Enigma Tubuh —buat Nyai Sadea enigma tubuh
Oleh: Ng. Lilis Suryani |
Lahir di Cianjur, 10 Juli 1996. Pernah aktif di Komunitas Sastra Cianjur dan Sanggar Puisi Lincak. Sajak-sajaknya pernah dimuat di beberapa media daring dan terkumpul dalam antologi bersama Puisi Pilihan Kibul 2017.
tubuhku mengkilat
dijilat keringat
lalu pergi mandi
dan kata-kata jadi sabun
metafor-metafor kotor
bersemayam tenang
di ketiak dan selangkangan
kulit kepala makin gatal
bertengkar dengan rambut lepek
yang kalut menyimpan
seribu satu sajak kematian
juga cinta yang sia-sia mengingat
hilangnya tepukan sebelah tangan
adalah sampo yang nyaris habis
menangis minta bersua air
adalah peluru yang melolong
ketika selongsong telah kosong
apa bisa gayung diajak merenung
usai perdebatan salah dan benar
tiada kunjung tertampung
marah dan ricuh dalam berita
pindah ke bak jadi air bergejolak
tiada handuk yang benar-benar bisa
menyeka dan mengeringkan air mata
kewarasan lupa mengenakan pakaian
Yogyakarta, Oktober 2019
.
Kita menangkap lanskap dari halaman menjelang gelap
Hanya segaris, puncak bukit berbaris dan cakrawala terbuka
Kingkilaban mencuri-curi potret bibir kita
Yang murung ketika melafalkan berapa banyak
Usia yang kita habiskan agar hidup menjadi lengkap
Malam menyamarkan warna daun dan bunga
Pehon-pohon di kejauhan menduga kita jenis yang sama
Sekali lagi kingkilaban memercik cahaya
Lantas mampukah ia membaca sepi
Sekilas dalam samar tubuh ringkih kita?
Yogyakarta, 2020
Catatan:
Kingkilaban (bahasa Sunda) = kilat di kejauhan.
.
Kira-kira pagi pukul tujuh
Kau menertawakan sesuatu
Usia tua atau kesepiankah
Yang terasa sangat lucu
Lalu pukul tujuh malam
Tangismu pecah di serambi rumah
Di kejauhan awan beriringan
Menutupi seluruh ketakutan
Di matamu dan bulan
Agar tiada bertatapan
Agar tiada saling menyalahkan
Apa ketakutan terbesar dalam dirimu?
“Terbangun sendirian, semua hilang
Sepi datang mengganti rapuh tulang.”
Terakhir, kau meringkuk
Seperti bayi dalam dekapan ibu
Saat pertama menyusu
“Ayun-ayun ambing
Anaking jimat awaking.”
Bayang-bayang usia perlahan lindap
Waktu melesat bagai lintas peluru
Maut diam-diam mengajak bicara
Diam-diam bercanda dalam batukmu
Yogyakarta, Oktober 2019
Catatan:
Ayun-ayun ambing anaking jimat awaking (bahasa Sunda) = Kutimang-timang, anakku sayang.
.
Senyap Stasiun Tugu dan Lempuyangan
Membingkai keberangkatan dan lamunan portir
Jadi rangkaian kedatangan yang nyaris lapuk
Loket tertutup rapat sementara nomor identitas
Terus kutatap dan kusebut hingga beterbangan
Lebih dulu menuju kampung halaman
Angin berdesir, aku pun menoleh
Bunga liar, rumput gajah, dan ilalang
Tumbuh sembarang
Dengan begitu aku melihatmu
Melihat kuda liar dalam puisimu berpacu
Yogyakarta, 2020
.
Dalam gerbong kereta
Sisi kiri nampak terang
Tanaman mengambang
Di atas warna cahaya
Yang tak tersebut namanya
Aku menyandarkan kepala
Jauh pandangan tak terlihat benda-benda
Hanya langit dengan rupa biru
Atau mungkin aku keliru
Tebing di kanan dipenuhi rumput liar
Melesat cepat dan lebih cepat
Seperti ingatan-ingatan buruk
Yang terus melompat
Seorang anak menyusuri lorong
Sepasang matanya umpama leburan pelbagai warna
Yang kusaksikan pada sore sebelum berangkat
Di peron stasiun kereta
Alisnya, seperti garis-garis tak terukur
Ada yang tiba dari jauh lalu beristirahat di sana
Aku pun tersenyum
Merasa hentakan kecil di dalam dada
Perjalanan kali ini bersama koper kosong di bagasi
Mari menjauh mendekati pergi
Yogyakarta, 2020
.
—buat Nyai Sadea
/I/
Sepasang mata menyala
Memulai pesta hingga rebak
Detak gendang melebur
Dalam gerak tari penuh gairah
Gelak tawa mengalir serupa kucur arak
Di panggung yang sempit itu, tak banyak
Yang bisa kita tawarkan dan rayakan
Selain dingin dinding kubur
Membukakan satu pintu
Dan tak siapa pun yang diseret masuk
Bisa kabur untuk kembali
Tak ada yang bisa kabarkan kematian
Dari dalam batok kepala
Sebuah tubuh rusak tercipta
Usai menolak tunduk
Pada asal, awal yang terbentuk
Dari sepotong rusuk
Maka menarilah ia
Dengan daging yang koyak
Bulan menggantung canggung
Warna malam mengalir ke ceruk mata
Jadi corak penuh cahaya
“Apa yang lebih lentur dari kata-kata?”
Tubuh Sadea melenturkan
Seribu musim penuh kerja
/II/
Sepanjang lereng tubuhmu,
Rambutmu, wajahmu, kulitmu
Juga undakan jari lentik itu
Engkau seksi dan nyeri
Aku pun tersesat, peta hilang
Jalan pulang raib
Di mana pun, di balik kabut
Atau lembut kasut yang kaukenakan
Hanya teka-teki dan seikat isyarat
Seakan-akan senyum dan lirikan itu
Menagih ciuman mesra
Dan pada jurang matamu
Yang terus mematai-mataiku
Semakin dalam, aku tergelincir
Aroma kemenyan membalurmu
Serupa peluk mantra
Membuatku mabuk
Hingga subuh makin suntuk
Nyai, aku akan menari
Meski pengap meski gelap
Bukankah keringat pekerja
Lebih semerbak daripada
Ruap wangi kesturi?
/III/
Jantungku kian berderak
Marak detak demi detak
Saat seorang jawatan
Hendak mengoyak tubuh ingatanku
Dengan cambukan sekeras batu cadas
Tapi tarianku kemudian terhenti,
Tanpa seorang pun tahu
Diseretnya aku ke dalam ceruk rahasia
Tempat kereta berhenti mengangkut
Bersungai-sungai kucur darah
Lalu ia memburuku:
Babi hutan yang kehilangan arah
Tanpa henti diendusnya mata air
Dari jurang curam mataku
Sejumput api telah padam di dada,
Lantas ia mengamuk di sana
Dalam lubang ingatanku
Yang terus digali dan teramat nyeri
Kukatakan dengan gugup:
Aku tak mampu meredakan dahaga
Ditanamnya potongan-potongan tangisku
Dalam dinding sepi
Hingga rahasia matang membukit,
Rambutku makin menghutan
Dan pucuk dadaku penuh
Gema kehilangan tak sudah-sudah
Yogyakarta, 2019
Catatan:
Nyai Sadea ialah seorang penari yang hilang setelah pesta peresmian Terowongan Lampegan pada tahun 1882. Diceritakan bahwa ia dijadikan tumbal dan beberapa bagian tubuhnya dipotong dan ditanam dalam dinding terowongan. enigma tubuh
Ilustrasi: Photo by ROMAN ODINTSOV from Pexels
Baca juga:
– Puisi-Puisi Khoer Jurzani – Maharani
– Puisi-Puisi Adhimas Prasetyo – Sekelebatan Memori Patah Hati