Memoria Mario Ruoppolo
Oleh: Puji Pistols |
Lahir di Pati. Bekerja sebagai penjual kopi di kampung. Penikmat sastra Tiongkok serta Latin. Buku puisinya berjudul Tokoh-Tokoh dalam Sepuluh Lompatan (Basabasi, 2019).
kawan, kini kita bisa pulang, tidur telentang
di bawah aura pohon Araunica
tak ada rute sepeda, kartu pos, aubade untuk Rosa.
Sore yang gamang, tongkang diam, camar pulang,
Juga metafora tak lagi kita ingat bersama, jam 6 petang.
Aku dihantui kenangan pembunuhan, kemarahan dan arak-arakan
–tahun-tahun kewarasan sebuah kota dipendam kepedihan
. Memoria Mario Ruoppolo
“aku tak peduli bila tak seorang pun mengingatku.”
(José Maria Cuéllar)
kubawa petang berjalan
ke arah kamar pengasingan
diri yang jauh
kawan yang menunggu
menunggu waktu merampungkan
batas maut
“jangan menoleh ke langut laut”
senja Isla Negra, ada yang kuyup
seorang perempuan muda
menyampirkan sisa nasib
pada retak meja
radio yang bersuara
surat-surat lama yang bercerita
tentang camar dusun
revolusi yang enggan
dan suara kebisuan
–selembar potret kusam, pasang surut kata-kata
“J’altendrai, suara yang rapuh”
. Memoria Mario Ruoppolo
“inilah pohon api yang ditenggelamkan
dalam air berombak.”
(Pablo Neruda, Canto General)
sajak sepi yang ditinggalkan
mungkin cara bertahan
keduanya mengisi hari-hari
apa aku akan menyesatkan diri
di sini
sebagai peziarah gunung
atau
berubah keledai jantan murung
memanjat garis lengkung
di antara pegunungan Andes
di situ
karat sepatu besi
kandang penggembala sapi
tembok-tembok pasi
adalah
kebisuan abadi
dan
cahaya terjun
dari tumpukan
langit gunung
ke arah dingin laut–
sehabis rute jembatan gantung
setelah kuyup didera demam sungai
aku kenang kaca seorang anak muda
tertinggal di kursi doa katedral tua
merah, bau amis dan darah
pada hari baik
aku pingin sendiri
memandang barisan kenangan
yang sembunyi dalam gereja sepi
pada jumat paskah yang lelah
aku adalah karakter “A”
yang dihilangkan
dalam buku lama
Geografia Memorias
. Memoria Mario Ruoppolo
–ada masanya luka perlu dituliskan
hari-hari yang berat
tahun-tahun pengharapan
ada yang rubuh
di keruh subuh
akhirnya kita sepakat bersuara
“percuma menunggu, tak ada seseorang menunggu”
kau memilih diam, mendiami penginapan gelap
terbenam dalam pesimisme masa tua
hanya sebuah balada usang Violeta Parra
dan insomnia, kau sembunyikan
lewat pandangan mata yang sayu
dan aku meneruskan baris-baris liris “Gracias a la Vida”
di sebuah tenda yang jauh dari dusun
puisi perih, yang aku yakini, bagian memori Rosa
di malam-malam dingin aku hanya butuh
sehelai selimut, langit berbintang dan aspirin
tahun ini kita tak lagi berjalan bersama
sebuah eksil, barangkali idealisme yang dipertanyakan
untuk siapa seseorang bersuara dan membebaskan?
. Memoria Mario Ruoppolo
september hampir berakhir
ia kehilangan kawan penyair
tukang pos bersepeda, ia katakan “pulang”
tak jauh dari rute stasiun kereta
ia lambaikan tangan, tak ada yang bersuara
seperti menyamarkan metafora, ke arah senyap
dan menghilang
“di mana puisi?”
aku tak mengerti
tak ada tempat bersembunyi
setelah kota-kota lumpuh
kedai-kedai sepi
penghuni rumah pergi
sebelum jam dini hari
lanskap yang melankoli
kau lihat
barikade mobil-mobil patroli
gerimis pantai dingin
sesekali letusan senapan
orang-orang antre di sebuah toko roti
–sejarah seperti siklus
sebaris aib
segaris nasib
di deretkan pelan-pelan
Santiago, seperti ada pertanda
bentangan warna
ke arah hijau
hijau kaktus
tua dan renta
. Memoria Mario Ruoppolo
di stasiun kereta api Mapocho
peron bisu
tak ada berisik penumpang
rel-rel berhenti sepanjang waktu
“semua waktu terukur, berlalu”
tahun kemarin
sepertinya tahun kemarin
kita duduk ke arah oval jendela
sisa teh mate dan vas bunga aster
dalam kebisuan jam yang belum begitu malam
langit mendung, gerimis tahun pertama
seperti gelap, Tuhan mungkin kecewa?
kota-kota masih tidur
ranting cemara Patagonian letih
kanal-kanal di luar sana
membentangkan romantisme perih
seseorang melintas di bawah payung hitam
mungkin kesepian, mungkin sampai kepedihan
semua waktu adalah impian
yang mengingatkan
seperti ingatan mengulang prosa lama
sejilid “Para nacer he nacido”
kesan yang diam
gairah yang terbenam
kau tahu–
“di dermaga ada senja yang dilabuhkan”
di Mapocho
ranting kering
kembang menguning
bunyi peluit hening
“seseorang akan menjemputmu”
mungkin pulang
mungkin ke arah pengasingan
di batas oval jendela
percakapan purna
selain gerak angin
dingin dan pelan
sayup sirine datar, lagu kematian proletar
era sosialisme diistirahatkan
. Memoria Mario Ruoppolo
berita koran dari kota Santiago
“di sini junta hidup bebas, sebebas camar”
ia mengalirkan mimpi
membangun apartemen
yang menghadap sungai-sungai itu
di atasnya ada bunyi peluit kereta api
mengembalikan langit sore
pada bunyi trompe
di tepian sungai
ia gelontorkan semacam surga
melengkapi apa-apa yang ada
sebagai sejarah baru yang dihidupkan
. Memoria Mario Ruoppolo
ia gelandang rute perjalanan
menyusuri denging arloji
bunyi bel penjual roti
dalam daftar ilustrasi petualangan
dan pada waktu itulah, ia tahu
setumpuk kartu pos, rumah penyair,
lagu “Por una Cabeza”
seperti rekaman tentang puisi
yang mengekal, dikekalkan
Ilustrasi: Foto Kaka Ited, diolah dari sini.
Baca juga:
– Puisi-Puisi Wawan Kurniawan – Di Museum Kehilangan
– Puisi-Puisi Saddam HP – Rahim
– Puisi-Puisi Iin Farliani – Paling Pudar dari Kata