Menu
Menu

Dalam Kereta Semar Lembu, cerita dimulai pada hari terakhir Semar Lembu di dunia arwah.


Oleh: Yuan Jonta |

ASN, tinggal di Ruteng, anggota Klub Buku Petra.


Sinopsis Kereta Semar Lembu

Lembu tak pernah tahu kenapa dia dikutuk tak bisa jauh-jauh dari rel kereta api. Kutukan yang membuat dirinya berkelana menumpang kereta api, melewati seluruh jalur yang ada di Jawa, selama 100 tahun kehidupannya. Tak juga pernah dia ketahui sejarah ibunya, atau tentang Mbok Min—yang mengasihinya nyaris tanpa syarat. Pun dia tak tahu dari mana datangnya makhluk-makhluk yang hanya terlihat olehnya. Makhluk-makhluk gaib datang bergantian, menemani setiap fase kehidupannya.

Lembu memang tak ingin tahu semua itu. Namun, dia tahu, dia lahir saat jalur kereta pertama di Jawa sedang dibangun. Lembu juga mungkin tahu, sesungguhnya ada yang selalu mengawasinya.

Setiap langkahnya sudah ditentukan sejak dia lahir untuk sebuah tujuan. Bahkan bagaimana dia mati pun sudah ada yang mengatur. Kerincing yang terkalung di lehernya—simpul dari kehidupan ibunya dan kehidupan Lembu sendiri—membuat dia harus berurusan dengan dewa-dewa yang kian tersingkir saat tanah Jawa semakin tenggelam ke abad modern.

Bincang Buku

Kereta Semar Lembu adalah buku pertama yang kami baca bersama dalam agenda bulanan Bincang Buku Petra tahun 2023 ini. Roman karya Zaki Yamani ini juga menjadi buku pertama yang disiapkan oleh Gramedia sejak Klub Buku Petra Ruteng dan Gramedia Pustaka Utama menandatangani perjanjian kerja sama akhir tahun 2022 silam. Roman ini dibahas di Perpustakaan Klub Buku Petra tanggal 27 Januari 2023; bincang buku ke-49.

Membaca Kereta Semar Lembu membuat Armin Bell teringat akan novel The Hundred-Year-Old Man Who Climbed Out of the Window and Disappeared karya Jonas Jonasson. Novel itu bercerita tentang Alan Karlsson, seorang pria lanjut usia yang melarikan diri dari panti jompo tepat di hari ulang tahunnya yang ke-100. Dari sanalah cerita itu bergerak, dibumbui aksi-aksi Alan tua serta cerita-cerita seru akan pertemuannya dengan tokoh-tokoh bersejarah yang ia jumpai sepanjang perjalanan hidupnya. Pembaca diajak berpetualang dari mata, telinga, dan cerita Alan. Dalam Kereta Semar Lembu, cerita dimulai pada hari terakhir Semar Lembu di dunia arwah.

Lembu menceritakan perjalanan hidup sampai matinya kepada jiwa-jiwa yang menunggu—jenazahnya untuk ditemukan dan dimakamkan secara layak— tentang keajaiban yang diterimanya, pertemuannya dengan tokoh-tokoh bersejarah, serta peristiwa magis-seru-mengerikan-nan-menarik lainnya. Febry Djenadut menuturkan bahwa pembukaan yang dirancang Zaky berhasil membuatnya penasaran; sebagian besar pembaca malam itu juga merasa demikian.

Di sisi lain, Armin juga menyoroti penggambaran latar dan narasi di bagian pembukaan yang juga menjalankan fungsi pra-kondisi: apa saja yang mungkin pembaca temukan dalam isi cerita ini. Temuan ini (pra-kondisi) juga dapat menjadi jawaban atas pengalaman membaca Retha, di mana ia dapat langsung menyesuaikan dirinya dengan adegan-adegan sadis yang muncul kemudian di dalam cerita. Ronald Susilo, pemantik kami menyebut bagian pembukaan roman ini menantang.

Dalam roman ini, Zaky menggunakan strategi “anti-aging” (itu terma yang kami sepakati sendiri dalam bincang buku), di mana pertumbuhan fisik Lembu separuh kali lebih lambat dari manusia pada umumnya. Armin Bell, memuji kecemerlangan penulis memakai strategi ini. Dengan demikian, narator akan dapat hidup, mengingat seratus tahun (1865-1965) sejarah Indonesia, khususnya di Jawa, di sisi lain juga memiliki fisik yang cukup baik saat berada dalam cerita. Zaky memadukan dongeng surealis dengan fakta sejarah, Beatto dan Nia Yus menyukai bangun cerita yang runtut dan menarik ini. Karena itu, sebagian besar pembaca kami teringat pula dengan Tutur Dedes: Doa dan Kutukan, novel yang kami bahas pada Bincang Buku Petra ke-44.

Hector, tokoh deuteragonis dalam film Coco (2017) akan lenyap dari dunia orang mati; harapan terakhirnya adalah ingatan dari putri semata wayangnya: Mama Coco. Sayangnya di usia yang sangat renta, Mama Coco berada di tepi kehidupan, menunggu dijemput ajal. Itu kira-kira aturan yang berlaku dalam dunia rekaan Coco: jiwa-jiwa hanya akan bertahan di dunia arwah bila masih ada orang hidup yang mengingatnya. Film ini terlintas dalam benak Febri dan Grace ketika membaca Kereta Semar Lembu.

Kenangan adalah medium yang sama, yang dipakai oleh para pengarang/penulis/sutradara ketiga cerita ini. Kenangan menjadi sarana narator dalam mengisahkan Alan dan Lembu; pengenangan (yang layak) menjadi syarat dalam pembebasan jiwa-jiwa di alam baka Coco dan Kereta Semar Lembu.

Nadya Tanja mengungkapkan bahwa kereta menjadi saksi bisu perjalanan sejarah dari kekelaman dan kebangkitan Indonesia; dan dengan memberi nafas hidup Lembu -yang dikutuk tidak dapat jauh dari kereta, Zaky hendak mereka saksi hidup dengan cerita sejarah yang kronologis, dari stasiun A ke stasiun B, dari peristiwa sejarah C ke peristiwa sejarah D. “Kalau diperhatikan cerita setiap bab, ceritanya maju terus (perjalanan tahunnya),” ucap Ronald Susilo.

Sekalipun Kereta Semar Lembu menggunakan narator utama yang pergerakannya terbatas (sekitaran stasiun, rel, dan kereta), namun Zaky menyelipkan beberapa latar menarik yakni dunia arwah, dunia manusia, dan dunia para dewa; Lolik Apung dan Lensi Anut mengapresiasi kepiawaian penulis mengaitkan ketiga tempat ini. Nefri Katul juga menyampaikan hal yang sama; latar yang kaya ini juga lengkap dengan perincian yang baik, membantu pembaca pemula memahami cerita yang dituturkan. Variasi latar dan tokoh-tokoh ini membuat anggota bincang buku kami malam itu dapat mengikuti petualangan Lembu, sekaligus mengagumi wawasan pengetahuan sejarah serta mitos dari penulis. Armin Bell, dalam salah satu pembacaannya sangat menyukai transisi narator; di mana ketika narator berpindah dari Lembu (narator utama) ke narator lain (entitas supranatural atau jelmaannya), penuturan yang disampaikan menjadi lebih puitis. Kekaguman yang sama disampaikan Arsy Juwandi terhadap rasa bahasa yang yang disusun penulis di sepanjang cerita. Armin juga tertarik dengan fokalisasi yang dibangun di mana, Lembu yang adalah narator utama tidak menonjolkan dirinya sendiri saat bercerita.

Ronald Susilo, pemantik kami mencatat peristiwa-peristiwa bersejarah yang dekat dengan ingatan orang Indonesia: bencana alam, perang, pandemi, kebangkitan politik, serta tokoh-tokoh penting yang lahir dan hidup dalam masa-masa itu. Armin Bell di sisi lain, mengapresiasi kecermatan Zaky dalam penentuan tanggal di dongeng “Kereta Semar Lembu”, tanggal-tanggal yang dipilih bertepatan dengan suatu peristiwa penting dalam sejarah Indonesia. Misalnya: 17 Juni 1864 (pembangunan jalur kereta api pertama di pulau Jawa), 10 Februari 1870 (jalur kereta api pertama kali beroperasi), letusan Merapi 1872, berdirinya PNI (hal. 171), sumpah pemuda (hal. 171) atau tanggal kematian ibu Lembu yang adalah hari kelahiran Soeharto (8 Juni 1921).

“… Halilintar kedua menyambar, masih ke tempat yang sama. Namun kali ini, dari asap yang mengepul muncul sosok berkulit pucat, baik wajah dan maupun seluruh tubuhnya, dengan hidung yang sangat panjang, dan bagian belakang rambutnya dikucir…” (hal. 53).

Febri Djenadut teringat akan pengalamannya saat masih mengenyam pendidikan tinggi di Jogja ketika membaca penggalan di atas. Dia teringat akan peristiwa letusan gunung Merapi tahun 2010. Ketika itu beberapa orang menangkap bentuk awan yang menyerupai sosok Petruk, salah satu punakawan.

Selain Petruk, Semar-Bagong-dan-Gareng juga muncul berganti-ganti dalam cerita. Mereka mendampingi Lembu di setiap fase kehidupannya. Ronald Susilo, Grace, dan Nadya tertarik dengan ide ini. Grace dan Nadya merasa peran dari tiap-tiap punakawan dalam fase perkembangan Lembu padu dengan karakter mereka. Sementara Ronald menilai, kehadiran mereka juga menambah daya tarik sisi penceritaan hidup Lembu itu sendiri.

Saya sendiri memperhatikan kecenderungan penulis untuk bermain di garis-garis batas: moralitas, spiritualitas, kebusukan, dan kebiadaban. Ketika membaca relasi Mbok Min dan Semar Lembu saya teringat akan relasi inses Targaryan atau Lannister dalam (lagi-lagi) Game of Thrones. Mbok Min menurut saya berperan sebagai figur ibu dalam relasinya dengan Lembu. Bagi saya, tanpa Mbok Min, cerita masih tetap berjalan, kecuali… bila kita mencermati fungsinya sebagai sensor perkawinan sedarah agar dapat dimaklumi di budaya timur. Mbok Min menjalankan peran pengasuh (ibu) dalam kisah Lembu, tetapi dengan ketiadaan hubungan satu darah maka perkawinannya dengan Lembu dapat diterima dalam rasa moral pembaca.

Agustinus Triwan, menceritakan pengalaman pribadinya ketika memindahkan rangka jenazah salah seorang kerabatnya. Ketika membaca cerita permohonan para arwah untuk dikuburkan secara layak, ia teringat akan pengalaman mistis saat salah satu keluarganya bermimpi tentang kerabat yang meminta agar jenazahnya dimakamkan secara layak. Dan lewat upacara adat, ucapnya, mereka dapat menemukan tempat terkuburnya jenazah itu, lalu memindahkannya ke kuburan yang layak. Secara tidak langsung cerita ini membuat kami teringat pertanyaan Ronald Susilo akan peringatan yang mungkin ingin disampaikan penulis: Bagaimana nasib jiwa-jiwa korban sejarah yang terlupakan?

Grace moderator kami malam itu menuturkan kesimpulan pembaca akan Lembu maupun pengarang sudah terwakilkan dalam ucapan Tuan Sneevliet (hal 130): “Aku pikir kau orang gila, Lembu. Tapi orang gila yang sangat cerdas,” katanya. “Kisah-kisahmu merupakan ramuan imajinasi anak-anak yang sangat liar, bercampur dengan pengalaman orang dewasa yang sangat liar. Merambah ke segala hal, sampai ke dunia mistis orang-orang Jawa.”

Kritik

Retha mengakui bahwa dirinya lebih tertarik dengan dongeng yang disuguhkan dibanding cerita sejarah yang dipaparkan. Sejalan dengan itu, Armin Bell menyampaikan bahwa sekalipun berhasil mengumpulkan dan menampilkan informasi-informasi sejarah Indonesia, Zaky hanya menampilkan hal yang sudah sering diangkat yang disajikan dengan pendekatan yang baru. Dari sekian banyak rentetan cerita yang dibaca, Ajin menyampaikan pembacaannya: selain bercerita, apa yang sebenarnya menjadi sorotan penulis?

Sementara Arsy mengkritik salah satu kutukan Lembu yaitu, seumur hidup ia tidak dapat melupakan Uma (kekasihnya: jelmaan Dewi Durga), namun di sepanjang perjalanan cerita, kutukan itu hampir jarang dijejali kembali di dalam konflik batin tokoh utama.

Mungkin pertanyaan Ajin bisa dijawab oleh salah satu pembacaan Armin. Bahwa melalui simbol kereta, kita diingatkan bahwa segala kemegahan yang kita nikmati berdiri di atas pengorbanan besar di masa lalu.

Sejarah mengulang dirinya sendiri: akan ada kemegahan lain di masa depan (notulis).

***

Anggota yang hadir saat itu adalah: Nadya Tanja, Febri Djenadut, Armin Bell, Ronald Susilo, Retha Janu, Jerry Dhei, Beatto Lajong, Arsy Juwandi, Nia Yus, Yasinta Ajin, Grace, Nefri Katul, Lensi Anut, Berno, Grace, dan saya sendiri. Dari pengalaman membaca peserta, bintang 4,5 disematkan untuk “Kereta Semar Lembu”.[*]


Program Bincang Buku ke-49 ini didukung oleh Gramedia Pustaka Utama.

Baca juga:
Akal-akalan dan Kenakalan Joko Pinurbo dalam Tak Ada Asu di Antara Kita
Gadis Pantai: Sebuah Metafora untuk Manusia Indonesia


Komentar Anda?