Menu
Menu

“Aku sudah merasakan segarnya kesedihanmu. Dan aku menyukainya.”


Oleh: Yuan Jonta |

Menetap di Ruteng, Kabupaten Manggarai, NTT. Alumnus Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. PNS di Pemkab Manggarai. Anggota Bincang Buku Petra Ruteng. Sedang menekuni dunia mengarang cerita pendek. Dapat dihubungi melalui, e-mail: [email protected].


Air kesedihanku biru muda. Kutumpahkan sebotol penuh cairan penetral warna, tetapi ia tidak berubah. Cairan itu hanya menggenang di permukaan kesedihan. Kuambil sekop dan kukeruk air kesedihan di halaman rumahku itu, kucedok dan kubuang di atas susunan batu cadas. Kawah kecil itu terisi terus. Sebuah lubang kecil terlihat di dasar genangan, kesedihan mengalir dari baliknya.

Aku mengambil linggis dan kupecahkan sumber kesedihan. Kupecahkan sekuat tenaga tetapi upaya itu sia-sia; dan aku menyerah. Aku bertanya-tanya dari mana asal kesedihan ini? Aku membuka mesin pencari, tidak kutemukan jawaban yang memuaskan.

Menelusuri dark-web, kurumuskan berulang-ulang kata kunci yang sesuai. Dari sana aku menemukan sebuah makalah tentang sumber kesedihan. Seorang ilmuwan telah mendedikasikan dirinya meneliti air kesedihan. Berdasarkan teorinya, air kesedihan berasal dari inti bumi. Sayang sekali dugaannya tidak disertai dengan argumentasi yang kuat sehingga tesisnya ditolak oleh asosiasi peneliti dunia. Ia keluar dari organisasi itu dan bersumpah baru akan bergabung kembali bila dapat membuktikan teorinya.

Kutemukan kontaknya dan tanpa berlama-lama aku kirimkan sebuah pesan melalui aplikasi terenskripsi end-to-end. Setelah memperkenalkan diri dan segala basa-basinya, aku langsung menyampaikan maksudku.

“Ilmuwan, aku sangat tertarik dengan teorimu akan sumber kesedihan.”

“Terima kasih, Saudara.”

“Apakah kau tidak punya rencana untuk membuat pembuktian?”

“Tentu saja ada. Tapi aku sedikit ragu.”

“Kenapa?”
“Entahlah, mungkin karena aku berjuang sendiri.”

“Sayang sekali, kalau saja aku di dekatmu, aku akan dengan senang hati mendampingi.”

“Kau hanya berbasa-basi.”

“Aku bersungguh-sungguh.”

“Ketik ‘DEAL’ maka aku akan mendatangimu satu minggu lagi.”

“DEAL.”

“Kirim titik koordinatmu.”

Saat itu aku sedang memandangi air kesedihanku yang semakin membiru. Aku kaget sebab tiba-tiba, sebuah kendaraan sebesar bus dengan bentuk seperti tikus muncul dari bawah tanah. Kuketahui kemudian kalau kendaraan itu bernama Gophers J26. Sang Ilmuwan mencurinya dari Laboratorium Militer di Amerika Serikat. Ia datang melalui Samudera Pasifik – Hawai – Kepulauan Solomon – Papua Nugini – dan muncul di halaman rumahku.

Bagaimana ia tahu kalau kendaraan itu ada di sana?

“Aku yang menggambar prototype-nya. Aku mencari sponsor untuk mendanai desainku ini tetapi tak ada yang bersedia menerima proyek ini. Ternyata kantor riset dan inovasi militer mencuri desain alat pencari kesedihanku, lalu membangun dan memodifikasinya untuk keperluan militer. Aku mendapatkan akses dari seorang kawan. Dia orang dalam,” ceritanya.

Lalu aku masuk ke dalam Gophers J26 bersamanya untuk melakukan perjalanan mencari sumber kesedihan.

Start dari sini,” kataku menunjuk lubang kesedihan yang ada di halaman rumahku. “Kita akan menyusuri jalur kesedihan ini untuk menemukan sumber utama kesedihan.”

Dia menyalakan mesin Gophers J26 lalu mengetik sesuatu dengan sangat cepat di papan tuts, aku sampai kurang percaya kalau ini adalah kendaraan curian sebab ia terlihat lincah mengoperasikannya.

Sabuk pengaman sudah kami kenakan dan ujung runcing Gophers J26 mulai berputar. Kami menyusuri arus kesedihanku untuk menuntaskan urusan dengan sumber kesedihan: kesedihanku dan dirinya dan seluruh umat manusia.

Gophers J26 bergerak cepat, peluh mengucur dari tubuhku; dan baru kusadari bahwa, karena perjalanan yang tiba-tiba, aku lupa memakai deodoran. Aku menarik tuas kecil di bawah kursi dan menggesernya sedikit ke belakang. Lalu saat kurasa pandangannya sedang fokus ke layar aku mencium ketiakku.

“Tidak usah kau pikirkan, bau badan bukanlah hal yang perlu kau pikirkan untuk misi yang besar ini.” Baru kusadari ada cermin kecil di atas setir kemudi.

“Hawanya panas sekali,” timpalku menyelamatkan muka sendiri.

“Tenang saja,” lalu jari-jarinya yang lentik mulai mengetik lagi dengan kecepatan yang sama. Energy Shield Activation tertulis di layar sebelum dia menekan tombol besar yang sepertinya berfungsi seperti tombol enter. Dalam sekejap Gophers J26 kami dilindungi oleh lapisan biru transparan dan pelan-pelan hawa panas hilang dari dalam ruangan kami. Gophers J26 melaju semakin kencang dan semakin kencang.

Ia memberiku sebuah pil berwarna merah. “Makanlah ini, satu butirnya dapat membuatmu kenyang seharian.”

Kami tiba di inti bumi. Aku terpukau dengan bola raksasa yang ada di hadapanku. Bola itu seluruhnya terbuat dari air, dan darinya keluar arus sebesar kabel listrik yang jumlahnya miliaran. Sebuah fakta baru kami temukan, bola kesedihan tersembunyi di balik pusat gravitasi, terdapat ruang hampa udara yang sangat besar di antara dua bagian bumi itu. Gophers J26 melayang di sana.

Aku memandang ilmuwan ini dengan tatapan bangga. Kami berhasil mencapai inti bumi dan saat ini sumber utama kesedihan ada di hadapan kami.

“Siap menyelamatkan umat manusia?” ucapku.

“Siap.”

“Mari kita hancurkan,” kataku bersemangat.

“Tunggu dulu. Aku harus merampungkan penelitianku dulu. Aku harus mendokumentasikannya sebaik mungkin agar orang-orang tidak bilang bahwa itu hasil rekayasa.” Dan ilmuwan ini mulai merekam bola kesedihan, ia mulai mengetik-ngetikan jarinya di atas tombol-tombol komputer.

Dia kemudian memakai tas ransel, mengambil enam buah pil merah, dan sebuah pil biru. “Untuk apa pil biru itu?” tanyaku.

“Lihatlah,” ia menelan pil biru itu dan tiba-tiba uap-uap energy shield keluar dari tubuhnya, menyala-nyala seperti api spiritus.

“Woaahh,” kataku yang teringat akan Goku dalam serial Dragon Ball Z.

Sang lmuwan kemudian keluar dari Gophers J26 untuk melakukan pengamatan langsung ke inti kesedihan. Satu minggu lamanya ia mengobservasi dan mencatat. Kalau tidur, ia hanya melayang-layang di ruang hampa dalam balutan energy shield.

“Sekarang kita hancurkan.” kataku setelah ia kembali ke dalam Gophers J26.

“Sebaiknya jangan. Kita sudah menemukan akses masuk. Ini adalah kekayaan yang perlu diwariskan untuk ilmu pengetahuan.”

“Tidak bisa begitu. Kau sudah mencatat semua data yang diperlukan. Sekarang tanggung jawab kita adalah menyelamatkan umat manusia dari kesedihan.”

“Kita tidak tahu apa yang akan terjadi.”

“Semesta punya rencana, kita berdua tidak mungkin ditempatkan di sini tanpa tujuan.”

Ia memperhatikan bola raksasa itu dengan sepasang mata yang sayu. “Baiklah,” ucapnya lembut.

Lalu ia mulai mengoperasikan kembali Gophers J26. Di layar tertulis Laser Beam. Sebuah sinar laser besar berwarna merah menembak deras ke inti kesedihan. Buih-buih kecil timbul dari air kesedihan dan bola itu mendidih. Namun sekalipun tembakan dahsyat itu menyambar bola kesedihan, bola itu tidak hancur. Ilmuwan ini kemudian meningkatkan energi tembakan tetapi air kesedihan yang telah mencapai titik didih itu tidak menguap. Tidak ada apa-apa selain buih didih.

Aku teringat akan diriku saat mengeruk kesedihan satu minggu yang lalu. Terbayang olehku orang lain yang mungkin saja sedang mengeruk kesedihan juga. Mungkin saja kaki mereka kepanasan, dan bukannya hilang sedih, mereka justru melompat terheran-heran.

“Sepertinya inti kesedihan tidak dapat kita hancurkan,” kataku.

“Lalu bagaimana?”

“Kita pulang saja. Setidaknya Anda sudah dapat membuktikan teori kesedihan itu,” jawabku sedikit putus asa.

Manusia tidak akan lepas dari kesedihan sampai kiamat menjemput.

Nahas bagi kami, saat hendak pulang bahan bakar penggerak kendaraan habis.

*

Kami merenung di dalam Gophers J26. Bagaimana cara agar dapat kembali ke permukaan? Di sini tidak ada jaringan internet, tidak mungkin meminta pertolongan. Dan lebih parah lagi, kami akan mati di hadapan sumber kesedihan tanpa mampu membuktikan teori sang peneliti.

Lapisan energy shield menipis. Peluh merembes dari lubang pori-poriku. Melihatnya aku terbayang kembali akan air kesedihan yang mencuat ke permukaan bumi.

“Aku punya ide.”

“Bagaimana?”

“Apa kita masih punya pil biru?”

“Tinggal satu. Jatahmu.”

Memperhatikan tubuh kami yang kurus akibat banyak dirundung kesedihan, aku berdoa untuk kesuksesan ideku. Sedikit ragu aku berkata: “selama di sini aku tidak menggunakan deodoran.”

“Dengan dan tanpa deodoran aku siap,” dia seakan dapat membaca pikiranku.
Sebelum menjalankan rencanaku, kami menghabiskan waktu selama tiga puluh menit untuk meng-copy seluruh file dari komputer Gophers J26 ke dalam harddisk-nya.

“Siap?”

“Siap!” jawabnya

“Sekarang peluk aku.” Dia melakukan permintaanku.

“Demi ilmu pengetahuan dan umat manusia. Tuhan bantu kami,” lalu kutelan pil itu dan kami berdua diliputi api biru.

Bersama-sama kami menuju lubang kesedihanku yang sudah lebar oleh Gophers J26. Kami diseret air kesedihan ke permukaan bumi. Aliran arus kurasakan berjalan lambat. Aku merasakan kejanggalan di dalam diriku, entah karena hangat peluknya, atau karena pertama kalinya aku merasa terbantu oleh kesedihanku sendiri.

***

Aku diundang dalam seminar internasional. Dia memaparkan hasil penelitiannya di hadapan seluruh ilmuwan terbaik dunia. Hari itu merupakan hari bersejarah untuk sains, sebab untuk pertama kalinya seorang peneliti berhasil mencapai inti bumi dan menemukan sumber kesedihan.

Salah satu butir acaranya adalah saling maaf-memaafkan antara sang ilmuwan dengan kantor riset dan inovasi militer. Ia minta maaf karena telah mencuri Gophers J26, mereka minta maaf karena mencuri desain yang ia buat. Acara dilanjutkan dengan menyanyikan bersama lagu perdamaian dunia, kemudian kami mendengarkan pemaparannya.

Di layar raksasa dia menunjukkan sebuah ketetapan. Itu adalah nilai tingkat kesedihan berdasarkan gradasi warna air, dimana warna bening bernilai 1, semakin biru semakin sedih, biru tua bernilai 100. Tidak ada angka nol dalam nilai kesedihan.

Dia kemudian mengganti slide dan menunjukkan formula berisi koefisien, variabel, konstanta, dan simbol-simbol. Itu adalah rumus untuk mengukur daya tahan manusia terhadap kesedihan berdasarkan nilai warna air kesedihan dibagi dengan frekuensi getaran di korteks inferior dan orbitofrontal bilateral dalam kurun waktu satu detik.

Aku mencatat rumus ini agar tidak dikira sekadar ikut-ikutan saja dalam seminar internasional.

Dia menyebut diriku terus di hadapan para ilmuwan dan itu membuatku tersipu-sipu.

Dalam acara makan malam bersama kami duduk berdua di meja bundar. Itu adalah meja khusus untuknya dan aku—yang mereka sebut sebagai asisten peneliti. Padahal sesungguhnya aku tidak lebih dari penumpang Gophers J26.

“Aku menikmati perjalanan di jalur kesedihanmu.”

“Terima kasih, Ilmuwan.”

“Maukah kau bila, misalnya, kita… berbagi kesedihan.” Dia terdengar ragu-ragu. Namun aku dapat menangkap tanda itu. Dan dalam perbincangan panjang kami yang berakhir dengan persetujuan itu kami saling menatap dalam senyum malu-malu.

Dalam saling tatap dengan pipi merah muda itu, tanpa kami sadari seorang ilmuwan menghampiri, itu adalah temannya yang dulu diam-diam memberinya akses untuk mencuri Gophers J26, “maaf mengganggu kalian,” katanya lalu meletakkan sebuah pena di atas meja kami. Peneliti lain yang hadir pun datang berganti-ganti menyerahkan pena-pena mereka di meja kami. “Proficiat,” begitu kata beberapa orang dari mereka.

Aku berbahagia untuknya.

Beberapa hari kemudian aku mengunjungi rumahnya dan membasuh tubuhku dengan air kesedihannya. “Aku sudah merasakan segarnya kesedihanmu. Dan aku menyukainya.”

Di atas sebuah kapal yang mengapung di udara, kami melangsungkan pernikahan kami. Pernikahan itu dihadiri oleh para ilmuwan serta para pemimpin bangsa. Dan dalam sambutan singkat di depan hadirin aku mengangkat gelas dan berkata:

“Saudara-saudari sekalian, mandilah minimal sekali seminggu dengan air kesedihan kalian masing-masing.”

Kami membangun rumah semi permanen di Ohio, begitulah manusia menetap kurang lebih 10 bulan sampai satu tahun. Kawah kesedihan akan muncul di sekitar domisili, barulah setelah itu rumah permanen didirikan. Lubang yang pernah kami ciptakan dulu, kini menjadi pintu masuk wisatawan menuju cagar sumber kesedihan. (*)


Ilustrasi dari Wikiart.org.

Baca juga:
Pelajaran Menyetir – Cerpen Albert Wirya
Lelaki yang Membatukkan Bunga – Cerpen Sarita Rahel Diang Kameluh


2 thoughts on “Kami Menemukan Sumber Kesedihan”

  1. gita artika putri berkata:

    sangat menyentuh sekalii

    1. Aaaaaliiiii berkata:

      favorittt

Komentar Anda?