Menu
Menu

Monyet begitu liar dan bergairah sedangkan kambing begitu mengalir dan penuh kepasrahan. Kedua-duanya dengan jelas adalah dirimu hari-hari itu.


Oleh: Adi Chandra Wira Atmaja |

Lahir di Tolitoli, Sulawesi Tengah. Tumbuh dan selesaikan sekolah di Sentani, Papua. Gemar menulis opini dan cerpen di Medium. Aktif sebagai sekretaris dan menulis naskah drama untuk  Lentera Silolangi, komunitas seni yang berbasis di Kota Palu. Habiskan sisa waktu sebagai relawan di Nemu Buku. Masih menempuh S1 Sastra di Indonesia di Fakultas Sastra, Universitas Alkhairaat. Kini menetap di Kota Palu, Sulawesi Tengah.


WAKTU ITU kau masih pakai seragam putih abu-abu. Belum lama, kira-kira tujuh bulan. Kau punya cukup banyak kenalan sejak bulan pertama bersekolah. Namun di antaranya, hanya Mawan dan Wawan yang cukup sering makan siang di kantin dan pulang sekolah denganmu. Mereka ini kawan pertama sejak kau pindah ke Papua. Waktu antri untuk daftar masuk SMP, kau masuk di barisan non-Papua dan Mawan berdiri tepat di depanmu. Sedangkan Wawan—sekalipun namanya Wawan—berdiri di sampingmu, di barisan Papua, karena bapaknya bermarga Papua.

Seingatmu, gedung sekolah waktu itu (yang kini sudah asri dan bertingkat-tingkat) belum begitu menarik. Memang, sekolah itu terkenal sebagai sekolah favorit dengan banyak peminat. Kata mama, mama tua, atau mamanya temanmu, kalo ko mau tembus di sana, harus bagus nilai. Memang de mahal, tapi kalo tembus itu tuh, ko gampang kuliah ke luar.

Mama juga seringkali mengambil keluarga sebagai contoh. Itu mama pu ipar dari ade perempuan pu anak laki-laki ketiga dari dua bersaudara yang baku kena dari nene juga begitu. Saking seringnya, kau keburu buyar oleh silsilah keluarga yang jadi pengantar dan lupa apa yang sebenarnya dibahas.

Namun tentu saja tidak satu pun kabar itu jadi alasan kau masuk sekolah itu. Kau pilih sekolah itu karena dua kawanmu juga memilihnya. Membayangkan kau harus menyesuaikan diri dengan guru baru, teman baru, anak nakal baru, rasanya seperti pindah dari hutan rimba yang satu ke hutan rimba lainnya. Sekalipun mamamu berambut keriting, tapi bapakmu berkulit putih dan tidak punya marga. Jadi waktu kau antri masuk SMA, kau akan tetap berbaris di deretan non-Papua—dengan Mawan di depan dan Wawan disampingmu.

Sekolah itu cukup luas. Kelasmu berada di bagian belakang. Ia merupakan bagian dari jejeran gedung kelas serupa “U” dengan lapangan rumput di tengahnya. Untuk membedakan dengan lapangan yang berada di depan, kau dan teman-temanmu sering menyebut Lapangan Upacara untuk yang berada di depan, dan Lapangan Rumput di belakang.

Kelasmu segera menjadi pondok hangat di tengah belantara. Tidak langsung berhadapan dengan Kantor Guru atau BK. Pantauan guru pun agak luput sebab jaraknya yang jauh dari kantor (barangkali ini yang bikin nuansanya cukup hangat). Kalau guru datang, butuh waktu sekitar 3 menit bagi mereka untuk berjalan dari kantor sampai di kelasmu. Guru dan Satpam gampang dideteksi. Selalu ada kesempatan untuk matikan rokok sebelum ketahuan.

Namun ada beberapa hal yang rasanya mengganggu. Selain banyaknya siswa nakal yang suka menagih uang jajan, juga galian lubang di tengah lapangan rumput yang penuh dengan tumpukan sampah.

Sebenarnya ada tanda larangan untuk tidak membuang sampah disana. Biasanya sampah diangkut langsung oleh Pak Mandor (sebutan untuk penjaga sekolah yang mengingatkanmu dengan mandor bangunan, seakan sekolah ini sedang melatih kuli) menggunakan motor bergerobaknya pada malam hari. Tetapi percuma. Sampah terus menumpuk karena siapa pun yang kebetulan menghabiskan jajanan di sekitar akan membuang sampahnya di lubang itu.

Berkali-kali kau mengeluh pada Wawan juga Mawan. Mereka membenarkan, lalu menyambut keluhanmu dengan keluhan lainnya; siswa tukang palak, guru seni budaya yang tidak pernah masuk tapi selalu punya tugas, cat kelas yang pudar kecuali kelas di sekitar lapangan upacara, dan wali kelas yang lebih suka menjaga kantin daripada mengajar. Untuk yang terakhir ini, tidak bisa dipungkiri kalau itu asik.

Setelah itu, Mawan akan mengungkitnya dengan konspirasi Illuminati tentang depopulasi dunia, mengenai akhir zaman, penguasa dunia, pengendali pikiran, dan hal-hal lain yang bagimu tak masuk akal. Kemudian Wawan akan memotongnya dengan episode baru dari anime favoritnya, dengan judul-judul yang tak pernah membekas di ingatanmu.

Pada suatu kesempatan, keduanya menyarankan dirimu untuk bergabung dengan OSIS, supaya keren, kalo ko keren ko didengar. Hanya saja, bagimu OSIS tidak lebih dari tempat cari muka. Tentu saja kau pikir begitu, (selain tidak punya marga) mukamu tidak bisa dibilang cukup, kalau sekolah tidak melarang mungkin kau akan pakai topeng setiap hari. Kau juga tidak paham dengan peran OSIS yang sedang menjabat, selain untuk bisa akrab dengan guru killer dan nongkrong dengan siswi-siswi cantik.

Di luar sekolah, keluargamu bangga karena kau lolos di sekolah favorit itu. Sanjungan yang seringkali mereka utarakan mencerminkan bagaimana mama, kakak dan om-mu melihat masa depan yang cerah. Kalau dipikir-pikir memang berlebihan, mereka tidak tahu saja betapa bobroknya sekolah itu kalau dilihat langsung dari dalam.

Suatu hari, kelasmu kedatangan siswi baru bernama Wati. Sejak pertama kali ia perkenalkan diri, kau mulai merasakan sensasi yang baru. Pandanganmu segera kecanduan oleh lekuk wajah oval, suara yang sopan di telinga, serta kulit sawo matangnya yang buat kau lupa dengan sekolah yang bobrok. Perasaan yang aneh mengingat kau tidak menaruh rasa yang sama pada gadis lain di kelasmu. Terlebih, ketika kau merasa kesal saat Wati harus duduk semeja dengan Stepanus, lelaki yang menurutmu sok tahu dan cenderung megalomaniac, karena selalu menceritakan betapa hebat dirinya yang memiliki ilmu kebal dan jago baku hantam. Siapa pun tidak akan pertanyakan itu karena Stepax (nama panggilan Stepanus) memang tukang pukul dan tiada yang berani melawan sebab tanah sekolah dimiliki oleh marga bapaknya. Wati mau tidak mau harus duduk di situ, satu-satunya bangku yang kosong hanya bangku di samping Stepax.

Menurut Mawan, perasaan itu namanya cinta monyet, dan baginya, kau terlalu naif jika merasa tidak paham dengan perasaan seperti itu. Bagi Wawan, kau hanya sange. Sebab menurutnya, lelaki mana pun pasti sange melihat gadis seperti Wati. Kecuali bapaknya.

Hari-hari berlalu, kau benar-benar jatuh cinta pada Wati. Kegelisahanmu tentang sekolah yang bobrok, siswa tukang palak, anak OSIS tukang cari muka — dan mukamu sendiri — semakin pudar, berganti gelisah untuk segera memiliki Wati.

Dorongan itu juga semakin mengganggu ketika melihat Stepax yang semakin akrab dengan Wati. Kau yakin betul, Wati itu rela dengar omong kosong Stepax karena tidak punya pilihan atau Wati terlalu bodoh untuk tahu itu. Perempuan cantik memang kadang bodoh, pikirmu. Atau mungkin Wati memang terlalu polos. Ketika memikirkan itu, gairah kepahlawananmu semakin menggelora untuk merebut Wati.

Sayangnya, kau tidak tahu mau mulai dari mana. Wawan maupun Mawan juga tak mempunyai solusi yang jernih; ko tembak saja, co ko minta saja nomornya, ko harus berkorban adalah solusi dari mereka, sudah jelas dijawab begitu karena tidak tahu mau jawab apa lagi. Jauh di lubuk hatimu, kau sebenarnya hanya tidak percaya diri. Kau takut seandainya kau berkorban, kau hanya jadi korban. Dan Stepax barangkali jadi pelakunya. Istilah korban juga kedengarannya ngeri, sepadan dengan tumbal, atau kambing: kambing kurban.

Rasa yang tak tersampaikan hanya kau lampiaskan dengan sesekali memperhatikan foto-foto di Facebook-nya. Suatu hari, mamamu tak sengaja melihat kau memperhatikan galeri-galeri yang penuh foto selfie itu. Ko sekolah saja dulu, kalau mau perem itu pi gereja, nanti Tuhan yang kas ketemu.

Jawaban itu sulit diterima. Mama tidak paham dengan perasaan bocah seumuran dirimu. Lagi pula pelajaranmu tidak terganggu. Kau tak pernah bolos dan selalu mengerjakan tugas. Kau hanya butuh waktu dan dan orang tua mana tahu itu.

Hari terus berjalan dengan penuh semangat dan harapan. Semangat untuk bertemu Wati, harapan untuk punya kesempatan bersamanya. Kesempatan apa pun itu. Mawan dan Wawan kini jadi teman curhat setiamu. Jam istirahat kau habiskan dengan menyimak gerak-geriknya, mendengarkan suaranya yang penuh tata krama membangkitkan gairah kemanusiaan yang paling mulia dalam dirimu, bergumul mesra dengan naluri binatang—entah monyet atau kambing kau tidak tahu pasti. Monyet begitu liar dan bergairah sedangkan kambing begitu mengalir dan penuh kepasrahan. Kedua-duanya dengan jelas adalah dirimu hari-hari itu.

Berganti semester, wali kelas menatapmu seperti kambing. Nilaimu anjlok.
Sepulang sekolah, kau disambut ocehan mama. Kau dimarahi setiap main PS karena PS bikin kau bodoh, dimarahi ketika nonton TV karena TV bikin kau bodoh, dimarahi untuk segala hal yang menyenangkan karena di mata mamamu kau memang bodoh.

Kau mulai menerima kenyataan bahwa sejak kau tenggelam, kau telah kehilangan perhatian terhadap dirimu sendiri. Kau juga tidak lagi gelisah dengan sampah, guru yang hanya tahu beri tugas, siswa tukang palak, dan masalah-masalah lainnya yang dulu kau gelisahkan. Kau bahkan baru menyadari tentang playlist Bad Religion-mu yang mulai tergantikan dengan Kangen Band. Kau bermimpi mengejar Wati di jalan tak berujung lalu tak sengaja melihat dirimu sendiri melamun sambil berjongkok di sudut ruang gelap, memakai topeng kambing. Kata Mawan, mimpi itu tanda bahwa kau lupa diri. Wawan tidak berkata apa-apa, dia bingung kenapa harus topeng kambing.

Hari demi hari, kau kembali menata diri. Selain mengembalikan playlist punk rock-mu dan mengabaikan seribu satu alasan kenapa kau jadi bodoh dari mama, kau juga mulai fokus pada pelajaran, mengerjakan tugas kala istirahat, segera pulang ketika jam pelajaran usai, berhenti merokok, dan kembali mengeluhkan masalah-masalah yang hadir di sekitarmu.

Singkat cerita, tahun berikutnya kau mulai terbebas dari apa yang disebut bucin oleh Mawan. Walaupun perasaan suka pada Wati masih saja tersimpan, kau berusaha keras untuk tidak larut. Hasrat untuk menatap matanya kau alihkan dengan menatap sampah. Dorongan untuk membicarakan Wati pada dua kawanmu kau alihkan dengan membicarakan sampah. Sampah bagai antitesis dari Wati. Sampah itu kotor dan bau, Wati itu bersih dan wangi, sampah itu berserakan, Wati itu tertata setiap jengkalnya, maka sampah harus ditata, juga sampah-sampah lain di sekolah; guru bebal, siswa tukang palak, osis tukang cari muka.

Satu hari sebelum waktunya, kau selalu mendorong Martince, si ketua kelas, untuk mengingatkan Pak Warno — guru seni budaya — agar masuk pada jam pelajarannya esok. Jika ia tak kunjung hadir, kau pun mengajak Martince untuk segera bertemu Bu Yance— wali kelasmu — melapor ulah guru itu. Ketika jam pelajaran, kau semakin aktif mempertanyakan apa yang dijelaskan oleh guru. Terkadang nampak jelas bahwa guru pun bingung dengan jawaban yang tepat. Siswa tukang palak juga kena imbas gairahmu, kau catat namanya, kau kirim ke ruang bimbingan.

Dengan segala giat itu, kau merasa telah menjadi contoh bagi siswa lainnya; bahwa semua bisa melakukan perubahan di sekolah tanpa harus menjadi ketua OSIS dan cari muka — atau bermuka ganteng. Barulah kau sadar arti pengorbanan. Abraham mengorbankan Ishak di bukit Moria, tapi Ishak tidak menjadi korban seperti dalam berita pelecehan seksual. Pengorbanan harus dilakukan demi melepaskan belenggu rasa memiliki atas Wati, dan kau berhasil. Biarlah Tuhan yang pertemukan kau dengan Wati, atas kehendakNya.

Hari itu kerja bakti. Di saat yang lain telah usai membersihkan kelas serta rerumputan yang semakin lebat di halaman, kau sibuk membersihkan sampah yang menumpuk di tengah lapangan rumput. Ya, kau bersihkan sendiri. Mengangkutnya dengan karung yang kau bawa sendiri, mendorongnya sendiri menggunakan gerobak ke pembuangan sampah. Belum sampai bersih, Bu Yance menyuruhmu untuk berhenti dan membiarkan sisanya dibersihkan Pak Mandor. Kau tidak segera berhenti, sedikit bebal untuk urusan yang baik kelihatannya keren. Trapapa bu, sa tra suka skali liat sampah ini, dan alasan-alasan lain demi aura leadership yang berkilau.

Pada titik itu, kau yakin betul bahwa semua sedang memerhatikanmu. Siapa pun kagum pada siswa yang menolak anjuran guru untuk istirahat, dan Wati pasti salah satunya.

Untuk mengujinya, kau kembali beraksi pada esok hari. Kau datang cukup pagi untuk membersihkan tumpukan sampah yang sama. Entah mimpi apa kau semalam, Wati kebetulan datang cukup pagi dan turut membantumu.

Tidak butuh waktu lama (sebab sebelumnya separuh dari sampah telah kau bersihkan sendiri), kalian berdua berhasil membersihkan tumpukan sampah itu. Lapangan rumput pun terlihat lebih baik dari sebelumnya. Dan yang terpenting, kau memiliki kesempatan untuk berduaan dengan Wati.

Kalian menghabiskan beberapa menit sebelum pelajaran dimulai dengan bicara apa saja. Wati juga mudah nyambung ke topik apa saja. Ia agak terkejut mengetahui kompleksnya keluargamu — lahir di Sumatera, bapak dari Jawa, mama dari Papua — dan menemukan kesamaan tipis sebab dia juga berasal dari Jawa.

Sepulang sekolah, Wati meminta nomormu. Dengan tenang kau menyebut setiap digit, dengan luar biasa kau menahan riang, tawa, sange, dan gugup. Percakapan pindah lewat SMS, ternyata Wati memiliki kegelisahan yang sama denganmu. Ia mengakui kagumnya pada dirimu sebab ia hanya bisa mengeluh, sementara dirimu mampu bertindak walaupun sendiri. Kau makin girang, senyam senyum sendiri. Mama memarahimu karena senyam-senyum sendirian itu bikin bodoh.

Esok hari, kau pun tak henti-hentinya menceritakan momen itu pada Mawan dan Wawan. Tanpa sedikit pun kesempatan bagi mereka untuk mewartakan kabar konspirasi atau episode anime terbaru.

Hubunganmu dan Wati sebenarnya belum dapat dikatakan akrab. Kau tak pernah memulai obrolan lebih dulu dengannya, kecuali Wati sendiri yang mulai dengan menanyakan tugas atau arti dari istilah yang tidak dia pahami. Namun bagimu, hal sekecil itu sudah cukup membuatmu bahagia. Ia juga bertukar tempat dengan Mawar yang sebelumnya duduk di sampingmu (bukan sebangku, tapi di meja sebelah kananmu). Mawar kini duduk di samping Stepax, dan kau tidak peduli dengan itu. Wati su dekat.

Satu semester telah berlalu. Kau menyatakan cintamu pada Wati. Kau tidak begitu ingat bagaimana bunyinya. Yang kau ingat, kau nyatakan itu melalui SMS, dan balasannya di luar dugaanmu.

Kemungkinan untuk ditolak sebenarnya masuk dalam dugaan. Yang tidak kau duga ialah kenyataan bahwa dia sudah punya pacar.

Dia sudah punya pacar.

Di luar dari luar dugaan lagi, ia berpacaran dengan Wiljex (alias Willhelm Jacob), Ketua OSIS yang sedang harum namanya (selain karena namanya yang keren tapi tidak mau kau akui) karena sekolahmu dinobatkan sebagai Sekolah Teladan Bebas Sampah. Sebuah penghargaan bagi sekolah dengan syarat; keterlibatan OSIS sebagai penggerak utama. Ini memungkin Wiljex makan malam bersama Presiden, juga pemuda-pemuda berprestasi lainnya di seluruh Indonesia. Kalau dirimu tidak salah mengingat, penghargaan itu sempat diumumkan saat upacara bendera, satu minggu sebelum kau menyatakan cinta pada Wati.

Sejak itu sekolahmu semakin menonjol sebagai sekolah favorit dengan guru-guru yang berintegritas, kebersihan lingkungan yang oke, dan peluang mendapatkan kerjaan yang lebih baik. Sesuai ucapan baliho di depan sekolah.

Kau sendiri tak lagi menonjol atau berupaya menonjolkan diri. Kau menjalani hari dengan datar, seakan kehilangan semangat hidup. Perlahan-lahan, satu-satunya yang kau pikirkan hanyalah segera menyelesaikan sekolah tanpa hambatan apa pun. Tidak lagi stalking Facebook, tidak lagi begadang nonton TV, tidak lagi mengurusi sampah. Tidak ada lagi yang membekas di ingatanmu setelah itu, kecuali belajar dan belajar. Mama pun senang padamu.

Kau terus berupaya mengingat-ingat, mencoba mencari kenangan lain yang membekas setelah kejadian itu.

“Bro!”

“Maju mas… maju!”

Kenanganmu diusir oleh teguran dan tepukan pada bahu di antara hiruk pikuk ribuan orang lainnya yang berbondong-bondong mengantri sembako. Terik menyinar tepat di jidatmu, panas menyengat sampai tulang, dan tubuh terus berdesekan. Pandanganmu dari wajah Wiljex bersama Istrinya, Wati, yang terpampang jelas di baliho dialihkan oleh dorongan demi dorongan. Pandang beralih, tapi kau masih ingat ucapan dan kambing pada baliho itu sekilas.

“Kami Sekeluarga Mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Adha, Selamat Berkurban, Mohon Maaf Lahir dan Batin”

“Will Jacob, Walikota Jaya beserta Keluarga” [*]


Ilustrasi dari Wikiart.org.

Baca juga:
Cerpen: Sejarah Donat
Cerpen: Tentang Sajak Tak Cukup Huruf


2 thoughts on “Cinta Monyet dan Kambing Kurban”

  1. Cahya berkata:

    Waaaww, baguss sekaliii

  2. Anisa berkata:

    Waw enjing yang di luar prediksi, bagus sekali iniii..

Komentar Anda?