Menu
Menu

“Aku akan menikahimu,” kata si kodok, “seperti yang dilakukan semua pangeran yang dikutuk penyihir jahat dan diselamatkan oleh seorang putri cantik baik hati.”


Oleh: Dadang Ari Murtono |

Bukunya yang berjudul Sapi dan Hantu adalah juara 3 Sayembara Manuskrip Puisi Dewan Kesenian Jakarta 2021 dan merupakan nominee buku pilihan Tempo 2022. Ia juga mendapat Anugerah Sabda Budaya dari Universitas Brawijaya tahun 2019. Saat ini tinggal di Samarinda dan bekerja penuh waktu sebagai penulis serta terlibat dalam kelompok suka jalan.


Seorang perempuan sedang jalan-jalan santai di tepi hutan kota ketika tiba-tiba ia mendengar seekor kodok hijau sebesar telapak tangan orang dewasa berseru kepadanya dari bawah bangku beton.

“Tolong aku,” rintih kodok itu kepada si perempuan. “Tolong aku.”

Si perempuan, sedikit kaget tapi tanpa disertai perasaan heran atau takut, melangkah mendekati si kodok. Lantas berjongkok dan mengelus kepala kodok tersebut.

“Apa yang bisa kubantu?” si perempuan bertanya.

“Cium aku,” kata si kodok. “Dan aku bakal berubah menjadi pangeran yang akan menikahimu.”

“Seorang pangeran tampan?” si perempuan bertanya kembali. “Seperti dalam dongeng?” si perempuan menegaskan.

“Seorang pangeran tampan,” jawab si kodok, “yang paling tampan yang bisa kaubayangkan. Dan ya, seperti dalam dongeng.”

Si perempuan tersenyum. “Aku sudah lama menunggu saat-saat seperti ini tiba,” katanya.

.

Si perempuan membawa si kodok pulang dan menempatkan si kodok dalam akuarium yang lama kosong setelah ikan mas peliharaannya mati empat bulan lalu karena keracunan kaporit dari air PDAM.

“Kapan kau akan menciumku?” si kodok bertanya dari dalam akuarium yang sedikit buram kacanya. Ia menatap si perempuan dengan muka memelas. Lendir tipis membuat ujung hidungnya berkilau.

“Sabar,” kata si perempuan sambil tersenyum. Manis sekali. “Bagaimana pun, aku tak pernah mencium seekor kodok. Dan aku perlu menyiapkan diriku. Kau tentu tahu maksudku. Kulit basahmu itu, maaf, sedikit menggangguku.”

“Aku paham,” si kodok berkata. “Aku akan menunggumu. Aku akan menunggumu bahkan jika itu memerlukan waktu seratus tahun.”

Si perempuan tertawa. Renyah sekali. “Tidak akan selama itu,” si perempuan berujar. “Seratus tahun lagi aku hanyalah rabuk yang dihisap bunga-bunga.”

.

Si perempuan kemudian masuk ke dalam kamar setelah melemparkan satu kecup jauh yang membuat si kodok tersenyum samar. Si perempuan mengambil ponsel dan menelepon temannya.

“Aku menemukannya,” kata si perempuan. “Seekor kodok yang bisa bicara dan minta dicium supaya ia bisa menjadi pangeran dan menikahiku.”

Si teman, dari ujung sambungan, berseru kaget. “Kau akan melakukannya?”

“Bagaimana kalau kita melakukannya bersama-sama?” si perempuan mengajukan penawaran. “Aku tahu kau sudah lama menunggu kodok seperti ini.”

“Oh,” si teman mendesis. “Kau memang teman terbaikku. Tentu saja aku akan melakukannya dengan senang hati. Tak ada hal yang lebih kuingini di sepanjang hidupku daripada melakukannya.”

Dan begitulah si teman segera bersiap, lantas meluncur menuju rumah si perempuan.

.

Si teman punya pengalaman panjang dengan kodok yang bisa bicara dan minta dicium supaya bisa menjadi pangeran tampan yang menikahinya.

Enam tahun yang lalu, dalam piknik kantor, si teman menemukan seekor kodok yang bisa bicara tengah terperangkap sebatang kayu tumbang di dekat danau – sebuah pemandangan dan situasi yang hampir bersifat sureal. Kodok itu menatap si teman dengan pandangan memelas, dan itu membikin si teman tidak tega. Lantas, si teman membebaskan kodok tersebut. Dan pada waktu itulah, untuk pertama kalinya, si kodok berbicara.

“Aku tak pernah bertemu perempuan sebaik kau,” kata si kodok yang membuat si teman menjerit ketakutan.

“Setan,” jerit si teman. “Setan kodok.”

Si kodok berusaha menenangkan si teman. “Jangan berteriak,” kata si kodok.

“Aku bukan setan. Aku adalah seorang pangeran yang dikutuk penyihir jahat. Dan kutukanku akan berakhir jika ada seorang perempuan baik yang mau menciumku.”

“Pangeran?” si teman ternganga. “Seperti dalam dongeng?”

“Seperti dalam dongeng,” kata si kodok.

.

Dan begitulah si teman membawa si kodok pulang. Lantas mencium si kodok setelah mengelap moncongnya yang berlendir. Dan persis seperti yang dijanjikan si kodok, si kodok segera berubah menjadi seorang pangeran tampan – jauh lebih tampan ketimbang yang bisa dibayangkan si teman.

“Aku akan menikahimu,” kata si kodok, “seperti yang dilakukan semua pangeran yang dikutuk penyihir jahat dan diselamatkan oleh seorang putri cantik baik hati.”

“Tapi aku bukan putri,” kata si teman malu-malu waktu itu. “Aku hanya pekerja kantoran dengan kontrak kerja dua tahun tiap kalinya. Aku bahkan tak tahu apakah kontrakku yang habis tahun depan akan diperpanjang atau tidak.”

“Kau selalu menjadi putri dalam hatiku,” kata si pangeran yang membuat pipi si teman bersemu merah. “Tak peduli kontrakmu diperpanjang atau tidak.”

Dan mereka menikah di KUA tanpa perayaan atau pesta agung di sebuah istana megah – berbeda dengan pernikahan seorang pangeran dan putri yang menyelamatkannya dalam dongeng-dongeng.

.

Si teman membayangkan ia akan hidup bahagia selama-lamanya bersama si pangeran. Seperti dalam dongeng. Masalahnya, mereka tidak hidup dalam dongeng. Masalah lainnya, si pangeran bagaimana pun tak dapat menunjukkan di mana kerajaannya.

“Mungkin zaman memang sudah berubah,” kata si pangeran. “Aku tak ingat berapa lama aku terperangkap dalam tubuh kodok. Mungkin seratus tahun. Mungkin dua ratus tahun. Mungkin bahkan seribu tahun. Dan mungkin saja sepanjang waktu itu, kerajaanku sudah musnah. Dan sepertinya, kemungkinan itu sangat besar.”

“Itu mungkin saja,” kata si teman, “sepengetahuanku, zaman kerajaan memang sudah lama lewat. Hanya ada beberapa kerajaan saja di seluruh dunia hari ini dan kerajaan-kerajaan itu sangat jauh dari Indonesia. Dalam wujud kodok, kau tak mungkin menyeberangi laut untuk bisa sampai ke sini. Lagipula, kau bicara bahasa Indonesia. Mungkin kau juga perlu tahu bahwa sebagian besar negara berbentuk republik saat ini. Tapi seperti kataku, itu bukan masalah.”

Si teman, bagaimana pun, lantaran telanjur terpikat ketampanan si pangeran, berusaha mengabaikan hal ganjil yang menurutnya tidak terlalu penting seperti itu.

“Zaman memang sudah berubah,” itu yang akhirnya digumamkan oleh si teman, mengulang persis apa yang dikatakan si pangeran.

.

Dan meski kerajaannya sudah musnah – setidaknya menurut keyakinannya sendiri, nyatanya, si pangeran masih menganggap dirinya sebagai pangeran. Dan sebagai pangeran, si pangeran selalu ingin menyantap makanan terbaik, mengenakan pakaian terbaik, mendapatkan fasilitas terbaik, menerima pelayanan terbaik, dan tidak mau pergi bekerja – atau sekadar mencari kerja.

“Kau harus tahu bahwa aku cuma pekerja kontrak,” kata si teman setelah dua bulan mereka menikah. “Penghasilanku tidak cukup untuk membiayai segala kebutuhanmu yang tidak masuk akal. Kau hanya mau makan makanan mahal di restoran dan mengenakan pakaian-pakaian terbaik yang dijual di toko. Ini benar-benar tidak mudah buatku. Kau bahkan tidak mau membantu menyapu atau mencuci.”

“Karena itu kau harus bekerja lebih keras. Kau seharusnya mencarikanku sejumlah pelayan untuk membantuku,” kata si pangeran. “Sebab aku ini pangeran. Dan memang beginilah cara seorang pangeran hidup.”

.

Mereka jadi sering bertengkar setelah itu. Si teman tampak sangat payah karena kini ia harus menjalani pekerjaan dobel yang ia dapatkan setelah memohon-mohon kepada seorang kenalan sementara si pangeran terus saja bermalas-malasan di rumah, menonton tivi, berendam di air hangat, dan lain sebagainya.
Dan setiap kali si teman sampai di rumah setelah capek bekerja dari subuh hingga pukul sepuluh malam, si pangeran akan mengomel karena si teman tidak cukup memperhatikannya, tidak cukup merawatnya, tidak cukup memenuhi kebutuhannya.

“Kau harus mencarikanku pelayan seperti yang aku bilang kapan hari, setidaknya satu orang,” kata si pangeran. “Kau tahu, seorang pangeran lazimnya dilayani oleh puluhan atau ratusan pembantu, tapi karena aku mencintaimu, aku memberimu keringanan. Ayolah, kau mencintaiku, bukan?”

Si teman muntap. Segala kelelahan dan kekesalan dalam dirinya meletus bersamaan pada waktu itu. Ia memukul si pangeran, hampir serupa reflek, tepat di pelipis kiri si pangeran. Si pangeran terhuyung. Seumur hidupnya, baru kali ini ia diperlakukan seperti itu. Dan dengan kemarahan lantaran perasaan terhina, si pangeran balas memukul si teman – bukan sekali, namun berkali-kali hingga si teman tersungkur.

“Aku bisa menjatuhkan hukuman mati kepadamu karena kau berani menolak perintah pangeran dan bahkan menyerang pangeran,” kata si pangeran ketika si teman sudah meringkuk di lantai. Sebelum meninggalkan si teman, si pangeran masih merasa perlu menyarangkan satu tendangan tepat di tengkuk si teman.

Si teman menangis dengan tubuh remuk redam.

.

Si teman menceritakan hal itu kepada si perempuan beberapa saat setelah pemukulan itu terjadi.

“Kau harus mengusirnya,” kata si perempuan. “Ia bukan pangeran. Ia parasit.”

“Tapi ia suamiku,” kata si teman.

“Ia hanya seekor kodok.”

Si teman menangis beberapa saat sebelum kemudian ia bangkit dan mengangguk mantap. “Kau benar,” kata si teman. “Aku memang harus melakukannya.”

.

Tak mudah mengusir si pangeran. Bagaimanapun, si pangeran kini merasa bahwa rumah si teman adalah istananya, dan bahwa si teman adalah abdinya. Tak peduli seberapa banyak si teman menyatakan keinginan agar si pangeran pergi, si pangeran justru yang berhasil menyudutkan si teman. Seringkali, si pangeran menghadiahi si teman sejumlah pukulan jika si teman terus saja bersikeras mengusir si pangeran.

Si teman kemudian bertambah kurus. Kelopak matanya berwarna hitam. Dan ia nyaris tak punya semangat melanjutkan hidup.

“Menikah dengan pangeran,” katanya kepada si perempuan di lain hari, “adalah keputusan paling tolol yang pernah aku ambil.”

“Kalau kau tak bisa mengusirnya,” kata si perempuan pada akhirnya, “maka kau harus meninggalkannya. Ia tak akan bisa bertahan tanpamu. Satu bulan saja. Dan kita lihat, ia pasti kembali menjadi kodok.”

.

Dan itulah yang kemudian dilakukan si teman. Pada suatu hari, ia berangkat kerja seperti biasa. Namun sampai pukul dua belas malam, si teman tidak kembali ke rumah. Si pangeran berusaha menelepon namun nomor telepon si teman tidak aktif. Keesokan harinya, si pangeran mendatangi kantor tempat kerja si teman, dan semua orang mengatakan jika si teman sudah mengundurkan diri dan mereka tidak tahu di mana si teman sekarang.

Si pangeran tidak punya petunjuk. Si pangeran kembali pulang, tak tahu harus melakukan apa selain diam dan diam.

Dua hari kemudian, si pangeran kembali menjadi kodok. Sebab ia lebih punya pengalaman bertahan hidup sendirian sebagai kodok ketimbang sebagai manusia.

Dan sebagai kodok, si pangeran melompat. Melompat. Melompat. Mencari tempat lembab. Dan tak pernah terlihat lagi selama bertahun-tahun.

.

Si teman tiba di rumah si perempuan setengah jam kemudian.

“Di mana kodok itu?”

Si perempuan menunjuk akuarium.

“Kita akan melakukannya?” si teman bertanya.

“Kita akan melakukannya,” kata si perempuan. “Aku sudah menyiapkan pisau dan bumbu-bumbu. Kita akan makan swike yang enak malam ini.”

Dan mereka tertawa.


Ilustrasi: Oliva Sarimustika Nagung

Baca juga:
Pulangnya Matahari yang Hilang
Falsafah Pelajaran Membaca


22 thoughts on “Kodok”

  1. Rambu Yun berkata:

    wahhhh cerita yang menarik.

  2. Seru banget sih ini apalagi cerpen ini memiliki plot wish yang sangat tak terduga tapi dibalik serunya cerpen ini ada beberapa hal tentang penggunaan kata kata yang kurang sesuai seperti kata”bakal”seharusnya menjadi kata “akan” tapi puasa banget deh sama cerita nya

  3. Nira berkata:

    ketika ekspektasi dongeng gak sesuai realita nyesekk, auto jadi favorit, simpel tapi berkesan

  4. Ayu berkata:

    Ceritanya seru dan menarik

  5. rinaa berkata:

    SERUUUUUUY

  6. rinaa berkata:

    akuu sihh tertarikkkkk

  7. Fitri berkata:

    Cerita yang bagus dan menarik buat orang -orang yang hobi membaca cerpen

  8. Nathaniaazalia berkata:

    Seru dan plottwist bgtt haha

  9. Siti Lutviah berkata:

    Akhir yang sangat plot twist sekali, haha

  10. Zacky berkata:

    Like it

  11. Mukhlis berkata:

    Moment akhirnya diluar dugaan, tapi ceritanya sangat menarik

  12. Ardi taufiq berkata:

    Ceritanya telalu mendominasi

  13. Azma berkata:

    akhir yang tak terduga

  14. nizar berkata:

    mas cerpen nya aku ambil buat cerita konten boleh engga

    1. BACAPETRA.CO berkata:

      Sertakan nama penulis dan informasi publikasinya, ya …

  15. Ibnu Athoillah berkata:

    sederhana tapi menarik

  16. Ezzy berkata:

    cerita yang sangat menarik

  17. Aini berkata:

    Ada beberapa kata yang tidak sesuai seperti ‘bakal’ yang seharusnya menggunakan ‘akan’, dan juga penggunaan huruf kapital yang kurang benar.

  18. Hanifah berkata:

    puas sekali haha…

  19. Navis berkata:

    Terimakasih mas dadang!

    1. Galih Agus Santoso berkata:

      Plot twist wkkw

      1. Citrafrr berkata:

        seruu bangett sihh inii

Komentar Anda?