Menu
Menu

Sudahkah kau lihat, Banda?/ bulan sabit yang nyala/ sejak leluhurnya beranjak/ dari kampung halaman sendiri.


Oleh: Muhammad Ade Putra |

Mahasiswa Antropologi Budaya di Universitas Gadjah Mada. Aktif di Komunitas Seni Rumah Sunting dan COMPETER. Buku terbarunya Kota-Kota yang Lebih Kau Cinta Daripada Aku.


Jakarta yang Lain

____ 1. Ibu
Sejak Jakarta menjadi Jakarta, yang kutahu hanya ibu.
tukak telapak kaki menahan koyak dan lapar perut anak-anaknya.

Ibu pergi ke pinggir-pinggir kota dengan air mata mengirim banjir.
kuambil satu cerita dari sisa kantuknya.
dari rumah-rumah, jalan beton dan proyek-proyek.
_____ dari hitam kuku ibu, bibirnya masih kokoh mencium keningku.
menitip kata. mengintip kota.

Kini, ibu tidak lagi di sini, bercak keringatnya telah mengering.
matahari hilang tempat, pejalan kaki itu sudah sampai pada tujuan.
tanah entah, di mana Jakarta masihlah Jakarta yang lama.
tapi tanah ibu masih subur gembur akan doa.

____ 2. Jalan
Aku telah membuka pintu yang tidak kukenal,
Jakarta paling asing yang pernah ibu ceritakan dalam dongeng pengantar tidur.
kota dengan lilitan jembatan penghubung banyak hal.
lalu sungai itu, tempat anak-anak berenang sepanjang hari.
apa ia masih memiliki hulu, paling tidak untuk pulang sekali saja.

Pasar terus ramai dalam pekat malam,
rumah ruko itu terus menjajakan kata hati.
lampu jalan sesekali redup,
membiarkan trotoar merindu mata arah angin.

Tukang surat lalu lalang, mengirimkan paket seorang ibu dari tanah seberang.
anaknya tidak juga membalas SMS,
kantor-kantor imigrasi menutup badan serapat-rapatnya.
kepada siapa aku harus bertanya?
kursi taman sisa hangat bekas dua anak muda itu saja diam menahan dingin.
apalagi bus-bus tua yang pensiun sebelum terbelah,
mereka diam-diam mengenang rusak jalanan.

Sudah 1740 langkah kakiku memutari tanah ini,
tapi Jakarta tidak juga kutemukan.
aroma keringatnya masih membekas di pinggir hidungku.
tanda tangannya tumpah di bajuku.
apakah ia masih ada? atau aku harus pulang saja?
Menyerah mencarinya.

____ 3. Pulang
Bulan diam di bawah lampu trotoar sepanjang-panjang Sudirman
tidak ada peluk erat “selamat tinggal”
hanya kisah sedih: akulah anak-anak kalah
patah tulang punggung keluarga, sedang Jakarta ternyata hanya gelisah
malam hitam membutakan mata gelap sampai ke ujung.

Kota sebagai ibu: gaji receh pertama, menabung atap koran lama
nasi bungkus bagi bertiga
_____ gedung-gedung tinggi, Senayan yang sendu. Jakarta malam ini tidak ada.

Sepi merengkuh tubuh orang-orang rindu rumah.
akulah anak-anak kalah
doa ibu ditelan mimpi-mimpi, ia entah di mana.

Dulu Jakarta berjanji: hangat setiap dini hari, banyak roti sebelum berangkat bekerja
dan aku bisa mengenakan kemeja biru tua—menyalami istri—

Aku pulang Jakarta, kalah kali ini begitu menyakitkan.
“Alasan bertahan hanya tentang kaki yang masih berdiri.
selebihnya patah dan minta mati.”
kau tidak menjagaku, luka menganga dan mata merah nyala. kian sesak.

Aku sendirian.

2023

.

Pandansari yang Lain

Sepanjang Maaf untuk Anakku

Duduk sebentar, Nak.
Kau lihat petani-petani kentang menjaga pening dan demam
atas deras hujan mengguyur hari dan malam?

Kaki kuat, menapaki jalan berbatu itu
Seperti lalu-lalu kita angkat sekarung rumput untuk lapar para sapi.
Sesekali kau panen kubis dan wortel di kebun kita,
tidak lupa menziarahi makam nenek-kakek di sana.
Kita tumpahkan sedih dan lelah bertani.

Haus telah bertengger di tenggorokan kita.
Wajah gosong pekatmu tidak dapat berbohong.
Semayup azan magrib mengetuk gendang telinga,
lengkap kalong-kalong melayang bebas ke balik hutan-hutan pinus.

Dua-tiga panen kita gagal, Nak.

Kemarilah duduk di sebelahku
Habiskan secangkir teh hitam dari perkebunan
yang merangkum sejarah muram leluhur kita.

lubang-lubang di atap meneroboskan hujan
dan kabut dingin yang bergelayutan di pelupuk mata,
meski tidak selamanya mereka adalah jerami kering dan kusam.

Ambil sepotong pinus di atas kasurku, Nak.
Bantal itu harus segera dibakar: memberi terang kepada catatan-catatan hutang
yang kuselipkan dengan rahasia nestapa di dinding.

Di pundakmu, nama dan mata luas memandang pucuk daun bawang
Yang layu karena aku gagal merapal mantra dan menerka cuaca.
Berakhir pada tangan kita yang menengadah menjaga amin

Nak, tahun-tahun terakhir,
bertani adalah pilu orang-orang di kampung kita.

Kemarilah tanganmu.
Biar hangat menjalar seperti dekap erat pelukan ibu.
Dan tidurlah.
Besok kita kembali ke ladang dengan grandong berasap penuh berkah

Pandansari | 2023

.

Jogja yang Lain: Surat untuk Amak di Seberang

: Kukenalkan saudara sedarah satu kota

Hujan emas di tanah orang, hujan batu di kampung halaman
Petuah Amak, batu selembut kapas selama bersemayam di rumah
Tapi Mak, masih kulantunkan nyanyian panjang terakhir
Lengkap doa-doa titipanmu tentang hutan segala alam.
Biarlah aku melanglang buana.

1.
Kota ini seperti baru saja melahirkan kembaranku
—Saudara sedarah tanah para perantau—
Dalam erang dan kedinginan
Aku erat memeluknya, seperti penyusu yang kukenal.

Aku lekat melihatnya, senyum lama yang terpajang agung di gagang pintu
Tangannya luas membentang hingga pagar pembatas
Menerima pelukan dari lelah pengamen jalanan
Kalah penjual koran tidak laku dan menyerahnya pedang asongan.

Kabar terjemur pada halaman rumah di pinggir Kali Code
Basah dengan cerita kegagalan anak muda putus sekolah
Mereka buta membaca satu buku lama
Tentang sejarah kota yang selalu minta diulang-ulang dalam ingatan
Tanpa pembatas buku—tanah ini semakin besar—
Tangannya merengkuhku.

Aku seperti menimbang masa lalu
Lampu ceplok malam kita padam
Bersama Amak, aku tidak pernah merasa sendirian
Mulut Amak merapal kidung sedih
Kota ini tidak menangis

Airmatanya lebih tinggi merendam banjir selokan Mataram.

Ia merangkum semuanya
Para penari Bedoyo bergerak lamban dalam iringan gamelan
Serempak loncatan tari Serampang Dua Belas yang kulenggangkan.
Musik koplo menarik goyang perhatian
Dalam hatiku gumam cengkok lagu melayu nan sepenggal.

Diseberang, lampu merah menyala
Membiarkan motor bisu melaju dari Sleman menuju tujuan
Sedang aku sibuk menghidu Teh Uwuh
Lidah kuhapal sengat Teh Kawa hangat selepas hujan.

2.
Di sini, saudara kembarku tersangkut pohon-pohon beringin, Mak
Alun-alun Selatan lengkap meneduhi orang-orang yang menutup mata
Hikmat-hikayat tua: berjalan lurus, menembus batas
tegak pengharapan, tegak keberuntungan

Di pohon itu, aroma kemenyan menyeruak
Tetua adat merapal mantra, asap mengepul memerihkan mata
Berkabut seperti kabur mimpi masa depanku.

Aku ikuti sesaji wangi yang dilarung hingga muara
Laut tempat banyak agama berdoa
Pada bunga-bunga yang mengapung
Pada restu seorang ratu di gelombangnya.
Nyata, hanya doamu Mak, mengelus tulus pasir kakiku.
Di seberang, patah punggungmu menopang rumah tunggu,
di tepi-tepi pantai, sampai aku kembali.
Sampai aku sepenuhnya kembali.

Syahdan, senyum dan ramah tamah saudara kembarku
diperjualbelikan dengan harga murah
Tak beruang, tawa membuat kenyang.
Bagaimana aku tidak luluh lantak mencintainya?

Di sini, aku melihat kelopak mata kota serupa tanah ulayat kita, Mak.
Hilang malam dan siang yang angkuh dan gegabah
Matahari tercakar gedung-gedung hotel yang terus tumbuh
Jembatan melintasi lapar perutku.
Sedang di kampung kita,
Langit hitam atas pergumulan gosip hutan-hutan terbakar
Menggerogoti sesak dada serta batuk menyemak
Menyemah alam mengeluh sumpah serapah.
Jendela rapat debu proyek pembangunan
Rumah lenyap tenang: abu pembakaran.

3.
Semua anak pergi dan pulang, Mak
Menitip rahim perpisahan dari kehilangan yang sengketa
Dalam riuh satu malam di meja angkringan.
Kopi Klotok menguar ketakutan:
Malam sunyi, pekik motor memekak telinga
Konon, menguji nyali menyalah diri
Menyelipkan pedang dan klewang dalam saku keberanian
Menebas doa—biji tunggang sebuah bangsa—siapa saja.
Aku takut mati muda.

Aku takut tidak lagi menjelma surgamu, Mak.
Aku belajar bahasa sepi untuk mereka yang kerap berkelahi
Mengalahi suara-suara asing dalam kepala.

Hanya doa dan Batimangmu yang menyelamatkanku, Mak

Benar katamu, lebih baik hujan batu meski luka dan nestapa
Mari kita dirikan kokoh rumah pulang
Tempat kudengar lagi bisik tipismu tentang hutan segala alam
Tentang singkat masa kecilku.

Meski di sini, suaraku lebih lantang meneroka diri yang sisa sebatang
Tapi aku rindu berjalan lengang menggenggam keriput tanganmu di tanah lapang.

Adalah engkau, Mak.
Alasan aku meninggalkan emas dan mengejar peluk pulang.
Setelah ini, aku berjanji setengah mati untuk mendengar petuahmu.
Tidak lagi kabur walau kadang rindu pada saudara kembar
Kota yang berbeda darah
____ ____ Berbeda sejarah.

2022

.

Banda yang Lain

1. Karena Banda Hilang: Mencari Banda

Sudahkah kau lihat, Banda?
bulan sabit yang nyala
sejak leluhurnya beranjak
dari kampung halaman sendiri.
angin selatan menampar ujung kapal kita.
sesekali aku rasakan tubuhku
seperti dipeluk erat mama
ketika petir memberikan ceramah panjang
tentang larangan membentang layar saat gelombang dan petang.

Sedang matamu masih nyalang mencari Banda.
sesekali menghidu aroma pala meski dengan peta sejelas buta.
kubiarkan kau mengangkat tangan:
menyerah pada laut lapang yang tidak menuju arah pulang.
semakin jauh menentang daratan
entah yang pernah dicatat
dalam diari-diari penjelajah.

Perutku berguncang.
ada sedikit luka hati yang minta dikeluarkan,
seperti anak-anak sekolah yang menjemput uang jajan
pada bapak nelayan yang melaut berbulan-bulan.

Apakah kau mendengarnya?
suara peluit itu!
bukan suara mual perutku.
ia mengabarkan badai panjang akan datang.
masuklah, kapal ini akan tetap menuju Banda.
menuju pelukan Banda yang rindu orang-orang aslinya.

2. Mama-Mama Banda Kehilangan Uang Masak

Di dapur berasap mama,
rumah di ujung jalan Nusantara
aroma pala menusuk lorong hidungku,
kuali berkerak sehitam tanah tua:
berderak dan berbisik tentang asal-usul lidah moyang kami
kudengar pasrah goni yang didekap bapak sepanjang lelah dari pelabuhan.

Kabarnya: mama akan memanaskan sisa lauk semalam.
sekadar mengisi perut atau merajuk menunggu bapak memberi uang.
sedang pelayaran bapak ke laut-laut jauh sepenuhnya gagal.
bapak pulang bersama kalah.

3. Petani Banda Kehilangan Kebun Pala

Ketika tanah ini tak lagi milik tuan
yang kami ingin hanya meringkuk di batang-batang pala
sisa terakhir catatan sejarah nenek moyang
sebelum tanah tinggal kenang.

Karena kami percaya kepada tanah,
kepada merah mekar buah dan cuaca ramah:
wangi surga yang sempat diperjualbelikan penjajah.

Kami memilih menolak.
tapi kebun terakhir ini, tidak lagi milik tuan.

Kerja tidak dibayar.
tidur tidak selesai: sedang pala-pala itu belum purna digarap.
terpaksa kami berpindah tangan.

4. Anak-Anak Banda Kehilangan Bapak

Di sini, di tanah berbentuk bulan sabit matang ini
gunung api menyeruak sepanjang tahun
peluk mama tidak lagi kami lepas
karena leluhur hanya sedikit menitip dongeng bahagia
selebihnya cerita tentang tanah ini, membawa bapak entah ke mana.

Kami ratapi lagi, ziarah lama di makam-makam tua
tempat siapa saja dapat menaruh nama
atas renung dari ribuan orang.
aroma mesiu itu masih menusuk hidung kami,
ah sesekali membuat kami tersedak.
mimpi buruk masa lalu bersama.

5. Kehilangan Banda

Tidak ada lagi mata angin menuju Banda:
pala-pala gugur.
pulang telah hilang.
sejarah darah tinggal kenang.

10 Juli 2022

.

Laut Seram yang Lain

: Pemuda Peta Buta

1.
Akulah si bujang rantau.
tanah orang menghantam lunak kepalaku,
tempat ibu menyelipkan sesaji wangi.
persembahan kepada alam.
aku menyusu pada langit.
membasuh kantuk mata apiku.
membasah banjir retak pantai kakiku.

Aku pergi menjemput hikayat ayah:
penjelajah tanah surga
peta tinggal sepenggal
tujuan terbakar tukik matahari timur.

Di sana, anak-anak nelayan
mengunyah kulit kelapa
sembari merangkum silsilah laut Arafuru.
menari menghentak kulit bumi
berteriak hingga menusuk telinga orang-orang di kaki bukit.

“Pantang seorang benih dagang
tidak menyibakkan layar
ke pinggir-pinggir
ke seberang.
tidak mati di rumah asing.”

Bersama langit kosong dan dua belas keping receh
kupeluk tiang layar seperti seorang nenek:
ia senantiasa membakar ikan kakap
aroma yang meminta siapa saja pulang.

Aku pergi sebatang tunggang
nyanyian panjang ibu melepasku
lapang tanpa dendam kesumat.
biarlah patah kokoh mimpi
berilah doa-doa sepanjang malammu.
tuhan mengirimkan burung-burung hari
mendekap dingin tubuhku.

Angin selatan yang akbar!

2.
Aku sepakat: laut sepenuhnya rumah
atap arakan awan putih
tanpa batas penghalang.
tangan ibu seluas mata memandang merengkuhku.
menjangkau negeri-negeri jauh.

Kadang badai datang mengetuk pintu.
tamu seribu takut.
mengguncang cerita lama.
tangisku memekak, berderu-deru lengkap ombak
yang senang menabrak geladak kapal.

“Jangan sampai tiang layar patah!
mati di tengah laut!
seorang anak muda mati sebelum pulang berlayar!”

Kilat biru di ujung halus alis mataku
penuh buih-buih.
bunga-bunga doa dari tetua di pinggir pantai
telat sampai di pusar bumi—menuju palung—
hingga dalam dan timbul-tenggelam di tanah orang.

3.
Tidak ada daratan.
pulau-pulau hijau benderang
yang dulu sempat ditandai para penjelajah:
hilang tanpa kesan.

Sedang lapar telah menggerogoti pikiran
dan kalut pandang
mulut beraroma asam lambung.
kepala memanas seperti lancar ibu membakar kerapu di dapur.
punggungku ngilu, mataku kabur,
matahari semakin merah di ubun-ubun.

Ibu, ujung panjang doamu adalah pulangku.
sedang pencabut maut laut mengambang tepat di bibir kapalku.
ia tersenyum ngilu: seperti kabar tentang ikan-ikan
yang bermigrasi ke laut timor.

Laut kita hilang kesan.
sisa karang hitam dan hidup nelayan karam.

4.
Layar terus berkembang.
kemudi lurus menuju pulau-pulau rempah.
aku kembali bertanya, apakah masih ada emas di sana?

Banda-Jogja, Juli-Oktober 2022

.

Samosir yang Lain

: Narasi sedih di tepian danau

____ 1.
Di pulau ini, kami tumbuh
dengan menyusu pada hikmat upacara
dan dibedung hangat ayunan mantra.
Inang mengunyah sirih pinang
Lengkap merah bibir menyala-nyala.

Menyalahi pecah langit yang merusak musim panen:
Hujan beserta bungkam leluhur
Dan panas menyengat ubun-ubun
—Terbakarlah ladang jagung di belakang rumah—

Mata Opung menggelap,
Genteng rumah semalaman bernyanyi
Seiring pekik gitar memenuhi kedai.
Susu putih memerdekakan tukak
di tenggorokan setiap nelayan.
Sedang tidur Opung tidak kunjung tenang.

“Ulos belum jadi
Dan ikan jahir belum terbeli”

____ 2.
Di kampung ini,
Pulau dengan bintang kecil-membesar
Inang dan para penenun merenung
Sumpah yang tidak rangkum
Setelah bertahun-tahun meringkuk di bawah rumah,
Duduk diam menolak singgah,
Termenung setiap malam badai,
Menenggak kopi dingin dan luka keluarga
Yang terus memar dipinggangnya.

Dan mereka akan selalu mengigau,
Merangkai ulos dengan menua
____ mengeja hari terbata-bata
Lalu lupa pada seribu nama
Orang-orang gugur yang minta dikenang.
“Kita tidak sedarah
Tapi ujung nama menyatukan:
Utang tetap harus lengkap dibayar.”

____ 3.
Salakanjing di pinggir danau
Menziarahi hikayat lama
Dalam kitab perahu yang karam
Dan setengah lapar Amang
—Ringkuk bekerja—

Sedang Inang menabur beras,
Merah ati ayam kampung
Dan setangkup doa-doa sepanjang minggu
Menyajikan janji pada palung hantu-hantu.

”Selamatkan suamiku, bawa pulang uang
Dan taklukkan ombak garang.”

Amang berlayar tutup mata
Seperti tidak akan kembali ke rumah kami.

____ 4.
Kami memilih pergi dari pulau ini
Meski kaku, sebatang boneka patung berikat ulos
____ Di kepala, di pundak, di pinggang
Di makam-makam
Karena upacara kematian pun telah usai
Pesta selesai.

Samosir, 2023


Ilustrasi: Foto Kaka Ited, diolah dari sini.

Baca juga:
Puisi-Puisi Okta Saputra – Tes Wawasan Kebangsaan
Puisi-Puisi Ama Gaspar – Berita Bahagia yang Tak Pernah Lengkap
Puisi-Puisi Alexander Robert Nainggolan – Persiapan-Persiapan Menjelang Musim Hujan


3 thoughts on “Puisi-Puisi Muhammad Ade Putra – Beranjak dari Kampung Halaman Sendiri”

  1. nurdiansafitri07 berkata:

    Mantap bangettttt

  2. Olivia berkata:

    Keren banget????

  3. Olivia berkata:

    Keren banget????

Komentar Anda?