Menu
Menu

Kami pun berbesar hati tinggal di rumah kecil ini, sembari menunggu hari-hari ayah bekerja keras.


Oleh: A. Warits Rovi |

Lahir di Sumenep Madura 20 Juli 1988. Guru Bahasa Indonesia di MTs Al-Huda II Gapura. Karya-karyanya berupa cerpen, puisi, esai dan artikel dimuat di berbagai media. Buku Cerpennya yang telah terbit Dukun Carok & Tongkat Kayu (Basabasi, 2018).


Ricik air hujan dari beberapa genting yang bocor itu menimbulkan bunyi glub yang beruntun ke dalam mulut ember, tempiasnya menciprat ke mana-mana. Ada beberapa ember yang harus kutaruh tepat di bawah belasan genting yang bocor, mulai dari beranda hingga dapur. Selain itu, ada air lain yang mengalir lewat pecahan gedung tembok kusam, menyebar susuri datar lantai yang retak, hingga setinggi mata kaki.

Aku mengamati keadaan rumah sambil menderaikan air mata. Sungguh rumah kecil ini penuh dengan kerusakan. Tapi, walau bagaimanapun, aku harus tersenyum dan bersyukur atas rumah ini; rumah warisan yang kelak akan kutempati bersama suamiku.

Segera kuseka air mata, kuambil sapu ijuk yang bersandar di pilar. Sehelai sarung bekas kulempar ke lantai, kugosok-gosok pelan dengan tindihan rambut sapu agar air yang menggenang segera berkurang. Kuulang beberapa kali, seolah sedang mengeringkan nasib kelamku.

*

Setelah ayah wafat, usai keluarga kami berembuk, akhirnya rumah ini resmi jadi milikku. Ibu dan dua adik laki-lakiku tinggal di kamar kecil yang bersebelahan dengan dapur. Aku diuntungkan oleh takdir, karena lahir di Madura sebagai perempuan, maka pantas menerima rumah.

Di Madura, orang tua harus menyediakan rumah bagi anak perempuannya, karena dalam kebiasaan masyarakat kami, setiap lelaki yang sudah menikah harus tinggal di rumah istrinya. Anak perempuan adalah seekor burung yang harus diberi sangkar, begitu kata tetua.

Aku paham, semasih hidup ayah sudah bekerja keras menghidupi keluarga kami. Saat musim kemarau, setiap hari ia bekerja sebagai kuli garam. Ayah rela memikul keranjang bambu besar berisi garam yang penuh. Ayah tak peduli tubuhnya kecil, demi mendapat perhatian yang baik dari atasan, ia tetap memikul keranjang besar standar perusahaan sebagaimana rekan-rekannya yang lain.

Ia mesti mengangkut garam itu di bawah terik matahari, melintasi medan yang sulit, pada jarak yang lumayan jauh. Napasnya terengah, mendengus keras. Berkali-kali wajahnya meringis bagai menahan rasa sakit, kadang tulang-tulangnya berderit, dan tak jarang pula protes-protes kasar diterima dari atasannya yang galak. Begitu yang kuketahui tentang pekerjaan ayah, sebab dulu, suatu hari aku dan ibu pernah menyambangi ayah ke tambak.

Ayah pernah bilang kepadaku, setiap hari ia memilih tidak merokok dan mengalihkan anggaran rokoknya untuk menabung agar bisa membuatkanku rumah yang layak. Aku terharu mendengar kata-kata ayah.

Ketika musim hujan tiba, air laut tidak bisa diolah jadi garam sebab tambak selalu diterjang air hujan. Pada saat itulah, aktivitas produksi garam berhenti. Para pekerja akan pindah haluan mencari pekerjaan lain demi keluarganya, termasuk ayah. Biasanya ayah akan bekerja jadi buruh tani, atau kadang membajak sawah dengan hanya modal tenggala, sedang sapinya pinjam ke tetangga dengan syarat bagi upah.

Saat bekerja sebagai pembajak, ayah pernah tersambar nasib buruk. Salah satu sapi penarik tenggala yang ia pinjam ke tetangga, tiba-tiba mabuk dan mati. Tak ada jalan damai untuk itu, ayah harus mengganti kerugian sebesar delapan juta rupiah. Maka habislah tabungan ayah, bahkan menumpuklah utang kami. Ibu kerap menangis, disusul aku dan kedua adikku. Ayah menenangkan kami dengan bibir yang gemetar, tangan agak beku, dan raut yang sedikit muram.

“Sesungguhnya ketenangan-ketenangan tidak ada di luar kita. Tidak melekat pada harta benda. Ketenangan ada dalam diri kita, selama kita mampu menyikapi keadaan dengan pasrah kepada Allah,” ujar ayah membuat dada kami berangsur tenang.

Kami pun berbesar hati tinggal di rumah kecil ini, sembari menunggu hari-hari ayah bekerja keras. Hingga tiba suatu hari, Hamid, teman kelas yang pernah menyatakan cinta kepadaku, ternyata benar-benar datang melamarku. Beberapa kerabatnya yang ikut mengantar lamaran terpaksa kami sila duduk di lantai beranda, beralas tikar dengan suguhan seadanya. Satu sama lain berdempetan sebab ruangan yang sangat kecil. Beberapa saat setelah bercakap ringan, hujan turun agak lebat. Beberapa genting beranda yang bocor mencurahkan air ke arah tamu.

Ayah dan beberapa kerabatku mencoba memperbaiki posisi genting itu dengan galah, tapi usuk yang menopang genting itu rapuh, sebagian genting bukan menjadi baik, malah jatuh berserak di lantai, di tengah-tengah kami yang sudah berdiri karena lantai sudah tergenang air.

Saat itu aku membaca ragam ekspresi wajah; wajah Hamid tetap semringah sambil sesekali tersenyum dan mengedipkan mata kepadaku. Wajah ayah dan ibu tampak muram, aku tahu ayah dan ibu mungkin merasakan seperti apa yang kurasakan saat itu; wajah yang tengah menanggung malu. Sedangkan wajah kedua orang tua Hamid terlihat merah, berpadu lirikan-lirikan kecewa dan gerak-gerik yang kurang menyenangkan. Prosesi lamaran itu diakhiri dengan jabat tangan setengah hati.

Kala itu aku merasakan ada ujian dahsyat pada cinta kami. Bahkan hingga keluargaku mengantar balasan lamaran itu seminggu kemudian, aku merasakan ketimpangan yang mencolok di antara keluarga Hamid dan keluargaku, keluarga orang kaya dan keluarga orang miskin.

Saat tiba di rumah Hamid, keluarga kami bagaikan tiba di istana, rumah Hamid besar dengan perlengkapan yang serba mewah. Tapi saat itu, kami hanya sebagai sahaya, tak ada respons baik dari keluarga tuan rumah, hanya disila duduk di lantai dengan suguhan yang tak sepantasnya, kedua orang tua Hamid bagai orang bisu, seperti tak ingin bicara kepada keluargaku, hanya sesekali dengan kalimat pendek yang seperlunya.

Kabar yang tersebar beberapa hari kemudian, orang tua Hamid menyarankan anak tunggalnya itu segera memutus hubungan pertunangan kami. Mungkin mereka gengsi punya besan dan menantu miskin. Setelah kabar itu sampai di telinga ayah, ia jatuh sakit. Barangkali ayah sudah tidak kuat menahan tusukan hidup pahit yang bertubi-tubi, tapi dalam keadaan terbaring, dengan muka pucat dan bibir kering, ia tetap selalu tersenyum.

Saat kuminta penjelasan dari Hamid, ia selalu menampik tentang kabar orang tuanya yang hendak memutus ikatanku, tapi aku yakin ia hanya menyembunyikan kabar pahit itu demi menjaga perasaankku. Andai tidak karena demi Hamid yang baik hati, tentu aku lebih memilih memutus ikatan ini, daripada hanya terus terikat dalam kepungan respons yang sangat menyakitkan keluargaku.

Dan pada saat yang tak pernah kuduga, di saat ibu tengah berusaha keras mencari penyembuhan, ayah dipanggil olehNya. Meninggal di rumah kecil ini, tepat ketika cahaya senja menggaris bubung, ketika matahari menyelam ke rahim langit, diiringi koak gagak di langit dusun.

*

Saat hari pernikahan tiba, dalam tradisi masyarakat Madura, pengantin pria dianjurkan membawa barang-barang rumah tangga seperti dipan, kursi, lemari lengkap dengan isinya, meja, dan yang lain. Saat itu, keluarga Mas Hamid sengaja membawa perabot dan perlengkapan mewah berukuran besar, sehingga pintu rumahku tidak muat saat barang bawaan itu hendak dimasukkan. Sedangkan dalam mitos moyang kami, barang bawaan pengantin pria wajib dimasukkan ke dalam rumah si istri agar masa depan sang mempelai tidak kena petaka.

Salah seorang anggota keluarga Mas Hamid langsung turun tangan, menggergaji pintu rumahku hingga putus, membongkar gedung bagian atas pintu hingga lebih melebar. Alasannya, agar barang-barang itu bisa dimasukkan. Keluarga kami sangat malu dengan perbuatan itu. Sedang keluarga Mas Hamid, terutama kedua orang tuanya tersenyum puas bisa mempermalukan keluargaku. Kentara sekali jika rumahku kecil dan tidak layak ditandang barang-barang besar milik orang kaya.

“Kenapa dalam ritual dan ikatan cinta suci ini harus ada hal buruk seperti ini, Mas?” tiba-tiba bibirku melontar pertanyaan, lalu kepalaku puyeng dan tubuhku ambruk ke sebuah dada.

“Lifa!” suara Mas Hamid terdengar samar menyusup ke telinga, kemudian aku tidak ingat apa-apa.[*]


Ilustrasi dari Wikiart.org.

Baca juga:
Persidangan Batu – Cerpen Syafiq Addarisiy
Ruang Negatif – Cerpen M. Z. Billal


10 thoughts on “Kiamat di Rumah Kecil”

  1. Intan berkata:

    Kenala lifa tidak memutuskan pertunangan itu saja? Untuk apa memikirkan hamid yg baik hati katanya, apakah ada seseorang baik hati yg berdiam diri saja saat melihat perilaku buruk kedua orang tuanya? Pernikahan ketimpangan seperti ini memang menyebalkan, lagian seharusnya lifa sadar diri sedari awal. Bukan apa, hanya lebih baik bersama dengan orang yg setara tapi sama sama berjuang. Huuuh menyebalkan..

  2. Ikke berkata:

    Nangis banget baca ini :”

  3. Unai berkata:

    lanjutannnn

  4. Andre berkata:

    sakitnya nyampee :’

  5. fika_oleander berkata:

    Saya suka cerita ini sangat menarik, tapi butuh lanjutannya wkwkwk

  6. Najoaeee berkata:

    Saya suka cerita menarik dan realistis,semoga ada lanjutannya

    1. Senja berkata:

      Cerita yg bagus dan sangat menarik, saya sangat suka, saya butuh lanjutannya

  7. Wanda berkata:

    hah, apa lanjutannya bzzz aku kepo????

  8. Monic berkata:

    Saya tertarik belum tau ceritanya apa belum semuanya kebaca nanti akan saya baca kalo ada waktu luang,sepertinya ceritanya unik

    1. Mayyyy berkata:

      lanjutanyaa???

Komentar Anda?