Menu
Menu

Perempuan dan perbudakan adalah tema yang coba disajikan oleh Iksaka Banu melalui novel Rasina.


Oleh: Marto Rian Lesit |

Pegiat Seni.


Tahun 1755. Menjelang kebangkrutan VOC, imperium dagang terbesar di dunia, Jan Aldemaar Staalhart dan Joost Borstveld, sepasang petugas hukum, menemukan diri mereka terseret pusaran arus besar penyelundupan budak dan opium, yang melibatkan sejumlah orang penting di Batavia-Ommelanden.

Rasina adalah seorang budak yang bisu yang leluhurnya menjadi korban pembantaian massal oleh Jan Pieterszoon Coen saat VOC berupaya membangun monopoli perdagangan pala di Banda pada tahun 1621. Sebagai pelayan rumah tangga sekaligus budak nafsu tuannya, Rasina menjadi saksi hidup banyak hal tak terduga yang membuat jiwanya terancam. Perjumpaannya dengan Staalhart serta Joost Borstveld membuat keadaan menjadi semakin rumit, berbahaya, sekaligus membawa harapan baru.

Biar bincang buku tidak putus, piknik dulu yuks!

Dan terjadilah, Minggu, 30 Juli 2023 Klub Buku Petra (KBP) mengadakan semacam versi jalan-jalan dari Bincang Buku yakni Piknik Buku di Wae Lengkas. Novel Rasina menjadi hidangan utama piknik. Barangkali ini bukanlah sebuah kebetulan belaka. Karya fiksi-sejarah memang kerap menciptakan sensasi jalan-jalan ke masa lalu, mulai dari mendatangi tempat-tempat yang asing dan dekat hingga menjumpai tokoh-tokoh yang masyhur dan biasa saja. Demikian pun karya yang ditulis oleh Iksaka Banu ini merupakan buku ke-55 yang akan membuat KBP bepergian. Mengikuti Rasina, peserta yang hadir diajak jalan-jalan ke Banda, menemukan jejak-jejak pala di sana lalu bertolak pula ke tempat lain seperti Batavia, melintasi lembaran-lembaran sejarah.

Grace Katarina menjadi pemantik diskusi kali ini. Hadir serta dalam piknik buku ini adalah Armin Bell, Yasinta Ajin, dr. Ronald Susilo, Nadya Tanja, Retha Janu, Beato Lanjong, Lolik Apung, Maria Pankratia, Febry Djenadut, Afin Gagu, Erni Adar, Tommy Hikmat, Yuan Jonta, Arsy Juwandy, Marto Rian Lesit, dan beberapa sahabat lain yang turut meramaikan piknik hari itu.

Piknik ini didukung oleh Gramedia sebagai bagian dari kerja sama Klub Buku Petra dan Gramedia Pustaka Utama tahun 2023 ini.

Sebagai pemantik, Grace membuka kalimatnya dengan meminta maaf terlebih dahulu. Ia merasa bahwa apa yang akan disampaikan alih-alih menjadi pantikan, malah lebih menyerupai hasil pembacaan. Gadis yang sehari-hari menggawangi Kedai Buku Petra ini mengaku bahwa dirinya kurang bisa menikmati novel berlatar sejarah apalagi referensinya belum cukup banyak. Baru sekali ini ia berjumpa dengan karya Iksaka Banu. Bagi Grace, perempuan dan perbudakan adalah tema yang coba disajikan oleh penulis melalui Rasina.

Penasaran dengan sejarah perbudakan di zaman penjajahan, Grace beberapa kali mencari tambahan referensi selama membaca Rasina. Ia tertarik dan kemudian mengutip salah satu pemberitaan CNN (02 Juli 2023): “Raja Belanda Ucapkan Permintaan Maaf Atas Perbudakan di Masa Lalu”. Menurut Grace tujuan buku ini ditulis barangkali adalah cara Iksaka Banu memperkuat upaya pengentasan perbudakan di Indonesia; menentang apa yang dilakukan Belanda bertahun-tahun lalu. Grace lalu mengungkapkan kekagumannya atas pilihan perspektif penceritaan yang dimainkan Iksaka Banu dengan memakai sudut pandang penjajah: hal ini amat menarik.

Grace mengaku kaget mendapati fakta pelelangan budak di masa lalu. Dalam penelusurannya lebih lanjut Grace menemukan sebuah artikel yang pernah menulis tentang seorang budak dari Bali, Rosinah namanya. Berbeda dengan Rasina, ia tidak bisu dan tidak mendapat keadilan sampai mati.

Meski tertarik dengan sudut pandang pembacaan yang dipakai Iksaka dalam novel Rasina, di lain sisi Grace mengalami kendala ketika berupaya memahami alur kisah antara Batavia dan Banda. Barangkali karena ia coba membaca cerita di dua tempat itu secara berurutan. Alhasil, ia lekas kehilangan fokus ketika cerita berganti latar.

Selama mengikuti cerita ini, banyak sensasi yang dirasakannya. Mulai dari munculnya perasaan tidak puas atas hukum yang berlaku masa itu, hingga betapa tertariknya ia pada tokoh Izaak Griezelig; tokoh ini konsisten mempertahankan karakternya sampai akhir.

Setelah giliran pemantik piknik buku, Armin Bell menyampaikan hasil pembacaan. Novel Rasina merupakan karya kedua Iksaka Banu yang ia baca setelah kumpulan cerpen Semua untuk Hindia. Armin membuka hasil pembacaannya dengan mengungkapkan keterpesonaanya terhadap nama Banda Neira. “Itu nama yang seksi dan menyenangkan.” Walau indah, kisah kelam yang ditampilkan juga adalah pesona lain yang membuat Armin menyelesaikan buku ini. Hal ini didukung oleh cara penulis menyajikan kisah estetik dan menggunakan teknik yang sangat baik.

Seperti Grace, Armin membaca buku ini secara berurutan. Awalnya ada godaan untuk membaca buku harian Kakek Staalhart secara terpisah, tetapi ada kecurigaan, membaca dengan cara yang demikian berpotensi memicu ketegangan dan tensi membaca yang cukup tinggi. Dengan membaca berurutan, pembaca diberi ruang jeda. Selain itu, bahan-bahan untuk meramu kisah ini juga diyakini datang dari sumber arsip yan baik.

Fokus Armin yang lain dalam menyelami novel Rasina adalah soal buku harian. Menulis buku harian ternyata mempunyai manfaat untuk ratusan tahun kemudian. Ada sejarah yang bisa dibaca di sana. Dalam banyak kisah sejarah, banyak ditampilkan hal-hal kejam seperti perang, tetapi dalam banyak buku sastra terutama yang melibatkan penjajah, hal menarik yang bisa dibaca adalah bagaimana teks menampilkan tokoh-tokoh penjajah yang juga sedang berperang hatinya. Bumi Manusia dan Malaikat Lereng Tidar adalah contoh lainnya.

Di konteks Manggarai, Nusa Tenggara Timur, apa yang dibicarakan Iksaka Banu tentang sistem perang dan penguasaan wilayah oleh Belanda/VOC mengingatkannya pada kisah Rampas Papang (rampas: perang), yang merupakan sejarah penting Manggarai. “Kisah ini, bila ditulis dengan baik akan menjadi kisah yang berpotensi tidak kalah menarik dengan kisah-kisah sejarah lain yang melibatkan cerita tentang kolonialisme,” ungkapnya.

Armin menutup hasil pembacaanya dengan mengajak pembaca lain menyimak percakapan Joost dan Staalhart di halaman 494-495. Di akhir dialog mereka, tampak ada bagian dialog Staalhart yang malah menjadi dialog Joost. Walau terlihat ada sedikit kelelahan penyuntingan di sana, Armin tidak mempermasalahkannya karena baginya buku ini ditulis dengan sangat nyaman dan menjadi cerita fiksi-sejarah yang menyenangkan.

Berbeda dengan Armin, Ajin merasa novel Rasina ini sedikit membosankan di awal. “Saya baru mulai bersemangat saat kemunculan tokoh Rasina. Barangkali karena saya menyukai buku dengan cerita kriminal atau yang berbau ekstrim,” ungkap Ajin.

Buku ini juga merupakan fiksi sejarah pertama dengan penjajah sebagai tokoh pencerita yang pernah ia baca. Hal baik yang ia dapat dari pengalaman ini adalah bahwa ia akhirnya tahu tidak semua orang dalam kelompok penjajah itu jahat, tetapi sejalan dengan itu bagi Ajin yang tidak punya cukup banyak referensi sejarah, hal itu dapat saja membuat ia akan lebih memihak kaum penjajah dan kehilangan rasa empati kepada mereka yang pernah dijajah Belanda.

Sama halnya dengan Ajin, salah satu pembincang yakni Erni Adar juga kurang sepakat dengan penamaan Rasina sebagai judul novel jika dilihat dari seberapa sering karakter ini muncul dalam tubuh cerita. Selain itu, ia juga kurang meminati karya bergenre fiksi sejarah.

Pembaca selanjutnya adalah Dokter Ronald. Setelah menuntaskan buku ini, Dokter Ronald sempat membaca pertanggungjawaban dewan juri untuk menilai naskah novel sayembara Dewan Kesenian Jakarta. Kurang lebih ada enam elemen cerita yang dipakai untuk menilai antara lain pendahuluan (sejauh mana pendahuluannya menarik perhatian pembaca baik dalam hal pengenalan tokoh, pembukaan cerita, dan pembangunan tensi), alur (sejauh mana konflik, krisis, dan resolusi cerita dibangun secara berkesinambungan, sejauh mana alur koheren dan konsisten serta tidak memiliki plot hole, sejauh mana naskah menghadirkan plot twist), karakterisasi (sejauh mana karakter yang ada unik dan mudah diingat, sejauh mana kelogisan antara motivasi yang dimiliki karakter dengan tindakan yang dilakukannya, sejauh mana introspeksi dan dialog yang disampaikan karakter sesuai dengan karakteristiknya), latar (sejauh mana latar dibangun secara utuh dan mengikat, sejauh mana latar yang dibangun mampu menghidupkan indra dan berkontribusi pada emosi, motivasi, dan keputusan karakter), gaya bahasa (sejauh mana narasi “menuliskan” alih-alih “menceritakan”, sejauh mana kalimat yang ditulis efektif dan menggerakan cerita, sejauh mana penulis menggunakan majas, sejauh mana naskah bersih dari kesalahan tanda baca, ejaan, dan tata bahasa), kebaruan (sejauh mana penulis menghadirkan ide dan mengembangkannya dengan cara yang baru, apakah penulis menawarkan bentuk “keluar” dari bentuk novel pada umumnya).

Dengan menggunakan panduan tersebut, dokter Ronald menilai buku ini sebagai buku yang baik.

“Karena tidak ada persilangan yang berarti antara plot 1 dan 2, maka membacanya secara terpisah akan sangat mungkin dilakukan. Saya juga sangat terbantu dengan adanya gambar peta dalam buku ini. Mudah dibayangkan titik-titiknya karena saya juga pernah lama tinggal di Jakarta. Gambar wajah para karakter yang disiapkan dalam buku ini juga amat membantu saya mengimajinasikan peristiwa-peristiwa yang ada,” tambah dokter Ronald. Buku ini juga mengingatkannya pada cerita keluarganya tentang perdagangan opium di Manggarai tempo dulu.

Tommy yang adalah penikmat novel sejarah menjadi pembincang berikutnya. Setelah membaca buku ini, Tommy lebih tertarik menyoroti pesan yang barangkali coba disampaikan penulis yaitu tentang uang, ketenaran, dan kekuasaan. Menurutnya tiga hal inilah yang men-drive penjajah masuk ke Batavia dan Banda. “Di dalam novel Rasina ini, bagian yang sangat menarik adalah ketika penulis menyebutkan dan bercerita tentang asal-usul penamaan wilayah Manggarai di Batavia, ternyata nama itu nama tempat penjualan budak yang notabene budaknya berasal dari wilayah Manggarai, Flores,” ujarnya.

Sama halnya dengan Tomi, beberapa pembaca lain seperti Febri, Retha, dan Arsy juga lebih tertarik melihat pesan penting novel ini dan cenderung memiliki kesan membaca yang sama.

“Ini fiksi sejarah yang realistis. Sebagai pembaca kita barangkali akan membayangkan hukuman berat bagi para penjajah karena persoalan perbudakan atau kakek Staalhart yang tetap dihukum karena perbuatannya. Dan begitulah hidup. Tidak semua bisa kita dapatkan. Membaca buku ini membuat saya bisa lebih berempati dengan para budak dan cerita-cerita di belakangnya,” ungkap Febri.

“Membaca buku ini seperti membaca buku detektif,” komentar lain muncul dari Retha Janu.

Beato senang membaca buku ini. Itu diungkapkannya ketika membagi hasil pembacaanya. Melanjutkan apa yang disampaikan Tommy sebelumnya tentang nama Manggarai di Batavia, Beato mengajukan pertanyaan yang cukup kritis yaitu bagaimana mungkin budak-budak dari wilayah Manggarai bisa sampai ke Batavia sementara kerajaan yang menguasai Manggarai pada saat itu yaitu Kerajaan Bima tidak mempunyai armada laut yang memadai. Meski diceritakan bahwa tiap kedaluan di wilayah Manggarai menyumbangkan 10 budak setiap tahun, hal itu masih belum cukup kuat untuk mengamini nama Manggarai di Batavia berasal dari nama Manggarai di Flores.

Nadya sebagai pembincang berikutnya membuka hasil pembacaan dengan sebuah refleksi singkat yaitu bahwa moralitas tidak bisa diukur dari sudut pandang manusia yang sangat subjektif. Hari itu, Nadya juga memberikan beberapa informasi menarik lainnya. Ia menyoroti cara kerja kolonial dengan kacamata yang unik. Ia yang kebetulan pernah menonton salah satu tayangan di Youtube Ibu Connie Bakrie mendapat secuil informasi bahwa dahulu kala Indonesia mempunyai armada laut yang besar. Orang-orang Jepara yang dikenal sebagai penghasil kayu bagus saat itu, bisa membuat kapal besar yang bisa berlayar dari Indonesia sampai Eropa dalam satu perjalanan. Ketika kaum kolonial masuk diberlakukanlah aturan semua yang bisa membuat kapal harus menjadi budak dan mereka hanya boleh membuat kapal dengan ukuran kecil. “Itu barangkali yang membuat lini maritim kita lama berkembang. Kolonialisme mematikan kreativitas dan pengetahuan lokal bangsa Indonesia,” tutupnya.

Yuan Jonta yang menjadi pembincang selanjutnya sangat menyukai kemunculan Rasina yang tidak terlalu banyak dalam tubuh cerita, tetapi begitu “mengganggu” ketika dibaca. Bagi Yuan, penulis berhasil menyusun cerita secara detail, misal pada kisah pembunuhan dan penyelundupan opium. Hal-hal detail lainnya bisa ditemukan dalam karakter yang ada dalam cerita. Ketika Joost bicara sambil mengisap rokok atau mengambil bridil, yang ingin disampaikan penulis adalah bahwa dia orang yang suka berwacana, lip service, dan oral service juga ingin dipenuhi. Pada tokoh Izaak, bekas luka di seluruh tubuh menandakan dirinya yang lebih suka beraksi dibanding mengikuti rapat.

Namun, Yuan cukup menyayangkan set up cerita yang terlalu cepat ditebak. Sebagai pembaca ia berharap dapat terus bermain detektif ketika membaca buku ini. Selain itu, Yuan mengamati di bagian ending cerita ada tiga klimaks yang kemudian menjadi antiklimaks. Ketiganya adalah peristiwa De Vries yang hanya dipenjara dua tahun, Rasina yang tidak berhasil dibebaskan, dan Kakek Staalhart yang dihukum mati. Barangkali pesan yang ingin disampaikan penulis sesuai konteks tersebut adalah orang yang berpegang dan berjuang demi kebenaran kadang dianggap tidak berguna oleh pembaca, hanya karena alur yang diharapkan tak satu pun yang memuaskan.

Maria sebagai pembincang berikut memfokuskan hasil pembacaannya dengan membaca Jurnal Banda (Muhammad Fadli-Fatris MF). Ada satu kutipan menarik yang ditemukan Maria dalam buku ini yaitu “Tuhan menciptakan Banda untuk pala”.

Maria lalu membeberkan beberapa fakta terkait Pala. Pala adalah tanaman endemik, hanya tumbuh di Banda. Keberadaan gunung api di dekatnya membuat Banda menjadi tempat yang sangat subur. Selain sebagai pengharum, pala dipakai juga sebagai pengawet. Yang membuat pala memiliki cerita unik adalah sebuah peristiwa tragis. Pada abad ke-18, pohon pala dibakar di Amsterdam agar menjaga pemasoknya dan membuat harganya tetap mahal. Akhir abad 18 seorang pria asal Perancis menyelinap ke Banda dan meyelundupkannya ke Mauritius dan Sahel. Inggris yang sempat menaklukan Banda pada awal abad 19 sebelum Belanda turut membudidayakan pala di Sumatra, Penang, Srilanka hingga Grenada yang saat ini menampilkan pala sebagai simbol negaranya.

Lolik mengamini beberapa hal yang sudah disampaikan para pembaca sebelumnya. Pala barangkali adalah simbol yang dipakai penulis untuk menulis novel Rasina. Jika pala dipandang sebagai tanaman terkutuk, maka demikian cerita hidup Rasina. Nasibnya dikutuk seperti tanaman tersebut.

Lolik sekaligus menjadi penutup piknik buku kali ini. Setelahnya, para peserta makan siang bersama. Langit perlahan mendung ketika Retha Janu dan Marto Lesit mulai mengambil alih panduan piknik buku dengan sesi games. Hari itu, Klub Buku Petra sungguh-sungguh piknik. Jalan-jalan ke masa silam, makan di tengah suasana alam yang teduh dan bermain selelah-lelahnya. Rasanya seperti ingin tinggal lebih lama di puncak bukit Wae lengkas tetapi hujun akan segera tiba. Ini pertanda sebaiknya segera pulang. Novel Rasina karya Iksaka Banu barangkali telah selesai mengajak para peserta jalan-jalan tetapi piknik buku belum berakhir. Ke mana selanjutnya kita akan pergi? Apakah kita benar-benar telah mengunjungi masa lalu atau masa lalulah yang mendatangi kita?

Para peserta menyemati buku dengan bintang 4,5. Sampai jumpa di bincang buku selanjutnya!


Program Bincang Buku Petra ke-55 ini didukung oleh Gramedia Pustaka Utama.

Baca juga:
Menyerbu Perpustakaan – Esai Javier Marías
Nh. Dini Telah Pergi ke Tempat yang Lebih Tinggi …


Komentar Anda?