Menu
Menu

Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 2020 terasa begitu dekat.


Oleh: Lolik Apung |

Anggota Klub Buku Petra dan Tutor Rumah Belajar Ba Gerak Ruteng.


Buku ke-36 dan menjadi buku terakhir yang dibicarakan di Bincang Buku Petra 2021 adalah Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas tahun 2020, Macan. Ada 15 orang peserta yang hadir dan merupakan formasi terbanyak dari edisi bincang buku tahun 2021.

Kumcer Kompas menjadi pengecualian dari dominasi novel dalam program ini. Diprediksi akan kalah seru dengan bincang novel, bincang kumcer yang berlangsung tanggal 17 Desember 2021 di Perpustakaan Klub Buku Petra itu ternyata lebih seru. Selain menang jumlah peserta, keseruan bincang kumcer ternyata terletak pada tiga cerpen favorit versi peserta. Absennya penulis-penulis dedengkot Kompas seperti Putu Wijaya, Ahmad Tohari, dan lain-lain ibarat menambah bensin pada api bincang yang sedang berkobar.

Menenemukan Pola

Peran pemantik yang diemban oleh Marcelus Ungkang pada malam itu menegaskan urat materi yang ingin disampaikannya. Sebagai pembicara pertama, ia tidak mempunyai cerpen favorit. Namun ia membuka bincang itu dengan ‘pola’ yang menjadi judul utama pembahasannya: “Siapa pun yang ingin mengirim cerpen ke Kompas harus sadar jika cerpennya harus sudah fight sejak awal. Artinya ia harus mampu memukau editor sejak paragraf pertama.” Di paragraf fight itu, pola yang ditemukan Redaktur Ulasan Bacapetra.co ini adalah pertama, mengandung kejadian yang tidak biasa (ditandai konjugasi negasi: tetapi/namun), dan kedua, adalah mengandung ancaman. Pola ini ditemukan pada beberapa paragraf pertama:

Pernahkah kalian menjelma jadi ikan? Aku yakin, kalian akan menjawab, “Tak pernah.” Andai ada yang menjawab, “Pernah,” tentu akan segera menyambung, “dalam mimpi.” Tetapi Bella, bocah perempuan delapan tahunan itu, sangat yakin sedang tidak bermimpi. (hal. 1)

Atau:

Malam berhujan di hutan baik untuknya. Ini membuat manusia kurang waspada karena titik-titik hujan pada setiap daun menimbulkan suara di mana-mana di dalam hutan sehingga pendengaran mereka teralihkan. Apalagi jika manusia ini alih-alih memburu dirinya, malah bercakap-cakap sendiri, mungkin untuk menghilangkan ketakutan dalam kegelapan tanpa rembulan. (hal. 19).

Pada paragraf terakhir:

Papa? Bella mendengar suara langkah di luar kamar seperti terburu. Lalu, bunyi klik dan kuak daun pintu. Suara langkah bergegas mendekat ke tempat tidur. Sebuah kepala terjulur dan… mendadak, Bella kembali merasa mual! Si Babi. Lelaki berkepala babi. (hal. 9).

Dan:

Dalam kesibukan seperti itu pun, kepekaannya sebagai pemburu tidak pernah berkurang. Ia melepaskan tali timba dan membalikkan badan secepatnya. Namun, kali ini sudah terlambat. (27)

Meski demikian, dua pola ini, lanjutnya, tidak ditemukan dalam Cerpen “Mengantar Benih Padi Terakhir ke Ladang” dari Silvester Petara Hurit. Paragraf pertama dan terakhir dalam cerpen ini tidak menggunakannya.

Jika waktunya tiba, tanamlah walau hujan belum turun. Ketika benih sudah diantar ke tanah, langit dan bumi kawin. Hujan turun. Padi tumbuh dan membiak di atas tanah berbatu sekalipun. Jangan khawatir, bukan hanya kamu yang hidup di atas tanah ini… (39).

Atau paragraf terakhir:

Perdebatan kian menjadi. Suasana semakin panas. Seorang bertubuh besar kehilangan akal sehatnya lantas menendang sokal padi hingga berhamburan… (47).

Dengan Celus sebagai pembuka bincang buku, diskusi malam itu jadi memiliki pola Kumcer Kompas.

Tiga Cerpen Favorit. Siapakah yang Menang?

Kecuali Marcelus Ungkang, peserta yang hadir memilih tiga cerpen terbaik versi masing-masing. Armin Bell memilih “Apa yang Dibisikkan Paul McCartney di Telinga Janitra” dari Sasti Gotama sebagai cerpen favorit pertama, lalu “Macan” dari Seno Gumira Ajidarma di posisi kedua, dan “Sendiri-Sendiri” dari Okky Madasari di posisi ketiga. Tentang cerpen Sasti Gotama, menurutnya cerpen itu mengandung tema yang jarang dilirik sebelumnya, tema domestik. Bagi Armin, saat ini sulit menemukan lagi cerpen-cerpen Kompas seperti “Klub Solidaritas Suami Hilang” karya Intan Paramaditha, “Di Tubuh Tara dalam Rahim Pohon” oleh Faisal Oddang, atau “Dodolitdodolitdodolibret” oleh Seno Gumira Ajidarma, yang sebelumnya juga pernah menjadi Cerpen Pilihan Kompas.

Pilihan Armin sangat berbeda dengan dr. Ronald Susilo. Dokter Ronald membaca buku ini tiga kali, dan tiga kali pula ia memilih tiga cerpen favorit, hingga pilihan final jatuh pada “Kita Gendong Bergantian” dari Budi Darma, lalu “Kandang Kambing Nurjawilah” dari Damhuri Muhammad, dan “Salamah dan Malam yang Tak Terlupakan” dari Lilik H.S. Meski telah membaca buku ini tiga kali, dokter tidak terlalu banyak berkomentar seperti pada edisi bincang buku yang lain. Ini merupakan sesuatu yang tidak biasa. Ia hanya me-review tema-tema yang terkandung dalam cerpen-cerpen yang ada.

Setelah Dokter Ronald, Maria Pankratia mendapat kesempatan keempat menceritakan pengalamannya membaca buku. Ia menyelesaikan kumcer ini dalam sekali duduk. Ia sepakat dengan pola yang terbaca oleh pemantik malam itu, bahwa jika ingin menulis, setiap orang wajib membuat paragraf pembuka yang berkesan.

Menurut Maria, beberapa cerpen dalam buku ini memiliki kepandaian itu, meski ia merasa tidak menemukan itu dalam “Macan” karya Seno Gumira Ajidarma yang justru dipakai sebagai judul edisi Cerpen Pilihan Kompas 2020 ini. Maria memilih “Sendiri-Sendiri” dari Okky Madasari. Ini mengingatkannya pada pengalaman isolasi mandiri beberapa bulan sebelumnya. Lalu ia memilih “Kandang Kambing Nurjawilah” dari Damhuri Muhammad karena ending-nya yang bagus, dan yang ketiga ia pilih “Pasar Pelukan” dari Vika Wisnu. “Pasar Pelukan adalah judul yang tepat untuk kumcer ini,” tutupnya

Beato mendapat giliran selanjutnya. Baginya, beberapa cerpen yang bernuansa fabel membawanya pada definisi manusia sebagai binatang berakal budi. “Meski manusia unggul karena memiliki ratio dibanding hewan atau ciptaan yang lain, tingkah laku manusia terkadang tidak lebih baik dari saudara ciptaan yang lain itu,” ujarnya. Selain itu, ia juga menggugat “Macan” yang dipakai sebagai judul Kumcer ini. Baginya cerpen Seno ini tidak begitu ‘sangar’ dibanding beberapa cerpen lainnya. Beato sendiri mengalami kesulitan menemukan pola dari cerpen-cerpen yang ada. Ia akhirnya memilih “Pernahkah Kalian Menjelma Jadi Ikan?” dari Gus tf Sakai, “Asap-asap Itu Telah Menghilang” dari Rizqi Turama, dan “Sup Jelai” dari Novka Kuaranita sebagai tiga cerpen favorit.

Retha Janu mengutarakan prosesnya setelah membaca kumcer ini. Tidak seperti kumcer tahun sebelumnya yang dirasa berjarak karena berbicara kritik sosial, Kumcer Pilihan Kompas 2020 terasa dekat. Ia mendaku beberapa cerita sebagai cermin yang membantunya melihat sifat-sifat diri, juga sebagai teguran untuk menjadi lebih baik di tahun-tahun yang akan datang. Beberapa cerpen yang dipilihnya merepresentasikan maksud-maksud tersebut. Etak, begitu ia biasa disapa, memilih “Apa yang Dibisikkan Paul McCartney di Telinga Janitra” dari Sasti Gotama, “Sendiri-Sendiri” dari Okky Madasari, dan “Brewok” dari Supartika sebagai tiga cerpen favoritnya.

Setelah Etak, Yasinta Ajin menjadi pembincang yang ketujuh. Ia langsung memilih cerpen-cerpen favorit. Di nomor satu, ia memilih “Apa yang Dibisikkan Paul McCartney di Telinga Janitra” dari Sasti Gotama, lalu “Kita Gendong Bergantian” dari Budi Darma, dan “Pasar Pelukan” dari Vika Wisnu. Ajin terkesan dengan beberapa tokoh yang disajikan dalam kumcer ini, seperi tokoh Janitra dalam cerpen karya Sasto Gotama dan Misbahul dalam cerpen karya Budi Darma. Ia menyukai “Pasar Pelukan” dari Vika Wisnu. “Di masa yang dipenuhi dengan ketidakpastian akibat pandemi, kita membutuhkan pelukan,” tutupnya.

Setelah Ajin, Gregorius Reynaldo mendapat bagian kedelapan. Rey melewatkan beberapa cerpen, sementara di cerpen-cerpen lain, ia memilih berlama-lama dan menikmati tokoh-tokoh cerpen sebagai dirinya. Ia terkesan dengan cara Okky Madasari mengakhiri “Sendiri-sendiri”. Plot twist yang dipakai Okky membawanya pada cerpen “Ponakan” dalam Buku Kumpulan Cerpen Felix K. Nesi berjudul Usaha Membunuh Sepi. Ia tetap menyanjung cerpen tersebut sebagai cerita pendek dengan plot twist terbaik yang pernah lewat di kepalanya. Rey memilih “Kita Gendong Bergantian”, lalu “Sendiri-Sendiri” dan “Pasar Pelukan” sebagai tiga cerpen favoritnya. Ia memilih “Pasar Pelukan” tanpa alasan apa pun, benar-benar karena merasa suka saja.

Hermin Nujin menjadi pembicara kesembilan. Ia memuji peran yang dimainkan perempuan dalam kumcer kali ini. Janitra, Nurjawilah, dan perempuan-perempuan lain membuatnya terkesan. Ia merasa perempuan memiliki kekuatan yang tidak boleh dianggap remeh meski penderitaan tidak pernah absen menghantam hidup mereka. Hermin memilih tiga cerpen favorit berdasarkan dimensi ini. Ketika ia membaca tiga cerpen tersebut, ia seperti menonton adegan demi adegan yang dilukiskan di dalam cerita. Hermin memilih “Apa yang Dibisikkan Paul McCartney di Telinga Janitra” lalu “Sup Jelai” dari Novka Kuaranita, dan “Kandang Kambing Nurjawilah”.

Saya mendapat giliran berikutnya. Saya tidak menilai cerpen-cerpen di dalam buku Cerpen Pilihan Kompas kali ini sebagai yang baik atau yang buruk. Saya memilih untuk mengakrabi proses kreatif yang terjadi di dalam cerpen-cerpen tersebut. Saya memilih cerpen-cerpen terbaik berdasarkan pertimbangan itu: cerpen kary Okky Madasari karena plot twist, lalu “Kita Gendong Bergantian” karena tidak berbasa-basi, dan “Macan” dari Seno Gumira Ajidarma karena penceritanya yang adalah seekor harimau.

Marto Rian Lesit hadir sebagai pembicara kesebelas pada malam itu. Marto mengajak peserta untuk melihat ruang hidup orang lain dari ruang hidupnya sendiri. Kesadaran memahami ruang ini, baginya bisa menghindari konflik-konflik yang mungkin bisa terjadi. Hal ini pulalah menurutnya yang membuat Kompas menyertakan banyak cerpen yang menyajikan konflik ruang antara manusia dan binatang, seperti dalam cerpen “Macan”.

“Manusia tidak terlalu tahu menghargai ruang hidup ciptaan lain hingga akhirnya pandemi membatasi ruang geraknya sejak tahun 2019,” lanjutnya. Marto memilih cerpen “Macan” karena refleksi ruang ‘hutan’ yang dipakai dalam cerpen ini. Lalu ia memilih “Menyaksikan Sunyi” dari Yanusa Nugroho karena kemasan budaya yang dipakai penulis. Meski ia merasa Silvester Petara Hurit dalam buku ini tidak sangat istimewa, ia tetap memilih “Menghantar Benih Padi Terakhir ke Ladang” sebagai cerpen ketiga. Marto sendiri melihat, pola yang dipakai Sil Hurit di dalam cerpen ini tidak seperti cerpen-cerpen Sil Hurit yang disukainya di media lain.

Abim Gondrong mendapat giliran terakhir setelah Yuan Jonta, Nadya Tanja, dan Avin yang tidak menyampaikan hasil pembacaannya karena belum sempat membaca Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 2020 ini. Mas Abim tidak menilai cerpen dari penulisnya, sehingga ia mengesampingkan faktor penulis. Ia mengaku menyukai cerpen-cerpen yang menyuarakan kritik sosial seperti cerpen Silvester Petara Hurit. Baginya Sil Hurit melukiskan padi sebagai manusia; berladang adalah cara untuk lebih dekat dengan kehidupan. Ia juga melihat cerpen ini berbicara tentang literasi pertanian dan literasi astrologi di antara Suku Lamaholot.

Pilihan-pilihan cerpen Mas Abim pada malam itu membuatnya berbeda dari peserta bincang buku yang lain. Mas Abim memilih “Menghantar Benih Padi Terakhir ke Ladang” dari Silvester Petara Hurit, lalu “Tak Ada Jalan Balik ke Buru” dari Martin Aleida, dan “Kandang Kambing Nurjawilah” dari Damhuri Muhammad. Ia kemudian menyentak peserta dengan pertanyaan: “Apakah yang paling puitis dari kebenaran?” Pertanyaan ini dibawa pulang sebagai kado bagi seluruh peserta yang hadir.

Setelah diskusi dan pemilihan tiga cerpen favorit yang berlangsung alot, akhirnya cerpen Budi Darma yang berjudul “Kita Gendong Bergantian” menjadi cerpen favorit serta menempati urutan pertama yang dipilih oleh para peserta Bincang Buku Petra malam itu. Semoga Budi Darma beristirahat dengan tenang dalam keabadian. Posisi kedua diraih oleh dua cerpen yaitu: “Sendiri-Sendiri” karya Okky Madasari dan “Apa yang Dibisikkan Paul McCartney di Telinga Janitra” dari Sasti Gotama. Tempat ketiga diisi oleh tiga cerpen yaitu Macan, Pasar Pelukan, dan Brewok. Urutan cerpen ini mendapat protes dari pendukung Apa yang Dibisikkan Paul McCartney di Telinga Janitra sebab menurut mereka, berdasarkan urutan/nilai per peserta, cerpen Sasta Gotama itulah yang seharusnya menempati posisi pertama karena menjadi pilihan pertama dari sebagian besar peserta. Kemudian dijelaskan bahwa perangkingan pribadi tidak berpengaruh; yang terbaik adalah yang paling banyak disebut oleh semua peserta.

Ke Mana Putu Wijaya Pergi Selama Tahun 2020?

Absennya Putu Wijaya di Kumcer Pilihan Kompas 2020 ini menjadi bahasan menarik. Cerpen Putu Wijaya yang terbit di Kompas pada tahun itu, yang berjudul “Teror Kenapa” tidak dipilih juri kali ini. Padahal, jika mengikuti pola fight di paragraf awal, karya Putu itu seharusnya disertakan. Menanggapi hal ini, Armin Bell melihat, ketidakhadiran Putu Wijaya di buku ini adalah sesuatu yang masuk akal. Baginya, dunia cerita dalam Kumcer Pilihan Kompas 2020 adalah dunia pandemi. Karena itu tema yang diulik penulis adalah tema-tema dari rumah seperti hubungan bapak-anak, suami-istri, dan lain sebagainya. Sementara, Putu Wijaya tidak menjangkau tema tersebut. Menurutnya, Putu selalu berkutat pada tema-tema sosial, politik, dan ‘hal-hal besar’ di sekitarnya, sesuatu yang barangkali tidak menjadi minat juri tahun ini. (*)


Baca juga:
Nh. Dini Telah Pergi ke Tempat yang Lebih Tinggi dari Gunung Ungaran
Tentang Petra, Tiga Hal Harus Saya Ceritakan

Bincang Buku Petra dilaksanakan setiap bulan. Anggota Klub Buku Petra peserta bincang buku, secara bergantian menulis proses bincang buku untuk bacapetra.co.


Komentar Anda?