Menu
Menu

Dalam Halo Moskow, orang Rusia digambarkan Lili sebagai orang yang suka bekerja. Tak heran tangan perempuan-pertempuan Rusia terlihat kekar.


Oleh: Donny Anggoro |

DoRo akronim dari Donny Anggoro sejak 2011 mengelola toko buku dan musik daring Bakoel Didiet/Roundabout Music di Jakarta. Ulasan filmnya dimuat dalam buku antologi “Tilas Kritik” yang diterbitkan Komite Film DKJ 2019. Bukunya yang sudah terbit tentang sejarah pemusik Indonesia di Eropa: Membaca Indorock,Mendengar Nostalgia (Pelangi Sastra Malang,2021).Menulis cerpen anak yang diterbitkan komunitas Cinta Bacaan Anak di Bali, dalam buku antologi Nyala Semangat (2024). Kini tinggal di Tangerang Selatan.


Ketika menerima buku bersampul merah ala buku-buku Marxisme dan buku “kiri” berjudul Halo Moskow, terbitan Ultimus Bandung ini tampak sangat mencolok. Huruf Rusia yang berarti “Halo Moskow” dicetak lebih besar dari judul Indonesianya sehingga sepintas seperti novel asing, buku-buku karya penulis dari luar Indonesia yang terpampang di gerai buku impor. Apalagi nama pengarang disambungkan dengan nama almarhum suaminya (yang adalah seorang ilmuwan asal Inggris) Croft-Cusworth.

Buku ini adalah catatan perjalanan penulisnya, Lilimunir Croft-Cusworth yang sempat belajar tentang masalah perkoperasian di Moskow antara tahun 1962-1964 jauh sebelum peristiwa 1965 yang menjadi momok bertahun-tahun bangsa Indonesia bahkan sampai pada generasi yang lahir di era 70-an. Ini adalah sudut pandangan orang Indonesia pertama tentang Rusia tatkala menjadi negara komunis secara jujur apa adanya.

Buku Halo Moskow berkisah tentang perempuan Indonesia yang kuliah di Moskow pada tahun 1962-1964 ketika Indonesia sedang mengalami zaman Demokrasi Terpimpin Presiden Soekarno. Kala itu dunia internasional sedang mengalami periode Perang Dingin ketika Blok Barat (AS, Eropa) berhadapan dengan Blok Timur (Rusia, RRC), bersaing mencoba memenangkan pengaruh di dunia.

Karena terjadi sebelum peristiwa 1965, hubungan Indonesia bisa dikatakan masih mesra dengan negara berpaham komunis, salah satunya Rusia. Presiden Rusia Kruschov kala itu mendatangani perjanjian damai dan saling bantu dengan Soekarno, rakyat Rusia bersahabat dengan rakyat Indonesia, bertepatan dengan salah satu misi pemerintah yang sedang giat-giatnya menggalakkan koperasi di Indonesia. Tempat studi koperasi yang menjadi tujuan adalah Rusia yang dianggap paling berhasil menjalankan sistem perkoperasian. Soekarno merasa perlu menerapkan ilmu ini kelak di Indonesia, tentunya sebagai penguatan di bidang ekonomi.

Nama Presiden Soekarno sangat harum di sana sehingga sebagai mahasiswa dari Indonesia Lili disambut hangat oleh orang-orang Rusia. Lili, adalah lulusan sarjana ilmu politik UGM tahun 1962. Ia ditawari ibunya berkuliah di Moskow untuk belajar ilmu koperasi. Kala itu ia masih berumur 23 tahun dan belum terpikir untuk bekerja. Ilmu koperasi sedang menjadi primadona sehingga mahasiswa yang dianggap berbobot termasuk Lili disarankan untuk menekuninya jika berminat ke Rusia—sesuai dengan keinginan pemerintah yang sedang menggalakkan koperasi.

Sebelum berangkat, Lili diwanti-wanti orang tuanya agar tak mengikuti paham komunis; di Rusia hanya belajar koperasi, ajaran komunis tidak boleh. Lili yang masih getol sekolah mengiyakan pesan itu dan berangkatlah ia pada bulan Mei 1962 ke Moskow, tepatnya di Perlovskaya.

Seperti halnya cerita-cerita orang asing yang merantau ke negeri orang, berbagai pengalaman menarik bermunculan. Masalah “gegar budaya” menjadi kekuatan utama novel yang saya sebut novel-memoar ini. Di bagian awal yang diberi judul “Aku Suka Rusia”, kita dapat melihat interaksi pergaulan internasional tokoh utama dengan para mahasiswa lainnya seperti dari Afrika, Kuba, Amerika Latin, Manchuria, Mongolia yang juga belajar di sana.

Dalam Halo Moskow, orang Rusia digambarkan Lili sebagai orang yang suka bekerja. Tak heran tangan perempuan-pertempuan Rusia terlihat kekar. Misalnya di halaman 40-41 Lili bercerita, mereka, orang-orang Rusia yang masih kuliah di asrama pada musim dingin ramai-ramai mendaftar menjadi pekerja bangunan jalan raya. Kuliah hanya sampai jam tiga sore kemudian setelah makan gratis di stalowaya (semacam kantin?) mereka mengganti baju dan bekerja sambil menyanyikan lagu-lagu kemenangan kaum buruh dan cinta tanah air. Lili dan mahasiswa dari Afrika juga Kuba tak sanggup mengikutinya karena cuacanya terlalu dingin bagi para pendatang.

“Kata (Vladimir) Lenin bekerja itu adalah sikap hidup paling terpuji, lebih baik bekerja daripada menganggur kedinginan,” prinsip mereka walau ramai-ramai bekerja memperbaiki jalan raya itu dibayar pemerintah dengan upah kecil.

Lucunya, meski ramah, orang-orang Rusia di asrama Lili ternyata suka sembarangan terutama dalam hal pinjam meminjam barang. Tanpa permisi mereka suka main ambil barang seenaknya, misalnya memakai cat kuku atau sisir milik mahasiswa asing dengan alasan “pinjam” sehingga sering terlibat pertengkaran sengit, terutama dengan mahasiswa dari Afrika.

Problem orang Rusia yang suka “menggeratak” sehingga suka ambil barang seenaknya menjadi kisah yang menarik karena mahasiswa Afrika menjadi marah-marah dan tersulutlah amarah antar-ras. Lili juga mengalami peristiwa kecurian. Ia bersedih karena teman-temannya itu suka membongkar barang orang izin setahu pemiliknya, kalau ketahuan alasannya “pinjam”, itu pun jarang yang kembali.

Di Rusia juga terkuak, melalui cerita Rima—orang Rusia kawan Lili, bahwa setelah ada Partai Komunis yang menerapkan sistem perkoperasian, hidup warga Rusia menjadi lebih baik pada pemerintahan Lenin. Semua orang disuruh bersekolah, tak seperti sebelumnya dibiarkan miskin dan bodoh di bawah kekuasaan kaum borjouis.

Di Rusia, kaum agamawan pun bersekutu dengan penguasa yang lalim sehingga ketika Partai Komunis berkuasa, mereka meninggalkan Tuhan yang bagi mereka adalah ilusi bikinan manusia. Akan tetapi walau tak percaya Tuhan mereka menghormati keyakinan Lili sebagai perempuan muslim.

Bagi mereka, umat beragama dan Tuhan di negara Lili masih lebih baik, tidak seperti dulu di Rusia yang bersekongkol dengan penguasa lalu menindas rakyat dan menjadi bagian dari kaum borjouis. Di sana pun walau sudah tak percaya Tuhan, Natal dan Paskah dirayakan sebagai pesta bersenang-senang saja selain sebagai tradisi berkumpul dengan keluarga. Doa-doa dipanjatkan tapi tidak menyebut nama Tuhan Yesus layaknya ajaran Nasrani. Natal dianggap tidak mengganggu paham komunis sehingga boleh dirayakan.

Ketika Lili menceritakan pekerjaan orang tuanya, ia dianggap borjouis dengan sinis oleh Rima. Ayah Lili bekerja sebagai pegawai pemerintah dan ibunya pedagang berlian. Lili jelas sebal dibilang keluarga borjouis, karena pengertian “borjouis” di Indonesia beda dengan di Rusia yang bertahun-tahun lalu hidup di atas penderitaan rakyat. Bagi Lili itu bukan borjouis karena keluarganya tidak hidup dari penderitaan orang lain. Perdebatan ini cukup menarik.

Pembaca Halo Moskow juga akhirnya tahu bahwa perilaku mempunyai istri lebih dari satu menurut budaya Afrika dianggap hebat karena dipandang mampu meneruskan keturunan tertentu, yang tentunya tak semua orang Afrika mampu melakukannya. Seorang kawan Lili dari Afrika memuji Presiden Soekarno yang beristri banyak. Hmmm, buat saya ini bentuk penghormatan dan kekaguman yang “lain” dari negara luar terhadap Soekarno selain kecerdasan dan kharismanya!

Dalam pengamatan Lili, mahasiswa Indonesia lainnya yang belajar di sana cenderung tertutup dan sulit bergaul dengan orang Rusia. Mereka kebanyakan hanya berkelompok dengan mahasiswa Indonesia lainnya. Sedangkan Lili merasa lebih baik membuka diri dengan warga setempat selain dengan mahasiswa dari negara lain.

Pelbagai kisah menarik muncul seperti perdebatan tentang Tuhan dalam paham komunis (Lili dianggap tolol karena percaya Tuhan), sampai mimpi Lili bertemu almarhum Lenin setelah melihat jasadnya yang diawetkan di sebuah Mausoleum (Aku dan Lenin, h.166) menjadi dialog hangat antara dua orang berbeda bangsa sampai konsep komunisme ala Lenin.

Lewat pelbagai muatan literer di dalamnya ‘spirit’ buku ini mirip dengan asersi tokoh Holden Caulfield tatkala terpukau membaca sebuah novel dalam novel The Catcher in The Rye karya J.D Salinger yang menyebutkan “tulisan yang baik itu seolah kita mengobrol dengan penulisnya sehingga kita bisa meneleponnya kapan kita perlu”.

Sebagai saksi dan pelaku sejarah saat itu adalah suatu prestasi tersendiri bagi Lili karena bisa mencatatkan pengalamannya dalam bentuk novel yang menggugah, ditulis dengan lancar serta lugas. Buku ini berhasil memerkaya wacana historis kita yang diolah dalam bentuk novel perjalanan semegah karya almarhum Umar Nur Zain, pengarang yang kondang 1980-an dengan serial Nyonya Cemplon-nya dalam “Piccadilly” atau Gola Gong dalam Perjalanan Asia (Puspa Swara,1993). Buku ini juga mirip dengan buku lain seperti Amsterdam Suprises (Ekky Imanjaya,2010) atau serial The Naked Traveller karya Trinity yang sudah terbit sejak tahun 2007.

Dari Halo Moskow kita jadi tahu situasi politik Indonesia juga di Rusia di zaman sebelum era 1965 di mana Indonesia bersahabat dengan negara komunis tatkala belum terjadi pergolakan hebat yang membuat banyak warga Indonesia yang keburu kuliah di Rusia tak bisa pulang ke Indonesia puluhan tahun kemudian.

Yang menarik novel Halo Moskow juga kaya dengan sudut pandang orang asing lainnya tentang Rusia. Lili bahkan sempat jatuh cinta pada pemuda Rusia bernama Klim, yang digosipkan sebagai “mata-mata”.

Ya, di sana walau hidup tampak makmur tak ada pengangguran dan penjahat karena semua bisa sekolah dan diberi lapangan pekerjaan, ternyata dalam hidup sehari-hari rakyat harus rela “dimata-matai” kaki tangan pemerintah. Mahasiswa asing seperti Lili pun kena getahnya lantaran ia sering bepergian ke rumah kawannya orang Rusia bahkan teman mahasiswa lainnya dari Afrika hingga sempat dinasihati Duta Besar Indonesia Adam Malik agar “jangan pacaran, belajar saja, jangan macam-macam”. Padahal Lili tak punya maksud apa-apa yang berkaitan dengan politik lantaran ia menempatkan diri selain sebagai mahasiswa juga sebagai peneliti, apalagi Lili mudah bergaul dan menyesuaikan diri lebih baik dibandingkan mahasiswa Indonesia lainnya.

Di mata Lili, hidup di Rusia walau teratur ternyata sangat sulit untuk menyatakan perbedaan pendapat. Ia menyebutkan penulis-penulis Rusia yang tulisannya dianggap membangkang kepada pemerintah dibuang ke daerah terpencil di Siberia—mirip di Indonesia dahulu ketika “para pemberontak” atau pelaku “tindakan subversif” dibuang ke Pulau Buru.

Hadirnya buku ini sebenarnya membuka jalan bahwa masih banyak genre kepenulisan kreatif kita yang jarang disentuh, salah satunya travel writing yang pernah melahirkan V.S Naipaul atau nama-nama lain yang sempat populer di ranah fiksi remaja era 1980-an seperti Willard Price.

Halo Moskow memberi bukti catatan perjalanan menjadi menarik jika dikawinkan dengan penulisan gaya sastra-bentuk naratif dengan mengandalkan kekuatan teks. [*]


Baca juga:
Metafora Baru dalam Penggambaran Peristiwa 1965
Sepuluh Buku Merayakan Kasih Sayang a la Parisienne


1 thought on “Masa Lalu Rusia dalam Novel Halo Moskow”

  1. Susi sartika berkata:

    Didalam jiwa manusia terdapat sesuatu hal yang belum dapat kita temukan dengan benar , karena budaya Indonesia dn budaya luar iy berbeda dari tutur kata , maksut dan sikap … Hanya saja di zaman itu terbentuklah ke akraban antar 2 negara Indonesia dn Rusia yang dimana dapat memberikan ke untungan diplomatik .

Komentar Anda?