Menu
Menu

Samar kudengar Raj memanggil. Tubuhku masih terasa lemah tak bertenaga. Pelan kubuka mata. Ke mana Bus Itu Membawa Kami?


Oleh: Ilham Wahyudi |

Lahir di Medan, Sumatera Utara. Ia salah seorang Fuqara di Amirat Sumatera Timur. Selain menjadi seorang Fundraiser di Adhigana Fundraising, ia juga dikenal sebagai tukang mabuk. Beberapa cerpennya ada yang dimuat dan banyak yang ditolak redaksi. Buku kumpulan cerpennya Kalimance Ingin Jadi Penyair tidak akan diterbitkan.


Aku kira Raj bergarah. Mana pula ada bus semacam itu. Tetapi pertanyaan kritisnya, kenapa harus sampai bergiat-giat naik bus bila pesawat terbang senyata lebih laju menggulung jarak?

“Kau pasti akan terkenang-kenang, Ran. Perjalanan ini akan menghadiahkanmu cendera mata tak terlupakan,” kata Raj sambil berusaha menggendong ranselnya ke punggung.

Betapa masih belum percaya aku sebenarnya. Dan sintingnya, satu jam lagi bus akan berangkat.

“Raj, apa sebaiknya aku tidak ikut? Bagaimanapun ini semata dorongan hatimu, bukan keinginanku,” aku coba mementahkan ajakan Raj.

Raj menatapku. Duh, rontok rasanya seluruh tenaga. Dengan jalan apa coba aku mampu menampik keindahannya. Mata itu, sungguh, pastilah telah menakluki banyak hati.

“Sejatinya ini keinginanmu, Ran. Keinginan yang tidak menyembul ke permukaan, melainkan sudah teruk terperosok. Bangkitlah, Ran!” Raj meremas jemariku. Aku merasakan Raj membuka gerbang yang lama aku nafikan. Sesungguhnya tidak penuh aku nafikan, tapi… ah, sudahlah!

“Ayolah, Ran, kesempatan tidak ulang-berulang!”

Matanya memujuk kembali.

Mampus! Apalagi alasanku?

”Dua minggu ke depan ujian piano menantiku, Raj. Tidak mungkin menundanya, Papa akan mengomeliku,” kukuh aku meloloskan diri dari pusaran bujuk Raj. Serupa kukuhnya Shinta menampik Dasamuka. Namun Raj, dia senyata gigih melebihi Rahwana.

”Aku telepon Papa sekarang? Bagaimana, Ran?” jawab Raj semringah.

Jujur harus kukatakan, hanya Raj satu-satunya temanku yang berani memanggil papaku dengan panggilan Papa. Bahkan Ajay yang benderang diketahui Papa kekasihku, tak punya nyali memanggil dengan sebutan Papa. Raj sememang telah dianggap anak oleh Papa. Itu tak lain karena kedua orang tua kami teman karib, pun Papa sesungguhnya menginginkan anak lelaki. Sedangkan anak Papa, keduanya mutlak perempuan. Begitupun, Raj, aku yakin memang terlahir penuh dengan bakat membujuk, terutama membujuk Papa.

”Cepat, Ran! Lima puluh menit lagi bus berangkat, dan kita setidaknya butuh dua puluh menit untuk sampai ke terminal.”

Raj mengeluarkan jurus pamungkasnya, memaksaku dengan bungkus bujukan keterlambatan; seolah-olah aku sudah setuju. Betapa tak mampu aku menolak. Lagi pula tiada gunanya masih melepaskan peluru alasan kepada Raj yang amat cakap membantah, pun lihai menjulurkan tali alasan. Tak ingin terlambat, segera kumasukkan beberapa pakaian yang aku pikir perlu aku bawa. Sekiranya tidak cukup, aku beli saja nanti di perjalanan.

***

Tepat pukul tujuh malam, 22 Januari 1977, bus kami melaju ke arah Delhi. Sebenarnya rute bus ini bukan semata Kolkata-London, melainkan London-Kalkota-London. Tapi kata Raj, dalam perjalanan London-Kolkata ada dua penumpang yang memutuskan tidak melanjutkan kembali perjalanan balik ke London. Mungkin mereka jatuh cinta pada Kolkata. Dan entah bagaimana ceritanya, Raj berhasil melobi pemilik travel hingga kami akhirnya mendapatkan dua bangku untuk ikut serta melanjutkan perjalanan bus kembali ke London.

”Sesampainya di London, dan setelah beberapa hari beristirahat kita akan kembali ke India dengan pesawat terbang,” kata Raj awal-awal memujukku.

Sebenarnya perjalanan London-Kolkata-London ditempuh selama 48 hari (nyaris 10.000 kilometer), dan itu sudah termasuk istirahat serta pengisian bahan bakar dengan kecepatan rata-rata 50 km/jam. Namun karena aku dan Raj hanya melanjutkan sisa rute: Kolkata-London, maka waktu dan jarak yang kami tempuh tentulah hanya separuh.

Meskipun melanjutkan setengah sisa perjalanan, rute Kolkata-London serupa dengan rute London-Kolkata. Aku dan Raj akan melewati 11 negara di Asia maupun Eropa. Dimulai dari Kolkata, India, kami akan menuju Pakistan, lalu melewati Afganistan, Iran, Turki, Bulgaria, Yugoslavia, Austria, Jerman, Belgia, dan berakhir di London, Inggris. Wajar kalau Raj mengatakan perjalanan ini nantinya tidak akan terlupakan.

”Bagaimana perasaanmu, Ran?” tanya Raj sambil menyodorkan sebatang cokelat.

”Biasa saja. Baru juga bus ini melaju,” jawabku malas. Padahal begitu banyak yang memenuhi kepalaku. Salah satunya, bagaimana aku tidur nanti di sebelah Raj. Bukankah jika tidur, aku selalu harus memeluk sesuatu? Jujur, aku bukan takut Raj salah paham. Aku pikir kami berdua sudah clear: kami adalah sepasang sahabat baik belaka, tak lebih. Tapi aku sebenar tak ingin merepotkan Raj selama hampir satu bulan dengan memeluk tangannya setiap kali aku tidur.

”O, ya, Ran, kau tahu tidak? Bus ini nanti akan berhenti pada destinasi-destinasi tersohor dunia. Kita akan berhenti di Peacock Trone di Delhi, Taj Mahal di Agra, Draconian Pass, Rhine Valley, dan Blue Danube. Ya, itu salah satu sungai terpanjang di Eropa yang melintasi 10 negara. Dan kau tahu, Rani, kita pun diperbolehkan berbelanja pakaian serta cendera mata di Kabul, Teheran, Wina, dan Salzburg. Masih merasa biasakah perjalanan ini menurutmu, Rani?”

”Apa pun itu, kita baru memulai perjalanan, Raj. Sebaiknya pertanyaan itu kau ajukan setibanya di London. Aku tidak biasa menjawab sesuatu yang belum konkret kualami. Begitu banyak kemungkinan sebelum kita sampai ke London.”

”Hei, mengapa berbicara seperti itu? Baiklah, sebagai informasi tambahan, bus ini sudah 16 kali melakukan perjalanan serupa: London-Kolkata-London. Dan selama 16 kali perjalanan itu, semua berjalan sesuai rencana.”

”Dan ini yang ke 17, bukan Raj?’’

”Ya.”

”Lantas, apa jaminan kalau akan persis seperti ke 16 perjalanan sebelumnya?”

”Oke, aku paham maksudmu, Ran. Tapi bukankah pengalaman selalu menjadi guru, maksudku tolak ukur?”

”Sudahlah, Raj, aku mengantuk. Boleh aku pinjam tanganmu?”

Aku sengaja memberhentikan obrolan. Sehingga aku bisa seolah-olah spontan meminta izin memeluk tangannya, bersebab kantuk. Obrolan tadi sungguh berhasil menciptakan suasana yang tidak canggung untuk meminta sesuatu yang tidak pernah aku minta.

Sambil tersenyum Raj menyilakan aku memeluk tangannya.

Menjelang fajar aku terbangun. Kurasakan bus ini tidak bergerak. Aku melongok, kulihat sopir bus dan semua penumpang termasuk Raj tertidur. Merasa ada yang ganjil, aku membangunkan Raj.

”Ada apa, Ran? Kau lapar? Di ranselku masih ada roti dan cokelat, ambil saja kalau kau mau.”

”Bukan, Raj. Apa kau tidak merasa aneh? Mengapa bus ini berhenti dan semua penumpang termasuk sopir juga tertidur.”

”Orang tidur kok aneh. Paling sebentar lagi bus ini akan kembali berjalan.”

Aku diam tak membantah.

Satu jam, dua jam, bahkan sudah tiga jam, bus tidak juga bergerak. Raj juga seperti mati, tak bangun-bangun sejak aku bangunkan saat jelang fajar tadi. Jam menunjukkan pukul 8 pagi. Baiklah, aku akan tetap menunggu. Tapi jika pukul 10 bus ini tidak juga melaju, pun Raj tidak bangun, aku akan berteriak.

Pukul sembilan Raj terbangun. Dia tampak biasa saja, seperti tidak merasakan sesuatu yang aneh.

”Raj, apa kau sungguh tidak curiga? Sudah 4 jam bus ini berhenti sejak menjelang fajar, dan mungkin saja sudah lebih.”

”Maksudmu, Ran?”

”Apa kau belum juga sadar, Raj? Bus ini tidak bergerak sejak 4 jam lalu. Mau sampai kapan?”

”Tidak bergerak bagaimana, Ran? Sepertinya kau benar-benar sangat khawatir kalau perjalanan ini tidak akan sesukses perjalanan sebelumnya. Rani, bus ini memang tidak selaju mobil sedanmu, tapi bukan berarti kau seenaknya menganggap bus ini tidak berjalan. Oh, Rani, apa kau sakit?” Raj menyentuh dahiku.

”Kau yang sakit, Raj!” balasku sedikit berteriak.

”Rani, cukup! Sudahlah, lebih baik kau istirahat. Sampai di Kabul aku akan membangunkan kau.”

”Kabul? Afganistan maksudmu, Raj? Pakistan saja kita belum sampai, kenapa sudah mau sampai ke Kabul?”

Raj tersenyum. Lalu menyelimutiku, seolah memintaku tidur dan masih menganggap kecemasanku terlampau berlebihan. Sumpah, perilaku Raj membuat aku menjadi benar-benar takut. Bus ini sungguh kurasakan dan kulihat berhenti tidak bergerak. Tapi Raj enteng saja mengatakan bus ini bergerak, dan sebentar lagi akan sampai di Kabul.

Baiklah Raj, aku akan mengikuti penjelasanmu. Anggap saja aku berhalusinasi. Dan semoga saat terbangun dari tidur setelah ini, semua keanehan ini terjawab.

***

Sebuah ayunan rem membangunkan aku. Segera kualihkan pandangan ke luar bus. Kulihat hari sudah gelap. Di sebelahku Raj tampak masih nyenyak tidur. Sial! Kenapa setiap aku terbangun Raj selalu dalam kondisi tidur. Perasaanku masih sama seperti sebelum tidur tadi: perjalanan ini aneh!

Tak mau dikurung penasaran, aku bertanya ke salah seorang penumpang di depanku.

”Maaf, Tuan. Apa pagi tadi sekitar pukul 9 bus ini Tuan rasakan berjalan?” tanyaku pada lelaki paruh baya yang memakai topi fedora dan berkacamata hitam.

Tak ada jawaban. Aku bertanya sekali lagi. Juga masih diam. Aku pikir mungkin dia tidur. Sungguh aku tidak bisa melihat dia tidur atau tidak, sebab dia memakai kaca mata hitam.

Aku mengalihkan tanya kepada seorang wanita, yang kalau aku lihat sepertinya sebaya denganku. Dia duduk persis di depan lelaki paruh baya tadi.

”Nona, benarkah bus ini sudah melewati Kabul, Afganistan?”

Wanita itu juga diam. Padahal aku lihat matanya terbuka. Tapi memang tatapannya terlihat aneh. Semacam tatapan kosong tanpa arti. Tubuhnya juga tidak sedikit pun terlihat bergerak. Aku semakin takut. Kuputuskan kembali ke kursiku, kemudian membangunkan Raj.

”Raj… Raj… bangun, Raj!”

Lima belas menit kuhabiskan waktu dalam usahaku membangunkan Raj. Tapi dia masih saja tidur seperti mati. Rasa takut semakin mencengkeram perasaanku. Aku menjerit sekuat tenaga. Dan kurasakan perlahan tenagaku luruh.
Aku tak ingat apa-apa lagi.

***

”Ran, Rani… bangun… ayo bangun!”

Samar kudengar Raj memanggil. Tubuhku masih terasa lemah tak bertenaga. Pelan kubuka mata.

”Ran, aku mohon maaf. Sedari awal aku sebenarnya merasakan keanehan yang sama sepertimu. Tapi aku tidak mungkin mengiyakan semua yang kau katakan…”

Kepalaku terasa berputar-putar mendengar penjelasan Raj. Kulihat semua gelap, dan tak kudengar lagi suara apa pun.[*]

Akasia


Ilustrasi: Oliva Sarimustika Nagung.

Baca juga:
Kisah Kematian Ben dalam Tiga Babak
Menulis Orang-Orang Oetimu, Menulis Luka


19 thoughts on “Ke Mana Bus Itu Membawa Kami?”

  1. aliefsyahrial807 berkata:

    ceritanya lumayan menarik dan bagus untuk di baca

  2. Fadli berkata:

    Cerpen yang sangat menarik saya sangat puas. Membaca nya. Apakah ada kelanjutan nya lagi?

  3. Fadli berkata:

    Cerpen yang sangat menarik saya sangatt puas .membaca nya ayo lanjutan cerpen. Ini

  4. Yashintacaa berkata:

    Cerpen yang sangat bagus, endingnya bikin mikir apa yang terjadi sama orang-orang yang naik bus. Kerennnnn!!!

  5. Nofri Eka Saputra berkata:

    mengapa dibagian orientasi tidak dicantumkan secara keseluruhan? sebagai contoh pada cerpen umumnya diawali dengan informasi tempat atau waktu. sebagai contoh pada suatu hari, dikota a.

  6. Akaza berkata:

    Bagus banget, cuma ada beberapa kalimat yang masih agak sulit dipahami

  7. Maulana Alwy berkata:

    cerpen yang sangat mengagumkan untuk d baca pokonya hrs coba deh

  8. Rotama berkata:

    Lanjutan aku butuh lanjutannya huhu, pas baca pertama kaya cerpen pada umumnya masih basic tapi setelah Rani mulai merasa aneh disitu aku uda “woah menarik”. Apakah ada kekuatan magic dibus ini?

  9. on_livia berkata:

    cerpen yg menarik…
    busnya sedang menjelajah waktukah…??

  10. Fani berkata:

    Cerpennya menarik,gak bikin bosan.apakah memang nyata bus seperti itu?atau bus itu gaib??
    jdi penasaran kemana bus itu pergii!!?

  11. rody_m berkata:

    cerpen yang sangat menarik, membuat rasa penasaran perginya bus itu pergi, seperti hal yang mustahil namun menarik untuk di ikuti alurnya?

  12. Nafisah berkata:

    Cerita nya bagus dapat menggembarkan omaginasi pembaca, namun bagian orientasi tak tertulis sehingga cukup membingungkan panbaca.

  13. Adelia zahra berkata:

    Aku sungguh ingin tahu kelanjutan cerita ini.Aneh sekali jika benar ada bus seperti itu.kesihan kepada dua orang itu,pasti mereka merasakan perasaan yang campur aduk.Takut,bingung,cemas,entah apa yang harus mereka lakukan.

  14. Umas berkata:

    Dari cerpen ini mungkin penulis ingin para pembaca mengembangkan sendiri akhir dari ceritanya karna akhir dari cerita ini sangat gantung, seperti pada kalimat ” Dan semoga setelah bangun dari tidur,semua keanehan ini akan terjawab” sedangkan pada akhir cerita sang tokoh ran tidak sadarkan diri.

  15. aini berkata:

    Cerpen yang cukup menarik, alur cerpen membuat pembaca semakin penasaran apa yang terjadi sebenarnya, apakah bus itu benar-benar aneh ??, dan kemana tujuan mereka selanjutnya??

  16. Fadd berkata:

    Wah, rasanya seperti mirip dengan cerita seseorang yang tidak sengaja naik bus ghoib dalam perjalanan pulang ke kampung halamannya. Aku penasaran dengan apa yang terjadi pada rani. Dan benar, ke mana bus itu akan membawa mereka?

  17. Rizky berkata:

    Apakah ini kisah nyata? Bagaimana mungkin ada bus seperti itu? Seru juga klu cerita ini dikembangkan , mungkin dibuat menjadi film.

  18. Natasyariesta berkata:

    Cerpen yang menarik, kesannya seperti open ending. Namun, ke mana sebenarnya bus itu pergi? Apakah ini benar-benar open ending atau ada penjelasannya?

    1. Anak soleh berkata:

      Pemilihan katanya masih banyak yg tidak sesuai kbbi dan tanda baca yg salah

Komentar Anda?