Menu
Menu

Satu yang aku tahu,/ jauh di dalam sana/ rasa lapar telah membangun kelenteng/ tanpa para dewa di dalamnya.


Oleh: Widya Mareta |

Lahir pada tahun 1994. Buku puisinya Puasa Puisi (2021) termaktub dalam 5 Besar Kusala Sastra Khatulistiwa ke-21. Saat ini menetap di Tangerang. Dapat disapa di Twitter/Instagram @pilgrimaya.


Bakcang

Bakcang berisi daging Ibu
baru saja menjadi suci
dalam bungkusan daun bambu.

Pada sebuah piring,
segenggam ketan itu telah merekah
seperti sebuah luka menganga
untuk mengawali perjamuan yang hanya dihadiri para pendoa.

Inikah tubuhmu?
Tubuh yang dilapis bebatan zaman,
tulang yang dikikis tajam usia,
daging yang dikerat sewaktu-waktu?

Meja makan kita kecil saja.
Agak mendekat ke jendela
lantas burung-burung bisa ikut melihat
bagai sebuah sarang yang lain; keluarga yang sedang makan bersama.

Di luar,
asap dupa masih berusaha memanjat naik
mencari tempat
yang selalu diketuk-ketuk doamu.

(2023)

. Widya Mareta – Rasa Lapar Telah Membangun Kelenteng

Swike

Suatu hari, Ibu membuatkanku swike
dengan katak-katak yang masih hidup.
Katak-katak itu berlompatan dalam perut
seperti reka ulang masa laluku di perut Ibu.

Teringat kembali satu pagi di masa yang jauh:
sebuah pasar dengan banyak perjumpaan,
jalan tersibak seperti tirai,
kanan dan kiri
____ membuka gambar.

Aku dan Ibu menyusuri masa kecil masing-masing
seperti sedang mencocokkan apa yang masih tersisa dan yang sudah hilang.
Wajah-wajah bosan para pedagang
berteriak lebih kencang daripada pertarungan harga yang selalu panjang.

____ Ada seember katak di sana.
“Aku ingin katak! Aku ingin katak!”
Memang benar. Aku ingin katak. Karena mereka melompat.
Melompat berarti sedang gembira. Gembira artinya tidak sedih.

Maka hari itu, Ibu membuatkanku swike
dengan katak-katak yang masih hidup.
Aku tak tahu sampai kapan mereka akan berlompatan
sambil menjadikan perutku sebagai wahana.

Satu yang aku tahu,
jauh di dalam sana
rasa lapar telah membangun kelenteng
tanpa para dewa di dalamnya.

(2023)

. Widya Mareta – Rasa Lapar Telah Membangun Kelenteng

Kue Bulan

Chang Er masih bersolek di keheningan.
Pupur tebal yang membalut rumahnya
telah mengunci banyak mata—yang duduk bersama,
yang menantikan magis tepung
gegas mengisi meja.

Para gadis yang rambutnya telah beraroma kacang merah
mulai berceloteh tentang apa pun di dekat altar.
Mereka manis—begitu juga Chang Er pada awalnya
saat Sang Kekasih baru saja menancapkan sembilan panah
tinggalkan memar
di garis edar.

Dan setelah adegan pencurian yang sungguh sial itu,
hanya malam-malam dingin
yang memaksanya terpenjara
ribuan purnama.

____ Tidakkah pekerjaan menjadi abadi itu melelahkan?

Takkan kau dengar dia pulang
____ untuk memakan kue.
Takkan kau dengar dia pulang
____ untuk sebuah musim yang mematikan daun-daun.

Semakin malam,
wajah para gadis semakin terang.
Saat itu juga mereka bersaksi:
seekor kelinci sedang duduk di dalam bulan
dengan seorang perempuan menangis di sampingnya.

(2024)

. Widya Mareta – Rasa Lapar Telah Membangun Kelenteng

Kue Keranjang

Bagai bagian dari pertunjukan opera,
kau saksikan tepung ketan
mengikat gula dan santan.

Para perempuan menyiapkan daun sambil bergurau,
lupakan nyeri bersama aroma pandan.
Sementara otot-otot para lelaki di hadapan kuali
patuh pada ritme sehari-hari.

Adonan itu kini mulai belia
bersiap hadiri pesta
di dalam tungku yang tak pernah lupa bagaimana
api selalu ingin menunjukkan warnanya.

Lihat yang kau temukan dari balik daun:
hanya rasa manis dan lengket
seperti pertemuan sebuah keluarga.

Dalam segenggam cinta itu juga kau menemukan sihir musim semi
serta gigi-gigi para lansia
yang cukup kecewa.

Sebelum kaubawa mereka pada senyap altar,
ingatlah kembali hari-hari merah berisi sejarah,
juga Ibu
yang telah lama menjelma gula.

(2023)

. Widya Mareta – Rasa Lapar Telah Membangun Kelenteng

Pabrik Roti Itu Menelan Tubuhku

: Kakek Lim

Setelah mengisi loyang,
adonan mulai pasrahkan tubuhnya
diramu sekali lagi
hingga menjelma manisnya roti gambang.

Berbongkah-bongkah cinta keluar
setelah sihir 180 derajat celsius
membuat padat seluruh riwayat—yang masih begitu muda;
yang baru belajar membaui dirinya sendiri.

Tangan lelaki renta itu mulai bergerak di hadapanku
seperti sedang mengurapi sesuatu.
Tapi tiba-tiba tubuhku melembek bagai adonan.
Mantra dalam bentuk biji-biji wijen
gegas memenuhiku sepenuh badan.

Aku dan jiwaku berpegangan
sebelum terisap dan tersangkut
ke dalam panggangan.

Lalu terdengar kembali suara mesin;
suara yang tak akan mampu kutolak
seperti gemuruh penciptaan.

(2024)

. Widya Mareta – Rasa Lapar Telah Membangun Kelenteng

Mangkuk Ayam Jago

Sebelum ayam berkokok dua kali,
Ibu telah lebih dulu menyangkal laparnya tiga kali
di hadapan sebuah mangkuk
yang mengaku penebus
bagi perutku.

(2024)


Ilustrasi: Kinryūzan Temple in Asakusa (Hiroshigedari), dari Wikiart.org.

Baca juga:
Puisi-Puisi Tia Ragat – Resep Keluarga
Puisi-Puisi Ama Gaspar – Matahari dan Bulan di Sikka
Puisi-Puisi Derry Saba – Beginilah Kotamu Tertulis dalam Kata-Kata Sepiku


2 thoughts on “Puisi-Puisi Widya Mareta – Rasa Lapar Telah Membangun Kelenteng”

  1. Sephia berkata:

    WOW!!

    1. Susi sartika berkata:

      Puisi ini dijuluki memiliki prasa konsonan makna kehidupan yang menceritakan maksut dalam kehidupan yang telalh di lalui .

Komentar Anda?