.

Maksudku, kenapa Tuhan tak pernah hadir
di tempat-tempat kumuh, di mana orang-orang lapar
menyeru-nyeru-Nya.


Ilustrasi: Foto Kaka Ited, diolah dari sini.

Baca juga:
Puisi-Puisi Adhimas Prasetyo – Kalau Dunia Berakhir
Puisi-Puisi Zulkifli Songyanan – Nyaris Lewat Tengah Malam
Puisi-Puisi M. Firdaus Rahmatullah – Titik Mata


1 thought on “Puisi-Puisi Dadang Ari Murtono – Membayangkan Tuhan Menginap di Swiss-Belhotel”

  1. Galih berkata:

    Senang rasanya dalam 2023 sudah 2 kali menginap Swiss-Bell Hotel dan disponsori negara, tapi sayang di sana saya tidak bertemu Tuhan.

Komentar Anda?