Menu
Menu

Studi Kasus Bintang Kejora, 1965-2015: Naomi Masa, Jayapura; Konstan Atanay, Sorong; Tinneke Rumbaku, Biak; Hans Awendu, Biak; Jefri Wandikbo, Jayapura.


Oleh: Yona Primadesi |

Penulis buku Dongeng Panjang Literasi Indonesia (2018) dan Ingatan Masa Kecil (2022). Aktif dalam berbagai kegiatan terkait literatur dan literasi bagi anak dan remaja. Salah satu pendiri komunitas Sahabat Gorga.


/1/ Naomi Masa, Jayapura

Andai mereka tak datang hari itu,
kau mungkin masih bisa tersenyum
saat pemuda di satu adegan film
menunggu di seberang jalan, bersandar
pada pintu mobil, kau membayangkan
ia seperti lelaki yang telah memberimu
tahun-tahun yang membahagiakan.

Andai mereka tak pernah mengetuk
pintu rumahmu, mungkin sesekali kau
ingin berada di sebuah gereja, kembali
merasakan satu-satunya hari paling bahagia
dari sepasang pengantin di hadapanmu,
dan kehadiran tangisan bayi di suatu hari
yang membuatmu tak bisa tidur lelap.

Andai mereka tak membawamu saat itu,
mungkin kenangan itu masih ada di sana,
sebelum mereka menyeretmu ke dalam truk,
bahkan putramu harus menatap dunia
yang kau lihat, ketika napas kasar mereka
mendera seperti gerak tuas mesin uap.

Andai ingatan itu hanya satu mimpi buruk
dari seluruh malam yang telah kaulalui,
namun nyatanya mereka adalah aib
yang selamanya melekat di tubuhmu,
setelah kaki dan tanganmu dibentang
tak bisa kauhentikan dengan memohon,
bahkan dengan air mata.

Andai lelaki yang kau cintai itu bukan nama
yang ada dalam daftar hitam mereka
atau bukan semacam impian yang keliru
di hari terakhir setelah ia mengemasi semua janjinya,
mungkin kini kau tak harus bersembunyi
bersama bayang-bayang kelam itu
yang membuatmu melamun seorang diri.

. Studi Kasus Bintang Kejora, 1965-2015

/2/ Konstan Atanay, Sorong

Hanya ada satu kenang-kenangan
dari angan-angan ibumu dan dongeng
orang-orang di kampungmu—
itulah Bintang Kejora, meski tak mungkin
terpancar di sehelai langit malam,
atau berkibar di halaman setiap rumah,
kau masih menyimpannya
dalam hatimu sebagai impian.

Kau bayangkan suatu hari
seperti upacara pagi di sekolah;
kau dan teman-temanmu menyanyikan
sebuah lagu yang mengharukan
di bawah bendera yang kini masih
tergulung di tanganmu, dan itu
hanyalah khayalan sebab ujung senjata
akan menyuruhmu diam, bahkan mungkin
membuat mulutmu memar.

Enyahkan, itulah mau mereka;
pengintai berseragam hijau
telah menjelma di mana-mana,
lalu kau hanya bisa menyerahkan
langkahmu yang sia-sia dilempar ke penjara,
bangun, lihat keangkuhan mereka!
ketika memandangmu sebagai remaja puber
dan perempuan-perempuan itu dijemur,
mungkin salah satunya adalah kekasihmu,
atau bibimu, atau kakakmu
yang dipermainkan semena-mena.

Kecuali kau merengek,
mungkin saja mereka akan lelah tertawa
dan membiarkan kau bernapas sedikit lega
untuk meredakan luka di pelipismu, serta perutmu
yang mengkerut setiap kali menjawab,
lupakan dan pulanglah, itulah syarat
untuk kenang-kenangan lain
yang akan menghapus angan-angan ibumu.

. Studi Kasus Bintang Kejora, 1965-2015

/3/ Tinneke Rumbaku, Biak

Satu-satunya kedamaian
adalah jalan setapak
di antara nisan-nisan kecil,
kau yang kanak dulu
leluasa melewatinya,
bahkan sesekali mengeja
nama-nama di sana,
seperti menghapal nama-nama
pahlawan dari buku sejarah di sekolah,
namun suatu hari sebuah dongeng
berbisik di telingamu,
menggelapkan suasana itu.

Kini kau tahu itu hanya rasa takut,
hanyalah kabut, agar masa silam
tak pernah kau pahami
sebagai pengorbanan orang-orang
yang menginginkan hari esok
menjadi sayap-sayap burung.
Nyatanya mereka ada di mana-mana,
berselubung seragam,
seketika menjelma buas,
lalu menyeret kakimu di sepanjang jalan,
persis seekor mangsa di cengkeraman harimau.
Katakanlah kau kabur saat itu
namun untuk benar-benar bebas
itu hanya kemungkinan kecil,
meski kau seharian ngumpet
di dalam tangki pembuangan di rumah kosong,
mereka tetap mencarimu,
bahkan tiga bulan kau mendekam di hutan,
mereka masih terus mengincarmu,
seperti bidikan senapan pemburu.

Satu-satunya kedamaian bagi mereka
adalah dengan membisikkan mimpi buruk
untukmu, seperti bunyi pisau diasah
atau letusan peluru dalam kata-kata mereka
yang menggertak, akhirnya hanya jalan pulang
terlintas untuk menyandarkan kesedihanmu.
Namun tak ada satu raut pun
yang mau terharu; temanmu, sepupu,
bahkan keluarga yang dulu menyayangimu
tak ingin memelukmu sebentar saja
sebab nasib yang kau bawa,
tak lain adalah kutukan.

. Studi Kasus Bintang Kejora, 1965-2015

/4/ Hans Awendu, Biak

Saat jari telunjuk diselipkan di pelatuk,
itu hanya keisengan mereka
agar lebih menghibur dari biasanya,
seperti dalam sirkus untuk membedakan
pemilik cambuk dengan sandera
atau cuma untuk atraksi kemanusiaan.

Kau berlari menarik gerobak
seperti dalam pertunjukan doger monyet
ketika mendengar mereka akan menarik pelatuk
dan mereka pun tertawa sambil berlagak
seperti para guru menghukum murid yang nakal.

Kesenangan belum selesai,
ketika kau makan sisa dari piring mereka
bersama temanmu, bagi mereka itu sekadar
mengasihanimu sebagai gelandangan yang lapar.

Suatu malam tiba, mereka mau hiburan lain,
jangan pernah menjawab, cukup kau beri suara
paling memilukan, sebab pertanyaan mereka
hanya kepalan tangan yang tak pernah tahu
cara mengelus bulu di tubuh seekor kucing.

Setelah itu lupakan, itulah keinginan mereka
saat tiga butir pil dilarutkan—yang kau kira
sebagai gula untuk segelas kopi hitam—
namun lidah jelas tahu rasa pahit
agar kau tak mengenal dirimu sendiri.

Meski sekalipun itu salah, mereka tetap akan pulang
menemui istri, kekasih, bahkan dipeluk ibu mereka,
dan kau hanya bisa melihat Baldus temanmu,
untuk terakhir kali mengapung di bak air kotor
itu sekali lagi hanya hiburan bagi mereka.

. Studi Kasus Bintang Kejora, 1965-2015

/5/ Jefri Wandikbo, Jayapura

Siapa yang mau tahu
soal perjalananmu?
siapa yang mau tahu
tentang cinderamata untuk ibumu?
mereka sebut itu sebagai pelarian
mereka hanya menginginkan bukti
yang tak ada selama ini.

Itu bukanlah kebetulan
itu sepenuhnya rekayasa
meski tak pernah ada bekas luka
di tubuh yang telah bisu itu,
namun tulang kasuari
di tanganmu tak lain sebagai
alasan mereka untuk mencatatkan
kisah yang salah di hidupmu
hingga suara kau memohon
tersisa hening
persis saat sekumpulan anak-anak
berkali-kali menepuk-nepuk seekor katak
dengan tongkat kayu.

Mereka menyebar di mana-mana,
seperti bau mesiu,
seperti pos-pos perbatasan,
mereka hanya puas melihat
anggukan kecil dari kepalamu
yang kelelahan, andai kau masih
percaya pada sebuah doa
itu juga sia-sia mengantarmu
ke satu jalan keluar,
kecuali satu-satunya cara
hanya pena dan berkas itu
untuk mengurungmu
selama delapan tahun
dalam kebohongan mereka.

(2019-2023)


Ilustrasi: Foto Kaka Ited, diolah dari sini.

Baca juga:
Puisi-Puisi Wawan Kurniawan – Di Museum Kehilangan
Puisi-Puisi Arif Purnama Putra – Ingatan Pulang
Puisi-Puisi Gody Usna’at – Semografi


1 thought on “Puisi-Puisi Yona Primadesi – Studi Kasus Bintang Kejora, 1965-2015”

  1. Chantigi Mutiara berkata:

    Saya suka sekali puisinya, izin untuk saya jadikan sebagai bahan penelitian tugas jurnal saya, Kak.

Komentar Anda?