Menu
Menu

Fahmara masih menunggu kisah masa silam suaminya, yang ingin didengarnya di malam pengantin.


Oleh: S. Prasetyo Utomo |

S. Prasetyo Utomo, lahir di Yogyakarta, 7 Januari 1961. Menyelesaikan program doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Unnes pada 9 Maret 2018 dengan disertasi “Defamiliarisasi Hegemoni Kekuasaan Tokoh Novel Kitab Omong Kosong Karya Seno Gumira Ajidarma”. Kumpulan cerpennya Kehidupan di Dasar Telaga (Penerbit Buku Kompas, 2020) menjadi nomine Penghargaan Sastra Badan Bahasa 2021. Kumpulan cerpen terbarunya: Ketakutan Memandang Kepala (Hyang Pustaka, 2022) dan Anak Panah Dewa (Penerbit Nomina, 2022).


MENGENAKAN bindalli[1], pada malam pengantin, Fahmara menempati apartemen, bersama Saeed. Ia merasa canggung meski sudah sangat mengenal lelaki yang kini menjadi suaminya. Tiap hari mereka bekerja bersama di toko roti Orhan Fatih. Mereka membuat adonan roti, memanggang, dan melayani pembeli. Fahmara tak pernah melihat Saeed murung, menggerutu, dan marah. Toko roti Orhan Fatih termasuk laris di sepanjang jalan utama Kota Ankara. Dalam lelah, Saeed masih terlihat segar dan bahagia.

Fahmara tak meragukan Saeed sebagai suami, kecuali satu hal: ia pernah melakukan percobaan membunuh seseorang. Saeed pernah menembak kekasih istri pensiunan polisi di ladang gandum. Saeed iba pada pensiunan polisi—guru tari sema di Konya—yang dikhianati dan direndahkan martabatnya. Lelaki yang ditembak itu tak mati. Saeed sempat mendekam dalam penjara. Fahmara menerima perilaku suaminya.

Untuk menyegarkan ruang pengantin, Fahmara memasang vas berisi bunga tulip di sudut meja. Ia menanti Saeed naik ranjang. Tetapi Saeed tidak segera menyusulnya. Ia minum cay[2] sambil merenung seorang diri di ruang tamu.

“Apa yang kaupikirkan?” tanya Fahmara, yang melihat kegusaran suaminya.

Saeed menenangkan diri, dan berkata pelan, seperti menyingkap masa lalu, “Semoga kita akan terus bersama seperti ini.”

“Kenapa kau punya pikiran serupa itu?”

“Aku tak ingin mengulangi kehidupanku di masa lalu,” kata Saeed, mengenang kembali kehidupan masa kecil. “Ibu meminta cerai, membawa aku dan kakak meninggalkan rumah. Ibu bergabung dengan pemberontak pemerintah. Kami mesti hidup sebagai pengungsi dalam Camp al-Hawl[3].”

Fahmara tersenyum, dan merasakan getaran batinnya sebagai seorang pengantin yang belum tersentuh suami. “Kita baru mulai hidup berumah tangga. Mengapa begitu cemas?”

Sepasang mata Fahmara bening bercahaya. Sepasang mata yang memberikan keyakinan pada Saeed. Diajaknya Saeed meninggalkan ruang tamu, membiarkan segelas cay yang baru diminum beberapa teguk. Tubuh Saeed gemetar. Lelaki muda itu seperti tak kuasa memasuki kamar dan mencapai tempat tidur.

***

TUBUH Saeed gemetar ketika membaringkan diri di sisi Fahmara. Apa yang salah dengan tubuhku? Dalam hati Fahmara bertanya-tanya. Ia melihat suaminya menggigil. Saeed seperti menanggung beban perasaan yang sangat berat. Ia tak pernah menduga bila malam pengantinnya akan segugup ini.

Saeed duduk di tepi ranjang. Menjauh dari Fahmara. Menunduk. Lelaki itu mencegah Fahmara yang bergerak mematikan lampu kamar.

“Aku belum bisa menyentuhmu,” kata Saeed, masih gemetar.

“Kau mengalami peristiwa yang buruk?”

“Ya, dulu, semasa di Camp al-Hawl. Umurku hampir empat belas. Aku berada di kamp pengungsi bersama kaum perempuan.”

“Apa yang terjadi?”

“Ibu tak pernah melindungiku, ketika dalam gelap malam, para wanita menyergap kami,” kata Saeed dengan wajah gelap. “Tiap malam senantiasa ada wanita yang menyusup ke tenda. Berganti-ganti para wanita membakar nafsuku sebagai lelaki agar melayani kebutuhan birahi mereka.”

Mulut Fahmara terbungkam. Tak berani berkata apa pun. Ia pernah mendengar perilaku para wanita dalam kamp pengungsi al-Hawl, tetapi kali ini ia mendengar dari suaminya, yang mengalami kehidupan kamp pengungsi itu.

“Ketika dewasa, aku dan kakak menempati kamp pengungsi yang terpisah dari Ibu,” kenang Saeed. “Kakak menemukan teman-teman seperjuangan melawan kekuasaan pemerintah. Aku tak ingin bergabung dengan para pemberontak. Aku ingin meninggalkan Damaskus, mencari kehidupan baru di negeri yang lebih tenang dan memberiku jaminan hidup.”

“Kau meninggalkan kamp pengungsi?”

Dengan sepasang mata pedih, Saeed membuka kenangan masa silamnya, “Memang aku meninggalkan kamp pengungsi itu. Kakak bergabung dengan pemberontak. Aku mencari Ayah di Damaskus. Aku tak pernah lagi bertemu kakak setelah itu.”

***

TERDENGAR musik iringan tari sema yang menenteramkan perasaan Saeed. Fahmara paham akan bagian hidup Saeed, yang pernah meninggalkan toko roti Orhan Fatih, memilih tinggal di Konya, dan menjadi penari sema di Mevlana Cultural Centre. Iringan tabla[4], baglama[5] dan flute yang tenang dalam pusaran tubuh berlawanan arah jarum jam, telah menenteramkan jiwa Saeed.

Aroma bunga tulip dalam vas memenuhi ruang kamar pengantin. Fahmara masih menunggu kisah masa silam suaminya, yang ingin didengarnya di malam pengantin. Ia ingin mengembalikan ketegaran suami sebagai seorang lelaki.

Usai menari sema, Saeed tampak lebih tenang. Fahmara mengambilkan gelas cay untuk diminum. Wajah Saeed tampak lebih segar. Ia duduk di tepi ranjang. Tak berani memandangi wajah istrinya – seorang imigran Suriah, yang telah menjadi warga negara Turki.

“Ayah memintaku meninggalkan Damaskus. Menyusup menjadi imigran gelap di Ankara,” kata Saeed, “Ayah memintaku mencari Orhan Fatih, dan bekerja padanya. Orhan Fatih keturunan Ottoman yang diusir Ataturk dari Turki. Ayah bekerja pada toko roti Orhan Fatih di Damaskus. Ketika pemerintah Turki memperkenankan keturunan Ottoman kembali ke tanah air, Orhan Fatih mendirikan toko roti di Ankara. Aku mencari Orhan Fatih dan bekerja di toko rotinya. Kita bertemu di toko roti itu.”

“Kamu merindukan keluargamu kembali utuh seperti dulu?”

“Mana mungkin? Ayah sudah meninggal. Kakakku juga meninggal dalam pertempuran,” balas Saeed, “Nasib Ibu tak pernah kumengerti. Mungkin ia masih tinggal di kamp pengungsi.”

“Kau mesti melupakan masa kelam di kamp pengungsi itu. Kita sudah berada di Ankara, dan hidup sebagai suami-istri,” kata Fahmara, berharap suaminya menemukan ketenangan diri.

Fahmara melihat Saeed masih menjauh darinya, dan tak kuasa menyentuh ujung jarinya. Ia tak menduga akan berhadapan dengan seorang lelaki yang tak sanggup terbebas dari masa silam.

“Tidurlah, sudah larut malam,” kata Fahmara. “Kau mesti melupakan peristiwa buruk di kamp pengungsi.”

“Bagaimana aku bisa tidur? Perempuan-perempuan kamp pengungsi itu mengandung. Mereka melahirkan anak-anakku. Mereka terus menginginkan anak-anak lahir dari rahim mereka untuk melawan pasukan pemerintah.”

***

SEMALAMAN Fahmara gelisah tidur. Sesekali ia terbangun dan merenung sambil memandangi suami yang masih nyalang. Masih terlalu pagi ketika Fahmara membisik ke dekat wajah suaminya, “Bagaimana kalau kita pergi ke Konya? Kau bisa bertemu pensiunan polisi dan menari sema.”

Wajah Saeed tampak tenang. Ia tersenyum, berjalan ke jendela apartemen. Melihat bunga-bunga tulip bermekaran. Ia teringat Mevlana Cultural Centre. Fahmara melihat suaminya menemukan kekuatan jiwa ketika mereka berangkat ke Konya hari itu dengan kereta api. Sepanjang perjalanan Fahmara melihat bunga-bunga tulip yang bermekaran, dan wajah suaminya yang kembali tenang setelah mencapai Kota Konya. Sore itu Fahmara melihat wajah suaminya yang sangat tenteram, ketika bertemu dengan pensiunan polisi dan para penari sema. Saeed diperkenankan untuk mementaskan tari sema—sebagaimana dulu selalu dilakukannya.

“Suatu hari nanti, saya akan kembali ke kota ini untuk menari sema,” kata Saeed pada pensiunan polisi.

Fahmara duduk di antara penonton, menyaksikan tari sema. Ia tak mengenali lagi suaminya, yang mengenakan jubah panjang dan topi menjulang. Ia melihat seorang penari sema yang sesekali terhuyung dalam pusaran tari. Di akhir tarian, lelaki yang sesekali terhuyung itu terduduk, dan rebah di arena pertunjukan. Fahmara berlari ke tengah arena. Bukan suaminya yang rebah. Ia melihat pensiunan polisi, guru tari sema Saeed, yang rebah, dengan wajah sepucat Tuz Golu, danau garam, “Kau sudah beristri. Jangan menjadi lelaki yang lemah. Lindungi istrimu,” kata pensiunan polisi sebelum mengatupkan kelopak mata. Tenteram.

Fahmara terduduk di hadapan pensiunan polisi, yang memejamkan mata, bibir tersenyum. Tercium aroma bunga tulip terhembus sampai arena pertunjukan tari sema.[.]

Keterangan:
1) bindalli = pakaian tradisional pengantin wanita Turki
2) cay = teh Turki
3) Camp al-Hawl = kamp pengungsi Kota al-Hawl, Suriah utara
4) tabla = instrumen musik perkusi tradisional.
5) baglama = instrumen senar yang dipetik, kecapi berleher panjang.


Ilustrasi: Oliva Sarimustika Nagung.

Baca juga:
Pelajaran Menyetir – Cerpen Albert Wirya
Ruang Negatif – Cerpen M. Z. Billal


1 thought on “Malam Pengantin Fahmara”

  1. Laili Fadillah berkata:

    Sangat berkesan dan cukup menarik

Komentar Anda?