Menu
Menu

Kata pertama yang terlontar dari bibir gadis itu bukanlah kata-kata perkenalan, melainkan ucapan: “Aku ingin pergi ke bulan.”


Oleh: Yudhi Herwibowo | Kekasihku Pergi ke Bulan

Menulis cerpen dan novel. Buku terbarunya kumcer Umbira dan Keajaiban-keajaiban di Kotak Ajaibnya (bukuKatta) dan kumcer Tunas Ibu (Indonesia Tera).


1

Syahdan, di suatu masa, bulan begitu dekat dengan bumi, bagai sepasang kekasih yang bertatapan mata. Orang-orang dapat mendekatinya dengan menaiki balon udara, dan melihat hamparan luas berwarna pucat yang nampak selalu berubah-ubah .

Di balkon sebuah rumah mewah, Patra Datra masih berdiri memandang bulan. Untuk kesekian kalinya, ia seperti melihat seraut wajah di sana.

Wajah Antiara.

Walau berkali-kali mengenyahkan bayangan itu, Patra Datra selalu merasa gagal menepis bayangan gadis dengan bola mata yang selalu dipenuhi bayangan bulan. Padahal baru beberapa bulan lalu, ia bertemu gadis itu untuk pertama kalinya dalam sebuah karnaval. Ia duduk sendirian di atas sebuah batu, sementara orang-orang berpesta di sekelilingnya. Menari, bernyanyi, bahkan berteriak-teriak. Ada juga yang berpelukan dan berciuman. Tapi gadis itu hanya diam memandangi semuanya.

Saat itu karena cukup dekat, Patra Datra bisa mendengar Antiara bicara pada dirinya sendiri, ”Ini hari bulan! Hari untuk bulan! Tapi semua orang malah memikirkan dirinya sendiri.” Patra Datra memberanikan diri mendekatinya, tetapi kata pertama yang terlontar dari bibir gadis itu bukanlah kata-kata perkenalan, melainkan ucapan: “Aku ingin pergi ke bulan.”

Tapi tentu saja itu sekadar keinginan saja. Pada saat itu, walau bulan begitu dekat, tetap saja orang-orang di bumi tak bisa ke sana. Jadi Patra Datra kemudian membelikannya sebuah lampion yang biasa dilepaskan orang-orang ke bulan. Tapi Antiara sama sekali tak menyentuhnya. Ia berkata, “Satu-satunya jalan ke sana hanyalah dengan menaiki pohon tinggi, atau tangga yang sangat panjang.”

Patra Datra tak bisa bicara apa-apa lagi.

Pada akhirnya, walau Patra Datra dan Antiara menjadi pasangan kekasih, hubungan keduanya nampak tak terlalu meyakinkan. Hari-hari Patra Datra seperti berjalan sendirian. Antiara tetap sibuk dengan keinginannya tentang bulan. Jadi yang selalu dilakukan Patra Datra adalah menghiburnya dengan membelikan semua hal yang berhubungan dengan bulan: membawakan bunga-bunga bulan, melukis Antiara dengan latar bulan, dan membelikan tiket balon udara. Tapi Antiara malah berkata, “Tak usah berupaya seperti ini! Kau tahu, ini semua semu?”

Sialnya, walau Antiara selalu bersikap dingin, Patra Datra masih saja mencintainya. Padahal semua orang seperti menolak hubungan itu. Ayahnya berkata berulang kali, “Patra Datra, putra kesayanganku yang dibimbangkan cinta, sadarlah!” Disusul Ibu yang mengeluh pilu, “Tinggalkan gadis itu! Kau bisa mendapatkan yang lebih baik darinya!” Sahabatnya bahkan turut berkata, “Akan kukenalkan kau pada gadis yang lebih cantik darinya.” Bahkan mantan kekasihnya dulu pun ikut bicara, “Aku sedih kau tak mendapatkan gadis sebaik diriku.”

Patra Datra mencoba untuk tak menggubris itu semua. Tapi saat ia bertemu dengan Antiara, gadis itu malah berkata, “Aku harus pergi meninggalkanmu.” Dan sebelum sempat Patra Datra bicara, ia sudah melangkah pergi.

***

Sejak itu Patra Datra merasakan rasa sakit di hatinya. Awalnya ia masih meyakini kalau Antiara hanya hilang di belokan jalan. Namun ia tak lagi ada di rumahnya, dan tak lagi terlihat di seluruh kota. Yang lebih menyakitkan, saat Patra Datra melihat bulan, ia seperti melihat Antiara ada di situ. Ia berjalan di sana, berlari-lari kecil, lalu balik menatap Patra Datra di kejauhan, sambil memberi ciuman jarak jauh. Tapi itu tentu hanya perasaannya saja. Antiara pastilah tak benar-benar pergi ke bulan.

Sampai seorang kerabat bercerita kalau di sebuah desa yang jauh, seorang penemu yang sedang membuat tangga panjang –sangat panjang, bahkan ia harus berjalan sehari penuh dari ujung ke ujungnya– telah kehilangan tangga yang sedang dibuatnya. Seorang telah mencuri tangga itu!

Patra Datra hanya bisa terdiam. Ah, Antiara yang kurindukan, apa kau benar-benar pergi ke bulan?

2

Ia Tintra Jina, yang selalu dikelilingi bunga-bunga.

Bahkan dalam rerimbunan bunga, cahaya dapat menemukan dirinya muncul di sana, sambil berkata, “Semua berlalu tanpa bisa dihalangi. Yang ingin tinggal, hanyalah yang telah mati. Aku sendiri selalu ingin tetap di waktu ini, tak pergi ke mana-mana, hanya bersamanya, Patra Datra yang terkasih…”

Tintra Jina memetik sebuah bunga. Menciumnya dalam-dalam, dan melemparkannya ke angkasa. Ia masih meyakini, kalau ialah Tintra Jina yang tercantik. Itu tentu bukan klaimnya semata. Cermin ajaib yang selalu ditanyanya, “Siapa gadis tercantik di muka bumi ini?” selalu menjawab dengan yakin, “Tentu saja Tintra Jina yang dikelilingi bunga-bunga.”

Jadi, Tintra Jina merasa layak dicintai siapa saja. Pun merasa layak untuk memilih yang terbaik dari mereka semua. Itulah kenapa ia memilih Patra Datra, karena ia menyukai semua yang ada pada laki-laki itu. Senyumnya yang menawan, peluknya yang menentramkan, desah napasnya yang lembut, dan semua lekuk tubuhnya yang memabukkan. Aaah, bersamanya, hari-hari selalu berkhianat, bergerak lebih cepat, bahkan dari kepakan lalat sekali pun, dan Tintra Jina tak bisa memprotes itu.

Namun Tintra Jina kemudian tersadar, dari tatapan Patra Datra yang terlalu cepat berpaling, dari genggaman tangan yang dingin, dari degup jantung yang seperti berbisik:“Aku lelah dengan semua ini,” Tintra Jina tahu ia tak benar-benar memiliki laki-laki itu. Awalnya ia berusaha untuk mengenyahkan pikiran itu. Tapi ia tak bisa. Di waktu yang sudah ditebaknya dengan ragu, Patra Datra benar-benar pergi meninggalkannya.

Dan beberapa bulan berselang, ia mendapati kabar tentang kebersamaan laki-laki itu dengan seorang gadis biasa!

Ia tak peduli siapa namanya. Tapi ia yakin gadis itu tidaklah seistimewa dirinya. Sampai suatu kali tanpa sengaja Tintra Jina melihat bagaimana Patra Datra memperlakukan gadis itu. Semua nampak berbeda dari perlakuan padanya dulu. Dan ia tak bisa menerima itu!

Ada yang membara di hati Tintra Jina. Ia tiba-tiba sudah memikirkan rencana jahat untuk gadis biasa itu. Ia mungkin bisa mendorongnya ke jurang, atau membakar rumahnya. Tapi sebelum rencana itu terpenuhi, ia malah mendengar kabar kalau gadis itu telah pergi meninggalkan kekasih tercintanya.

Tintra Jina seharusnya gembira mendengar itu. Tapi yang terlontar dari mulutnya malah makian, “Perempuan tengik tak tahu diuntung!”

Kemarahan malah membara dalam hatinya. Gadis biasa itu tak layak meninggalkan kekasih tercintanya. Sama sekali tak pantas!

Tintra Jina lalu memutuskan sesuatu yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. Ia mendatangi laki-laki misterius berjubah hitam, yang selama ini hanya ia dengar desas-desusnya dalam menyelesaikan segala sesuatu demi sekantung uang emas. Tanpa perlu bicara, ia hanya perlu melemparkan sebuah sketsa wajah dan sekantung uang emas di depannya. Lalu tanpa berkata apa-apa, ia pergi meninggalkannya.

3

Di sebuah meja panjang –nyaris sepanjang ruangan itu– terlihat berderet makanan-makanan lezat beraneka rupa: babi guling madu seekor utuh, telur burung unta, sup buaya, sirip ikan hiu, dan lainnya. Sementara, di ujung-ujung meja, duduk Budrakama dan istrinya, Mandira, yang makan dalam gerakan tenang, tanpa suara.

Masih ada kemarahan di benak Budrakama. Bagaimanapun anak laki-laki satu-satunya Patra Datra, sedang mengalami patah hati yang menggelikan. Anaknya itu langsung jadi laki-laki lembek, yang lebih lembek dari taik. Ia terus-terusan mengurung diri di kamarnya, dan menangis tanpa suara.

Jadi Budrakama hanya bisa berharap waktu yang akan menyelesaikan. Tapi waktu juga sudah menjadi keparat yang sama sekali tak bisa membantu!

Tanpa ada yang tahu, Budrakama pernah diam-diam menguntit gadis pujaan anaknya itu. Ia pikir bila gadis itu mampir ke kedai minum, ia bisa menawarkannya anggur terbaik yang paling memabukkan, dengan rayuan mautnya, ia yakin gadis itu akan terbuai, dan mau saja saat dibawanya ke tempat tidur. Dan bila sudah sampai di titik itu, gadis itu akan menjadi budaknya yang haus akan dirinya. Selama ini sudah puluhan gadis-gadis muda tunduk padanya, bagai menjadi anak kucing yang penurut.

Tapi sampai satu bulan menunggu, gadis itu tak pernah terlihat ke kedai minuman mana pun. Jadi yang bisa dilakukan Budrakama memandangi Patra Datra yang menyedihkan. Jelas, anak itu sudah menghentikan kehidupannya sendiri. Rasanya ingin sekali Budrakama menamparnya, menyadarkannya. Tapi tentu itu tak bisa lagi melakukannya. Tangannya telah dipenuhi asam urat, dan yang bisa ia lakukan hanyalah menepuk pelan seperti saat ia menepuk pantat gadis-gadis muda di kedai-kedai minuman itu. Keparat memang!

Sementara, di sisi yang lain, cahaya lilin menyinari wajah Mandira. Sama seperti suaminya, ia selalu berharap kisah cinta anaknya segera berlalu. Tapi sesuatu yang diharapkan segera berlalu, selalu menetap lebih lama. Sampai ia mendengar bisikan dari kekasih rahasianya setelah lelah menindihnya berkali-kali, “Kau tahu, aku mendengar ada yang mengutus seorang pembunuh untuk menghabisi gadis itu,” bisiknya.

Mandira sempat terkejut. Ia tak mengira kekasihnya bisa berkata selain: Angkat kakimu! Geser pantatmu! Tapi tentu saja, awalnya ia gembira dengan kabar itu, walau sebagai perempuan terhormat ia tahu tak boleh menunjukkannya. Tapi sebuah pikiran muncul bagai tusukan kalajengking: bila gadis itu mati, tentu dirinya dan suaminya yang akan dituduh melakukannya. Semua orang tahu, mereka berdua menentang hubungan itu.

Sejak awal melihatnya, Mandira memang sudah merasa gadis itu seorang yang aneh. Ia memang manis, tapi kerjanya hanya menatap bulan dan selalu berkata pada semua orang: “Aku ingin pergi ke bulan.”

Tak ada yang tahu, Mandira pernah diam-diam menemui gadis itu. Ia minta secara baik-baik, agar gadis itu meninggalkan putra kesayangannya. Ia memberi sekantung perhiasan, yang hanya ditatap dengan sayu oleh gadis itu. “Di waktunya nanti, aku akan pergi meninggalkannya. Ibu tak usah kuatir,” ujarnya.
Mandira lega mendengarnya. Tak banyak perempuan yang mau mengalah dengan mudah seperti itu. Jadi saat ia benar-benar meninggalkan putra kesayangannya, Mandira menganggap masalahnya dengan gadis itu sudah selesai.

Tapi, siapa yang ingin membunuh gadis itu? Tanya Mandira dalam hati. Apakah suaminya? Tentu bukan dia. Dia tak akan sanggup membunuh gadis-gadis muda. Ia pasti lebih memilih menidurinya saja! Atau, tiba-tiba seraut wajah muncul di benaknya. Wajah seorang gadis cantik, yang memiliki sinar mata yang licik. Gadis yang pernah menjadi kekasih putranya beberapa waktu lalu.

Mandira telah tahu, di balik kelembutan semunya, ada iblis yang bergerak di dalam hati gadis itu. Jadi Mandira kemudian berkata pada kekasihnya, “Bila kau tahu di mana pembunuh itu, katakan padanya aku akan membayarnya dua kali lipat, agar ia mau membatalkan rencananya!”

Kekasih rahasianya itu hanya mengangguk. Entah bisa menemukan pembunuh itu atau tidak, yang pasti ia mengambil 2 kantung uang emas itu.

4

Sejak ayahnya dituduh sebagai seorang pembunuh, dan keluarganya kemudian dihukum, diusir dari kota, sejak itulah laki-laki muda itu memutuskan suatu saat ia akan kembali untuk mengabulkan tuduhan semua orang kepada ayahnya!

Baginya, mudah saja menjadi pembunuh kalau seorang tak lagi mempunyai hati, sepertinya. Ia cukup mengingat pada luka terdalam di hatinya. Ia hanya perlu mengingat saat orang-orang itu menghakimi ayahnya di jalanan, seakan semua orang merayakan kegembiraan. “Rasakan kau, anjing pembunuh!” seru mereka berulang.

Laki-laki itu selalu mengingat kejadian itu di setiap aksinya. Ia akan selalu menganggap korbannya adalah satu dari ratusan orang di hari itu, dan itu membuat tangannya menjadi ringan saat mengayunkan belati.

Tapi hidup adalah misteri. Satu kali, laki-laki itu tak menyangka saat mendapat perintah untuk membunuh seorang gadis yang dikenalinya.

Ah, tak bisa disebut kenal sebenarnya, Laki-laki itu bahkan tak pernah bicara. Mereka hanya sering duduk bersama di bukit bulan memandangi bulan dalam sepi, tak seperti orang-orang yang datang ke sana untuk menerbangkan lampion dan burung-burung kertas. Gadis itu hanya diam dan memandangi bulan, sama seperti yang dilakukannya.

Kelak mereka berdua terus bertemu, tanpa berucap apa-apa. Laki-laki itu terlalu malu menyapanya. Ia pikir gadis itu pastilah tak ingin disapa, sama seperti dirinya yang tak ingin disapa orang lain. Jadi ia hanya menikmati kebersamaan dalam diam.

Sejak permintaan pembunuhan itu, laki-laki itu diam-diam mulai menelusuri kisah hidup gadis itu. Ia jadi tahu beberapa hal tentang gadis itu, yang baru beberapa waktu lalu meninggalkan kekasihnya, seorang laki-laki terpandang di kota. Ia juga tahu bila gadis yang memerintahnya ternyata adalah kekasih laki-laki itu sebelumnya.

Namun yang membuat laki-laki itu heran, dua hari berselang, ia mendapat perintah lagi dari seseorang yang tak ia kenali untuk membatalkan upaya itu. Orang itu sampai rela memberinya 1 kantung emas.

Memang bedebah! Orang-orang kaya selalu merasa bisa menyelesaikan semua hal dengan kekayaannya. Mereka memang keparat yang beruntung! Jadi laki-laki itu tiba-tiba malah berpikir untuk membalas mereka semua.

Ia merasa permasalahan ini bermula dari pemuda lemah itu! Ia berani mencintai seseorang, tapi tak berani menanggung akibatnya. Jadi, ialah yang paling layak dihabisi!

Mudah bagi laki-laki itu menemukan rumah pemuda itu, bahkan kamarnya yang selalu gelap. Dari luar ia bisa mencium aroma anggur yang tajam. Jadi ia menaiki rumah itu, dan hanya perlu beberapa detik kemudian ia menyelesaikan pekerjaannya.

5

Beberapa tahun kemudian, cahaya seperti menunjukkan pada Antiara. Ia sedang berjalan pulang dari rumah saudaranya yang sakit, saat ia melihat sebuah tangga panjang yang seperti menuju ke arah bulan.

Antiara terkejut. Ia memutuskan meniti tangga itu. Satu demi satu langkah, dengan gerakan pelan. Di atas kepalanya, ia melihat bulan semakin dekat. Ia seperti tinggal menyentuhnya saja.

Antiara mempercepat titiannya.[*]


Ilustrasi dari Wikiart.org.

Baca juga:
Peristiwa Empat Jumat – Cerpen Aura Asmaradana
Menghentikan kelandjutan – Cerpen Joss Wibisono


1 thought on “Kekasihku Pergi ke Bulan”

  1. Puzzilie berkata:

    Please ini kelanjutannya gimanaa. Hey, Antiara dan Datra. Bagaimana??

Komentar Anda?