Menu
Menu

Bersikap adil terhadap liyan adalah hal yang sangat berat karena bersikap adil terhadap diri/kelompok sendiri juga bukan hal yang ringan. Tentang Menulis Liyan.


Oleh: Mahfud Ikhwan |

Novelis kelahiran Lamongan. Ia memenangi Sayembara Novel DKJ (2014), Penghargaan Badan Bahasa Kemendikbud (2016), Kusala Sastra Khatulistiwa (2017), Penghargaan Sutasoma dari Balai Bahasa Jawa Timur (2021), dan Anugerah Kebudayaan Provinsi DI Yogyakarta (2023). Selain novel, ia menulis cerpen dan esai.


Dalam pengantarnya untuk novel R.K. Narayan, The Bachelor of Arts (terbit kali pertama 1937), novelis Inggris Graham Greene membandingkan Narayan dengan para penulis kulit putih seperti Rudyard Kipling dan E.M. Forster dalam menampilkan India dan orang India dalam cerita-ceritanya.

Baginya, Narayan, orang asli India, menulis India dalam cara paling nyata, yang membuat Greene ”menemukan rumah kedua”, hal yang gagal diberikan oleh Kipling maupun Forster. Kipling, pengarang The Jungle Book yang terkenal itu, juga seorang peraih Nobel Sastra, bagi Greene meromantisasi India sebagaimana ia meromantisasi penjajahan Inggris atasnya. Sementara Forster, penulis A Passage to India, yang lucu dan lembut dalam menggambarkan teman-teman India-nya dan sering menampilkan orang Inggris secara ironis, tetap saja luput menggambarkan India sebagaimana mestinya.

Greene menandaskan, ”Barangkali tak ada seorang pun yang bisa menulis secara mendalam tentang negeri asing –ia hanya bisa menulis tentang dampak negeri asing tersebut bagi rekan sebangsanya, atau sebagai orang buangan, atau sebagai pegawai pemerintah, atau sekadar pelancong saja. Ia hanya bisa ’menyentuh’ latar negeri asing itu.”

Perbandingan Greene atas Narayan dengan penulis-penulis Inggris tentang India itu memberi gambaran paling permukaan apa yang terjadi pada orang-orang yang menulis liyan (the other). Dan Greene tentu saja tidak/belum menyinggung soal bias kolonial kolega-kolega Britis-nya, meski kita telah bisa menghidu kritiknya.

Pengantar itu, sebagaimana diterakan di kolofon buku Narayan terbitan Minerva (1993), ditulis pada 1978, tahun yang sama dengan terbitnya Orientalism-nya Edward Said, buku yang barangkali menjadi asal mula topik yang kita bincangkan ini. Dikenal sebagai salah satu pengkritik intervensionisme Amerika paling awal lewat novel-novelnya, juga simpatisan Revolusi Kuba yang terang-terangan, bagaimanapun Greene adalah penulis kulit putih pada umumnya. Misalnya, dalam The Quite American, novel Greene yang berkali-kali difilmkan, kita bisa temukan Vietnam (dan barangkali dunia ketiga secara umum) direpresentasikan oleh gadis pribumi yang rentan bernama Phuong, yang diperebutkan dua pria kulit putih.

Mungkin mata Greene tak sekolonial Forster dan Kipling, juga Conrad –yang dipuji Greene dalam tulisan pengantar itu, namun menjadi antagonis utama di bukunya Said. Tapi, bagaimanapun itu tetap tatapan kolonial. Dan dalam tatapan kolonial itulah gambaran meleset, paparan mengerdilkan, simpulan yang menggampangkan, dan prasangka-prasangka yang salah biasa terjadi.

Jadi, apakah kisah tentang seseorang/kelompok/bangsa semestinya ditulis oleh orang atau kelompok/bangsa itu sendiri? Seharusnya demikian. Tapi, apakah itu mungkin?

Dalam kasus Indonesia, beberapa tulisan paling penting perihal Indonesia seharusnya ditulis oleh orang Indonesia sendiri. Tapi, bagaimana lagi, karena satu dan lain hal, ia justru lahir dari tangan, kepala, dan mata orang asing. Dan kita mesti hidup untuk seterusnya dengan itu.

Saya termasuk orang yang bersepakat bahwa peran Multatuli dan karyanya, Max Havelaar (1860), terlalu dibesar-besarkan. Saya juga cenderung setuju dengan Saut Situmorang (Boemipoetra, 6/4/2022) bahwa Max Havelaar tak banyak berbeda dengan novel-novel kolonial lain, dan menyebut klaim Pramoedya Ananta Toer (bahwa novel itu telah membunuh kolonialisme) sebagai ”asertif” dan ”ahistoris”. Tapi, jika tak membunuhnya, saya percaya, Multatuli telah memberi semacam rekam medis lebih awal bahwa pada tubuh kolonialisme ada borok yang sedang menggerogoti dan kelak akan membunuhnya. Dan apa yang digambarkan novel itu, secara terang atau samar, kelak terkait dengan dimungkinkan lahirnya orang-orang seperti Agus Salim, sosok yang digambarkan penuh kebanggaan oleh Pram di pembuka esainya di The New York Times itu.

Di luar sastra, barangkali dengan lebih sedikit berdebatan, pangkal pengetahuan kita soal kejahatan kemanusiaan luar biasa di seputaran Tragedi ’65 akan selalu berujung kepada Cornell Paper-nya Ruth McVey dan Ben Anderson. Dimulai oleh dua bule itu, saya setidaknya bisa menatap satu rak penuh buku-buku lain yang berusaha meneruskan, menambahkan, atau mengoreksinya, juga puluhan memoar dan otobiografi para korban. Menunggu orang Indonesia sendiri yang menulisnya? Barangkali yang kita punya hanya sejarah ’65 ala Nugroho Notosusanto dan Taufiq Ismail –dan para pembebeknya saja.

Untuk kasus yang lebih personal, saya akan mengajukan esai ”Rhoma Irama and the Dangdut Style” dari William H. Frederick sebagai ilustrasi yang lain. Ketika di tulisan-tulisan Remy Sylado Anda selalu menemukan musik yang Anda sukai dicemooh, sementara di halaman kebudayaan media-media arus utama Jakarta Anda mendapati selera Anda diabaikan atau diremehkan, menemukan tulisan Pak Bill adalah sebuah penebusan besar. Dan seperti yang pernah saya tulis, tulisan Frederick itu bagi saya kemudian menjadi tongkat sakti untuk memukul siapa pun yang masih meremehkan dangdut.

Sebagai penggemar lakon-lakon ludruk, yang memuja bagaimana mereka menciptakan karakter-karakter hebat dari kalangannya sendiri, dan secara konsisten menempatkan si kuat dan menindas (kompeni Belanda dan elite pribumi, misalnya) dalam sorotan negatif atau bahkan konyol, saya mengidealkan kisah tentang seseorang/kelompok/bangsa seharusnya ditulis oleh mereka sendiri. Dengan idealisasi semacam itulah saya menciptakan karakter semacam Ulid, Mat Dawuk, hingga Anwar Tohari.

Saya sering menyebut, saya menulis hal-hal yang lebih dekat karena saya malas untuk melakukan riset. Namun, barangkali, ketakutan yang lebih besar adalah karena menulis apa-apa yang di luar diri kita adalah tindakan yang sangat berisiko. Bagi saya, niat yang mulia, juga ketekunan melakukan riset, tak selalu cukup untuk menghasilkan tulisan yang adil tentang orang lain. (Anda kira, ketika Kipling menulis ”The White Man’s Burden” untuk mendukung penjajahan Amerika atas Filipina, itu tidak didasari niat mulia?)

Bersikap adil terhadap liyan adalah hal yang sangat berat karena bersikap adil terhadap diri/kelompok sendiri juga bukan hal yang ringan. Itulah kenapa ada penulis-penulis yang memakai mata asing untuk melihat diri atau kelompoknya sendiri, entah karena kedangkalannya atau keteledorannya, atau karena dengan sadar ingin mengambil keuntungan dari itu.

Di lakon-lakon ludruk, banyak demang atau pendekar yang mau berkomplot dengan kompeni untuk mendapatkan kemuliaan dan kedudukan. Di dunia nyata, tak kurang penulis-penulis kulit berwarna menulis buruk tentang dirinya atau kelompoknya atau bangsanya untuk mendapat pujian patron-patron kulit putihnya. [*]


Dikembangkan dari materi diskusi ”Menulis ’Yang Lain’: Fiksi di Antara Kebebasan Kreatif dan Apropriasi Budaya” di Flores Writers Festival 2023 di Maumere, 8 November 2023; disiarkan pertama kali di Jawa Pos, Minggu, 26 November 2023.

Foto: Mahfud Ikhwan bersama Armin Bell, Dian Purnomo, dan Mariati Atkah dalam sesi Menulis ‘Yang Lain’ … di FWF 2023.

Baca juga:
Mendengar dengan Jujur, Menulis dengan Hormat
Mempersenjatai Orang Lokal: Siapa Berhak Menulis Apa?


Komentar Anda?