Menu
Menu

pintu sebentar lagi tertutup/ aku tak apa,/ kita kan memang nonsense—/ candaan linen terhapus oleh taifun.


Oleh: Rae Fadillah |

Rae Fadillah, lahir di Tangerang dan saat ini sedang aktif sebagai editor penerbit Velodrome dan Redaktur Penerbit Koburi. Kumpulan puisinya yang berjudul Kruid dibuat dalam bentuk stensil diterbitkan oleh Talas Press dan Media Gaung.


The Latest-Matrimony

sayang pada hari kita nanti
akan kukenakan birumu di manisku

lalu membiarkannya kelu
seperti tutu yang kita beli

dengan detak hati yang papa.

kita pun berdansa sambil memerah
segala yang tegang untuk kita mamah

hingga wajah kita memerah.

meski sundae meriang
mesti kita cukupkan hari

yang kini mengabu di tuju
petang. sayang

piring terbang akan selalu
bising. denting

firman juga ingin ikut meramaikan
dengan menyunting
jejak kaki kata yang meleleh

di antara sorot lampu
dan flu staccato.

piano pun kedap
dan tik tik tinta jatuh membeku
di ujung waktuNya

pada hari minggu. tapi liur
kita tetap saja

sedia menukar tidur
dengan doa yang aneh
seperti celoteh yang kita santap
bersama kerangka

berita pagi yang kita baca
secara camar. dan akar
cerita kita

lembur di hari libur
—menyanggah pohon usia
sebelum banjir asam menguap.

karena Ia pun sadar

kita hanya debu kaku
sejak waktu. menggelinding
dari burit ke parit

yang membuat kita terbelah

menjadi dekrit sejarah
wabah dan insomnia

.

Breakfast/For Epiphany

berikan mataku pagi ini
karena malam gagal

menyelesaikan kenyang.
dan piring-piring memulai
pitching
untuk lansia, tebal

kini. lunglai. di tengahnya
dementia membingkai playlist
dan daftar film lama

“kuberikan ini semua pada oedipus”

maka lahirlah sarapan yang kenes
mampat di persimpangan usus
dan asam lambung.

asma berdengung
(dan mengganti kulitnya)
setelah Kau menetes
dan memungut kembali
retak yang mengandung pagi—
separuh puisi dan prosa
—pada puasa dan bius

yang kekal, melata.

“tapi bisa membaca desis dengan terang?”

(lalu cicit kita menguliti yang tertidur, dalam kalut)

.

Ismael’s Brunch

genting seperti puting-
beliung. keroncongan
membuat celengan asing
dengan

kematian.
sedangkan di
ranjang

dada
yang tabah—mengisi
paceklik panjang.

dada
katamu lemah

sebesar ragi.
sebentar lagi

zuhur mengawini busung
sambil menunggu
ledakan bom dan layu

etalase: melati+susu.
dan masih di situ, menggerutu
ibu, aku haus, seret banget
hanya ada itu.

setelahnya orang-orang pulang
(kecuali ayah) memilin waktu
dengan saling seret di depanMu

sayang kami harus pulang.

.

Aphrodite’s Flea Market

dari knit ke kulit
yang bukan milikmu,
peluk meranggas
lebih genit dari ini.
zenith pun luput,
mencari jaket afrodit
pada musim tak tereja
sebab susut pasar
kembali rumpang. hanya
tersisa lengan rimpang
memaksa musibah
dan negara
untuk bergegas
merekayasa balada
dari seutas
benang. angka
di kepala dewa
menua seperti kapel
dalam sekepal
doa yang kebas
ketika segala
ini, terputus.
oleh semacam maklumat
dari kongsi dagang
—jauh dari
hindia—peregang kenang
di antara
mitos, api yang melihat segala.

.

Binge Box

memula sumur, tulang berutang pada kotak makan berisi rumpang: susu sapi manula, rahang burung, nasi perak, anak jagung, keroncongan dan lima disemburatkan. nanar kemudian dipetik oleh yang terpuntir di pucuk bahasa yang bernanah dalam getir. tapi mungkin masih ada persoalan, seperti ada yang terserak pada selusin jembatan dan padanan mesin tanpa luka. derum itu memulangkan sejarah sayat kepada sebuah ayat dalam bentuk surah hologram seperti seorang pasien arkham yang dibuang ke anaheim dalam interlude. detak dari detik menggerus busur pelarian yang terduduk pada angin yang patah, pada lima waktu yang serak—beku dan payah—juga menjaga curiga dari yang setia merenggut: jago, terang, pulang, indigo, dan kenang.

bagaimana jika aku lebih membutuhkan malaria ketimbang buah kina?

hanya luber gerd pada iklan setumpuk boti yang mampu menampung tidur. seperti liur. bukan, sebelum korosif seperti liur yang tugur ketika airmata menginjak rem yang membuatmu terkejut sebab di saat yang sama mimpi telah mengubah motif lambungmu menjadi serpihan kaplet berisi kalsium, protein, karbohidrat, vitamin dan mineral yang menipu. dan nyamuk membangunkan rasa khawatir yang pupur di tengah perjalanan menghanyutkan rimpang—pada 12 cabang krematorium—menjadi abu.

di tengah cuaca begini, aku mulai biru dan batuk-batuk?

karena ini tengah malam maka sorgum dan roti gandum belum menelantarkanmu atau mungkin bibirmu telah mengecapkan ranum yang lain; berita puisi terbaru; keputusan lembaga rempah terpadu; microwave; musim gugur; dan lagu pun blur: no distance seems to run. dan laparmu tau, tak ada yang tersisa dari uni soviet, sebenarnya. remahan yang disapu sebelum waktu, telah menua kini bersama tikus yang terdakwa. tak ada amnesti. atau mungkin memang semua akan selalu kering seperti suara lirih di ujung telepon, dan hanya rakus yang mampu mendengarkan isak sederet sunyi.

(seseorang terus terbuka mulutnya, kompor dan korek menggigil, subuh berdering sekali lagi)

.

Cocteau Partij

dan simpul telah susut
—meja juga bergetar

__ karena neraka—membuka
rahasia. tapi gincu mulai kering
(kemarau panjang?) juga daun saga
seperti musim yang selamanya luntur

apalah kata apricot
waktu mau lagu

“seperti keranjang ceri?”
“seperti April dan musim yang labil”
tapi gigi berseri, gala melumat basahnya
celemek lembab—jejak kuah dan opium

—memelukmu hingga ranum
___ dan terjerembab: kenang aroma
___ dandan yang menyapu lelah

di pipiku. baju-baju wagu, bau blau, botol minum
tak pernah biru, ongkos pulang-pergi sendiri,
dan ia tak peduli—aku juga tak butuh susu
—soal meja, makan

dan maaf yang terlanjur masak.
toh, lupa juga baru kita minum hari ini
bersama beruang rungu,
segelas montea dan ambigu.

pintu sebentar lagi tertutup
aku tak apa,
__ kita kan memang nonsense—
__ candaan linen terhapus oleh taifun

—yang hidup di antara segala.

.

Closing Bar

ini haru, 50%
tinggal
deru
kepingan cent tak beriak
di persimpangan
menghabiskan
utuh dan detak
bingar yang tersumpal

rintik
matamu. jendela dan pagar
hanya jeda, ketika sore throat
hanyut oleh serpihan seng
—pembawa cengeng—
pelarian yang menenteng
tapal petang, hingga sore reot
tak terbaja oleh isyarat cuaca.

dan mata berkaca pada basah
_ tiap kali ada yang tak sempat
_ diucapkan logam kepada tanah.


Ilustrasi: The Lovers (Rene Magritte), dari Wikiart.org.

Baca juga:
Puisi-Puisi Adhimas Prasetyo – Kalau Dunia Berakhir
Puisi-Puisi Ng. Lilis Suryani – Enigma Tubuh
Puisi-Puisi Bayu Pratama – Lucid


 

8 thoughts on “Puisi-Puisi Rae Fadillah – Aku Tak Apa, Kita kan Memang Nonsense”

  1. Felix berkata:

    beliau menuliskan puisi yang sebagian besar mengisyaratkan makna penting dan arti dari kata perpisahan,sungguh pun waktu bisa di putar kembali ingin ku selalu bersama

  2. fauzi rahman berkata:

    puisi ini mengajarkan kita tentang bagaimana mendapatkan cobaan berat yang harus kita lewati dengan kepercayaan diri sendiri dengan penuh rasa semangat.

    1. Madan berkata:

      Bagus bang

    2. Sirjon berkata:

      Dan percaya diri dan selalu berdoa
      Walaupun terjatuh berulang ulang
      Selalu bangkit dah percaya diri dan selalu mengandalkan Tuhan

  3. Edgar berkata:

    Puisi yang diciptakan Rae Fadillah
    Sangat membuat pembaca tertarik akan alur cerita yang diciptakan nya

  4. Tata berkata:

    Masyaallah tabarakallah bagus banget puisinya ,puisinya menyentuh hati banget

  5. Lala berkata:

    Puisi ini mengajarkan saya untuk lebih mengerti apa yang disampaikan, Menceritakan hal sekitar tetapi memiliki makna yang dalam. Karna Ia memiliki bahasa yang bukan biasanya dilontarkan khalayak umum. Ismael’s brunch “dada yang tanah mengisi paceklik panjang” seperti kerasnya kehidupan sekarang

  6. desy berkata:

    baguss

Komentar Anda?