Menu
Menu

Pelabuhan itu bernama Pada Sebuah Kapal, yang bisa dikatakan sebagai karya semiautobiografi dari Nh. Dini.


Oleh: Lolik Apung |

Sekretaris Redaksi Bacapetra.co.


Jika kita mengibaratkan Bincang Buku Petra sebagai sebuah kapal, maka kapal itu kini tiba di pelabuhan yang ke-54, tepat pada hari Sabtu, 24 Juni 2023. Malam itu penumpang yang ikut berlayar tidak cukup banyak. Namun pelabuhan mereka kali ini bercorak Prancis-Indonesia, barat-timur, modern-tradisional. Pelabuhan itu dulu dibuat oleh Nh. Dini, yang makin dikenal luas setelah anaknya Pierre Padang Coffin menemukan boneka lucu yang bernama Minions. Padang Coffin sudah lebih dulu berada di pelabuhan itu, menunggu Nadya Tanja, dr. Ronald, Maria Pankratia, Erni Adar, Arsy Juwandi, Yuan Jonta, dan Beato Lanjong.

Pelabuhan itu bernama Pada Sebuah Kapal, yang bisa dikatakan sebagai karya semiautobiografi dari Nh. Dini. Karya ini seperti menggambarkan perjalanan pribadi dari Nh. Dini: Lahir sebagai wanita Indonesia dengan balutan budaya timur-Jawa yang khas dan berakhir sebagai perempuan barat-Prancis yang mencintai negeri itu sebagaimana ia mencintai Indonesia. Maka Pada Sebuah Kapal berlatar timur sekaligus barat, tradisional sekaligus modern, Indonesia sekaligus Prancis.

Pelayaran malam itu didukung oleh Gramedia sebagai bagian dari kerja sama Klub Buku Petra dan Gramedia Pustaka Utama tahun 2023 ini.

Nadya Tanja yang diberi kepercayaan menjadi nahkoda menjangkarkan ulasannya tentang karya ini dengan mulai menuduh Nh. Dini memangkas imajinasi penumpang kapal sejak awal dengan menggambarkan semua hal secara detail, seolah tanpa cela. Contoh bisa dibaca pada paragraf pertama bab pertama (hal. 11). Pembaca bisa membayangkan situasi yang dilukiskan, tetapi tidak bisa mengimajinasikan situasi lain dari situasi itu, karena semuanya seperti jalan tol. Cerita-cerita yang detail ini, yang dibagi menjadi dua bagian besar yaitu kisah Penari (hal. 10) dan kisah Pelaut (hal. 221), membosankan dirinya dalam waktu cepat, hingga masuk pada bagian-bagian yang membuat Sri, sebagai tokoh utama sering lari dari setiap masalah yang dihadapinya dengan Charles Vincent, sang suami.

Tindakan Sri yang sering mendiamkan masalah rumah tangganya justru membuat Nadya merasa jengkel dengan tokoh utama ini. Adalah hal yang berat menurut Nadya berselingkuh setelah menikah, meskipun menikah dengan pria yang bukan sebangsa. “Budaya Jawa yang menyelimuti Sri sejak dalam kandungan ibu seharusnya mencegah Sri untuk berselingkuh,” ujar Nadya. Nadya menyukai kisah awal kehidupan Sri, kisah hidup sebagai penari, yang lebih terang menggambarkan dunia Timur-Jawa di dalam dirinya dan lingkungan ayah-ibu dan keluarga yang meyukai kesenian. Lingkungan kesenian ini mempengaruhi pilihan-pilihan Sri dalam hidup, termasuk keinginan untuk mengeksplorasi kisah cinta kesekian bersama seorang kapten kapal dari pelabuhan lain, yang bernama Michel. Tampak pula tokoh Sri yang berkembang setelah ‘kena’ air barat.

dr. Ronald Susilo menimpali dengan lebih lengkap apa yang sudah dipantik Nadya. Nadya menyebutkan potensi membosankan Pada Sebuah Kapal bisa mematikan rasa ingin tahu pembaca, dr. Ronald mulai mengulasnya dengan menelusuri perbedaan-perbedaan yang terjadi antara penulis-penulis tua dan penulis-penulis zaman sekarang.

Penulis tua cenderung menceritakan semua hal secara detail, dari depan sampai belakang, dari kiri sampai ke kanan. Hal ini berakibat, seperti temuan Nadya, pembaca tidak mampu berimajinasi atas karya ini. Sedangkan penulis-penulis baru cendrung melupakan detail-detail cerita; hal ini mempengaruhi kedalaman isi cerita. Dalam konteks yang lebih luas menurut dr. Ronald, hal ini disebabkan karena faktor-faktor non-teknis kepengrajinan. Pada Nh. Dini, konteks itu adalah konteks seorang pencipta yang mengabdikan dirinya secara total menjadi penulis, sedangkan penulis-penulis lain hanya menjadikan menulis sebagai hobi di luar pekerjaan asli. Penulis-penulis baru cenderung mempunyai variasi teknik bercerita—mungkin karena variasi kesibukan yang mereka miliki. Gaya seperti ini sulit ditemukan pada penulis tua. Karya ini bergerak begitu lambat. “Jika dibaca generasi milenial, mereka akan mengetahui seluruh isi paragraf hanya dengan membaca kalimat pertama,” ujar pendiri Yayasan Klub Buku Petra ini.

Teman berlayar ketiga pada malam itu adalah Erni Adar. Erni menyambungi part dikotomi timur-barat yang sudah dipantik Nadya. Ia mengulas tokoh Sri yang dinilainya sebagai manifestasi dari perempuan-perempuan Jawa-berpendidikan yang anggun, pendiam, lembut, keibuan, berjiwa kritis, sekaligus juga perempuan timur yang kurang percaya diri, insecure, dan merasa diri inferior di hadapan hagemoni barat. Sri mengalami perkembangan karakter ketika masuk ke dunia barat melalui pertemuan dengan Si Kaya Carl, perkawinan dengan Si Diplomat-Charles Vincent, dan perselingkuhan dengan Kapten Michel. Pergaulan dengan tokoh-tokoh ini membuat Sri kehilangan kontrol jati diri seorang perempuan Jawa. Ia seperti mengekang karakter aslinya di kisah tentang Penari dan baru muncul di kisah Pelaut.

Di kisah Penari, Sri dikisahkan sebagai perempuan jawa yang beradab, beradat, setia, lembut, berani menolak laki-laki, dan lain-lain. Sedangkan di kisah Pelaut, Sri dikisahkan sebagai tokoh yang tidak setia, mudah marah, pembangkang, penyelingkuh, dan lain-lain. Sri mengalami gegar budaya. Di satu sisi ia hidup di dunia barat yang amat terbuka sekaligus buas dan kasar, tetapi di sisi lain, budaya Jawa yang membesarkannya menyebabkan ia mercusuar di tepi pantai; tetap tekun mengurus anak-anak dan setia-berbakti pada satu cinta (hal. 145). Karakter Sri ini terus berkembang menjadi istri yang memberontak akibat perlakuan Charles Vincent (hal. 137) menjadi istri yang berselingkuh diam-diam dengan Michel.

Kapal terus berlayar ke timur. Maria Pankratia yang menjadi teman berlayar keempat memperuncing perbedaan karakter perempuan timur dan perempuan barat. Secara fisik perempuan timur memiliki ciri-ciri fisik eksotik yang menarik perhatian orang-orang barat. Perbedaannya dengan perempuan-perempuan barat menurut Maria adalah pada perilaku dan cara berpikir. Cara berpikir dan perilaku terbuka tidak dipunyai oleh perempuan timur-Jawa. Perempuan Jawa kalem. Perempuan barat blak-blakan dan liberal.

Bagi Maria, alur Pada Sebuah Kapal menarik minatnya untuk terus melaju mencapai ending cerita. Maria merasa puas ketika membaca paragraf-paragraf panjang dari buku ini, yang baginya terasa detail dan lembut. “Nh. Dini menyiapkan struktur-struktur cerita yang sangat membantu dalam memahami cerita,” ujarnya. Selain itu menurutnya, Nh. Dini juga tidak membuat penundaan-penundaan pada alur cerita, yang justru mudah ditemukan pada penulis-penulis zaman sekarang. Beberapa novel terbaru yang dibaca Maria menyiapkan kejutan-kejutan dengan menunda rasa ingin tahu pembaca. Menurutnya beberapa gagal menyiapkan kejutan-kejutan itu atau pembaca tidak merasa terkejut sama sekali, meski terdapat banyak penulis juga yang berhasil menunda rasa ingin tahu pembaca dan betul-betul menyiapkan akhir yang spektakuler. “Pada Sebuah Kapal tidak menyimpan kejutan apa-apa. Nh. Dini menceritakan secara kronologis semua kejadian tanpa berusaha untuk memasukkan alur mundur atau maju-mundur pada ceritanya,” ujar Maria.

Arsy Juwandi mengafirmasi juga kelembutan bertutur dan gaya bahasa dari karya ini. “Mungkin karena Nh. Dini sendiri adalah seorang penari,” ujarnya. Selain itu, karya ini dianggap lembut karena bercerita tentang dua buah kebudayaan yaitu timur dan barat. Kebudayaan timur tampak dalam kisah tentang Penari, sedangkan kebudayaan barat tampak dalam kisah Pelaut. Penggambaran yang kontras dari dua bagian cerita ini seperti hendak menggambarkan kelembutan budaya timur di satu sisi dan ketidaklembutan budaya barat di sisi lain. Secara karakteristik, budaya timur diwakili oleh Sri-perempuan. Sedangkan budaya barat diwakili Carl, Charles Vincent, dan Michel yang adalah representasi laki-laki.

Oleh karena lembut dan sopan, karya ini dengan cepat membuat Arsy lelah dan bosan. “Mungkin karena kita selama ini terbiasa dengan novel-novel yang gerak ceritanya cepat dan vulgar,” ujarnya. Hal ini amat berbeda dengan apa yang dirasakan Maria sebelumnya. Perbedaan generasi sebenarnya membuat Maria dan Arsy memiliki perasaan yang berbeda dalam membaca karya ini.

Penumpang kapal terakhir adalah Beato Lanjong. Beato menarik jangkar ke lautan yang lebih luas dengan membeberkan alasan lain: karya ini dirasakan amat memperhatikan hal-hal kecil karena ditulis oleh perempuan. Perempuan mempunyai karakter detail dan teliti dalam dirinya. Bagi perempuan penulis, keterberian ini mempengaruhi mereka dalam menggambarkan karakter dan latar cerita. Selain itu, menurut Beato, gerak lambat cerita juga dipengaruhi cara baca pembaca. Dirinya makin merasakan gerak lambat cerita ini ketika menemukan huruf-huruf yang dicetak kecil. Huruf-huruf kecil ini spontan menciptakan persepsi tentang durasi waktu yang dibutuhkan untuk membaca karya ini, yaitu lama. “Saya membutuhkan waktu yang lebih banyak dan panjang untuk menyelesaikan buku ini, tetapi akhirnya saya pun tidak menyelesaikannya,” akunya.

Pada Sebuah Kapal adalah buku pertama karya Nh. Dini yang dibacanya dan baginya Nh. Dini berhasil menggambarkan karakter perempuan Indonesia dengan cukup presisi. Selain itu dalam kisah pelaut, ia juga berhasil melukiskan karakter laki-laki barat dengan baik.

Kapal akhirnya harus siap berlayar lagi, menuju pelabuhan lain. Para penumpang melambaikan tangan pada Pierre yang mewarisi hak milik pelabuhan itu dari mama-nya. Mereka tidak lupa menyematkan bintang 3,5 pada pelabuhan itu. Sampai jumpa di pelabuhan berikutnya, Peters….


Program Bincang Buku Petra ke-54 ini didukung oleh Gramedia Pustaka Utama.

Baca juga:
Gadis Pantai: Sebuah Metafora untuk Manusia Indonesia
Berkunjung ke Masa Lalu Bersama Molas Flores Gadis Pulau Bunga


Komentar Anda?