Menu
Menu

Tidak ada lagi yang menanti,/ bagi matahari dan bulan di Sikka, dirinya telah usai.


Oleh: Ama Gaspar |

Penulis, editor lepas, dan pegiat literasi. Ia berhimpun di Yayasan Babasal Mombasa yang menginisiasi Festival Sastra Banggai dan kerja-kerja kemanusiaan untuk literasi, pendidikan, dan kebudayaan. Ama juga berkumpul di Puan Seni Indonesia, bersama perempuan pegiat seni di seluruh Indonesia. Saat ini, Ama sedang berusaha menyelesaikan novelnya.


Nona Tidak Menari

Telah dibunyikan Gong Waning,
memecah gelap yang tebal
dan hening yang panjang.

Demikian malam tumbuh dalam pledong wa’in
yang ganjil.
Sebelum empat babak, hentak kaki harus genap:
lima reng dan lesu mencari-cari seseorang.

“Kau tidak ikut menari, Nona?”

Perempuan menggeleng,
beranjak tanpa lambaian tangan.

1682,9 kilometer jauhnya, musik masih membisik di telinga.
Tabuhan tari Hegong terperangkap dalam kepala.

(Ia menyesali jawaban yang telanjur terkunci dari bibirnya)

. Matahari dan Bulan di Sikka – Ama Gaspar

Sadang Bui

Dari tempatnya kini, ia menyalin hujan,
matahari keperakan, dan malam-malam
yang terlampau panjang.

Sesekali masih terdengar berisik percakapan di
dermaga; separuh menggumamkan dirinya,
sebagian lain mengucap nama-nama yang tak dikenal.

Ia menyandarkan ingatannya pada jabat yang terlepas
dan bisikan ibu yang lirih mengiris.

“Ko harus pulang natal tahun depan. Kita akan menghias
pohon terang.”

Ia ingat anggukan itu sebagai janji yang telah diingkari,
sejak kakinya menjejak di tangga kapal.

Dirinya hanya angka dalam peti mati tanpa hiasan.
Ia ingin terlihat cantik di hadapan ibu, tetapi tidak ada
apa-apa selain mata terkatup dalam pertemuan yang sebentar.

“Ko bilang, mama duduk saja menunggu. Ko su pulang, tapi terlalu jauh.”

Tidak ada lagi yang menanti,
bagi matahari dan bulan di Sikka,
dirinya telah usai.

Ia masih melihat ibunya untuk terakhir kali,
sebelum diikatkannya dendam di tiang-tiang pelabuhan.

. Matahari dan Bulan di Sikka – Ama Gaspar

Suatu Hari di Ledalero

Ranting-ranting kering dan daun-daun
meranggas di bukit. Mengantar kata-kata
bergulung ke kota yang memeram sepuluh matahari

Tidak ada yang perlu dicemaskan dari bangkai tikus
dan tengkorak manusia purba, selain kaki-kaki yang beranjak
meninggalkan biara, menanggalkan jubah untuk sebuah tetapi.

Kapela Santo Paulus bermandi cahaya,
malam terberkati tilas ke masa lalu yang tersenyum.

Pada tubuh yang memberi, selalu ada yang tak baik-baik belaka,
tetapi Tuhan senantiasa berbisik di helai angin;

“Anakku, kasih itu penuh-penuh memilih kau.”

. Matahari dan Bulan di Sikka – Ama Gaspar

Bertemu Heribertus Rais di Sikka

Ditinggalkannya tanah,
Ditanggalkannya petuah.

Ia tidak berkabung untuk
apa-apa yang telah jauh.
Ia tidak menyesali kayuh,
yang menuntunnya ke bangku gereja.

Dari pintu separuh terbuka,
ia menunduk memandang lantai.
Di matanya laut mengembang
dan masa lalu jatuh satu-satu.

Dua rosario yang bergantung di
lehernya, bergoyang seirama pundak.

Bagaimana aku harus menyapanya?

Lelaki tua yang menggenggam ombak di telapak tangannya.

. Matahari dan Bulan di Sikka – Ama Gaspar

Sajak untuk Yohanes Taek

Berbaring di Nusa Nipa,
mendengar Atoin Meto bertutur
tentang pohon-pohon lontar
yang mengucurkan nira.

Dari tubuh yang bersedia disadap sarinya,
dipersembahkan bagi leluhur dalam
komat-kamit khidmat di hadapan batu dan tanah:

Kita tahu ada anak-anak yang menggapai tiang-tiang
usia dari sopi dan laki-laki yang selalu bersedia menemui
maut tanpa ragu.


Ilustrasi: Foto Kaka Ited, diolah dari sini.

Baca juga:
Puisi-Puisi Erich Langobelen – Hongi
Puisi-Puisi Widya Mareta – Kamar Pengantin
Puisi-Puisi Imam Budiman – Mencatat Kegamangan Lain


1 thought on “Puisi-Puisi Ama Gaspar – Matahari dan Bulan di Sikka”

  1. nanda berkata:

    Sajak Untuk Yohanes Taek, anak-anak yang tidak kenal lelah, tidak kenal takut, selalu mau berusaha, untuk mendapatkan apa yang diinginkan, menjadi pribadi yang baik dan taguh.

Komentar Anda?