Menu
Menu

Aku memang sempat mendengar percekcokan hebat antara Kang Tiyok dan Mbak Moty yang tidak setuju jika Kang Tiyok menjual semua sapinya.


Oleh: Mahrus Prihany |

Bergiat di Komunitas Sastra Indonesia (KSI), Kepala Sekretariat Lembaga Literasi Indonesia (LLI), dan sebagai Redpel di portal sastra Litera.co.id. Kumpulan cerpen tunggalnya yang telah terbit adalah Raliatri (2016), Seseorang yang Menunggu di Simpang Bunglai (2019), Bidadari dalam Secangkir Kopi (2021), Di Way Kulur, Tak Ada Lagi yang Kucari (2022), dan Lelaki Tua dengan Surga di Bibirnya (2023).


Kutatap kandang sapi itu. Hampir setiap sore hari aku bermain di kandang itu. Suara lenguhan dan klonengan yang bergemerincing begitu akrab di telinga. Kini kurasakan sepi, tak terdengar lagi suara roda yang beradu dengan gesekan-gesekan kayu gerobak dan as besi.

Satu bulan lalu Kang Tiyok bercerita padaku jika ia ingin menjual sapi-sapinya. Aku awalnya mengira ia hanya bercanda. Manalah mungkin ia akan melakukan itu. Aku tahu betul bahwa dari bangun tidur hingga akan tidur lagi pada malam hari, ia pasti akan berada di kandang untuk bercengkerama atau sekadar menatap sapi-sapi. Tetanggaku itu begitu mencintai sapi-sapi. Kini sapinya telah berjumlah belasan ekor. Ia telah memelihara dan mengurus sapi-sapi itu selama puluhan tahun. Jika toh pernah menjual sapi, biasanya Kang Tiyok akan membeli lagi sapi muda atau bersabar menunggu sapi betinanya melahirkan.

Itulah kenapa aku heran jika Kang Tiyok ingin menjual sapi-sapinya. Setidaknya ia telah cukup mendapat banyak keuntungan dengan memelihara sapi-sapi tesebut. Hampir setiap tahun, jika pada hari raya Iduladha misalnya, pasti akan ada orang datang ke rumahnya untuk membeli sapi jantan dewasa. Orang-orang kampung kami dan bahkan beberapa kampung tetangga paham betul jika Kang Tiyok benar-benar sangat memperhatikan pertumbuhan dan kesehatan sapi-sapinya.

“Aku ingin menjual sapi-sapiku,” cerita Kang Tiyok padaku bulan lalu.

“Lho, Kang Tiyok kan sudah biasa menjual sapi, hampir setiap tahun meski hanya seekor.”

“Aku akan menjual semuanya,” suaranya tegas tanpa ragu.

“Ah yang benar, Kang.” Aku memang tak percaya akan ucapannya. Aku yakin itu hanya keinginan sesaat dan besok Kang Tiyok berubah pikiran lagi.

“Ya. Aku sungguh-sungguh.” Aku tak menanggapi perkataannya karena yakin Kang Tiyok hanya bercanda atau sedang galau saja. Benar saja, esok-esoknya toh aku masih melihat sapi-sapinya berada di kandang belakang rumahnya, dan aku masih bermain dengan mereka. Aku juga tak mendengar lagi Kang Tiyok berkata akan menjual sapi-sapinya. Terlebih aku tahu, Mbak Moty istri Kang Tiyok juga tak setuju jika Kang Tiyok menjual semua sapinya.

Aku memang sempat mendengar percekcokan hebat antara Kang Tiyok dan Mbak Moty yang tidak setuju jika Kang Tiyok menjual semua sapinya. Waktu sepulang dari kebun sore hari, seperti biasa aku sedang bermain di kandang sapi Kang Tiyok. Halaman belakang rumah kami berjejeran tanpa ada pagar pembatas kecuali beberapa pohon pisang. Mereka sedang berdebat di dapur sehingga aku dapat dengan jelas mendengar suara mereka. Aku pura-pura tak tahu sebelum akhirnya kutinggalkan kandang itu karena merasa tak enak sendiri.

***

Kang Tiyok tinggal di sebelah rumahku saat ia menjadi pengantin baru. Usia Kang Tiyok kurasa baru dua puluh tahun saat menikah. Di kampung kami memang masih banyak orang menikah dalam usia yang terbilang muda. Dulu, sebelah rumahku hanya pekarangan kosong. Kang Tiyok membeli tanah tersebut lalu membangun rumah di situ. Halaman belakang rumahnya cukup luas. Kang Tiyok pun membangun kandang dan memelihara sapi. Saat itu Kang Tiyok hanya memiliki satu ekor sapi.

Sejak itu, seingatku aku masih duduk di kelas dua SD, aku senang ikut Kang Tiyok ngarit untuk pakan sapi. Kang Tiyok biasanya mencari rumput di dekat sungai bagian barat kampung. Ada sungai yang berair jernih dan dangkal tempat biasa Kang Tiyok memandikan sapi-sapinya. Kami menyebutnya Kali Mang Justrak. Kang Tiyok juga memiliki sawah dekat sungai itu. Kami naik gerobak yang ditarik sapi menuju sawah. Aku senang sekali naik gerobak. Ini yang menjadi salah satu alasanku ikut Kang Tiyok ngarit.

“Sini Kang, biar aku yang menjalankan gerobaknya,” pintaku pada Kang Tiyok.

“Awas, jangan ngebut-ngebut, pelan saja.” Saran Kang Tiyok saat aku melajukan gerobak agar cepat berjalan dengan cara menggelitik atau memainkan ekor sapi yang sedang menarik gerobak. Betapa senang rasanya mendengar suara ban gerobak yang beradu dengan as besi dan gerobak kayu, juga jalanan batu kampung kami. Ditambah lagi suara klonengan yang digantung di leher sapi.
Di seberang sungai ada lahan luas serupa belukar dan padang rumput. Banyak tumbuh rumput di sana. Sambil mengurus sawah dan menyabit rumput, Kang Tiyok juga bisa melepaskan sapi-sapinya di sana untuk mencari makan sendiri. Ia cukup mengikat sapi dengan tambang panjang di batang pohon yang tumbuh di situ.

Saat kang Tiyok sibuk bekerja di sawah, aku hanya tiduran di gubuk yang terletak di tengah sawahnya. Tapi aku sering juga sekadar ikutan menceburkan diri di lumpur sawah saat masa membajak. Aku duduk di kayu bajak sambil mengendalikan sapi. Saat padi-padi sudah tumbuh, aku sering ikut menghalau burung-burung yang datang memakan padi.

Begitulah bertahun-tahun hingga aku lulus SMA, aku masih senang ikut naik gerobak Kang Tiyok. Keluargaku juga sering menggunakan jasa gerobak sapi Kang Tiyok. Saat musim jengkol atau kopi, kami akan menaikkan karung-karung jengkol dan kopi tersebut ke atas gerobak Kang Tiyok. Kami membawa pulang ke rumah seusai dipetik dari kebun. Aku meminta Kang Tiyok membiarkanku menjalankan gerobak dan ia cukup duduk di sampingku. Kini keluarga kami lebih senang mengangkut hasil kebun dengan sepeda motor.

Aku sendiri kini mengurus kebun kopi dan jengkol, meneruskan usaha orangtuaku. Kebun kopiku terletak di kampung lain, kampung bagian atas. Meski kebunku terletak agak jauh, aku bisa mencapainya lebih cepat karena bisa berkendara dengan sepeda motor, tidak lagi berjalan kaki seperti beberapa tahun lalu.

***

“Besok akan ada orang dari kota datang ke rumahku.” Kata Kang Tiyok padaku kemarin sore. Aku melihat roman muka Kang Tiyok tampak serius.

“Oh iya kah, Kang. Siapa mereka?” Tanyaku.

“Pak Hendri dan anak buahnya. Pak Hendri adalah pemilik penjagalan sapi.”

“Untuk apa mereka kemari, Kang?”

“Mereka akan mengangkut sapi-sapiku.”

“Kang Tiyok benar-benar akan menjual sapi-sapi itu?”

“Iya. Seperti kataku padamu waktu itu.”

“Kenapa Kang? Bukankah sapi-sapi itu peliharaan Kang Tiyok yang juga bisa membantu Kang Tiyok dalam mengurus sawah? Bagaimana saat Kang Tiyok panen padi nanti? Biasanya kan Kang Tiyok mengangkutnya dengan gerobak sapi.”

“Soal mengangkut padi itu gampang. Kan bisa dengan sepeda motor seperti yang kamu lakukan saat mengangkut jengkol atau karung kopi, Don.”

“Hanya sangat disayangkan sekali jika Kang Tiyok jual semua sapi.”

“Kampung kita telah berubah, Don.”

“Maksud Kang Tiyok?”

“Ya banyak perubahan terjadi di kampung kita dalam beberapa tahun belakangan ini, terutama sejak jalan diaspal,” Kang Tiyok lalu mengatakan banyak hal.

Benar kata Kang Tiyok. Sejak jalan utama masuk kampung kami dan jalan-jalan bagian dalam diaspal beberapa tahun lalu, ditambah telah terpasangnya listrik, telah banyak perubahan terjadi. Banyak orang kampung kami menjual sapi dan menggantinya dengan kendaraan bermotor. Orang pergi ke sawah dan kebun dengan menggunakan sepeda motor. Mereka juga tidak lagi menggunakan gerobak yang ditarik sapi untuk mengangkut padi dan hasil bumi lainnya.

“Kau lihat sendiri bahwa kita nyaris tak melihat lagi gerobak dan sapi di jalanan. Anak-anak muda tentu saja merasa malu menarik gerobak.”

“Iya, benar juga, Kang.”

“Selain itu, dengan kendaraan bermotor, semua terasa lebih cepat dan praktis. Belum lagi sekarang sudah mulai susah mencari rumput. Harus pergi jauh ke kampung bagian atas sana, di daerah gunung sana. Banyak rumah dan bangunan baru berdiri di kampung kita.”

Beberapa tahun ini, sejak kampung kami menjadi kota kecamatan karena adanya pemekaran wilayah, memang telah berdiri banyak bangunan seperti rumah, pasar, SMP dan SMA Negeri, bank, kantor pemerintah, dan infrastruktur lain. Minimarket juga telah berdiri. Begitu juga beberapa unit usaha rumahan. Profesi warga yang dahulu rata-rata petani, kini sebagian telah beralih menjadi pedagang. Banyak juga muncul pedagang keliling seperti penjual tahu, tempe, dan kebutuhan rumah tangga lain. Dulu semua pedagang tersebut berjualan di kota kabupaten, namun kini semua telah tersedia di kampung kami dengan banyak berdirinya industri rumahan.

“Aku juga seperti sudah sangat lelah mengurus sapi-sapi itu. Anakku sendiri sudah enggan dan malu mengurus sapi-sapi.” Aku terdiam mendengarkan perkataan lelaki itu. Ya, bisa kubayangkan betapa repot Kang Tiyok mengurus dan mencari pakan-pakan sapinya yang telah berjumlah belasan. Terlebih, belukar luas yang dulu pernah menjadi tempat favorit untuk mengangon sapi di seberang sungai telah berubah menjadi perkampungan warga. Wajar jika Kang Tiyok mengeluh lelah karena anaknya juga memang enggan membantunya.

“Jadi apa yang akan Kang Tiyok lakukan setelah menjual sapi-sapi itu?”

“Aku akan membeli truk atau mobil bak terbuka. Aku bisa gunakan untuk usaha selain tetap berkebun dan bersawah.”

“Lalu bagaimana dengan Mbak Moty? Bukankah waktu itu dia tidak setuju kalau Kang Tiyok menjual semua sapi?” Aku merasa kelepasan bicara dengan pertanyaanku itu.

“Ya, kami memang sempat bersitegang saat itu. Tapi sekarang ia telah setuju.”

“Hmmmm, bagaimana dia bisa berubah pikiran, Kang?”

“Ya, aku katakan bahwa ia bisa berjualan alat perlengkapan rumah. Sebagian hasil penjualan sapi bisa dipakai modal usaha. Dia juga bisa membuka salon kecantikan. Kampung kita belum banyak memiliki itu.” Teringat olehku percekcokan Kang tiyok dan Mbak Moty sore hari itu saat istri tetanggaku itu tak setuju jika suaminya menjual sapi-sapinya.

Kang Tiyok bercerita pada istrinya jika ia bersedia membatalkan menjual sapi-sapinya, tetapi ia minta istri dan anaknya harus juga bersedia mengurus sapi-sapi itu, mulai dari memandikan sapi-sapi hingga mencari pakan yang sudah susah didapatkan karena kurangnya lahan. Kang Tiyok benar-benar sudah tak sanggup mengurus semuanya sendiri.

Setelah obrolan panjang kami, aku tentu saja bisa memahami kelelahan Kang Tiyok. Aku rasa begitu juga yang dirasakan istrinya, hingga bersedia mengikuti keinginan suaminya. Mengurus sawah dan kebun saja sudah melelahkan, bagaimana pula mengurus sapi-sapi sebanyak itu seorang diri. Aku juga paham, anak bujang Kak Tiyok memang merasa gengsi mengurus sapi-sapi. Zaman sudah berbeda kini, begitu kilah anak lelaki Kang Tiyok padaku suatu hari, ketika kutanya mengapa ia tak mau menarik gerobak dan mengangon atau menggembala sapi.

Esoknya, aku melihat beberapa orang dan beberapa truk datang ke rumah Kang Tiyok. Orang-orang itu lalu mengangkut semua sapi tetanggaku itu. Kandang sapi itu telah kosong kini. Akhirnya, Kang Tiyok benar-benar telah menjual sapi-sapinya. Mungkin tak lama lagi, kandang sapi itu akan berubah menjadi garasi. Suara lenguhan akan berganti menjadi suara deruman mesin kendaraan.[*]


Ilustrasi: The Ram – The Spectral Cow (Salvador Dali), dari Wikiart.org.

Baca juga:
Alzheimer – Cerpen Yonetha Rao
Nitun – Cerpen Selo Lamatapo


5 thoughts on “Kang Tiyok Telah Menjual Semua Sapinya”

  1. Mayyyy berkata:

    Alurnya ringan, dan ceritanya relate dengan kehidupan di desa.

  2. ROSIDAH berkata:

    cerpen yang menarik!!

    1. Raehan berkata:

      Cerpen yang menarik

  3. Dwi Wahyuningsih berkata:

    Cerpen yang relate banget dengan kehidupan kami di desa sekarang ini. Meski tak dijelaskan semenyesal apa kang Tiyok menjual sapinya, tapi perasaan itu sampai ke Saya.
    Terimakasih untuk cerpen yang menarik ini.

    1. Sri Wahyuni berkata:

      Menarik sesuai realita

Komentar Anda?