Tak ada terang yang boleh hidup di bawah gantang, cahaya terakhir bersalin di atas bukit.
Oleh: Michael Djayadi |
Lahir di Batu 21 Mei 2000. Sehari-hari bekerja sebagai jurumasak di sebuah kafe cepat saji di Batu. Berkegiatan di komunitas Pelangi Sastra, Malang. Buku puisinya yang telah terbit: Sebelum Burung-Burung Melawan Gravitasi (Pelangi Sastra, 2021). Dapat disapa melalui Instagram: michaeldjayadi.
Orang-orang memanggilnya sundal
Gading putih tertindih merah kesumba
Kawanan batu siap sedia tergenggam telapak
Menunggu tangan terampil menyudahi aib dunia
Perempuan kita tersudut di tengah gelanggang
Mata nyalang merapatkan tegak barisan
Siap menyerang kapan pun Anak Manusia
Bangkit dari landasan, mengayun tangan
Tapi tak ada tanda-tanda tangan
Merajam perempuan itu
Ahli taurat dan para Farisi cuma bergeming
Seperti domba kumal di hadapan batu asah
Cawan mereka kosong belaka
Lidah tak mampu menyeru lagi: sundal!
Dadu taruhan kehilangan mata nyalang
Siapa memasang angka, mohon tinggalkan
Orang-orang perlahan mulai mengangkat bokong
Gegas membawa sisa kepingan perak
Anak Manusia masih membungkuk
Menulis sesuatu di atas wangi tanah
Perempuan kita bangkit dari cercaan
Setelah namanya menguar di atas wangi tanah
Dan kita semua tahu apa yang digurat
Anak manusia pada tubuh tanah:
Tersibaklah tabir putih, seputih gading
Telah luntur merah kesumba, semerah daging kirmizi
Tak ada batu-batu beterbangan
Tak ada waktu terbuang sia-sia
2023
.
segala sengsara segala sukaria hanyalah sepi yang tertawa
(Emha Ainun Nadjib)
Pohon terang yang dipanggul bintang timur melepaskan carangnya. Segala gulungan rempah dan mur meniadakan nama-nama. Alfa omega anak sang mahatinggi pergi meninggalkan padang Efrata. Kereta berekor api tidak membawaNya melewati bubungan bait Allah. Serambi Salomo sepi pendoa, sebab naungan yang mahatinggi telah naik ke puncak Hermon. Disaksikan berpasang mata murid-muridNya, cawat yang menutupi luka dan bilurNya bersalin cahaya terakhir. Dengan sayap rajawali Ia terangkat tinggi semakin tinggi, awan gemawan tak terjangkau picing mata. Sedang, di bawah sini menangislah para perempuan, tersedu mengingat nasib pohon ara yang Ia hanguskan ketika daun-daun lebih mengkal dari buahnya. Sepotong ikan goreng hasil tangkapan para nelayan Galilea terserak kembali menjadi asin keringat. Mereka ingat di atas awan gemawan, sebelum Ia naik ke sorga, sempat terdengar bahwa Sang Penghibur akan turun menolong mereka saat semua orang ingin merampas nyawa tersisa. Ia yang sepadan dengan Anak Manusia akan menyentuhkan bara pada lidah mereka, hingga bahasa-bahasa roh mengikat kepal angin kencang dan pangkal lidah api. Tak ada terang yang boleh hidup di bawah gantang, cahaya terakhir bersalin di atas bukit.
2023
. Puisi-Puisi Michael Djayadi – Cahaya Terakhir
“Dan ku jatuh pada kakiNya, sana ku dapat ampun dosa”
(Pada Satu Bukit)
Remah roti yang Tuan jatuhkan
Dari meja makan memanglah
Tidak seutuhnya menukar takdir hamba
Menjadi bangsa pilihan Tuan
Tujuh kaki dian sekalian bokor
Minyak urapan juga bukan
Bagian hamba tuk kesekian kali
Menahirkan gersangnya hati
Tapi, Tuan, oh Tuan
Jatuhkanlah kiranya sedikit remah itu
Agar janji hamba pada anak perempuan
Hamba tidak kembali sia-sia
Anak-anak Tuan telah mengenal perut
Kenyang yang darinya rasa nyenyak
Terbit sebelum sendawa mereka
Mengatupkan mata dan menitipkan kantuk
Anjing yang setia menunggu ini
Tak akan pergi meninggalkan kasut Tuan
Barang sebentar pun sebelum seruan panglima setan
Dalam tubuh memar anak hamba mundur terkapar
Jubah Tuan yang kelak bakal diundi
Untuk setiap pekat sangsi yang hamba rasai
Tak akan sekali-kali ternodai apabila nyawa anak hamba
Tak jadi taruhan hidup dan mati
2023
.
Setelah mesias yang mereka nanti-nanti mesti terkulai layu pada sepasang kayu kasar itu, kirbat anggur dalam hati mereka perlahan mulai cerai-berai. Yerusalem tak lagi kota penuh nubuat, sorak-sorai dan gita-puji hilang arti, kota perjanjian memalingkan wajahnya. Hingga di jalan, ketika mereka sedang menuju Emaus, mata mereka terhalang ragu dan bimbang, tepat setelah seseorang yang begitu dekat dengan mereka menampakkan diri dan berjalan bersama mereka. Ia hanya menyunggingkan senyum sementara mereka berdua terus berjalan dan berbicara tentang apa saja yang telah Ia alami. Ketika mereka terlambat menyadarinya, pecahan roti dan kata-kata berkat kadung menyelinap masuk dalam hati mereka, dan perlahan-lahan menjahit kembali kirbat layu itu dan mengisinya dengan anggur baru.
2023
.
Hari itu kabut kian menepi perlahan
Seakan tahu dua pasang mata akan menjadi
Buta oleh bujuk muslihat mamon
Berkuasa di hati penuh ngengat
Harga tanah yang ingin mereka berikan
Sebagai dupa yang harum di mezbahNya
Adalah sebilah belati di belakang
Pinggang Roh Kudus
Mereka sepasang tungkai lelah
Menapaki sanggar-sanggar lidahMu
Mereka sepasang bibir kelu
Pandai mendustai bara dan api
Setelah mereka berdua bersepakat
Genap menyudahi satu sama lain
Dengan saling bertukar bisik
Tengkuk maut telah sedepa di luar kabut
2023
.
—setelah lukisan Lyuba Bogan: Angel Appears to Joseph
Ketika niat itu masih bergolak
Di sekujur hatinya
Firman malaikat menghampiri mimpinya
Tepat sebelum niat itu hendak dibuahinya
“Anak dara penuh nubuat itu mestilah tetap kaupersunting,
Meskipun tiada lagi harap dalam hatimu”
Ia masih terlelap dibuai
Bunga tidurnya
Ia masih tukang kayu
Di tanah Nazaret
Hingga suatu waktu
Di tanah Betlehem
Saat seluruh dunia terlelap
Dan pintu-pintu tertutup
Anak dara penuh nubuat itu
Membenamkan gelisahnya
Pada lumbung palungan
Penuh roh dan janji
Sampai suatu waktu
Di seluruh penjuru Yudea
Pecah tangis Imanuel membayar
Semua mimpi dan keraguan
2023
Ilustrasi: Dokumentasi Saeh Go Lino, Ruteng pada Tablo Yang Tak Pernah Pergi.
Baca juga:
– Puisi-Puisi Bayu Pratama – Sebelum Kematian
– Puisi-Puisi Alda Merini – Akulah Perempuan Milik Allah
– Puisi-Puisi Derry Saba – Beginilah Kotamu Tertulis dalam Kata-Kata Sepiku
waaaah
Selalu kerenn????
Selalu kerenn????