Menu
Menu

Om Jose beranggapan bahwa nitun di pohon kemiri mengganggu anak lelaki semata wayang itu, dan mereka terpaksa bangun dari tidur.


Oleh: Selo Lamatapo |

Penulis buku Penggali Sumur (2021). Sekarang tinggal di Detukeli.


Tiap kali anjing melolong di halaman rumah, Om Jose mengingatkan Ina Peni, istrinya, supaya tidak keluar rumah. Apalagi sekadar mengusir anjing yang sedang melolong.

“Tidak boleh keluar rumah. Pintu depan itu harus selalu dikunci. Anjing melolong karena melihat nitun di pohon kemiri depan rumah.”

Ina Peni sudah mendengar pesan itu berulang kali. Ia tak punya alasan apa pun untuk berkomentar. Ia memilih diam dan percaya kepada suaminya.

***

Minggu malam yang lalu, Beni, anak sulung mereka berusia tiga bulan, menangis tak sudah-sudah. Om Jose beranggapan bahwa nitun di pohon kemiri mengganggu anak lelaki semata wayang itu, dan mereka terpaksa bangun dari tidur. Om Jose memaki-maki dan hendak keluar untuk berteriak di luar.

“Kau jangan cari hal, Jose,” cegah Ina Peni.

“Anjing melolong terus begini, apa kau bisa tidur, Peni?”

“Kau sendiri yang larang untuk tidak keluar rumah, lalu kau mau keluar untuk apa? Tidur tenang-tenang di situ!”

Ina Peni menenangkan anaknya dengan tangan, sedangkan Om Jose berbaring dengan raut kesal. Lelaki kecil itu mulai tenang. Di luar, anjing melolong seperti melihat seseorang.

“Kau sudah siram air berkat dan tabur garam yang Bapa Romo Domi kasi ka Peni?”

“Sudah, Jose. Tidur sudah! Lepas anjing-anjing itu melolong.”

Tengah malam setelah anjing tak lagi melolong, Om Jose bangun dan berbisik ke telinga Ina Peni, “Saya ke toilet, Peni.”

“Saya temani.” Suara Ina Peni berat bersama kantuk.

“Tidak usah, Peni. Anjing sudah tidak melolong lagi. Tidur. Jangan keluar!”

“Jose.”

“Tidak apa-apa, Peni. Tidur dan jaga Beni. Jangan keluar!”

“Jose.”

“Jangan keluar!”

Om Jose mencium kening Ina Peni lalu keluar.

***

Minggu siang, usai misa di gereja, Romo Domi berkesempatan ke rumah Ina Lusi untuk memberikan Sakramen Minyak Suci bagi Opa Lamber, ayah dari suami Ina Lusi. Sejak suaminya merantau ke Malaysia, Ina Lusi setia merawat lelaki tua yang hanya terbaring lemah di tempat tidur itu.

Ina Peni menemui Romo Domi dan memintanya memberkati air dan garam. Ina Peni bertetangga dengan Ina Lusi. Rumah mereka hanya dibatasi bunga beluntas dan selokan air dari kamar mandi.

“Siram air berkat dan tabur garam ini sekeliling rumah,” pesan Romi Domi. Ia sempat mendengar cerita Ina Lusi tentang anjing yang kerap melolong di bawah pohon kemiri, serta dugaan adanya nitun pada pohon itu. Karena itu, Romo Domi menambahkan, “Tidak usah takut. Mereka punya jalan sendiri, kita juga punya jalan sendiri. Intinya, jangan ganggu mereka.” Ina Peni mengangguk. Tangannya memegang botol air dan piring garam. Ia pulang ke rumahnya setelah Romo Domi pamit pergi.

Di rumahnya, Ina Peni meletakkan botol air dan piring garam itu di meja, bersebelahan dengan patung Bunda Maria dan salib Yesus. Sore hari bersamaan matahari terbenam, ketika Om Jose masih di kebun, Ina Peni menaburkan garam dan menyiram air berkat itu di sekeliling rumah mereka. Makanya, ketika Om Jose bertanya perihal air berkat, Ina Peni menjawab sebagaimana yang telah ia perbuat.

“Sudah, Jose. Tidur sudah! Lepas anjing-anjing itu melolong.”

***

Pagi hari, setelah semalam dilalui dengan tangisan Beni si bocah kecil itu, Ina Lusi mendatangi Ina Peni hendak membayar bon barang-barang kios.

“Tadi malam kau sempat dengar anjing melolong, Peni?”

“Ia, melolong panjang sekali sampai Kecil ini tidak bisa tidur.” Tangan kanan Ina Peni memperbaiki letak kelambu anaknya di tempat tidur di ruang tengah. Ia berhati-hati supaya lelaki kecil itu tidak terbangun.

“Saya juga sempat takut ke toilet, karena anjing melolong lain sekali. Tapi terpaksa harus bangun dan keluar.”

“Jose juga ingin keluar tadi malam, tetapi saya melarangnya. Saya tidak mau sesuatu menimpanya seperti Bapa Guru Goran.”

Guru Goran, Guru SDI Kilibala, meninggal beberapa hari yang lalu. Kabar beredar bahwa ia mati tiba-tiba. Malamnya, ia sempat keluar mengusir anjing yang melolong di luar rumah. Pagi hari ketika istrinya membangunkannya untuk ke sekolah, Guru Goran ditemukan telah mati. Tubuh gempal itu dingin dan kaku di atas tempat tidur.

“Tengah malam baru dia keluar ke toilet. Itu pun anjing-anjing sudah tidak melolong lagi.”

“Itu sudah, Peni. Bapa Romo Domi juga sudah pesan kemarin bahwa mereka punya jalan, kita juga punya jalan. Intinya, jangan ganggu mereka.”

Ina Lusi pamit pulang sesudah melunasi utangnya. Di luar Om Jose tiba dengan sepeda motor. Ina Lusi sempat menoleh dan tersenyum kepada Om Jose yang tengah menurunkan kayu api dari atas motor itu seraya berteriak, “kopi sudah buat, Peni?”

***

Perjalanan rumah tangga Om Jose dan Ina Peni terbilang seumuran jagung. Ina Peni adalah istri sah dari Om Banus. Namun, tatkala Om Banus merantau ke tanah Kalimantan, Ina Peni dikabarkan hamil, dan lelaki yang menghamilinya adalah Om Jose. Om Banus, lelaki pendiam itu, memilih pulang dari Kalimantan dan siap menerima kembali istrinya. Bagi Om Banus, merantau telah membuat ia kehilangan istri, perempuan yang ia cintai selama ini. Karena itu, apa pun kata keluarga dan orang kampung, Om Banus tetap bertegar hati mencintai dan menerima istrinya, Ina Peni.

Celakanya, Ina Peni tak ingin pulang kepada Om Banus. Ia lebih memilih hidup bersama Om Jose dan siap memelihara bayi yang ia kandung dari Om Jose. Terang-terangan ia berkata kepada keluarganya dan juga kepada keluarga Om Banus bahwa ia mau hidup bersama dengan Om Jose. Peristiwa itu meluluhlantahkan hati Om Banus. Ia seperti lelaki tak beruntung dan merasa diri paling terpuruk. Karena itu, usai mengurus perceraian secara adat, Om Banus memilih merantau ke tanah Kalimantan, bekerja di perkebunan kelapa sawit. Om Banus dikabarkan tewas kecelakaan mobil pengangkut kelapa sawit seminggu setelah ia tiba di sana. Mayatnya tak dapat dikirim pulang, karena keluarga tak mampu membiayai jasa pesawat. Om Banus mati layaknya orang kalah.

Di kampung, Ina Peni mulai membangun hidup baru bersama Om Jose, mengalami hari-hari hidup dengan pengalaman-pengalaman, termasuk pengalaman larangan keluar rumah, nitun, dan anjing yang melolong-lolong di malam hari. Segalanya mewarnai hari-hari Om Jose dan Ina Peni. Mereka tak peduli kata keluarga dan orang-orang kampung. Bagi mereka, yang paling penting adalah merayakan kehidupan, cinta, dan kebahagiaan.

***

Satu bulan setelah malam itu—setelah Om Jose pamit ke toilet, setelah Ina Lusi datang melunasi utang—Ina Lusi mulai mual-mual dan muntah-muntah. Hari-hari selanjutnya, tersiar kabar bahwa Ina Lusi hamil. Ketika keluarga mendesak-desak perihal lelaki yang menghamilinya, Ina Lusi menjawab pelan, “Jose yang kasi hamil.”

“Jose yang mana?”

“Peni pu suami.”[*]

Keterangan: Nitun: roh penghuni tempat-tempat tertentu, seperti pohon-pohon dan batu-batu besar.


Ilustrasi: Oliva Sarimustika Nagung

Baca juga:
Gadis Keningar dan Onthel Belanda – Cerpen Regent Aprianto
Sekotak Kartu – Cerpen Yuan Jonta


6 thoughts on “Nitun”

  1. Efin berkata:

    Om Jose istri banyak eee…
    Jangan ” anjing yg melolong setiap malam itu ada kaitannya dwmgan om jose?

  2. ambo berkata:

    kisah nyata di sa pu kampung????????

  3. Swidati Geri berkata:

    Jose bener-bener dah…

  4. Tami berkata:

    Maksudnya apa pas di ending, weee???? ngegantung banget. Atau otakku yg Lola.

  5. Vaind berkata:

    Jose menang banyak

  6. Juliana Kidi Langodai berkata:

    Bone Nitun e… ???????????????? Nitun ini banyak ditemukan di Kehidupan sehari-hari…

Komentar Anda?