Menu
Menu

Hidup adalah selarik yang sering meminta lebih. Menjadi bait. Menjadi bait-bait. Namun tak juga utuh sebagai puisi.


Oleh: Toni Lesmana |

Menulis dalam bahasa Sunda dan Indonesia. Kini tinggal dan menetap di Ciamis, Jawa Barat. Buku puisi yang sudah terbit Tamasya Cikaracak (2016) dan Peta Dalam Rumah (2020). Bersama istri, mengelola Komunitas Sastra Rumah Koclak, juga bergiat di Studio Titikdua, sebuah komunitas yang bergerak di wilayah seni tradisi, terutama bidang seni pertunjukan.


Puspa Fatima Rahmania

1
Di sini pagi adalah ranjang kabut, di kolongnya gema mimpi kebun sayur bersahutan merasuki remang pucuk pohonan dan hinggap di bayang atap rumah-rumah menanti kelahiran matahari. Seperti aku kala menunggu pertemuan pertama denganmu.

Di sini matahari lahir di atas ranjang kabut itu, merah segar tomat. Ia menggeliat, dan mungkin menangis mencari puting waktu. Seperti dirimu dalam kelambu peluk ibu.

Di sini angin berlarian memekarkan kembang sepanjang jalan, menyalakan warna-warna basah itu dan, mungkin, akan meledakkan wangi dirimu ke udara Lembang yang setia menembang asmarandana. Seperti hati ibu yang tak henti menyanyikan asih.

2
Cintaku putih, namun lain dari putih hangat air susu ibumu yang berisi doa dan pengorbanan. Cintaku putih getah kamboja, likat pahit mengangkut benih wangi dan muasal warna, menuju musim kembang, semerbak isyarat ajal.

Rinduku hijau, tapi bukan rimbun peluk kesejukan, bukan rupa telaga dan bayang ganggang. Rinduku hijau kain penutup keranda, paras waktu yang setia membisikkan senandung maut.

Tapi, putih cintaku hijau rinduku tersungkur juga pada merah rona di pipimu. Ceruk pertemuan bumi dan langit. Wajah pajarmu, menuntunku pulang menempuh nyala kehidupan. Pesona dunia.

3
Hidup adalah selarik yang sering meminta lebih. Menjadi bait. Menjadi bait-bait. Namun tak juga utuh sebagai puisi. Sebab meluap, sebab itu pula makin lupa rupa kata itu sendiri.

Hidup juga sekuntum yang kelak layu, sekeras apa pun ingin kekal mekar. Ia dibangkitkan sari tanah, tak bisa berpaling dari panggilan lubuk lempung. Lalu sebaik-baik gugur menjadi pupuk, untuk hidup selanjutnya. Hidup siapa saja.

Reguklah hidup, Puspa, rakuslah selagi itu untuk berbagi ke seluruh denyut di tubuhmu. Ke segenap dahaga semesta.

4
Kita berdua lagi. Akan ada banyak waktu kita berdua saja. Di luar, juluran rimbun kamboja menutup pintu pagar, di dalam, dalam hati kita ada getar kepak sayap kupu-kupu.

Kita berdua saja. Secangkir kopi dan sebotol susu. Tak soal berapa usia kita. Manusia adalah dahaga itu sendiri. Kita cicip tak habis-habis, apa yang disuguhkan cinta di bawah matahari pagi.

Kita berdua lagi. Berdua saja. Angin mampir, kita asyik saling tatap. Waktu berlalu, kita sibuk bertukar senyum. Tuhan hadir, kita sapa dengan nama kita sendiri. Kita berdua saja.

5
Puspa, tak ada sajak untukmu di Jakarta, beruntung kumis Willy masih tumbuh tipis berbaris menyanyikan lagu tik tik tik bunyi hujan di Pancoran, kumis yang kemudian asyik menggelitik Paspampres di terik TIM. Kumis itu seperti selarik kata-kata yang lepas dan bengal.

Tak ada sajak di Jakarta, namun ada rambut Felix yang menerbangkan seribu pesawat yang lincah jumpalitan di udara panas Senayan, rambut yang terus meluncurkan peristiwa demi peristiwa lalu saling bertabrakan menjelma selembar peta harta karun dalam botol minuman keras. Rambut itu layaknya bait yang terus berlari.

Tak ada sajak di Jakarta, hanya saja mata Nabil diam-diam menggelar telaga ke Bundaran HI membujuk gedung-gedung terjun lalu meliuk seperti ikan dan sebagian berenang seperti angsa, mata yang mengalirkan suara lain ketenangan itu merendam seluruh kibaran tubuh bendera dan kobar baliho seantero ibu kota. Mata itu seperti mata bayi, puisi.

2023

.

Perayaan Perasaan

Di ranjang kulahap lezatluka
Di sajadah kuteguk manistangis
Di kertas kuperas gurihpedih

Kurayakan kau
Kurasakan aku

2021

.

Teralis

Teralis yang diwariskan pemilik terdahulu
rumah ini, mulanya kita pandang perayaan
rasa takut manusia tua, jeruji yang mesti
digergaji. namun anak kita riang mendakinya,

bernyanyi menyentuh langit, langit putih!

Teralis itu lantas terlihat seperti dahan dan
cabang pohon pelindung. Mirip taman
pemberi tentram, sebab kaca jendela
tak ubahnya hati, mudah pecah, muasal luka.

mendadak kita gemetar dan gentar!

Teralis pun kini ranting-ranting kembang mekar
akan sia-sia akal menjaga pintu, jika kaca, seperti rasa.
Pecah dan jendela telanjang, bukan lagi hanya tuhan
atau angin atau cahaya, tapi, siapa saja bisa masuk

siapa saja bisa masuk dan mencuri kita!

—Tuhankah yang memasang teralis
di rumah kita?—Nyanyi riang anak-anak
memanjat seakan benar mendaki
langit. Kita erat berpegangan

saling berpandangan. Tak menjawab!

Diam-diam kita mulai sering meraba teralis
warisan itu, seperti meraba teralis dalam diri
yang juga diwariskan entah dari siapa
namun kita mulai gemar menerka-nerka

untuk apa ada di rumah, ada di diri!

2021

.

Perjalanan dalam Rumah

Mula-mula kita di kamar depan
Sebuah kasur besar tanpa dipan
Pelayaran tanpa lelah

Tangis dan tawa itu lahir

Kita bergeser ke kamar tengah
Kasur tipis dan lantai putih
Rakit di rahim sungai

Rengek dan canda meminta tempat

Kita menepi di kamar belakang
Sajadah saja dan sebaris buku
Kian alit menempa ulet

Doa dan harap sesak sudah

Istriku, setelah kamar alit ini, ke mana lagi
Kita menyepi. Kita menepi. Suara detik
Masih menggali ruang pas untuk sekujur

Tubuh masing-masing

2022


Ilustrasi: Foto Kaka Ited, diolah dari sini.

Baca juga:
Esha Tegar Putra – Hantu-Hantu Padang
Imam Budiman – Mencatat Kegamangan Lain
Muhammad Ade Putra – Beranjak dari Kampung Halaman Sendiri


1 thought on “Puisi-Puisi Toni Lesmana – Selarik yang Sering Meminta Lebih”

  1. rizka berkata:

    sangat takjub

Komentar Anda?