Menu
Menu

Dalam novel Gula Gula Gula karya Nuril Basri, ada beberapa peristiwa yang sesungguhnya bisa dipadatkan dalam satu narasi peristiwa yang cepat.


Oleh: Arsy Juwandi |

Guru Bahasa Indonesia di Seminari Pius XII Kisol.


Sinopsis

…kami kembali ke Berlin dan aku balik menjalani hari seperti biasa. Tinggal di hostel, beli makanan di kedai Turki, dan terus mempromosikan jasa pijatku melalui aplikasi-aplikasi. Ketika hari benar-benar sepi dan aku tidak mendapatkan satu pun booking-an, aku menghubungi kembali para pelanggan lamaku dan menawarkan apakah mereka tidak merindukan pijatan dariku?

*

Novel Gula Gula Gula karya Nuril Basri bercerita tentang sepenggal perjalanan hidup seorang pemuda bernama Yusuf, yang sejak kecil sudah yatim piatu dan tinggal di pesantren bersama abangnya. Selepas masa SMA, dia memberanikan diri untuk mengadu nasib dengan menjalani hidup di luar dari lingkungan pesantren. Bersama kawannya Jajang dan Dian, ia bertualang seturut angin takdir meniupnya. Pertemuannya dengan Volker di Bali kemudian mengantarkan Yusuf melanglang buana hingga ke Berlin dan berjumpa sosok Karl yang ia kagumi serta sosok Gunter, seseorang yang terus ada bagi Yusuf.

Novel ini merupakan buku lanjutan dari buku pertama yang berjudul Bukan Perjaka. Namun, novel ini masih bisa dinikmati secara terpisah karena penokohannya hanya spesifik pada beberapa tokoh, dan sudah dilukiskan dengan sangat baik oleh penulis.

Bincang Buku Petra

Gula-Gula-Gula merupakan novel ke-53 yang kami bincangkan dalam agenda bulanan yang dilaksanakan oleh Klub Buku Petra tanggal 27 Mei 2023. Novel karya Nuril Basri ini mengangkat tema LGBT yang terbilang sensitif bagi masyarakat Indonesia.

Retha Janu yang ditunjuk sebagai pemantik pada diskusi ini membagikan hasil pembacaannya. Menurutnya cerita atau tema yang dibangun dalam novel Gula-Gula-Gula ini sangat bagus meski gaya penuturannya seragam dan bertele-tele.

“Harusnya buku setebal 400-an halaman ini bisa dipadatkan. Namun bisa dimaklumi juga karena penulis berusaha menceritakan semuanya,” ujar Retha. Yang dimaksudkan dengan gaya bertutur yang seragam di sini adalah penulis seperti mengulang alur cerita dalam setiap seting cerita yang ia bangun. “Model ceritanya sama, hanya latar tempatnya saja yang ia ubah,” ujarnya. Etak, begitu ia biasa disapa, terkesan dengan tokoh Gunter yang menurutnya berciri humanis dan memunculkan perasaan tenang; membuat keberadaan siapa pun jadi berarti ketika berada bersamanya.

Hal lain disampaikan oleh Ajen yang mendapat giliran kedua untuk berbicara. Menurutnya buku karya Nuril Basri ini memiliki penokohan yang kuat, detail, dan hidup. “Buku ini sangat bagus. Saya sangat suka gaya bercerita yang menekankan kekuatan tokoh.” Di sisi lain buku ini juga mengingatkan Ajen pada beberapa kenalannya yang LGBT.

Ajen melihat bahwa dalam kenyataan hidup, LGBT adalah kelompok minoritas tetapi konflik dan dukungan justru jarang sekali muncul dari kaum yang sama. Menurutnya banyak kaum LGBT yang tidak berani menunjukan jati diri mereka kepada orang lain karena takut tidak diterima. Hal yang sama juga dialami tokoh Anton. Ajen mengungkapkan bahwa tokoh Anton adalah gay yang tidak mau diketahui oleh banyak orang. Di akhir pembacaannya, Ajen menyayangkan ending cerita yang tidak dibangun dengan baik. Menurutnya cara penulis menceritakan kematian tokoh Anton tidak dipikirkan dengan matang.

Hal berbeda disampaikan oleh Lolik Apung yang mengungkapkan kesan ‘tidak suka’ di awal membaca buku ini lantaran tema dan cara bercerita yang kurang menarik. Namun setelah membaca secara keseluruhan, Lolik berpendapat bahwa Nuril Basri berhasil melepaskan dirinya dari cerita yang hendak ia bangun. Penulis bahkan mampu memposisikan dirinya sebagai seorang gay dan banci serta mampu menggunakan bahasa banci dengan baik. “Saya kira, penulis lihai memposisikan diri dalam cerita dan mampu melepaskan diri dari cerita yang dibuatnya” ujarnya.

Ada hal yang mengganggu Lolik. Ia mendapatkan kesan tentang tokoh Aku yang diceritakan seperti tidak memiliki tantangan dalam perkembangan karakternya. Hal ini membuat Lolik merasa tokoh Aku tidak berkembang. “Penulis seperti berusaha menciptakan tokoh Aku yang tidak tersentuh kenyataan,” tutupnya.

Saya sendiri memperhatikan tokoh-tokoh yang diciptakan penulis. Banyak tokoh potensial yang bisa membuat cerita Gula Gula Gula jadi menarik justru tidak dikembangkan dengan baik penceritaannya. Misalnya tokoh Meti yang pro-LGBT tetapi diceritakan menolak kakaknya Anton yang gay atau tokoh Yusuf yang berlatar belakang Santri dan Abi seorang ustad yang menyayangi Yusuf.

Menurut saya, kisah dari tiga tokoh ini akan baik jika disandingkan dengan latar belakang mereka masing-masing. Tokoh Meti akan mendapatkan tantangan serius dari kakaknya sendiri atas ideologi yang diyakininya. Demikian pun latar belakang Yusuf sebagai santri dan Abi yang berstatus ustad. Tarik-menarik antara kecendrungan manusiawi mereka dan status penjaga moral yang mereka miliki adalah konflik cerita yang bisa diulik lebih dalam. Apalagi isu yang diangkat sangat sensitif di masyarakat. Namun sayang, dalam berjalannya cerita, penulis tidak menyinggung hal-hal ini.

Grace Djerta yang mendapat giliran selanjutnya menyampaikan ketertarikannya dengan isu LGBT. Grace menjelaskan bahwa dalam hubungan gay, ada dua posisi yaitu perempuan dan laki-laki. Menurutnya, penulis berhasil memasukkan semua unsur LGBT dalam novel ini termasuk suka dan duka yang dialami kaum LGBT. Penulis juga berani membandingkan cara orang-orang Eropa dan cara Indonesia melihat LGBT.

Maria yang mendapat giliran setelah Grace menyampaikan bahwa cerita dalam novel ini membawanya pada ingatan tentang beberapa kenalannya yang gay. Menurutnya, seorang yang menjadi LBGT sangat sulit diterima di keluarga dan masyarakat. Bertahan hidup dengan memilih mengundurkan diri dari kehidupan keluarga menjadi satu-satunya cara. Termasuk membuka usaha seperti yang diceritakan dalam novel Gula Gula Gula. Maria juga mengungkapkan, LGBT cendrung menciptakan lapangan pekerjaan bagi dirinya sendiri karena di lingkungan kerja sektor formal seperti perkantoran atau perusahaan, kelompok mereka sering mendapatkan perlakukan yang tidak menyenangkan.

Yuan Jonta mendapat giliran berbicara terakhir dalam bincang buku kali ini. Ia sepakat dengan Etak terkait narasi seragam yang dibangun penulis dari awal hingga akhir cerita. Yuan menyingung tentang time order dan teks order yang tidak diperhatikan dengan baik oleh penulis. Menurutnya ada beberapa peristiwa yang bisa dipadatkan dalam satu narasi peristiwa yang cepat. Hal lain juga yang menjadi perhatian Yuan adalah banyaknya tokoh dalam cerita yang tidak berfungsi dengan baik. Padahal menurutnya ada beberapa peristiwa dan tokoh yang sangat potensial jika dikembangan dengan baik seperti tokoh Meti yang hanya diperkenalkan di awal cerita.

Bincang buku ke 53 ini dihadiri oleh Retha Janu, Ajen Angelina, Lolik Apung, Arsi Juwandy, Grace Djerta, Maria Pankartia, dan Yuan Jonta. Dari pengalaman membaca peserta, bintang 3 diberikan untuk novel Gula Gula Gula karya Nuril Basri. Sampai jumpa di bincang buku ke-54.[*]


Baca juga:
Bila Sedih Agni Bernyanyi: Nyanyian Anak Gadis Seorang ODGJ
Perempuan-Perempuan Tak Bernama dalam Novel Lauk Daun


1 thought on “Tokoh Yusuf yang Perkasa dan Matinya Tokoh-Tokoh Lain dalam Gula Gula Gula”

  1. Felix berkata:

    Buku berjudul gula-gula ini sangat mengnyenangkan untuk dibaca bagi para senioritas,ada beberapa hal yang munggkin sangat tidak mudah di pahami

Komentar Anda?