Menu
Menu

Pria tua itu berkata: “Dulu aku pernah menyuruh sepasang lelaki dan perempuan memakan apel sehingga mereka diusir oleh seorang tuan tanah…


Oleh: Mochamad Bayu Ari Sasmita |

Lahir di Mojokerto pada HUT RI Ke-53. Bisa dihubungi di instagram @sasmita.maruta.


Dalam perjalanan pulang dari sekolah kamu biasanya akan mendapati orang gila, setidaknya begitulah orang-orang di sekitar tempat tinggalmu menganggap gelandangan itu, yang tidak berbahaya, yang duduk di dekat tong sampah. Namun saat itu bukan orang gila yang biasa kamu lihat, melainkan sosok yang lain. Seorang tua berjubah hitam bersandar lesu pada tembok di belakangnya. Pria tua itu memiliki janggut panjang seperti kambing ayahmu yang telah disembelih ketika hari raya qurban tiga tahun lalu.

Kamu merasa kasihan kepadanya. Ada roti di tasmu, kamu berhenti berjalan untuk mengambil roti itu. Kamu berjalan lagi dan begitu ada di hadapannya, kamu sodorkan roti itu kepadanya dengan kedua tanganmu—menyerahkan sesuatu dengan kedua tangan kepada seseorang yang lebih tua adalah bentuk rasa hormat sebagaimana yang diajarkan orang tua dan para gurumu. Pria tua itu tetap bergeming, dia menatap roti itu dengan tatapan lelah, tidak ada semangat hidup yang terpancar dari kedua matanya.

Kemudian, kamu berkata kepadanya: “Kakek tidak mau roti?”

Pria tua itu menggelengkan kepala begitu pelan sehingga sulit untuk kamu lihat apakah dia menggelengkan kepala atau tetap bergeming. Lalu kamu masukkan kembali roti itu ke tasmu dan mengambil sebuah apel. Mestinya kamu memakannya di jam istirahat tadi, tapi kamu harus mengajari temanmu yang bertanya tentang cara mencari panjang jari-jari lingkaran pada tabung. Ketika kamu sodorkan apel itu kepadanya, matanya tiba-tiba terbuka lebar, seolah apel itu membangkitkan suatu ingatan di dalam kepalanya yang sudah begitu lama terjadi. Pria tua itu mengulurkan tangannya, kamu meletakkan apel itu hati-hati di atas telapak tangannya dan memastikan bahwa apel itu tidak akan tergelincir jatuh ke tanah.

Pria tua itu berkata: “Dulu aku pernah menyuruh sepasang lelaki dan perempuan memakan apel sehingga mereka diusir oleh seorang tuan tanah. Terima kasih, Gadis Kecil. Aku akan memakan apel ini. Sekali lagi, terima kasih. Ini mengingatkanku pada masa lalu yang begitu jauh.”

Kamu mengangguk dan kemudian pergi dari sana.

Semenjak hari itu, pria tua yang kamu beri apel itu selalu di sana dan kamu selalu memberinya apel tiap kali pulang dari sekolah. Dia menyukai apel pemberianmu. Katanya, apel pemberianmu manis dan tidak membuat seseorang terusir. Kamu tidak mengerti maksud yang terakhir itu. Kamu hanya terus memberinya apel setiap siang sepulang dari sekolah untuk mengamalkan ajaran ibumu tentang pentingnya berbagi kepada sesama. Maka, apel untuk bekalmu yang dimasukkan ibumu ke tas sekolahmu, selalu tidak kamu makan karena kamu akan memberikannya kepada pria tua itu sepulang sekolah.

Suatu saat, kamu tahu bahwa pria tua itu merindukan kampung halamannya. Dia ingin pulang. Dia telah begitu lelah untuk mengembara lagi. “Aku sudah begitu tua, tubuhku sering pegal-pegal, persendianku rasanya sakit sekali, Gadis Kecil,” katanya setelah menggigit apel pemberianmu.

Sesekali kamu berjongkok di depannya. Melihatnya, kamu merasa iba. Pakaiannya begitu lusuh. Kalau saja pakaian ayahmu di lemari tidak dibuang dan dibakar seluruhnya oleh ibumu karena ayahmu tiba-tiba saja minggat dari rumah untuk pergi ke rumah perempuan yang konon lebih cantik dari ibumu, mungkin kamu bisa mengambil beberapa setel pakaian ayahmu yang bagus-bagus dan bernama itu, dan memberikannya kepada pria tua di hadapanmu kini yang pernah memperkenalkan dirinya dengan nama Azazel.

Kamu mulai memanggilnya Kakek Azazel, dan, karena dia telah memperkenalkan dirinya, kamu juga memperkenalkan dirimu: Aclima. Mendengar namamu, Kakek Azazel bertanya, “Apakah kamu punya saudara, Aclima?” Kamu menjawab, “Saya punya satu kakak, namanya Abel, tetapi dia meninggal dunia di dalam kandungan. Saya tidak pernah melihatnya karena saya belum lahir. Kuburannya ada di TPU di ujung gang. Makamnya kecil sekali, mungkin seukuran kaki saya.”

Kakek Azazel turut bersimpati. “Di mana rumah kakek?” tanyamu kemudian. Kakek Azazel menggelengkan kepala, kemudian dia berkata, “Rumahku begitu jauh dan aku sudah diusir dari sana setelah aku memberi sepasang lelaki dan perempuan sebuah apel agar mereka juga terusir dari sana.”

Kamu bertanya lagi, “Apa mereka keluarga kakek?”

“Bukan. Mereka pendatang. Begitulah yang selalu terjadi. Penghuni lama bisa saja terusir dari tempat asalnya karena pendatang. Apa di sekolah kamu sudah belajar Australia dan Amerika?”

Kamu menggeleng. Kakek Azazel tidak meneruskan ceritanya. Dia mengunyah apel itu sampai tinggal tengahnya, lalu melemparkannya ke tong sampah di sampingnya. “Pulanglah, Aclima. Ibumu pasti khawatir kalau putrinya tidak kunjung pulang.”

Kamu mengangguk dan berdiri. Sebelum pergi, kamu berkata kepadanya bahwa kamu akan datang lagi dengan apel yang lain. Dia senang mendengarnya dan berterima kasih kepadamu. “Aku suka apel,” katanya, “apel pemberianmu mengingatkanku pada kampung halamanku.” Kamu melambaikan tangan kepadanya dan dia membalas lambaian tangan itu.

Ibumu mulai mendengar desas-desus yang membuatnya khawatir akan keselamatanmu. Menurut beberapa orang, kamu terlihat selalu memberi apel kepada pria tua yang duduk di gang sempit di samping tong sampah. Ibumu bukan tidak suka dengan kebiasaanmu berbagi makanan kepada mereka yang kekurangan, tetapi kelanjutan desas-desus yang ibumu dengarlah yang membuatnya khawatir. Kamu terlihat bercakap-cakap dalam waktu lama dengan pria tua itu. Ibumu menasihatimu untuk tidak bercakap-cakap lagi dengannya, bahkan untuk sementara waktu tidak apa-apa kalau kamu tidak berbagi kepada sesama. Namun kamu menolaknya, tentu dalam hati karena jika kamu katakan penolakanmu itu, ibumu akan murka dan kemarahannya mungkin akan sama ketika ibumu mengeluarkan seluruh pakaian ayahmu dari lemari dan membuangnya ke sebuah lubang dan menyiraminya dengan bensin eceran yang dia beli dari tetangga dan kemudian dia bakar sampai hangus tak bersisa.

Kamu tidak ingin melihat kemarahan seperti itu lagi, tapi kamu juga merasa senang bercakap-cakap dengan Kakek Azazel. Kamu merasa kasihan kepadanya. Dia terlihat kesepian seperti dirimu yang kesepian karena ditinggalkan ayahmu entah ke mana. Kamu merasa senasib dengannya dan jika dua orang atau lebih memiliki persamaan nasib, mereka akan lebih cepat akrab.

Sepulang sekolah di hari berikutnya, kamu menemuinya lagi dan, seperti biasa, memberinya apel yang mestinya kamu makan di jam istirahat.

“Mereka bilang berbahaya jika berbicara berlama-lama denganmu,” katamu sambil berjongkok di depannya. “Mereka curiga kamu adalah penculik yang sedang menyamar dan akan membawaku pergi ke suatu tempat yang jauh bila ada kesempatan.”

Kakek Azazel mengunyah apel pemberianmu kemudian menelannya sebelum menanggapi perkataanmu. “Mereka ada benarnya. Berbahaya jika terlalu dekat denganku. Banyak orang yang berusaha menjauhiku. Mereka pikir aku akan membimbing mereka ke neraka.”

Kamu mendengarkannya dengan saksama.

“Tidak ada satu pun orang yang ingin ke neraka karena tempat itu tampaknya lebih buruk dari kamp konsentrasi yang dibangun oleh rezim-rezim otoriter. Kamu sudah belajar tentang Jerman?”

Kamu menggeleng. Kakek Azazel tidak melanjutkan ceritanya dan mengunyah lagi apel itu dengan wajah riang. Dia mengunyah apel pemberianmu, sesekali kamu dapat melihat air liurnya menetes ke pakaian kumal yang dikenakannya. Setelah menelannya, dia melanjutkan perkataannya.

“Banyak orang menyalahkanku atas berbagai hal. Mereka menuduhku sebagai biang keladi hancurnya rumah megah seorang lelaki sehingga anak-anaknya jatuh tertimpa reruntuhan dan kemudian dia jatuh miskin dan para istrinya meninggalkannya; mereka juga menuduhku memberitahu tempat persembunyian seorang lelaki tua baik hati kepada prajurit sebuah kerajaan bengis. Pada intinya, mereka selalu mengaitkan segala hal buruk denganku meski sebenarnya aku tidak melakukan apa pun. Mereka suka mencari kambing hitam dan kebetulan wajahku terlihat mirip kambing. Penguasa tanah yang mengusirku dari kampung halamanku dulu yang membuat wajahku seperti ini. Dia punya ilmu gaib yang tak tertandingi.”

“Saya turut prihatin dengan tuduhan-tuduhan yang menimpa kakek.”

“Itu tidak penting sekarang. Tanpa kusadari, aku mulai terbiasa dituduh seperti itu.”

“Boleh saya bertanya?”

“Apa itu, Aclima?”

“Bagaimana kakek kembali ke kampung halaman itu dan menghasut sepasang lelaki dan perempuan itu agar memakan apel sehingga mereka juga diusir dari sana?”

Kakek Azazel tertawa sebentar. Kemudian dia melihat ke langit sejenak, seperti sedang mengenang masa lalu yang dirindukannya. Dia menggigit apel pemberianmu sekali lagi sebelum menjawab pertanyaanmu.

“Aku bisa sedikit ilmu sihir. Aku belajar dari penguasa tanah itu sebelum hubungan kami renggang, dia tidak tanggung-tanggung dalam mengajariku. Lihatlah.”

Kakek Azazel mengangkat tangan kanannya—dia memegang apel dengan tangan kirinya—dan dalam sekejap ujung tangan itu menjadi seekor burung hitam yang menakutkan. Burung itu mengepakkan kedua sayapnya, kamu melihatnya dengan mata terbelalak. Ketika burung hitam itu akhirnya terbang, kamu menangis karena melihat tangan Kakek Azazel buntung.

“Jangan menangis, Aclima, Gadis Manis. Tanganku baik-baik saja. Lihat tangan kakek.”

Kamu melihat tangan itu lagi, utuh seperti semula.

“Aku menjelma menjadi ular dan menyusup ke kampung halamanku. Penjagaannya sangat payah saat itu sehingga aku bisa masuk tanpa kesulitan berarti. Aku mendatangi si perempuan dan berkata kepadanya bahwa apel di pohon yang tumbuh di tengah-tengah hutan itu sangat lezat. Sekali makan, kamu akan ketagihan. Dia merengek kepada si lelaki, meski si lelaki telah diperingatkan oleh tuan tanah agar tidak mendekati pohon itu. Tapi si lelaki akhirnya menuruti permintaan si perempuan juga, dia memanjat pohon itu dan mengambil beberapa buah. Mereka memakannya sebelum tuan tanah mendapati mereka dan mengusir mereka dari sana. Itu adalah sebuah tempat yang menyenangkan, segala jenis tumbuhan tumbuh di sana. Tidak ada satu pun penduduk yang kelaparan di sana. Mereka hanya tidak boleh mendekati, apalagi memetik, dan kemudian memakan buah dari pohon itu karena … mereka tidak pernah diberi tahu alasannya.”

“Ke mana mereka pergi?”

“Mereka berkelana, bahkan mereka sempat terpisah dalam rentang waktu yang lama sebelum kemudian bertemu kembali. Mereka kemudian lebih dihormati daripada diriku meskipun kami bertiga sama-sama terusir dari kampung halaman. Sekarang, aku tidak tahu di mana mereka. Aku menempuh jalanku, mereka menempuh jalan mereka.”

“Apa kakek begitu ingin pulang ke sana?”

“Tentu,” kata Kakek Azazel. Apel di tangan kirinya sudah tidak dia gigit lagi meskipun apel itu masih tersisa separuh. Tiba-tiba saja dia kehilangan selera makannya. “Tapi aku tidak akan pernah diterima lagi ke sana, kecuali ….”

“Kecuali?” tanyamu memburu.

“Ini hal yang tidak akan pernah mau kulakukan, Gadis Kecil. Ini adalah hal yang akan membuatku tidak menghormati si tuan tanah meskipun dia sendiri yang menyuruhku melakukannya. Sampai sekarang, meskipun aku telah diusir olehnya, tidak berkurang sedikit pun rasa hormatku kepadanya.”

Kakek Azazel tiba-tiba melirik apel pemberianmu di tangan kirinya, sedikit keceriaan kembali ke wajahnya yang seperti kambing itu. Dia menggigitnya kembali, kali ini sampai habis sepenuhnya.

“Tapi apel ini sepertinya sudah cukup untuk membuatku merasa di kampung halaman. Dari mana apel-apel ini berasal?”

Kamu berkata bahwa apel itu dikirim oleh kakekmu yang tinggal di sebuah tempat yang jauh tiap kali panen, apel itu tidak mudah busuk, dan tidak ada satu apel pun di dunia ini yang bisa menyaingi kenikmatannya.

“Kakek melarang orang-orang mendekati pohon apel itu. Dia tidak akan segan untuk mengusir siapa pun yang mencuri apelnya. Dia seorang tuan tanah yang pemarah dan sedikit kejam. Tapi saya menyayanginya.”


Ilustrasi: Oliva Sarimustika Nagung

Baca juga:
Kisah Ketua Pertama
Warisan Bajak Laut Teluk Tomini


1 thought on “Pria Tua Itu Menerima Apel Pemberianmu yang Rasanya Mengingatkannya kepada Kampung Halamannya”

  1. Kholil Rohman berkata:

    Renyah dan mantap sekali.

Komentar Anda?