Menu
Menu

Lutut Syakubat tiba-tiba bergetar. Tak sanggup lagi ia berjalan. Kedua anaknya mulai menangis, memeluk ibu mereka dengan erat.


Oleh: Tin Miswary |

Menulis esai, resensi buku, dan cerpen. Menetap di Bireuen, Aceh.


Malam sudah larut ketika sekumpulan massa mengepung rumah Syakubat. Rumah kayu itu berdiri kuyu di tepian sawah, ditemani batang-batang padi yang hampir menguning. Ada beberapa balai bambu di depan rumah itu, tempat Syakubat biasa mengajarkan anak-anak mengaji. Di malam-malam tertentu ia juga memberi pengajian untuk perempuan-perempuan tua yang di masa mudanya tak sempat mengaji, agar ketika mereka mati tak dimarahi malaikat.
Syakubat menyibak tirai jendela, melempar pandang dari celah-celah kaca nako. Seketika bulu kuduknya berdiri tegak, bagai ilalang. Syakubat segera menoleh ke arah istri dan dua anaknya yang masih duduk di tikar pandan, tak jauh dari dapur. Dia menghela napas, menahan rasa takut yang tiba-tiba datang.

Bukan kali ini saja rumahnya didatangi orang-orang, tapi sudah berkali-kali. Mereka meminta Syakubat meninggalkan kampung, pergi jauh dan jangan pernah kembali. Namun, Syakubat selalu menolak. Tak ingin dia meninggalkan kampung yang sudah memberinya banyak kenangan.

Syakubat bukan pendatang di kampung itu, tapi asoe lhok. Dari cerita mendiang kakeknya dia tahu kalau endatu-nyalah yang awal mula membuka kampung, ketika tanah-tanah di sana masih berupa hutan. Di tanah itu pula endatu-nya beranak pinak, membangun kampung, membuka lahan dan merintis jalan-jalan setapak.

Dari arah jendela, Syakubat mendengar teriakan orang-orang. Ratusan orang bersorak-sorai sembari di tangan mereka memegang obor, parang dan kelewang; meminta Syakubat segera keluar. Laki-laki bertubuh kurus bagai ranting kering dengan janggut tipis menjuntai itu mencoba menenangkan diri. Dia meninggalkan jendela, melangkah ke arah anak dan istrinya yang memasang wajah kecut dan lalu menatap wajah-wajah cemas itu dengan hati gentar.

“Kita pergi saja, ke rumah orang tuaku,” kata istrinya dengan suara lirih. Sudah berkali-kali ia merayu Syakubat untuk meninggalkan kampung itu. “Tanah masih bisa kita beli dan rumah masih bisa kita bangun, tapi nyawa tak ada ganti.”

Perempuan itu memeluk dua bocah laki-laki yang duduk di pangkuannya, membelai kepala mereka dengan pelan sembari kedua matanya perlahan basah. Syakubat mengusap wajahnya yang lisut, sedikit membungkuk dan berbisik di telinga istrinya. “Sekarang sudah tak mungkin lagi.”

Syakubat duduk bersila di hadapan istri dan kedua anaknya yang sudah tak sanggup menahan kantuk. Suara-suara di luar telah membangunkan mereka setengah jam lalu dan lalu lari memeluk ibu. Syakubat mengurut-urut kepalanya sendiri sembari berpikir keras, mencari cara untuk menyelamatkan keluarga kecilnya yang kini terancam. Namun, dia teringat pada percakapan-percakapan seminggu lalu, ketika Nyak Raja, satu-satunya paman yang ia miliki, menasihatinya di balai bambu. Nyak Raja meminta Syakubat untuk menutup balai dan hidup seperti dulu, sebagai pedagang di Malaya. Tak perlu menjadi teungku. Kalau pun mau menjadi teungku jangan di kampung ini, demikian nasihat Nyak Raja.

“Itu tak mungkin, Pak Wa,” sangkal Syakubat waktu itu, seraya matanya memandang keriput di wajah pamannya yang semakin menua. “Aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk mengabdi di kampung ini ketika usiaku menginjak lima puluh, ketika dosa sudah jarang kulakukan dan ketika kebutuhan hidup sudah kurasa cukup. Aku pikir ini bentuk syukurku pada Tuhan.”

Nyak Raja menggeleng-gelengkan kepalanya yang semakin tirus, tak menduga Syakubat akan berkelit seperti itu. Sejak kematian ayahnya, Syakubat terlihat bersikeras membuka pengajian. Dia membangun beberapa balai bambu dengan uangnya sendiri, membeli tikar pandan, beberapa Qur’an dan kitab-kitab Jawi. Dia terlihat sangat tekun dengan usahanya itu. Kepada Nyak Raja dia juga mengaku menggratiskan biaya pengajian, tak perlu membayar. Kalau pun ingin membayar, nanti saja, ketika padi-padi sudah dipanen. Itu pun segantang dua gantang padi. Syakubat tidak mau menerima uang dari orang-orang yang datang mengaji.

“Tapi, di sini sudah ada dayah. Sudah lama sekali dayah itu berdiri, sebelum kamu besar. Bahkan kamu juga pernah mengaji di sana.” Nyak Raja coba memberi pengertian pada Syakubat, keponakan yang paling ia sayangi, setelah anak semata wayangnya mati ditabrak babi saat tersesat di dalam hutan. Dia berharap Syakubat bisa mengerti. Apalagi Abu Abdurrajim, teungku besar di dayah itu, sudah mengingatkannya berkali-kali, agar Syakubat tak membuka balai. “Tak baik ada dua pengajian di satu kampung,” kata Abu pada Nyak Raja suatu hari.

“Yang menjadi muridku hanya anak-anak miskin dan perempuan uzur yang tak mungkin lagi pergi ke dayah. Hanya kepada mereka aku mengabdi. Dan, aku pun tak pernah memaksa mereka mengaji, tapi mereka datang sendiri.”

Nyak Raja menghela napas, lalu bangkit memperbaiki sarungnya yang hampir melorot dan kemudian duduk lagi di balai bambu, di sisi Syakubat yang duduk bersila. Dipandanginya Syakubat dengan tatapan dalam. Syakubat mirip sekali ayahnya. Cuma saja ayahnya tak keras kepala, bisa dibujuk dan suka menurut. Ayah Syakubat adalah adik tiri Nyak Raja. Itu karena kakek Syakubat beristri dua. Sejak kecil Syakubat sangat dekat dengan Nyak Raja, karena ayah ibunya jarang di rumah, pergi mencari kayu di dalam hutan.

“Apa tidak lebih baik kau timang-timang lagi? Demi kebaikanmu juga.” Suara Nyak Raja terdengar pelan.

“Sepertinya keputusanku sudah bulat, Pak Wa. Istriku pun sudah setuju. Lagi pula aku cuma membuka balai kecil, bukan dayah besar seperti Abu Abdurrajim. Aku pikir tidak ada masalah.”

Nyak Raja kehabisan akal. Dia menyerah dan tak berkata apa-apa lagi. Di hati, dia berdoa agar Syakubat berubah pikiran. Namun, Tuhan tidak menerima doa Nyak Raja, mungkin karena dia malas sembahyang.

Semakin hari balai-balai Syakubat semakin ramai dengan orang-orang mengaji. Beberapa santri yang dulunya belajar di dayah Abu Abdurrajim memilih pindah ke balai Syakubat. Tentu saja Syakubat tidak bisa menolak.

“Uang lampu di dayah Abu semakin mahal, Abu juga meminta kami membantu membajak sawahnya yang luas. Kadang-kadang Abu mengirim kami untuk membawa kaleng dan eumpang ganefo, mencari sedekah di pasar-pasar. Tak berani kami menolak,” kata beberapa santri saat mereka pertama kali mengaji di balai Syakubat. Mendengar keluhan itu, Syakubat hanya tersenyum. “Di sini tak perlu membayar, asalkan kalian sungguh-sungguh belajar.”

Hanya dalam waktu dua tahun, balai-balai Syakubat sudah penuh dengan orang mengaji, siang dan malam, pagi dan petang. Apakah dengan begitu Syakubat akan kekurangan biaya? Tentu tidak. Keuntungan di kedai kelontong dua lantai di pasar Kedah sudah cukup untuk membiayai kehidupan Syakubat dan operasional balai-balai kecilnya di kampung. Dan, walau pun Syakubat sudah bertekad tidak memungut bayaran dari orang-orang mengaji, akan tetapi ketika panen tiba bergantang-gantang padi diantar ke rumah Syakubat.

Kenyataan itu membuat Abu Abdurrajim gelisah berhari-hari. Satu persatu santrinya menghilang dan kemudian ia temukan mengaji di balai Syakubat. Beberapa kali ia mengundang tokoh-tokoh kampung dalam pertemuan raya di dayah-nya, untuk memberi pengertian pada mereka bahwa tak boleh ada dua dayah di satu kampung.

“Orang-orang akan berpecah, apalagi Syakubat membawa aliran baru, aliran yang tak sesuai dengan ajaran guru-guru.” Demikian kata Abu Abdurrajim pada tamu-tamu yang hadir.

Beberapa hari setelah pertemuan itu, orang-orang kampung mulai mencurigai Syakubat. Mulai mengintip pengajian dan mencari-cari kesalahan Syakubat. Sebagian yang lain mulai mengarang-ngarang cerita tentang Syakubat yang katanya suka telanjang dan menari-nari di kuburan. Syakubat juga dituduh melecehkan Al-Qur’an saat mengajarkan anak-anak mengaji. Saat itu Syakubat sengaja meletakkan potongan-potongan ayat Al-Qur’an di lantai balai dan lalu meminta murid-muridnya untuk mencari pasangan ayat.

“Ini adalah penghinaan,” kata mereka. “Tidak boleh ayat Al-Qur’an dipotong-potong dan diletakkan di lantai. Kalau terinjak bagaimana?”

Oleh beberapa orang cerita itu kemudian dikembangkan sedemikian rupa bahwa Syakubat meminta murid-muridnya menginjak Al-Qur’an. Bagai padi-padi di ladang yang semakin hari semakin tumbuh dan meninggi, cerita tentang Syakubat juga demikian, terus berkecambah dan membiak, bahwa Syakubat merobek-robek Al-Qur’an dan lalu meminta murid-murid berjalan di atasnya.
Beberapa kali Syakubat dipanggil Majelis Ulama untuk klarifikasi. Dengan pikiran bingung Syakubat menghadap majelis yang salah satu anggotanya adalah Abu Abdurrajim. Syakubat diserbu oleh pertanyaan-pertanyaan aneh yang tak pernah ia dengar sebelumnya. Pertanyaan-pertanyaan yang harus ia jawab dengan hati-hati agar ia tak tergelincir. Kesalahan sekecil apa pun harus dihindari agar cap sesat tidak menempel di jidatnya.

“Kami minta kamu segera menutup balai-balai. Belum saatnya kamu mengajar mengaji. Kamu sendiri harus banyak belajar. Jangan dipaksa mengajar, berbahaya. Bisa-bisa satu kampung sesat karena ajaranmu.”

Kata-kata yang keluar dari mulut ketua majelis membuat Syakubat tersenyum miring, senyum yang ia buat-buat, dengan harapan kebingungannya bisa sedikit berkurang. Namun, setelah berpikir lama, seraya melempar pandang pada orang-orang di ruang sidang, Syakubat berkata pelan, “Selama di Kedah, saya lama mengaji pada Tok Haji Umar. Tak ada beliau mengajar aliran sesat.”

“Tak sama kita dengan Kedah. Jangan kamu bawa-bawa aliran di sana ke kampung. Di sini ada Abu Abdurrajim, dia lebih paham ilmu agama. Kamu mesti belajar pada dia. Mulai besok kami minta kamu tutup semua balai.”

Syakubat pulang dengan wajah kusut dan lalu menatap balai-balainya yang sepi. Di beberapa bagian dinding balai tertempel kertas putih dengan tulisan-tulisan aneh: aliran sesat, dukun santet, nabi palsu. Dicabutnya kertas itu satu persatu dan lalu dibakarnya di bawah pohon kelapa.

Dari ujung lorong beberapa muridnya mulai berdatangan. Jam mengaji sore sudah tiba dan Syakubat harus berkemas-kemas. Pengajian berlangsung sebagaimana biasa, walau muridnya terlihat sedikit berkurang. Namun, beberapa malam berselang, ketika murid-muridnya telah pulang dan balai telah lengang, sekumpulan orang mendatangi Syakubat, meminta ia segera meninggalkan kampung.

“Kalau kamu batat, orang-orang yang datang akan semakin banyak!” ujar salah seorang di antara mereka sembari melempar puntung rokok yang masih menyala ke kaki Syakubat. Namun, Syakubat tetap bertahan walau di malam-malam berikutnya ia kembali didatangi oleh gerombolan-gerombolan tak dikenal.

*

Syakubat kembali bangkit dari duduknya, melangkah ke jendela. Orang-orang semakin ramai. Dia juga melihat ada mobil polisi di sana, terjebak dalam kerumunan. Hatinya semakin kecut. Tiba-tiba terdengar suara keras. Seseorang melempari pintu dengan batu. Selang beberapa detik kaca jendela berhamburan, pecah dihantam kayu balok. Syakubat mundur beberapa langkah, melirik ke arah istri dan anaknya yang semakin cemas.

“Keluar, Nabi Palsu!”

“Bakar!”

Teriakan di luar semakin kencang. Lutut Syakubat tiba-tiba bergetar. Tak sanggup lagi ia berjalan. Kedua anaknya mulai menangis, memeluk ibu mereka dengan erat. Baiknya ia keluar dan bicara baik-baik pada mereka, pikir Syakubat. Dilangkahkan kakinya menuju pintu dengan perlahan. Namun, belum lagi gagang pintu ia pegang, pintu kayu itu terpelanting ke tanah. Beberapa anak muda menarik Syakubat keluar, menyeretnya ke ujung lorong.

Dari kejauhan terlihat Nyak Raja berjalan terseok-seok, mencoba menyiah kerumunan seraya berteriak agar orang-orang di sana tak lagi memukuli Syakubat. Nyak Raja juga memaki polisi yang hanya berdiri dalam kerumunan.

“Ini massa, Pak!” teriak polisi itu, seolah membela diri. Orang-orang yang semakin ramai dengan parang di tangan membuat Nyak Raja kesulitan berjalan sampai akhirnya ia terjerembap. Matanya yang redup memantul bayangan rumah dan balai yang dilalap api. Nyak Raja pun terlelap.

“Di mana Syakubat?” tanya Nyak Raja, seraya mengingat-ingat apa yang terjadi. Dia tak sadar ketika orang-orang menggotongnya ke rumah sakit, setelah dia pingsan dalam kerumunan.

“Cucu dan menantuku?” Suara Nyak Raja terdengar lemah.

Tak ada yang menjawab pertanyaan itu. Seorang suster terlihat sedang serius membaca surat kabar yang tergeletak di atas meja: Seorang Nabi Palsu Tewas, Istri dan Kedua Anaknya Sempurna Menjadi Arang.[*]

Catatan:
Asoe lhok: penduduk asli | Endatu: nenek moyang | Pak Wa: paman | Dayah: pesantren | Teungku: tokoh agama/kiai | Uang lampu: Istilah untuk iuran di dayah (pesantren tradisional) | Eumpang ganefo: Karung kecil yang biasanya disangkut di bahu, terbuat dari anyaman daun pandan atau rumbai | Batat: bandel, keras kepala.


Ilustrasi dari Peasant Burning Weeds (Vincent van Gogh), dari WikiArt.org.

Baca juga:
Kami Menemukan Sumber Kesedihan – Cerpen Yuan Jonta
Pengadilan Terakhir – Cerpen Karel Čapek


4 thoughts on “Tak Ada Obat untuk Syakubat”

  1. Susi sartika berkata:

    Cerpen yang memberikan makna terdalm dalam sebuah kehidupan ku .

  2. Imma Sarah berkata:

    Sudut pandang yang menarik

  3. Sinar berkata:

    Masya Allah cerpen yang berkelas

  4. Lia berkata:

    Cerita yang cukup menarik

Komentar Anda?