Menu
Menu

Sebald sengaja melapisi narasinya, agar Austerlitz menjadi sulit untuk didekati. Menyelamatkan orang mati yang merupakan tujuan dari Jacques Austerlitz, juga W.G. Sebald.


Oleh: Stanley Khu |

Seorang editor penerbitan non-profit yang berfokus pada filosofi India (khususnya Buddhisme). Minat utamanya adalah tradisi pemikiran dan kesusasteraan India, baik klasik maupun kontemporer. Dapat dihubungi via akun Instagram @khu.stan.


Pada musim panas 1967, seorang pria, tidak disebutkan namanya tetapi menyerupai penulis W.G. Sebald, sedang mengunjungi Belgia. Di Centraal Station di Antwerp, dia melihat rekan sesama pelancong, dengan rambut pirang dan bergelombang yang aneh, memakai sepatu bot berat, celana panjang khas tukang yang terbuat dari belacu biru, dan sebuah jaket yang bagus tetapi usang. Dia sedang serius mempelajari ruangan dan mencatat. Sosok itu adalah Jacques Austerlitz. Kedua pria terlibat dalam percakapan, bersantap malam di restoran stasiun, dan terus bercakap sampai larut malam. Austerlitz adalah seorang sarjana yang fasih—dia menjelaskan tampilan kepercayaan diri kolonial agak ganjil yang terwakili oleh Centraal Station Antwerp, dan secara umum berbicara tentang sejarah benteng. Menurutnya, seringkali proyek-proyek kita yang paling perkasalah yang dengan cara paling gamblang menyibak perasaan ketidakamanan kita.

Austerlitz dan narator yang menyerupai Sebald bertemu lagi—beberapa bulan kemudian, di Brussels; kemudian, sekali lagi, di jalur pejalan kaki di Zeebrugge. Terungkap bahwa Jacques Austerlitz adalah dosen di sebuah institut sejarah seni di London, dan bahwa area kesarjanaannya tidak umum. Dia terobsesi pada bangunan-bangunan publik yang monumental, seperti pengadilan dan penjara, stasiun kereta api dan rumah sakit jiwa, dan penyelidikannya telah membengkak melampaui batas nalar, “berkembang biak menjadi sketsa-sketsa awal tak berujung untuk sebuah studi, sepenuhnya berdasarkan pandangannya, tentang kesamaan di antara semua bangunan ini.” Selama beberapa waktu, narator mengunjungi Austerlitz secara rutin di London, tapi mereka putus hubungan sampai tahun 1996, ketika dia kebetulan bertemu Austerlitz lagi, kali ini di Liverpool Street Station. Austerlitz menjelaskan bahwa baru belakangan ini dia mengetahui kisah hidupnya, dan dia membutuhkan tipe pendengar seperti yang diperankan si narator dulu di Belgia, tiga puluh tahun silam.

Dan demikianlah Austerlitz memulai cerita yang secara bertahap akan mengisi sisa buku: bagaimana dia dibesarkan di sebuah kota kecil di Wales, dengan orang tua asuh; bagaimana dia menemukan, ketika sudah remaja, bahwa namanya bukan Dafydd Elias melainkan Jacques Austerlitz; bagaimana dia pergi belajar ke Oxford, dan kemudian memasuki kehidupan akademis. Meski jelas-jelas seorang pengungsi, selama bertahun-tahun Austerlitz tidak mampu menemukan secara akurat sifat dan kontur dari pengasingannya sampai kelak dia mengalami sebuah momen visioner, pada akhir 1980-an, di Ruang Tunggu Perempuan di Liverpool Street Station. Berdiri terpaku selama mungkin berjam-jam, di sebuah ruangan yang sampai saat itu tidak dia ketahui (dan yang akan dirobohkan, untuk memungkinkan perluasan stasiun bergaya Victoria ini), dia merasa seolah-olah ruangan itu mengandung “semua momen dari kehidupan masa laluku, semua ketakutan dan keinginan yang tertekan dan padam yang pernah kurasakan.” Dia tiba-tiba melihat, dalam mata batinnya, orang tua asuhnya, “dan juga bocah yang mereka temui,” dan dia menyadari bahwa dia pasti telah tiba di stasiun ini setengah abad silam.

Baru pada musim semi tahun 1993-lah, dan setelah menderita gangguan saraf selama periode itu, Austerlitz mengalami pengalaman visioner lain, kali ini di toko buku Bloomsbury. Penjual buku sedang mendengarkan radio, siarannya tentang dua perempuan yang membahas musim panas tahun 1939, masa ketika mereka, waktu itu masih anak-anak, tiba dengan kapal feri Prague di Inggris, sebagai bagian dari Kindertransport [usaha penyelamatan anak-anak dari wilayah kekuasaan Nazi yang berlangsung selama sembilan bulan dalam kurun 1938-1939, persis sebelum meletusnya Perang Dunia II]: “Baru pada saat itulah aku tahu pasti kalau fragmen-fragmen memori ini adalah bagian dari hidupku sendiri juga,” kata Austerlitz kepada narator. Penyebutan nama “Prague” belaka mendorong Austerlitz menuju ibukota Ceko, tempat dia akhirnya menemukan pengasuh lamanya, Vera Ryšanová, dan menyibak kisah dari hayat singkat orang tuanya. Ayahnya, Maximilian Aychenwald, melarikan diri dari Nazi di Praha, dengan berangkat ke Paris; Tetapi, di akhir buku kita diberitahu kalau dia akhirnya ditangkap dan ditawan pada pengujung 1942, di kamp Prancis di Gurs, di kaki bukit Pyrenees. Ibunya, Agáta Austerlitz, tetap tinggal di Praha, secara ceroboh meyakini prospek masa depannya, namun akhirnya ditangkap dan dikirim ke ghetto Terezín (lebih dikenal dengan nama Jermannya, Theresienstadt) pada bulan Desember 1942. Kita tidak diberitahu tentang destinasi terakhir dari Maximilian dan Agáta, tetapi kita dapat dengan mudah menyimpulkan yang terburuk: Vera hanya memberitahu kita bahwa Agáta “dikirim ke timur” dari Terezín, pada bulan September 1944.

Kisah singkat di atas, meskipun isinya pedih, mewakili semacam vandalisme terhadap novel indah Sebald, dan saya menawarkannya hanya dalam semangat orientasi. Poin terpentingnya, kisah singkat ini luput menangkap semua upaya Sebald untuk tidak menawarkan sebuah kisah yang lugas dan biasa-biasa saja. Karena yang nyaris luput dari pengamatan adalah bagaimana Sebald menjadikan cerita Austerlitz sebuah teka-teki yang rusak dan tersembunyi, yang maknanya harus diselamatkan khalayak pembaca entah bagaimana caranya. Meski Austerlitz, dan oleh karenanya khalayak pembaca juga, terlibat dalam perjalanan deteksi, bukunya sendiri sesungguhnya mewakili proses deteksi yang dengan sengaja dibuat kacau, sebuah pengulangan teka-teki. Di akhir novel, kita tentu sudah tahu banyak tentang Jacques Austerlitz—tentang putaran-putaran tragis dalam hidupnya, latar belakang keluarganya, tentang obsesi dan kecemasan dan depresinya—tetapi tidak dapat dikatakan bahwa kita benar-benar mengenalnya. Sebuah hayat telah dituangkan kepada kita, tetapi bukan sebuah diri. Dia sama asingnya di akhir maupun di awal buku, dan seolah-olah keluar dari buku dengan keacakan dan ketiba-tibaan yang juga menandai awal mula dia memasukinya.

Sebald sengaja melapisi narasinya, agar Austerlitz menjadi sulit untuk didekati. Jacques menceritakan kisahnya kepada narator, yang kemudian menceritakan kisahnya kepada kita, sehingga hasilnya adalah perujukan berulang yang menjadi ciri khas buku, semacam parodi atas sumber rujukan yang biasanya kita temui di surat kabar: hampir setiap halaman memiliki “kata Austerlitz” di dalamnya, dan terkadang filter narasinya lebih tebal lagi, seperti misalnya di frasa berikut, yang melaporkan kisah Maximilian, melalui Vera Ryšanová, melalui Austerlitz, sehingga tiga nama pun melebur: “Dari waktu ke waktu, demikian kenang Vera, kata Austerlitz, Maximilian akan menuturkan kisah tentang bagaimana pada suatu kali, setelah pertemuan serikat pekerja di Treplitz pada awal musim panas 1933…” Sebald meminjam kebiasaan perujukan berulang-ulang ini dari penulis Austria Thomas Bernhard, yang juga memengaruhi diksi ekstremisme Sebald. Hampir setiap kalimat di dalam buku ini adalah kombinasi cerdik antara yang senyap dan nyaring: “Seperti biasanya ketika aku pergi ke London sendirian,” kata narator pada kita dalam sebuah kalimat yang cukup khas, “sejenis keputusasaan yang tumpul bergejolak dalam diriku pada pagi bulan Desember itu.” Atau, misalnya, ketika Austerlitz menjelaskan bagaimana ngengat mati, dia mengatakan bahwa mereka akan tetap pada tempatnya, menempel di dinding, tidak pernah bergerak “sampai napas terakhir keluar dari tubuh mereka, dan faktanya mereka akan tetap berada di sana, di mana mereka berduka bahkan setelah mati.” Dalam karya Thomas Bernhard, ekstremitas ungkapan tidak dapat dibedakan dari amarah si penulis Austria yang penuh omelan dan jenaka, serta kecenderungannya untuk secara obsesif berputar-putar antara kegilaan dan bunuh diri. Sebald mengambil sebagian dari keliaran Bernhard dan mengasingkannya—pertama-tama, dengan meredamnya dalam sintaksis yang sangat sopan: “Seandainya waktu itu kusadari bahwa bagi Austerlitz momen-momen tertentu tidak memiliki awal ataupun akhir, sementara di sisi lain keseluruhan hidupnya kadang-kadang tampak baginya seperti titik kosong tanpa durasi, kemungkinan aku akan menanti dengan lebih sabar.” Kedua, Sebald membuat diksinya terasa misterius melalui sebuah proses antikuarianisme yang disengaja. Perhatikan bunyi Romantik yang secara ganjil memikat dari ungkapannya tentang ngengat: “sampai napas terakhir keluar dari tubuh mereka … di mana mereka berduka.”

Dalam semua fiksinya, Sebald mengelola daya-daya kuno ini (seringkali mengingatkan pada penulis Austria abad ke-19 Adalbert Stifter) menjadi sebuah perpaduan yang baru, aneh, dan terlihat mustahil: semacam Gothik kontemporer yang termenung dan agak gelisah. Semua karakter dan naratornya senantiasa menemukan diri mereka, selayaknya pelancong di masa lalu, berada di tempat-tempat yang suram dan berbahaya (London Timur, Norfolk) di mana “tidak ada satu makhluk pun bergerak.” Ke mana pun mereka pergi, mereka ditemani kesadaran akan kegelisahan, ketakutan, dan ancaman. Di Austerlitz, kegelisahan setara dengan Gothikisme masa lalu; teks terus-menerus bersekutu dengan hantu-hantu orang mati. Di Liverpool Street Station, Jacques Austerlitz merasa takut saat memikirkan bahwa stasiun itu dibangun di atas fondasi Bedlam, rumah sakit jiwa yang terkenal: “Saat ini aku merasa,” katanya kepada narator, “seolah-olah orang mati kembali lagi dari pengasingan mereka dan memenuhi senja di sekitarku dengan laju hilir-mudik mereka yang luar biasa lamban namun tanpa henti.” Di Wales, Jacques muda sesekali merasakan kehadiran orang mati, dan Evan si tukang sepatu memberitahunya tentang orang-orang mati yang “dihantam takdir sebelum waktunya, yang tahu kalau apa yang menjadi hak mereka telah dirampas dari mereka sehingga kini mereka mencoba kembali ke dunia.” Hantu-hantu yang kembali ini, kata Evan, dapat terlihat di jalanan: “Sekilas mereka tampak seperti manusia normal, tetapi ketika kau amati lebih dekat, wajah mereka akan mengabur atau sedikit berkelip di pinggir.” Di kota Terezín yang sepi, tidak jauh dari Praha, Austerlitz melihat ghetto Yahudi tua, seolah-olah orang mati masih hidup, “berjejalan di gedung-gedung dan ruang-ruang bawah tanah dan loteng-loteng, seolah-olah mereka terus naik-turun tangga, melihat ke luar jendela, bergerak dalam kerumunan besar di sepanjang jalan-jalan dan gang-gang, dan bahkan, dalam sebuah rombongan senyap, yang memenuhi seisi ruang hunian udara, yang menggores dengan warna abu-abu menyerupai hujan lebat.”

Ini adalah mimpi untuk bertahan hidup sekaligus ketakutan akan hal tersebut, sesuatu yang menghantui. Menghidupkan kembali orang mati, mereka yang “dihantam takdir sebelum waktunya”—misalnya, orang tua Jacques, atau korban-korban Theresienstadt yang ditawan—akan menjadi sebuah kebangkitan yang ajaib, sebuah pembalikan sejarah; namun, karena ini mustahil, orang mati hanya bisa “kembali” sebagai saksi bisu, menghakimi kita karena kegagalan kita menyelamatkan mereka. Orang-orang mati yang hidup kembali di Terezín, berdiri dalam “rombongan senyap”, terdengar sangat mirip pengadilan besar, berdiri menghakimi di hadapan kita. Kalau begitu, mungkin, rasa bersalah karena bertahan hidup muncul bukan hanya dari kesuksesan yang soliter (“kesuksesan” karena bernasib mujur, karena selamat dari Nazi) atau horor irasional bahwa seseorang hidup karena ada orang lain yang mati (sebuah irasionalitas yang diselidiki Primo Levi dalam karyanya). Juga ada rasa bersalah terkait gagasan bahwa orang mati berada dalam belas kasihan kita, bahwa kita dapat memilih untuk mengingat atau melupakan mereka. Ini ditangkap dengan baik dalam salah satu kalimat Theodor Adorno, dalam sebuah esai tentang Mahler, yang ditulis pada tahun 1936: “Jadi memori adalah satu-satunya bantuan yang tersisa bagi mereka [orang mati]. Mereka berpulang ke dalam memori, dan jika setiap orang mati dapat diibaratkan sebagai seseorang yang dibunuh oleh mereka yang hidup, maka dia juga dapat diibaratkan sebagai seseorang yang nyawanya harus mereka selamatkan, tanpa mengetahui apakah usaha ini akan berhasil atau tidak.”

Menyelamatkan orang mati—inilah proyek dari Austerlitz yang secara paradoks mustahil dilakukan, dan yang merupakan tujuan dari Jacques Austerlitz, juga W.G. Sebald. Buku ini seperti toko barang antik yang dilihat oleh Jacques di Terezín; penuh dengan barang-barang tua, banyak di antaranya direproduksi dalam bentuk foto di dalam teks: bangunan, ransel tua, buku dan kertas catatan, meja, tangga, kantor yang berantakan, patung porselen, batu nisan, akar pohon, cap, gambar benteng. Foto-foto dari barang-barang lama ini juga barang-barang lama—seperti kartu pos bergambar yang lusuh dan terbuang yang bisa kita temukan di pasar loak akhir pekan, dan yang Sebald kumpulkan dengan penuh kenikmatan. Jika foto itu sendiri merupakan barang tua dan mati, lalu bagaimana dengan orang-orang yang direkam—dibekukan—oleh foto tersebut? (Sedikit berkelip di pinggir, sebagaimana Evan si tukang sepatu menggambarkan orang mati.) Tidakkah mereka juga barang-barang tua dan mati? Itulah sebabnya Sebald memadukan objek-objek hidup dan mati dalam buku-bukunya, dan itulah sebabnya objek-objek mati jauh melampaui objek-objek hidup di Austerlitz. Di tengah foto-foto bangunan dan batu nisan, sungguh mengejutkan untuk mendapati sorot mata Wittgenstein dari jarak dekat, atau foto tim rugbi di sekolah Jacques. Manusia seolah-olah dibuat konkret oleh waktu, dan Sebald dengan sengaja menyisakan satu halaman penuh bagi foto mengejutkannya tentang tengkorak-tengkorak di lumpur (konon, ini berasal dari kerangka-kerangka yang ditemukan di Broad Street Station pada tahun 1984, selama ekskavasi). Dalam derap maju kita menjadi barang-barang tua ini, batu-batu nisan tua yang berlumpur ini, kita semua pada dasarnya sedang bepergian. (Di bagian utara Inggris, kuburan dulunya disebut boneyard [halaman tulang-belulang], sebuah ungkapan yang entah bagaimana menyampaikan kesan bahwa tulang-belulang kita tidak ada bedanya dengan kayu atau sampah).

Namun sebagian bepergian lebih cepat ketimbang yang lain, dan dengan keniscayaan yang lebih terkutuk, dan pastinya ada perbedaan antara, di satu sisi, foto tim rugby Jacques, dan di sisi lain, foto ibu Jacques atau foto (diambil dari gambar diam sebuah film) penduduk Theresienstadt yang ditawan. Sebagaimana diungkapkan dengan jitu oleh Roland Barthes dalam Camera Lucida, sebuah buku yang menjadi teman dialog serius dari Austerlitz, foto mengejutkan kita karena sungguh-sungguh mewakili apa yang telah terjadi. Kita melihat sebagian besar foto lama, dan kita berpikir: “Orang itu akan mati, dan memang sudah mati.” Barthes menyebut fotografer sebagai “agen kematian,” karena mereka membekukan subjek dan momen dalam keterbatasan. Melihat foto, tulisnya, kita bergidik memikirkan malapetaka yang telah terjadi: “Entah subjeknya sudah mati atau belum, semua foto adalah malapetaka ini.” Efek ini tentu saja semakin intens saat kita melihat foto-foto korban Nazi—entah saat mereka sedang dikumpulkan, atau sekadar berjalan di sepanjang jalanan di ghetto. Dalam kasus-kasus seperti ini, kita berpikir: “Mereka tahu mereka akan mati, dan mereka memang sudah mati, dan tidak ada yang bisa kita lakukan.” Tidak seperti pemain rugbi yang kaku, para korban ini seolah-olah sedang melihat ke arah kita (bahkan saat mereka sedang tidak melihat langsung ke kamera) dan meminta kita untuk melakukan sesuatu. Inilah yang memberi foto Jacques muda intensitas khusus. Seorang bocah dalam jubah pestanya, dengan irisan rambut pirangnya yang berantakan, menatap ke arah kamera tidak dengan sikap memohon tetapi dengan percaya diri, meskipun sedikit skeptis. Dan sangat bisa dimengerti bahwa Jacques Austerlitz, saat melihat foto dirinya ini, dari sebuah masa ketika dia masih di Praha dan masih memiliki orang tua dan belum dinaikkan ke kereta yang menuju London, memberitahu narator bahwa dia merasakan “tatapan menusuk dan ingin tahu dari bocah yang kini datang meminta haknya, yang sedang menungguku di bawah cahaya kelabu fajar di lapangan kosong untuk menerima tantangan dan menghindarkan kemalangan yang menantinya.” Jacques Austerlitz diselamatkan oleh Kindertransport, dan akhirnya memang menghindarkan kemalangan yang menantinya. Tapi dia tidak bisa menghindarkan kemalangan yang menanti orang tuanya, sehingga, bahkan di usia paruh bayanya, dia selamanya membeku dalam sikap yang ditampilkan foto dirinya itu, senantiasa menanti untuk menghindarkan kemalangan. Jadi dia menyerupai penunggang kuda porselen kecil yang dia lihat dari jendela toko barang antik di Terezín, patung kecil seorang pria yang menyelamatkan seorang gadis, terekam dalam sebuah “momen penyelamatan, berulang tapi selamanya hanya sekadar berlangsung.” Apakah Jacques Austerlitz adalah sang penyelamat, atau sosok yang menunggu penyelamatan? Tak diragukan, kedua-duanya.

Tentu saja ada dimensi lebih lanjut dalam cara Sebald menggunakan foto-foto: mereka fiksional. Di bidang penulisan historis dan memori historis yang paling menjamin kesucian dari akurasi, dari kesaksian dan fakta fatal, Sebald meluncurkan kampanyenya yang nekat: penggunaan foto-fotonya bergantung pada, dan bermain-main dengan, tradisi kebenaran dan reportase. Di satu sisi, foto-foto ini membakar kita dengan janji akurasinya—seperti kata Barthes, foto-foto memukau karena mereka “membuktikan bahwa apa yang kulihat pernah ada … dalam Fotografi, kehadiran sesuatu (pada momen lampau tertentu) tidak pernah metaforik.” Kita terbuai untuk menatap foto-foto ini, dan berkata pada diri sendiri: “Itu Jacques Austerlitz, dalam balutan jubahnya. Dan itu ibunya!” Kita mengatakan ini, sebagian karena foto membuat kita ingin mengatakan ini, tetapi juga karena Sebald memadukan foto-foto orang ini dengan foto-foto bangunannya yang sungguh akurat dan benar (misalnya, foto penjara Breendonk, di Belgia, tempat Jean Améry disiksa oleh Nazi, dan yang dikunjungi narator, adalah foto dari bangunan sebenarnya). Di sisi lain, kita tahu, di lubuk hati kita (dan mungkin dengan enggan?) bahwa Jacques Austerlitz adalah karakter fiksional, dan oleh karena itu foto si bocah mustahil adalah foto dirinya.

Faktanya, dalam buku ini, foto-foto manusia Sebald bisa dikatakan dua kali lipat fiksional: mereka adalah foto-foto dari karakter yang diciptakan; dan seringkali mereka adalah foto-foto orang sungguhan yang pernah hidup tetapi kini hilang dalam sejarah. Misalnya saja foto tim rugbi, dengan Jacques Austerlitz yang terlihat duduk di barisan depan, di paling kanan. Siapakah para pemuda ini? Di mana Sebald menemukan potret grup yang memudar ini? Dan apakah mungkin ada di antara mereka yang masih hidup? Satu hal yang pasti adalah mereka telah memasuki kesamar-samaran: kita tidak melihat potret ini dan berkata pada diri sendiri, “Itu Winston Churchill muda, di barisan tengah.” Wajah-wajah di foto tidak diketahui, terlupakan. Tepatnya, mereka bukan mata Wittgenstein yang terkenal itu. Foto si bocah yang berjubah bahkan lebih tajam lagi dalam kepedihannya. Saya telah membaca ulasan-ulasan atas buku ini yang berpendapat bahwa itu adalah foto Sebald muda—demikianlah hasrat alamiah kita, saya kira, untuk tidak membiarkan si bocah menjadi yatim piatu yang anonim. Tetapi foto itu bukan foto Sebald muda; saya menemukan foto itu di Arsip Sebald di Marbach, di luar Stuttgart, dan hanya mendapati sebuah kartu pos fotografi biasa, dengan tulisan tinta “Stockport: 30p” di sisi belakangnya. Identitas si bocah telah lenyap (seperti halnya perempuan yang fotonya ditampilkan sebagai Agáta, ibu si bocah), dan bisa dikatakan telah lenyap dengan cara yang bahkan lebih menyeluruh daripada korban-korban Hitler, karena setidaknya mereka adalah bagian dari memori sentimental, dan pembunuhan mereka menyerukan perkabungan publik, sementara si bocah telah menghilang ke dalam kesamar-samaran pribadi dan keheningan sehari-hari yang akan menimpa sebagian besar dari kita. Jadi, dalam karya Sebald, dan khususnya dalam buku ini, kita mengalami hubungan yang tidak menentu dengan sejumlah foto manusia yang terpilih—gambar-gambar ini secara eksplisit merupakan bagian dari cerita yang sedang kita baca, yakni tentang menyelamatkan orang mati (kisah Jacques Austerlitz); dan mereka juga merupakan bagian dari cerita lebih besar yang tidak ditemukan dalam buku (atau setidaknya hanya tersirat), yang juga tentang menyelamatkan orang mati. Orang-orang ini menatap kita, seolah-olah memohon kepada kita untuk menyelamatkan mereka dari amnesia eksistensi yang banal. Tapi jika Jacques Austerlitz pada akhirnya tidak bisa menyelamatkan orang tuanya yang sudah meninggal, maka kita pun pada akhirnya tidak bisa menyelamatkan si bocah. “Menyelamatkan” dia sama saja dengan menyelamatkan semua orang yang meninggal, sama saja dengan menyelamatkan semua orang di masa lalu yang meninggal dalam kesamar-samaran. Menurut saya, inilah makna ganda dari tuturan Sebald tentang si bocah: Jacques Austerlitz-lah, tapi sekaligus juga si bocah dari Stockport (dengan kata lain), yang menatap kita dari foto dan meminta kita untuk “menghindarkan kemalangan” dari kematiannya, yang tentu saja tidak dapat kita lakukan.

Jika seorang bocah telah hilang dari kita, maka begitu pula Jacques Austerlitz. Seperti fotonya, dia juga telah menjadi sesuatu, dan ini tentunya merupakan bagian dari teka-teki nama belakangnya yang ganjil. Dia memiliki nama belakang Yahudi, yang memang dapat ditemukan dalam catatan sipil Ceko dan Austria; sebagaimana Jacques dengan tepat memberitahu kita, ayah Fred Astaire dilahirkan dengan nama belakang Austerlitz (“Fritz” Austerlitz lahir di Austria, dan pindah agama dari Yudaisme ke Katolik). Tapi Austerlitz pada dasarnya bukan nama seseorang tetapi nama pertempuran yang tersohor, dan sebuah stasiun kereta api Paris yang terkenal. Nama tersebut amat disayangkan dalam kasus Jacques, karena gaung historisnya terus-menerus menjauhkan kita dari keyahudiannya (dari individualitasnya), dan justru menuju rujukan sejarah dunia yang hampir tidak ada sangkut-paut dengannya. Bayangkan sebuah novel yang hampir di setiap halamannya terdapat kalimat “kata Waterloo” atau “kata Agincourt.” Sebald bermain-main dengan keganjilan ini secara kentara di sebuah bagian ketika Austerlitz muda pertama kali mengetahui nama belakang aslinya, di sekolah. “Apa artinya?” tanya Jacques, dan kepala sekolah memberitahunya bahwa itu adalah sebuah tempat kecil di Moravia, tempat pertempuran yang tersohor. Selama tahun ajaran berikutnya, pertempuran Austerlitz memang dibahas, dan ternyata itu adalah salah satu bahan ajar dari Pak Hilary, guru sejarah romantik yang memberikan kesan mendalam pada Jacques muda. “Hilary memberitahu kami, kata Austerlitz, bagaimana pada pukul tujuh pagi puncak tertinggi bukit muncul dari balik kabut … Pasukan Rusia dan Austria telah turun dari lereng seperti longsoran salju yang lamban.” Pada momen ini, ketika kita mendapati “kata Austerlitz” yang familiar, untuk sesaat kita tidak yakin apakah si karakter atau pertempuran itu sendiri yang sedang berbicara.

Mari kembali sejenak ke jawaban kepala sekolah, karena itu adalah salah satu momen yang secara diam-diam paling menakjubkan dalam novel, dan yang bisa dipandang sebagai lambang dari kemampuan Sebald dalam menahan diri dan meredam intensitas kisahnya. Kepala sekolah, Pak Penrith-Smith (lelucon yang bagus, karena Penrith-Smith menggabungkan nama sebuah tempat di Inggris dan nama belakang paling anonim dan umum dalam bahasa Inggris), telah memberitahu Jacques bahwa namanya bukan Dafydd Elias tetapi Jacques Austerlitz. Jacques bertanya, dengan kesopanan anak sekolahan Inggris yang dipaksakan, “Maaf, Pak, tapi apa artinya?” Yang lantas dijawab Pak Penrith-Smith: “Saya pikir Anda akan menemukan bahwa itu adalah sebuah tempat kecil di Moravia, sebuah lokasi pertempuran yang tersohor.” Dan cuma begitu saja! Dan saat itu tahun 1949. Jacques menanyakan pertanyaan yang bisa dibilang sebagai pertanyaan dari keseluruhan novel, dan kepala sekolah hanya memberitahunya pertempuran tersohor tahun 1805 antara Prancis dan Austria. Pertimbangkan segala yang dihilangkan, atau ditekan, dari jawaban ini. Kepala sekolah bisa saja mengatakan bahwa Austerlitz adalah nama Yahudi, dan bahwa Jacques adalah pengungsi yang kabur dari Nazi. Dia bisa saja, dengan bantuan dari kepakaran Pak Hilary, menambahkan bahwa Austerlitz, terletak dekat Brno yang pada saat itu masih berada di wilayah Cekoslowakia, pernah memiliki populasi Yahudi yang berkembang pesat, dan mungkin nama Jacques berasal dari komunitas itu. Dia bisa saja menyebutkan bahwa pada tahun 1941, Jerman mendirikan ghetto Theresienstadt, di sebelah utara Praha (nama ini berasal dari Ratu Maria Theresa, yang pada tahun 1745 mengeluarkan dekrit yang membatasi jumlah keluarga Yahudi di Moravia), dan bahwa orang-orang Yahudi yang tersisa di Austerlitz hampir bisa dipastikan tewas di sana, atau kelak di Auschwitz, yang merupakan tujuan terakhir dari sebagian besar tawanan Theresienstadt. Dia bisa saja menambahkan bahwa orang tua Jacques kemungkinan besar sudah meninggal.

Namun, Pak Penrith-Smith tidak mengatakan semua ini, dan di sepanjang sisa novel Jacques Austerlitz akan mencoba menemukan jawaban atas pertanyaannya sendiri. Sebaliknya, jawaban hambar kepala sekolah mengalihkan Jacques ke masa lalu publik, ke sebuah tanggal. Apa artinya? Jawaban yang diterima Jacques, pada intinya, adalah: “1805, itulah artinya.” Dari semua penyelamatan yang diajukan oleh novel, yang paling sulit mungkin adalah ini: untuk mengembalikan kepada Jacques Austerlitz individualitas dari nama dan pengalamannya, untuk menyelamatkan privasi nama belakang “Austerlitz” yang hidup dari publisitas nama tempat “Austerlitz” yang mati dan tidak relevan. Jacques seharusnya bukan sebuah pertempuran, atau stasiun kereta api, atau sesuatu. Pada akhirnya, kita tidak dapat melakukan penyelamatan ini, dan novel tidak mengizinkan kita melakukannya. Nama-nama privat dan publik terus berkelindan, dan di sinilah letak kekuatan dari halaman-halaman penutup novel. Kita tanpa daya kembali ke Gare d’Austerlitz, ke tempat ayah Jacques kemungkinan meninggalkan Paris. Di Bibliothèque Nationale yang baru, Jacques menemukan bahwa bangunan itu berdiri di atas puing-puing gudang era perang yang besar, tempat tentara Jerman “menyimpan semua barang rampasan yang telah mereka rampas dari rumah-rumah orang Yahudi di Paris.” Tempat itu dikenal sebagai depot penyimpanan Austerlitz-Tolbiac. Segala yang dihasilkan oleh peradaban kita dibawa ke sini, kata petugas perpustakaan, dan seringkali dicuri oleh petugas Jerman—berakhir di, katakanlah, sebuah “villa Grunewald” di Berlin. Pengetahuan ini seperti literalisasi dari diktum Walter Benjamin yang terkenal, bahwa tidak ada dokumen peradaban yang pada saat bersamaan bukan dokumen barbarisme. Berdiri di atas reruntuhan sejarah, berdiri di dalam sekaligus di atas gudang sejarah, Jacques Austerlitz terhubung ke reruntuhan ini melalui namanya; dan sekali lagi, di akhir buku, seperti halnya di awal buku, dia terancam menjadi sekadar bagian dari puing-puing sejarah, sesuatu, tempat penyimpanan fakta dan tanggal, bukan seorang manusia. Dan di sepanjang novel, hadir namun tidak pernah terucap, tidak pernah tertulis—aksi penyelubungan Sebald yang paling indah—adalah nama historis lain yang membayangi nama Austerlitz, nama yang diawali dan diakhiri dengan huruf yang sama, nama yang terkadang gagal kita bedakan dengan Austerlitz, tempat Agáta Austerlitz kemungkinan besar “dikirim ke timur” pada tahun 1944, dan tempat yang kemungkinan besar menjadi tujuan terakhir Maximilian Aychenwald dari kamp Prancis di Gurs pada tahun 1942: Auschwitz.(*)

*

Tentang James Wood

James Wood menjabat sebagai Kepala Kritik Sastra di The Guardian antara periode 1992-1995. Selain itu, ia juga pernah menjadi editor senior di The New Republic antara tahun 1995 dan 2007. Karir lain yang juga dijalaninya adalah sebagai Professor of the Practice of Literary Criticism di Universitas Harvard. Ulasan-ulasan dan esai-esai Wood banyak diterbitkan di The New York Times, The New Yorker, New York Review of Books, dan London Review of Books, di mana dia turut menjadi anggota dewan editorialnya.

Esai ini diterjemahkan dari buku James Wood yang berjudul The Fun Stuff and Other Essays.


Ilustrasi diambil dari sini.

Baca juga:
Epigram-Epigram Janus Pannonius
Novel Rasina, Tiket Piknik ke Masa Silam


7 thoughts on “Austerlitz W.G. Sebald – Esai James Wood”

  1. ALLAN berkata:

    Menakjubkan, sangat bagus

  2. susri yanti berkata:

    ceritanya bagus

  3. Nida Nurhikmah berkata:

    Sangat sangat luarbiasa!!

  4. Kia berkata:

    Austerlitz karya W.G. Sebald adalah sebuah karya sastra yang mendalam dan menggugah pikiran. Esai James Wood menyediakan wawasan yang berharga tentang karya tersebut, menyoroti kompleksitas naratif, kedalaman karakter, dan tema-tema yang diangkat, seperti trauma sejarah dan identitas. Wood mungkin menyoroti bagaimana Sebald menggabungkan fakta sejarah dengan imajinasi fiksi untuk menciptakan sebuah karya yang memikat dan berkesan. Esainya mungkin juga membahas gaya naratif Sebald yang unik, termasuk penggunaan gambar-gambar dan refleksi-refleksi yang membingkai cerita. Keseluruhan, ulasan Wood dapat menjadi panduan berharga bagi pembaca yang ingin mengeksplorasi Austerlitz dengan lebih dalam.

  5. Muhammad Farhan berkata:

    Sangat baik dan bisa dibilang buku ini adalah salah satu terbaik yang pernah saya baca selama ini.

  6. Faris berkata:

    Novel yang sangat bagus

    1. Alexa berkata:

      cerita yang sangat menakjubkan! baguss

Komentar Anda?