Menu
Menu

Kritik Tommy atas novel Takjub yakni minim bahkan tidak ditemukannya konflik dalam tubuh cerita.


Oleh: Retha Janu |

Ketua Teater Saja Ruteng, Guru Les Matematika, mengelola Rumah Belajar Ba Gerak.


Suhu udara di Ruteng lebih dingin dari biasanya meski curah hujan kurang tinggi. Kabut waktu itu tipis sekali. Agustus di kota ini adalah bulan dengan musim yang paling kemarau.

Biasanya, di tengah semarak perayaan kemerdekaan nasional banyak pesta nikah memilih tanggal main di saat-saat begini seakan-akan ingin melewati Agustus tanpa harus mengingat penggalan puisi WS Rendra: “Kau tak akan mengerti bagaimana kesepianku menghadapi kemerdekaan tanpa cinta”. Jika begitu, sudah bisa kita tebak to? Ada begitu banyak quotes, nasihat, kotbah pastor, dan lain sebagainya yang di-copas jadi status atau caption ucapan selamat berseliweran di media sosial. Barangkali, tak berlebihan jika bulan ini banyak orang merayakan dan merenungi perihal cinta kasih dan pilihan hidup. Antara menikah dan bahagia denganmu atau single gembira dengan suatu tujuan, kan?

Klub Buku Petra pun punya caranya sendiri merayakan Agustus, bulan refleksi cinta kasih dan pilihan hidup merdeka tersebut. Adalah novel Takjub karya Feliks Edu, penulis NTT dan seorang pastor—kini berkarya di lembaga pendidikan Seminari Pius XII Kisol, terpilih sebagai buku ke-56 yang dibincangkan di KBP, pada Sabtu, 26 Agustus 2023. Seperti yang ditulis pada sampul belakangnya, novel ini berisi refleksi penulis tentang perjalanan panggilan serta pilihan hidup merdekanya dengan menjadi seorang pastor (imam Katolik).

Lolik Apung, Beato Lanjong, Tommy Hikmat, Arsy Juwandi, dr. Ronald Susilo, Armin Bell, Yuan Jonta adalah peserta bincang buku malam itu.

Sebagai pemantik diskusi, Yuan membuka hasil pembacaannya dengan membicarakan tempo yang dipakai penulis, irama dari awal sampai akhir yang terkesan sama. Dari sana, Yuan menangkap energi penulis yang stabil apalagi ditambah dengan detail cerita yang dipakai. Selain itu, Yuan juga melihat kehati-hatian penulis menggunakan diksi yang tidak biasa. Catatannya mengenai diksi yakni ke-tidak-koheren-nan-nya dengan cerita.

Dari buku ini, Yuan bisa sedikit menduga karakter penulis: pribadi yang disiplin, teguh, taat, dan selalu bersyukur. Seringkali ia temukan, penulis menekankan cerita tentang aturan-aturan juga apresiasinya yang penuh semangat dalam melakukan sesuatu dalam tubuh cerita. Sementara itu, kritiknya adalah buku ini akan lebih baik dijadikan memoir ketimbang novel. Lebih lanjut, ketika berbicara soal karakter dan struktur cerita, ada begitu banyak hal yang menurut Yuan ‘tidak pas’. Terutama ketika ia coba membandingkan Takjub dengan novel-novel lain yang sudah dia baca sebelumnya.

“Menyebutnya memoir akan lebih baik”, tandas Yuan. Menurutnya, penulis bisa mengembalikan hal-hal yang fiktif ke fakta, dan beberapa kutipan langsung sebagai kesannya sendiri. Penulis juga masih belum bisa memberi jarak yang tegas antara narator dalam buku ini dengan dirinya sendiri. Demikian pun teori-teori atau bacaan yang dimasukkan ke dalam buku ini, sehingga yang tampak keluar bukan kesimpulannya akan teori itu, tetapi semacam memasukkan mentahan teori ke cerita. Beberapa hal juga tampak tidak fungsional; tanpa memasukkan beberapa tokoh, cerita dalam buku tersebut tetap akan berjalan.

Secara personal, beberapa pengalaman penulis dalam buku ini pernah juga dirasakan Yuan sebagai seseorang yang sama-sama pernah tinggal di asrama sekolah. Meskipun demikian, hal ini tidak cepat membuatnya benar-benar bisa menikmati buku ini.

Tommy adalah pembincang selanjutnya. Sebagai alumnus Seminari Pius XII Kisol, ia merasa senang karena ada yang ingin bercerita tentang tempat itu. Novel Takjub memang mengambil latar di sekolah pendidikan calon imam Katolik itu. Menurutnya, buku ini akan menjadi salah satu rekomendasi yang cukup baik bagi para orang tua yang punya kecemasan bagaimana anak mereka akan hidup di Seminari. Sebab, buku ini menjelma rujukan yang cukup detail, bercerita tentang kehidupan di Seminari Kisol. Bagi Tommy, kata takjub yang dipilih sebagai judul novel ini dapat dimaknai dengan cara beragam, tergantung cara kita membacanya.

Setelah membaca buku ini, Tommy melihat makna takjub yang ingin disampaikan penulis adalah tentang hal-hal kecil yang dialami penulis saat berada di Seminari Kisol sampai jadi pastor sekaligus mengajak pembaca yang pernah bersekolah di sana merefleksi kisah mereka menjadi pastor.

Kritik Tommy atas novel Takjub yakni minim bahkan tidak ditemukannya konflik dalam tubuh cerita. Padahal beberapa bagian cukup mampu menghadirkan konflik cerita. Misalnya pergulatan saat tokoh utama duduk di kelas tiga SMA dan pergolakan penulis saat itu memilih melanjutkan pendidikan menjadi pastor atau tidak.

Secara personal, perasaan biasa saja muncul saat Tommy membaca, terutama karena gaya menulis yang dipakai penulis dalam buku ini bisa dikatakan adalah gaya yang umumnya juga dipakai oleh seminaris saat itu saat menulis buku harian. “Mungkin karena saya melewati proses yang sama saat saya sekolah. Sejujurnya, saya butuh sudut pandang lain dari mereka yang tidak mengenyam pendidikan di seminari,” kata Tommy.

Giliran Arsy menyampaikan hasil pembacaan. Sebagai guru di Seminari Pius XII Kisol, Arsy mengaku cukup dekat dengan penulis. Ia banyak menceritakan keseharian penulis di lembaga pendidikan di Kabupaten Manggarai Timur itu.

“Dalam buku ini kita temukan kesederhanaan tokoh. Dan hal itu memang terungkap juga dalam kehidupan penulis di Seminari. Ia tak banyak bicara, tapi tekun sekali. Jika kita berdiskusi dengan beliau, kita harus mempersiapkan data yang jelas dan bisa dipertangungjawabkan. Dalam kesehariannya beliau selalu menghindari kata tidak, lebih banyak menggunakan afirmasi positif,” cerita Arsy tentang Romo Feliks.

Tentang Seminari, Arsy kerap bertanya-tanya kultur seperti apa sebenarnya yang membuat kita kerap mudah menemukan anak-anak membaca di lorong-lorong kelas atau asrama? Buku bacaannya juga cenderung berat jika dilihat dari usia pembacanya: “Anak kelas 2 SMP misalnya sudah mulai membaca karya-karya Dan Brown. Kadang saya merasa heran dan tidak terima seolah belum waktunya mereka membaca ini, tapi tentu saja pikiran saya salah.”

Meski setuju dengan Yuan tentang teori kepenulisan yang tidak banyak dipakai dalam penulisan novel ini, tetapi bagi Arsy buku seperti ini sangat membantu anak-anak di sekolah. Sebagai orang dewasa, kadang kita merasa beberapa hal kurang masuk akal, tapi bagi siswanya di kelas tujuh dan delapan misalnya, buku-buku seperti ini sangat diminati. Buku ini mampu memberi anak-anak didiknya banyak nilai positif dan motivasi untuk meraih cita-cita atau mimpi seperti kakak kelas mereka dalam hal ini penulis.

Bagi Beato, cara bertutur seperti ini akrab sekali dengannya. Mungkin juga karena sempat tinggal lama di Seminari Tinggi, misalnya bagaimana kehidupan spiritual, atau lingkungan seminari/sekolah membentuk kepribadiannya, dan lain-lain. Penulis seolah ingin menunjukkan contoh keberhasilan melalui ketaatan (dapat dilihat dari penggambaran tokoh Lorden). Baginya, membaca buku ini juga seperti sedang mendengar orang Manggarai bertutur.

Ketika mengenang Seminari ada satu hal yang Beato ingat, yakni soal belajar bahasa Latin. Selain karena tidak semua siswa sekolah menengah mempelajarinya, Beato merasa ada semacam jarak intelektual antara yang siswa yang belajar di seminari dan non-seminaris. “Pas SMP-SMA, saya bangga sekali kalau bisa main dengan anak Seminari,” ungkapnya.

Seperti beberapa pembincang lain, Armin memulai hasil pembacaannya dengan mengenang pribadi penulis yang adalah teman seangkatannya di Seminari Pius XII Kisol.

“Romo Feliks orang yang tenang, sopan, dan sederhana. Beliau bukan tipe orang yang dicari dalam pergaulan, atau dengan sengaja menunjukkan dirinya sebagai orang hebat. Beliau adalah orang yang sejak awal sudah kami prediksi akan jadi imam. Saya punya beberapa bukunya. Ini yang paling panjang,” terang Armin.

Jika bicara dalam wilayah teknis dari Takjub, Armin punya hipotesis: Romo Feliks adalah pembaca dan murni penulis buku harian/diari. Iramanya mirip dengan roman Demi Kebenaran karya Pater Stanis Ograbek, tetapi buku harian Pater Stanis menjadi baik karena di sana banyak konflik. Ada konflik horisontal di ranah pemerintahan dan imam, sampai akhirnya ia dibuang ke Kalimantan. Juga semakin baik karena ada pergerakan fisik di dalam buku. Misalnya, ada pembangunan jalan dan kita merasa terlibat di dalamnya. Minimnya konflik dalam buku Romo Feliks membuat cerita menjadi agak datar.

“Saya pikir kalau bentuknya masih manuskrip, ia akan baik pada perbaikan posisi narator. Penulis membebani narator kecil/anak dengan pengetahuan-pengetahuan yang terlalu besar. Yang terjadi akhirnya, bukan narator yang bercerita, tapi penulis (yang datang dari luar cerita). Yang perlu kita pikirkan adalah bukan lagi pengetahuan kita sebagai penulis, tetapi pengetahuan karakter yang kita ciptakan. Karakter itu juga perlu diberi batas soal apa saja yang ia ketahui. Jika kita ingin memberitahu apa yang kita tahu sebagai penulis, tetapi naratornya sudah telanjur kita bentuk untuk tidak tahu, maka kita bisa menggunakan teknik lain untuk menceritakan itu, tidak menggunakan pengetahuan narator, tetapi bisa melalui pengetahuan orang lain. Lalu juga, misalnya kita bicara teknis, seberapa penting pengetahuan itu untuk bangunan cerita agar tidak terkesan banyak referensi yang tidak kompatibel ketika dijahit,” ujarnya panjang.

Apa yang disampaikan Armin barangkali menjadi alasan mengapa sudut pandang orang ketiga atau orang pertama menjadi rumit dalam kepenulisan. Kita harus membatasi diri. Kalau kita pakai sudut pandang orang kedua barangkali akan lebih ringan.

Di akhir hasil pembacaannya, Armin mengaku senang buku ini ada, terutama dipakai untuk mengenang apa yang pernah dilalui.

Setelah Armin, Lolik mendapatkan kesempatan untuk mengutarakan hasil pembacaannya.

“Kita punya beberapa penulis yang latar belakangnya psikologi. Biasanya, mereka mampu menampilkan idenya. Hal itu bisa kita amati dalam diksi. Kemampuan membungkus cerita yang menurut kita sulit diceritakan dapat mereka bahasakan dengan baik. Misal di novel Orang-Orang Oetimu karya Felix Nesi. Kita bisa membaca amarah dengan baik di novel tersebut.” Itulah hal pertama yang diungkapkan Lolik saat mulai membagi hasil pembacaannya atas novel Takjub.

Lolik juga memberi komentar pada cara penulis menulis buku ini. Baginya barangkali sejak awal buku ini diniatkan untuk menjadi semacam diari yang dibaca oleh para seminaris tanpa ada maksud melemparkannya pada khalayak sastra yang lebih luas.

Selanjutnya Lolik menebalkan hasil pembacaanya pada penggunaan time order dan text order. “Buku ini lebih banyak menggunakan time order. Menceritakan pengalaman penulis saat awal masuk ke seminari sampai jadi imam, namun kurang banyak menceritakan sebuah peristiwa tertentu secara lebih detail. Mungkin akan lebih baik, jika penulis menggabungkan penggunaan keduanya dalam buku ini,” ungkap Lolik.

Kesulitan yang dialami Lolik saat membaca buku ini adalah karena hal-hal serupa sudah pernah ia alami. Jadi, beberapa hal sudah ia ketahui ceritanya.

Pembincang terakhir malam itu adalah Dokter Ronald. Seperti pembincang yang sudah-sudah ia juga memulai hasil pembacaannya dengan mengenang bagaimana ia mengenal penulis secara personal.

“Dulu, Romo Feliks bukan orang yang dicari-cari jika bantuan dibutuhkan karena ia sangat pendiam. Walau demikian, ia sangat dikenal karena ketekunannya. Saat SMA saya dekat sekali dengan Romo. Saya merasa dia orang suci di asrama. Rajin, tekun, tertib. Panutan.”

Menyoal buku, Dokter Ronald ternyata sempat diminta untuk menjadi pembaca awal buku ini. Malam itu, ia memberikan gambaran ketika membaca sepuluh bab awal dari draf buku ini. Saat mulai membaca drafnya, dia sepakat soal adanya anakronisme, soal posisi narator dan penulis, dan soal tanggung jawab karakter Lorden untuk tahu terlalu banyak hal sebagai seorang karakter dalam cerita—persis seperti yang disampaikan Armin sebelumnya. Catatan tersebut menurutnya sudah disampaikan kepada penulis dan penulis berjanji akan ditindaklanjuti. Permintaan tersebut tidak sempat dieksekusi karena draf Takjub harus segera masuk meja penerbit.

Setelah selesai menceritakan pengalaman tersebut, pendiri Yayasan Klub Buku Petra ini melanjutkan berbagi hasil pembacaannya dengan melihat beberapa unsur dalam cerita seperti yang ia pakai saat membincang novel Rasinah sebelumnya.

Misal apakah buku ini membuatnya ingin membaca terus, alurnya, karakterisasinya, latarnya, gaya bahasanya, kebaruan, dan lain-lain. Bagi Dokter Ronald perlu ada beberapa perbaikan lebih lanjut agar buku ini semakin baik. Hal baik yang dirasakannya setelah membaca buku ini adalah ia kembali terkenang akan masa-masa indahnya di Seminari Pius XII Kisol, tempatnya bersekolah. Pernah suatu malam setelah membaca buku ini, ia tiba-tiba menyenandungkan lagu “Salve Regina”. Lagu ini sekaligus menjadi lagu yang dinyanyikan kembali oleh Dokter Ronald untuk menutup bincang buku malam itu. Bintang tiga disematkan untuk karya ini.[*]


Baca juga:
– Rencana Besar untuk Mati dengan Tenang; Buku Bagus dan Curhat-Curhat dari Rumah
Bila Sedih Agni Bernyanyi: Nyanyian Anak Gadis Seorang ODGJ


2 thoughts on “Novel Takjub: Kami Lebih Banyak Mengenang Ketekunan Penulis”

  1. Kevin valentino berkata:

    Sangat menarik

  2. Junesty berkata:

    Cerpen nya bagusss ,teliti jugaaaa poko nyaa the best lahhhh

Komentar Anda?