Menu
Menu

Dari Romo Nani, saya juga tahu kalau Ignas Kleden pernah berpolemik dengan Afrizal Malna.


Oleh: Eka Putra Nggalu |

Penggiat di Komunitas KAHE.


Ketika mulai sering bergaul dengan seniman-seniman atau pekerja kreatif dari Jawa dan berbagai daerah lain di Indonesia, saya kerap mendapat pertanyaan berulang: ‘Kamu dari Flores?’, ‘Flores itu di mana?’, ‘Kamu sekolah apa?’ ‘sekolahnya di mana?’ dan banyak lagi pertanyaan lainnya.

Pertanyaan-pertanyaan ini sering sulit dijawab. Kadang karena lebih dahulu ada perasaan segan kepada lawan bicara yang asing. Lebih sering karena pertanyaan-pertanyaan macam ini membuat saya terjebak untuk menjelaskan detail-detail panjang lebar yang belum tentu dimengerti oleh yang bertanya. Untuk mempersingkat obrolan, beberapa pernyataan atau umpan balik sering saya siapkan.

“Mba tahu Flores? Itu tanah kelahirannya Ignas Kleden, Dhakidae, Dami N. Toda.”

“Saya sekolah di STFK Ledalero, Mas. Dhakidae dan Ignas Kleden dulu sekolah di situ.”

Demikianlah Ignas Kleden, sebagaimana Daniel Dhakidae dan Dami N. Toda adalah tameng dan ukuran yang bisa menaikan derajat kesombongan dan mengelabui rasa inferior saya sebagai anak daerah. Nama-nama ini jadi semacam kunci jawaban ketika harus berhadapan sekelumit pertanyaan yang menggelitik identitas saya sebagai anak daerah.

Nama Ignas Kleden pertama kali saya dengar dari Romo Nani Songkares, formator dan guru bahasa Inggris kami di Seminari Mataloko. Sebagai seorang kepala perpustakaan, Romo Nani paling jago membakar semangat para seminaris untuk membaca buku. Ia hafal benar judul-judul buku sastra yang bagus. Nama-nama pengarang hebat seperti Budi Darma, Ahmad Tohari, Gerson Poyk, hingga Mira W., dan Marga T., ia perkenalkan kepada kami. Namun, untuk urusan ilmu pengetahuan dan logika, ia tak bisa menyembunyikan kekagumannya pada sosok Ignas Kleden dan Daniel Dhakidae.

“Saya merasa tidak apa-apa bolos kelas logika atau filsafat, asal di hari yang sama saya bisa baca satu artikel Ignas Kleden di Kompas.” Begitu kesaksian Romo Nani ketika masa orientasi siswa di seminari kala itu.

Saya yang masuk seminari setelah SMP merasa asing sekaligus penasaran dengan kesaksian macam ini. Jadilah, di sisa masa remaja, saya (dan saya yakin begitu pun seminaris lainnya) melahap habis buku-buku sastra yang direkomendasikan dan tentu saja, beberapa buku serta artikel-artikel Ignas Kleden. Menemukan opini Ignas Kleden di Kompas atau Tempo di masa-masa itu seperti sebuah prestasi. “Eh, ada kita punya orang masuk koran.” Meski belum tentu saya paham apa yang saya baca.

Saya ingat benar. Karena termakan rasa penasaran, saya membaca Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan ketika duduk di bangku kelas dua SMA. Perbendaharan bacaan sastra saya kala itu sudah lumayan untuk ukuran anak SMA. Namun, membaca buku ini membuat saya pusing kepala sekaligus lapar untuk mengunyah sekian banyak referensi yang dirujuk Ignas dalam ulasan-ulasannya. Buku ini seperti ada pada level yang berbeda. Buku ini konon jadi salah satu pustaka kritik sastra Indonesia yang penting untuk jadi rujukan.

Dari Romo Nani, saya juga tahu kalau Ignas pernah berpolemik dengan Afrizal Malna. Sebagai arsiparis yang baik, Romo Nani mengoleksi artikel-artikel di rentang tahun 1996-1997 itu. Saya membacanya dengan kegairahan yang begitu tinggi. Di salah satu artikel yang jadi polemik, kalau tidak salah judulnya “Wacana tentang Wacana: Menilai Kembali Penilaian”, Ignas dengan sangat jitu dan benderang membeberkan kesalahan-kesalahan penalaran dari Afrizal Malna. Meski sebenarnya ia punya cukup bukti untuk menunjukan inkonsistensi internal dari Afrizal, ia tetap saja merujuk field of cultural production sebagai pisau bedah untuk menunjukkan konsistensinya pada penalaran dan disiplin akademis sebagai seorang kritikus.

Pada perhelatan Flores Writers Festival yang lalu saya menemani Afrizal melakukan tur di perpustakaan STFK Ledalero, tempat Ignas menyelesaikan sarjana filsafatnya. Duduk di beranda perpustakaan, saya iseng berkelakar dengan Afrizal: “Bang, ini perpustakaan yang buat Ignas Kleden jadi besar. Kami disuruh pastor pembimbing baca polemik kalian di tahun-tahun itu buat belajar logika.”

Dengan suara rendah yang khas Afrizal membalas, “Kamu tahu nggak, ‘Ka. Polemik itu sempat buat aku trauma menulis untuk beberapa saat.”

Afrizal mengenang masa-masa itu sebagai suatu anugerah karena ia bisa mengalami perdebatan intelektual yang penuh kesungguhan dan kejujuran. Media massa belum heboh dengan gimik-gimik politik dan masih jadi tolak ukur yang bermutu untuk diskursus gagasan dan ideologi. Afrizal kemudian menyebut Ignas sebagai intelektual yang otentik, entah apa maksudnya (yang kenal Afrizal tentu mafhum dengan istilah-istilah bentukannya yang mengejutkan).

Untuk saya, Ignas Kleden jadi besar tak sebatas bahwa ia mengenyam pendidikan master filsafat di Hochschule für Philosophie München, Jerman (1979-1982), atau ia bisa meraih gelar doktor sosiologi di Universitas Bielefeld, Jerman (1989-1995). Yang membuat seorang Ignas Kleden menjadi besar adalah visi dan daya juangnya pada pilihan menjadi seorang intelektual.

Ia membangun disiplin menulis sejak usia muda. Di usia 20-an ia sudah menulis untuk media-media nasional seperti Budaya Jaya, Horison, Kompas, Basis dan beberapa media lainnya. Ia mulai berpolemik dan berbalas gagasan dengan penulis-penulis nasional. Ia berkorespondensi dengan banyak seniman dan budayawan seolah-olah ia mengenal mereka secara personal. Bayangkan saja, masa itu belum ada internet seperti sekarang yang bisa membuat orang lebih mudah sok kenal sok dekat. Disiplinnya juga ia bangun ketika menjadi editor dan penerjemah di beberapa penerbit seperti Nusa Indah dan Yayasan Obor, Prisma, serta aktif sebagai peneliti di Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial, tempatnya memperoleh beasiswa magister dan kemudian doktoral.

Lama setelah polemiknya dengan Afrizal Malna reda, seorang teman penyair pernah bertanya, kenapa ia begitu ‘kejam’ kala itu. Ada yang bergurau, kalau-kalau Afrizal sebenarnya menulis sambil bercanda dan membayangkan wajah masam Ignas yang pusing dengan istilah-istilah rumit yang disodorkannya. Afrizal bahkan kala itu menyebut Ignas seorang teoris tanpa telinga. Ignas dengan santai menjawab kalau yang sebenarnya ingin ia tunjukkan adalah konsistensi pada disiplin berpikir dan komitmennya pada ilmu pengetahuan.

Saya mengutip tulisan Ignas Kleden:

“Teori bukanlah ornamentik, semacam anting-anting atau dasi kupu-kupu yang bisa dipakai untuk menghiasi tulisan atau omongan. Teori adalah kerangka berpikir, semacam alat untuk bekerja secara konseptual.

Bila penerapan sebuah teori selalu dianggap pemaksaan makna, maka seluruh ilmu pengetahuan akan terhenti, karena teori antropologi akan dianggap pemaksaan terhadap kebudayaan, teori sosiologi dianggap pemaksaan terhadap masyarakat, teori teologi, lebih parah lagi, karena dianggap pemaksaan terhadap kebenaran agama, atau teori psikologi dianggap pemaksaan terhadap psikhe manusia. Risiko pemaksaan sebetulnya tidak terletak pada penerapan sebuah teori, tetapi pada tidak diterapkannya sebuah atau beberapa teori tandingan.”

Keyakinan yang sama juga menjadi dasar yang ia pakai untuk mengkritik seluruh sistem pendidikan di Indonesia. Baginya, pendidikan di Indonesia adalah sebentuk indoktrinasi yang menciptakan kepatuhan para calon pekerja terhadap para calon majikan, terutama negara. Teori dikerdilkan jadi informasi formal belaka, bukan sebuah alat kerja yang membuat orang bisa bebas menciptakan sesuatu untuk hidupnya. Menurutnya, Indonesia hanya bisa maju jika sistem pendidikannya bisa berubah. Pendidikan tak hanya bualan atau obrolan sampingan dan janji manis kampanye tetapi harus menjadi isu utama politik, urusan mendasar yang harus dibereskan oleh negara.

Ignas menampilkan diri sebagai seorang yang sangat kritis dan dialektis. Keyakinan ini kerap dikritik karena keengganannya tampil di forum-forum debat, terutama yang disiarkan di televisi atau sosial media. Ia dianggap nyaman dalam ruang-ruang akademis yang steril dan aman. Hal ini tentu tak sepenuhnya benar. Sebab, sampai di usia senjanya, Ignas masih terus menulis di media massa. Ia seperti tidak pernah lelah terlibat dalam persoalan bangsa.

Sebagai seorang anak daerah yang berhasil dalam kontestasi di tingkat nasional dan global, Ignas Kleden adalah penanda zaman. Ia adalah peretas ketimpangan, sosok yang membuktikan bahwa ada dosa sistematik yang membuat anak-anak Flores, atau Belitung, atau Sabang menjadi inferior dan merasa tak mampu terlibat dalam diskursus gagasan dengan orang-orang atau yang berlangsung di Jawa, jika bukan Jakarta.

Kehadiran Ignas jadi bukti bahwa anak kampung dari Flores Timur bisa memberi kontribusi pada bagaimana seluruh warga masyarakat memaknai Indonesia sebagai bangsa yang punya sejarah dan ideologi yang berakar pada kebudayaan dan pengalaman penjajahan, bukan pada cuitan dan gimik yang viral di sosial media. Profesionalismenya sebagai akademisi adalah harga diri yang ia jaga dan hidupi, yang tak pernah boleh dijual murah karena uang dan popularitas. Seluruh hidupnya adalah apa yang ia tulis dalam Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan.

Ignas Kleden, sebagaimana Daniel Dhakidae dan Dami N. Toda adalah putra-putra terbaik Flores yang memberi warna pada diskursus intelektual dan kebudayaan Indonesia. Berpulangnya Ignas Kleden pada 22 Januari 2024 adalah sebuah kehilangan yang amat besar bagi bangsa Indonesia.

Namun, untuk saya, bagi kami anak-anak muda Flores, kehilangan Ignas Kleden adalah sebuah tamparan keras, bahan bakar dan resistensi untuk kemudian bergerak melampaui keterbatasan dan memberi jejak pada sejarah lewat karya serta prestasi. Sebab jika tidak, Ignas dan nama-nama lainnya itu hanya akan menjadi hantu, ‘mitos’ yang membayangi seluruh mimpi, cita-cita dan imajinasi tentang ‘anak kampung’, ‘putra daerah’, atau ‘lokal’ yang ‘punya nama’, mampu berdaya dan berkontestasi di berbagai bidang kehidupan.[*]


Baca juga:
Memasuki Cerpen “Singgah di Sirkus” Karya Nukila Amal
Yang Hilang dari Halaman


3 thoughts on “Hantu Ignas Kleden”

  1. Karim berkata:

    Gimana cara dapat ide cerpen ya biar menginspirasi generasi muda zaman sekarang

  2. Falentinus Goa berkata:

    Untuk mendapatkan Ignas Kleden kembali cuma dengan hantu yang terus mengganggu. Hantu akan pergi kalau mereka yang terus digannggu sudah kembalikan Ignas Kleden

  3. F.J. Putuhena berkata:

    Sangat meng inspirasi.

Komentar Anda?