Menu
Menu

Setelah tenang, aku bertanya kenapa ia bergentayangan. Ia menjawab, “Aku ingin melihat kontenku viral.”


Oleh: Surya Gemilang |

Lahir di Denpasar, 21 Maret 1998. Buku pertamanya adalah antologi cerpen tunggal berjudul Mengejar Bintang Jatuh (2015). Kumpulan puisi Cara Mencintai Monster (2017) adalah buku keduanya. Buku ketiganya, berupa kumpulan puisi juga, berjudul Mencicipi Kematian (2018). Karya-karya tulisnya yang lain dapat dijumpai di lebih dari sepuluh antologi bersama dan sejumlah media massa.


Orang bodoh adalah orang yang mati dengan cara bodoh dan gentayangan atas alasan bodoh.

Bintang bunuh diri tanpa wasiat. Sepulangnya aku dari kafe pada malam Minggu, lelaki bertubuh gagang sapu itu telah tergeletak di lantai, pucat, pisau dapur menancap di lehernya, dan darah mengalir-meresap ke karpet bulu putih yang tergelar di antara kasurku dan kasurnya, karpet bulu yang kubeli secara daring karena dipromosikan seorang selebriti di Tingtong yang tahu betul cara menggoyangkan bokong. Itu adalah cara bunuh diri yang bodoh: Bintang mesti berkelejotan penuh derita sebelum mati—orang pintar pasti memilih cara mati tanpa sakit. Setidaknya, bunuh diri itu membuat si Sutradara, si Editor, dan si Videografer yang tidur di sebelah kamar kami langsung pindah dari mes ini ke indekos—dan aku menyukai keheningan, meski benci membuang karpet buluku.
Sebodoh-bodohnya cara Bintang bunuh diri, lebih bodoh lagi adalah alasannya gentayangan.

Tujuh hari setelah kematiannya, sepulangnya aku dari kantor pukul delapan malam, setelah dua belas jam kepalaku terbakar akibat menyelesaikan empat skrip kampanye sabun wajah, saat aku menyalakan lampu kamar, tampaklah temanku itu duduk di tepi kasurnya. Aku memekik. Tapi aku segera menenangkan diri; Bintang sebagai hantu tak seberapa seram. Ia mengenakan celana panjang kain hitam dan kaus putih sebagaimana sehari-hari di kantor. Ekspresi dungunya masih sama: jika sedang tak berbicara, mulutnya terus setengah terbuka, menampakkan gigi tonggosnya yang penuh noda kopi dan rokok. Ketiaknya pun masih menyebarkan bau sandal gosong. Apa yang membedakannya kini dengan manusia hidup hanyalah kulit pucatnya plus bekas tusukan di leher—yang untungnya tak lagi mengucurkan darah. Setelah tenang, aku bertanya kenapa ia bergentayangan. Ia menjawab, “Aku ingin melihat kontenku viral.”

Aku langsung memaki si Sutradara dan si Editor dan si Videografer dalam hati. Di ruang kerja tim kreatif, mereka sering mengolok-olok Bintang, dan sekarang ia gentayangan di depan mataku.

Sejak delapan bulan lalu Bintang bekerja sebagai penulis skrip pertama di perusahaan kami, belum satu pun konten kampanye dari skripnya yang viral. Tim kreatif menjadi samsak tinju atasan. Nama baik tim kreatif terselamatkan dua bulan kemudian, ketika aku bergabung sebagai penulis skrip kedua, dan konten kampanye dari skrip pertamaku langsung viral di Tingtong. Waktu itu perusahaan baru mengeluarkan krim pemutih ketiak, dan aku mengusulkan eksperimen sosial (penuh rekayasa): kamera tersembunyi menangkap reaksi orang-orang di tempat umum, begitu melihat seorang wanita berketiak mulus, berkaus tanpa lengan, mengikat rambut di tengah kerumunan.

Tidak semua skrip kampanyeku sukses. Malah lima puluh persen lebih tak mampu menyerap banyak penonton. Tapi tetap saja aku dipuji-puji para rekanku, karena Bintang tak kunjung menghasilkan skrip yang viral.

***

Dua hari sebelum Bintang mati, masing-masing kami menulis satu skrip kampanye krim antijerawat dan pelembap bibir. Tiga hari lalu, konten krim antijerawatku diunggah ke Tingtong, dan per hari ini memperolah lima jutaan penonton. “Sial,” hantu Bintang refleks menggumam begitu aku memberitahukannya.

Dan tadi sore konten krim antijerawat Bintang diunggah ke Tingtong. Saat ia bertanya berapa jumlah penontonnya, aku tak tega untuk jujur.

“Di akhirat tidak ada internet, eh?” tanyaku.

“Kau tidak menjawab pertanyaanku,” balas Bintang.

Mengembuskan napas pasrah, aku membuka Tingtong dan menunjukkan langsung padanya: tiga jam setelah diunggah, konten baru ditonton sekitar enam puluh ribu orang—angka yang layak dihina.

Bintang pun terduduk di lantai, menenggelamkan wajah ke lutut yang ditekuk, dan tersedu-sedu. Apakah keviralan konten menentukan layak-tidaknya seseorang masuk ke surga? Aku ingin menepuk-nepuk pundaknya, tapi gagasan menyentuh hantu sontak memberdirikan bulu kudukku; pasti tak bijak untuk sembarang menyentuh entitas tak dikenal. Jadi aku hanya duduk di kasurku; aku mendadak ingin tidur, tapi keberadaan hantu yang menangis bukanlah situasi ideal untuk tidur.

Aku ingin menyarankannya kembali ke akhirat dan melupakan urusan konten duniawi. Tapi aku khawatir melukai perasaannya; kita tak tahu apa yang bisa hantu perbuat jika terluka. Tiba-tiba, entah atas dasar apa, mulutku melontarkan kalimat bodoh: “Aku akan memeriksa skrip pelembap bibirmu. Skrip itu akan disyutingkan lusa.”

Bintang mendongak ke arahku.

“Maksudku, ayo kita bedah skrip itu. Jika perlu revisi, aku bersedia membantu.”

Mata Bintang berbinar.

Tim kreatif memiliki Google Drive bersama; aku membuka folder dan fail skrip Bintang lewat laptopku. Membaca skrip Bintang, aku semakin yakin si Sutradara selalu “pasrah” menerima skrip: ide konten ini tak akan viral sampai kiamat!

Beginilah isi skripnya: Tokoh Utama Perempuan berjalan sendiri di mall, tak sengaja bertemu teman-teman semasa SMA, bertukar kabar, dan tibalah momen bodoh itu, ketika tiba-tiba salah seorang teman bertanya bagaimana bisa bibir si Tokoh Utama Perempuan selalu lembap, dan si Tokoh Utama Perempuan mempromosikan pelembap bibir. Demi seluruh arwah di akhirat, aku berani bertaruh bahwa 90% penonton berhenti menyaksikan iklan ini di lima detik pertama.

Sebagai tahap awal pembedahan skrip, tentu aku harus menyatakan penilaianku sejujur-jujurnya. Tapi, begitu aku menoleh ke Bintang yang berdiri di sampingku, dengan tatapan berbunyi, “Selamat! Kau baru saja membaca mahakarya!” rasanya aku harus melompati tahap awal ini. Aku takut mengecewakan hantu; kita tak tahu apa yang bisa hantu perbuat jika dikecewakan.

“Bagus,” komentarku akhirnya. Tersenyum tak pernah sesulit ini. Saran terbaikku adalah lupakan skrip ini dan tulis skrip baru—tapi aku malah berkata, “Ada sedikit bagian yang sebaiknya kita revisi.”

Binar di mata Bintang seketika berganti menjadi … api neraka? Ia seolah ingin merasukiku, membuatku melompat dari atap gedung.

“Baik,” balasnya, “bagian mana yang harus aku revisi?”

“Bukan harus, tapi sebaiknya.” Aku berdeham sebelum menjabarkan pendapatku dengan nada seorang dokter yang, kepada sepasang suami-istri, mengabarkan bahwa bayi mereka tak mungkin selamat. Aku menyarankan Bintang menghapus seluruh basa-basi di pembuka, dan memulai adegan langsung saat salah seorang teman SMA bertanya tentang lembapnya bibir si Tokoh Utama Perempuan.

Bintang tersenyum mencemooh. “Kau tak paham seni.”

Setan alas. Jika ia bukan hantu, akan kubuat ia menjadi hantu.

Dengan tatapan merendahkan, Bintang menjabarkan definisi seni padaku, berkali-kali menitikberatkan klausa seni adalah representasi realitas.

“Sekumpulan orang bertukar kabar adalah realitas,” lanjutnya. “Realitas akan membuat penonton teridentifikasi. Identifikasi akan membuat penonton ingin membeli produk.”

“Penonton bosan pada realitasmu.”

Bintang tersenyum mencemooh sekali lagi. “Kau benar-benar tak paham seni.”

Singkat cerita: Bintang hanya menyetujui penghapusan bagian awal di mana si Tokoh Utama Perempuan berjalan sendiri. Jadi, adegan dibuka langsung saat ia bertemu teman-temannya dan berbasa-basi.

“Kau yang harus menghapusnya,” kata Bintang. “Pertama, aku tak tahu apa jadinya jika hantu menyentuh laptop. Kedua, jika kontenku gagal viral karena bagian itu dihapus, kau akan merasa bersalah.”

Aku memblok bagian itu dan, seperti penjagal yang tak sabar membantai seekor sapi, telunjukku menghunjam backspace.

Bintang pun mengucapkan selamat tinggal dan lesap menjadi udara kosong.

***

Selama seminggu hantu Bintang tak pernah muncul. Si Sutradara menyetujui revisi yang kulakukan pada skrip Bintang, dan syuting berjalan biasa-biasa saja, dan seperti dugaanku: pada hari ketika konten itu akan diunggah, pada Minggu sore yang mendung dan membosankan, Bintang mendadak muncul dari kekosongan saat aku sedang berbaring di kasur, menonton seorang selebriti menggoyangkan payudara dan menarik sepuluh juta penonton di Tingtong.

“Semoga aku bisa tenang hari ini,” kata Bintang.

Pukul 16.55. Lima menit lagi konten Bintang akan diunggah. Dan Bintang tak akan tenang hari ini: kontennya yang “realis” pasti tak viral.

Berapa lama lagi aku harus menghadapi hantu bodoh itu?

Tiba-tiba, sebuah portal terbuka di lantai tengah ruangan. Portal memancarkan cahaya kemerahan dan menaikkan suhu ruangan secara drastis; ujung lidah-lidah api menjilat keluar; asap dan bau yang sepuluh kali lebih busuk dari selokan hampir meledakkan hidungku. Kemudian, memanjat keluarlah sesosok pria botak dan kekar dan telanjang bulat, berkulit berminyak dan semerah darah, kepalanya hampir menyentuh langit-langit. Dari ekspresi Bintang, hantu itu jelas tak ingin menemui si Pria Merah. Jantungku berdentam-dentam.

“Jangan kabur lagi, Anak Muda,” desis si Pria Merah.

Ia mencengkeram ubun-ubun Bintang, mengangkatnya tanpa beban, mengarahkannya ke atas portal. Bintang menjerit sejadi-jadinya, mencakar-cakar tangan si Pria Merah yang tetap bergeming. Suhu ruangan terus meningkat sampai kulitku memerah dan berkeringat total, asap dan bau busuk yang memekat membuat mataku penuh air dan kesadaranku hampir melayang—bagaimanapun, kejadian begini tak akan terulang: aku mengeluarkan ponsel dan mengaktifkan kamera: kejadian ini pasti viral!

Namun, mereka berdua dan portal itu tak tertangkap kamera. Di layar ponsel hanya tampak kamarku sebagaimana adanya, kamarku tanpa kejadian apa pun—bahkan asap yang hampir sepenuhnya memutihkan pandangan juga tak tampak.

“Tolong!!!” Bintang memekik.

Si Pria Merah pun menjatuhkan Bintang ke portal, lantas melompat ke sana dan portal menutup. Udara kamarku seketika bersih dari asap dan bau busuk, suhu menurun ke titik normal. Minggu kembali membosankan.

Detak jantungku memelan. Sayang sekali, aku gagal mendapatkan video yang pasti viral. Tapi untung saja si Pria Merah muncul: Bintang jadi tak perlu melihat kontennya terunggah dengan jumlah penonton pasti sesepi kuburan.

Aku merebahkan diri dan membuka Tingtong. Seorang selebriti berjoget, tubuh telanjangnya hanya dilingkari karpet bulu putih. Aku perlu membeli karpet bulu baru.


Ilustrasi dari Wikiart.org.

Baca juga:
Lelaki Setengah Abad yang Menemukan Ikan Besar Merah Jambu
Lelaki yang Membatukkan Bunga


Komentar Anda?