Menu
Menu

Membaca Cerpen Pilihan Kompas 2019.


Oleh: Gregorius Reynaldo |

Notulis. Pustakawan Klub Buku Petra.


Menutup tahun 2020 sekaligus menggenapi dua lusin buku yang telah dibahas di Bincang Buku Petra, Mereka Mengeja Larangan Mengemis – Cerpen Pilihan Kompas 2019 menjadi buku yang dipilih untuk edisi bulan Desember kemarin.

Sebelas peserta hadir dengan hasil pembacaannya terhadap kedua puluh cerpen yang terhimpun di dalam buku tersebut. dr. Ronald Susilo yang bertugas sebagai pemantik memulai dengan kesan pembacaannya terhadap dua puluh cerita dalam Cerpen Pilihan Kompas 2019. Ia mengaku mengalami kebingungan memilih cerpen mana yang paling baik secara pribadi, sehingga harus membaca beberapa cerpen hingga lima kali.

Untuk menganalisis cerpen-cerpen ini, setidaknya ada sepuluh poin utama yang digunakan oleh Dokter Ronald untuk melihat setiap cerpen. “Saya lihat dari judul dan pengarang, ringkasan cerita, konteks, setting (latar), tokoh, lalu gaya bahasa, tema, respons emosi (perasaan ketika membaca cerpen), scene atau potongan adegan yang membekas dalam cerpen, lalu yang terakhir sudut pandang,” jelasnya.

Dari sepuluh poin yang dipakai, satu hal yang sama pada keseluruhan cerpen adalah bahasanya yang sederhana dan mudah dimengerti, meski dengan setting tempat pada cerita yang tersebar di banyak wilayah dengan konteks dan temanya masing-masing. Seperti tema tentang kemiskinan pada cerpen Ahmad Tohari berjudul “Mereka Mengeja Larangan Mengemis” yang mengambil latar tempat di Jawa Tengah dan Jawa Barat, hingga pada cerpen “Hyang Ibu” karya Made Adnyana Ole yang berlatar di Bali. “Semuanya menggunakan cara bertutur yang sederhana,” ungkapnya.

Pada beberapa cerpen, Dokter Ronald merasa memiliki kedekatan dengan tema cerita, yang kemudian juga mempengaruhi respons emosinya ketika membaca. Seperti pada cerpen “Musim Politik” karya Seno Gumira Ajidarma. “Saya yakin teman-teman pembaca  yang usianya lebih muda, tidak bisa masuk di cerita ini. Ini pemilu zaman dulu tetapi saya rasa dekat sekali, terutama dengan suasana politik di daerah kita sekarang,” tutur Penanggung Jawab Umum Bacapetra.co ini.

Kedekatan yang sama juga dialaminya ketika membaca “Semangkuk Perpisahan di Meja Makan” karya Miranda Seftiana. “Ini cerita dekat sekali dengan saya karena dia menceritakan seorang dokter spesialis kandungan yang hampir tidak punya waktu dengan keluarga. Jadi sudah pasti sibuk sekali di Rumah Sakit, apalagi cari waktu untuk bersama keluarga,” ungkapnya. Tetapi pada cerpen karya Miranda ini, Dokter Ronald menangkap kesan bahwa penulis terlalu cepat mengakhiri cerita, dengan menarasikan ibu dalam cerita tersebut meninggal keesokan harinya secara tiba-tiba.

Kesan ingin menyelesaikan cerita dengan momen-momen kebetulan juga ditemukan Dokter Ronald pada cerpen karya Rizqi Turama berjudul “Mek Mencoba Menolak Memijit”. “Saya tertarik sekali dengan cerpen ini. Saya tidak tahu berapa lama waktu yang penulis habiskan untuk menemukan judul cerpennya. Menarik karena sejak dari judulnya, penulis sudah membuat kita terkesan, kata-katanya diawali dengan huruf M,” jelas Dokter Ronald.

Cerpen ini bercerita tentang Mek dan suaminya yang kehilangan lahan garapan dan harus pindah ke kota provinsi. Kepindahan tersebut mempertemukan Mek dengan seorang perempuan yang memintanya memijit, tetapi Mek menolak karena sebuah alasan di masa lalu. Sekali lagi, dalam cerpen ini Dokter Ronald menemukan kedekatan dengan cerita yang dibangun oleh Rizqi Turama, tetapi juga terganggu dengan perjumpaan-perjumpaan yang ‘asal taruh’ agar tokoh-tokohnya bisa bertemu.

Lebih lanjut, Dokter Ronald menyampaikan sejumlah kesan mendalam pada beberapa cerpen melalui potongan adegan maupun konteks cerita yang dibangun masing-masing penulis. Pada cerpen “Celurit di Atas Tanah Kuburan”, Dokter Ronald menemukan kesan yang sangat dekat dengan realita kehidupan di Manggarai melalui kecemburuan dan upaya mempertahankan harga diri yang melatarbelakangi perkelahian antara Brodin dan Durakkap. Pada cerpen “Bambu-Bambu Menghilir”, potongan adegan yang berkesan digambarkan pada akhir cerita. “Ada momen ketika Serel dan Darlis bertemu. Mereka sudah pernah berkelahi, tetapi saat itu, mereka bertemu dan saling memaafkan. Dua lelaki ini menutup pertengkaran dengan jantan,” ujar Dokter Ronald.

Sementara pada cerpen “Hyang Ibu”, Dokter Ronald menggambarkan keseluruhan cerita dengan pesan bahwa budi baik selama hidup akan mengalahkan semua hal duniawi, termasuk uang. Pesan ini mewakili keseluruhan cerita di mana sang anak yang sedang bingung bagaimana melaksanakan upacara pemakaman ibunya yang membutuhkan uang yang cukup banyak, sebelum orang-orang yang berjasa pada sosok ibu tersebut datang dan menyiapkan seluruh kebutuhan upacara pemakaman. Saat tiba di hasil pembacaan cerpen ini, Dokter Ronald juga mengemukakan hasil penelusurannya soal biaya upacara, yang menempatkan Bali di urutan pertama untuk biaya upacara tertinggi, sekitar enam puluh delapan persen. Sementara pada cerpen “Mek Mencoba Menolak Memijit”, meski menemukan keganjilan dengan momen-momen pertemuan antar tokoh, Dokter Ronald juga menemukan adegan yang berkesan di paragraf terakhir “Tinggal satu usapan jempol lagi, Mek yakin, dan urat yang salah tempat itu akan benar-benar kembali ke tempatnya. Namun demi mendengar ucapan terakhir sang wanita muda, Mek merasa dirinya harus menolak untuk memijit.”

Cara Ahda Imran menggambarkan latar pada cerita “Pembunuh Terbaik” menurut Dokter Ronald cukup baik. “Keren sekali waktu dia menggambarkan kafe-kafe di Turki. Saya membayangkannya seperti adegan sniper di film-film.” Pada cerpen “Ramin Tak Kunjung Pulang,” Dokter Ronald juga kembali memberikan kesan yang sama, kali ini pada alur ceritanya.

Sebagaimana kesan yang baik saat membaca beberapa cerpen-cerpen dalam buku ini, Dokter Ronald  juga menemukan beberapa cerpen yang memiliki kesan yang biasa saja atau malah cerpen yang tidak berkesan sama sekali. Seperti pada cerpen “Mbak Mar” karya Putu Oka Sukanta. Menurutnya, cerpen tersebut biasa saja, hanya bercerita hal yang umum terjadi, tentang anak sendiri yang lebih dekat dengan pembantu, dan kekacauan di rumah tanpa pembantu. Pada cerpen “Suatu Malam, Ketika Puisi Tak Mampu Ia Tulis Lagi”, meski memasukkan sejumlah nama penulis kawakan Indonesia, “di bagian akhir cerita, ketika masuk ke tokoh saya, saya pikir ceritanya terlalu jomplang,” ungkapnya. Sedangkan pada Cerpen “Mati Setelah Mati”, Dokter Ronald merasa kurang bisa memahami ceritanya. “Saya kurang bisa akses, karena si penulis ini kalau kamu baca cerpen-cerpennya yang lain, hampir semuanya surealis. Ada orang yang suka, tapi saya tidak terlalu suka,” jelas Dokter Ronald.

Setelah mengulas kedua puluh cerpen satu per satu, sebelum mengakhiri sesinya, Dokter Ronald memberikan hasil pembacaannya secara keseluruhan dan pertimbangannya dalam memilih cerpen yang menurutnya terbaik di buku ini. “Setelah saya baca dua puluh cerita ini, ada beberapa yang saya baca berulang kali tetapi tetap membingungkan. Saya bahkan membaca ulang hingga lima kali, untuk memilih cerpen yang paling bagus. Pada dua puluh cerita ini, saya pakai 10 unsur (untuk menganalisis). Saya baca di pertanggungjawaban dewan juri, mereka menggunakan sembilan kategori penilaian untuk menilai cerpen-cerpen ini, dan dari dua puluh cerpen ini, saya mulai dengan menilai kekuatan ide. Dari sini, yang tersisa hanya sepuluh cerpen. Dari sepuluh ini, saya menggunakan keunikan tema untuk melihat cerpen tersisa hingga sisa tujuh cerpen. Begitu terus prosesnya, sampai pada makna cerpen dan relevansinya,” terang Dokter Ronald.

Cerpen pilihan Dokter Ronald akhirnya jatuh kepada “Kisah Cinta Perempuan Perias Mayat” karya Agus Noor. Pertimbangannya dalam memilih cerpen ini adalah karena semua cerita tidak dibuang sia-sia dan semua pertanyaan dalam cerita dijelaskan dengan baik melalui cerita yang terus mengalir.

Selanjutnya: Cerpen-cerpen yang membicarakan kematian

[nextpage title=”Membicarakan Kematian”]

Setelah Dokter Ronald, kesempatan berikutnya diberikan kepada Retha Janu.

Kedua puluh cerpen sudah dibaca habis, tetapi ada beberapa cerpen yang oleh Retha tidak didalami pembacaannya. Retha juga mengakui di balik banyak tema dalam buku ini, ada beberapa tema yang cukup berat, seperti politik.

*

Retha memulai hasil pembacaannya dengan cerpen Ahmad Tohari. “Ketika membaca cerpen tersebut, yang muncul di kepala saya adalah, sepertinya kita  semua bisa menulis seperti ini, karena cukup sederhana,” ungkapnya. Retha menyukai cerpen ini karena mengangkat tentang orang-orang kecil, juga keriangan dan bagaimana kisah ini menjadi sarana untuk menceritakan keluguan anak-anak. Pada cerpen ini, Retha juga secara khusus menyoroti sisi kreatifnya. “Ketika membaca ini, saya juga ingat pengalaman ketika hidup di Jogja dulu, bahwa orang yang tidak kreatif itu, mereka pasti mati. Jadi apa pun, bisa dijadikan lapangan pekerjaan,” papar Retha.

Ada beberapa momen yang menurut Retha cukup berkesan dalam cerpen ini: anak-anak yang berpikir dengan realistis dan kebijakan pemerintah yang tidak didahului riset ke masyarakat. Melalui “Mereka Mengeja Larangan Mengemis”, Ahmad Tohari juga seperti mengajak pembaca untuk menertawakan penderitaan. “Ketika sudah tidak ada cara lain—sudah terlalu menderita, tertawa adalah solusinya,” tambah Retha.

Ada cerpen yang menurut Retha cukup baik, meskipun dalam hasil pembacaannya masih kurang memuaskan. Cerpen “Celurit di Atas Kuburan” misalnya, menurut Retha seperti buru-buru dan ingin cepat diselesaikan. “Hyang Ibu” cukup dekat dengan keseharian dengan pesan moral yang sangat kuat di dalamnya. Retha kemudian menambahkan, “Mek Mencoba Menolak Memijit” itu cerpen yang baik. “Tetapi saya kurang suka. Kalau “Tamu”, cerpen Budi Darma, saya suka, meskipun masih agak bertanya-tanya ini maksudnya apa. Saya sudah membaca berulang-ulang dan tetap sulit mengerti,” ungkap Retha. Namun setelah membaca keseluruhan Cerpen Pilihan Kompas 2019, ia justru memilih cerpen Budi Darma tersebut sebagai favoritnya.

Selama proses membaca, sejumlah cerpen memiliki kesan yang biasa saja bagi Retha, juga beberapa cerpen tidak dimengerti dan tidak bisa dia nikmati dengan baik, seperti “Pembunuh Terbaik”, “Bambu-Bambu Menghilir”, “Mati Setelah Mati”, dan “Musim Politik”.  Pada cerpen “Musim Politik”, satu-satunya hal yang membuatnya dekat adalah karena cerita ini mengingatkannya dengan Pilkada. “Penggunaan media lagu anak-anak pada cerita mengingatkan saya pada lagu-lagu yang dipakai untuk kampanye, jadi saya pikir, alasan orang untuk memilih pada akhirnya juga karena media promosinya,” tutur Retha.

Menutup hasil pembacaannya, Retha mengungkapkan kesannya terhadap keseluruhan cerita dalam buku ini. “Secara umum, saya lihat di semua cerpen di buku ini, cerita-ceritanya ada yang berat, ada yang ringan sekali, juga padat. Lalu, lebih banyak cerita yang realis. Selain itu, cerpen-cerpen di sini juga banyak berbicara tentang kematian, jadi saya sempat berpikir apakah kasus bunuh diri di Manggarai yang selama ini terjadi, sebenarnya menjawab narasi-narasi yang memang tidak bisa kita temukan jawabannya lagi, sehingga mati adalah pilihannya. Saya pikir, pesan dari semua cerpen di buku ini adalah bagaimana manusia tetap menjadi baik di tengah carut-marut dunia yang kejam ini,” tutup Retha.

Setelah Retha, Romo Beben Gaguk mendapat kesempatan untuk membagikan hasil pembacaannya. Romo Beben mengaku menikmati membaca kumcer ini dari awal hingga selesai. “Seperti dalam kata pengantar, hampir semua cerita dalam buku ini realis, dan saya menikmati semuanya. Umumnya, karena realis, saya tidak banyak menemukan efek kejutnya.”

Pada cerpen “Minuman Buat Para Penyair,” Romo Beben tertarik dengan alur ceritanya. “Cuma yang tidak saya setuju ada pada momen ketika mereka kehilangan jejak Kvasir, orang-orang lalu mengatakan, bahwa untuk mengetahui puisi si Kvasir, bisa dilihat dari puisi-puisi yang baik. Pertanyaannya adalah lalu kalau puisi-puisi baik yang tidak dibuat oleh Kvasir apakah itu lantas menjadi puisi Kvasir semua?”, tanya Romo Beben.

Pertanyaan lanjutan dari Romo Beben adalah soal siapa yang bertanggung jawab atas penilaian terhadap karya-karya mereka (dalam cerita). Oleh Romo Beben, keadaan ini coba dibawa ke praktik kurasi bacapetra.co. “Saya pikir di bacapetra.co juga ketika memilih puisi yang terbaik, pasti ada yang tidak diterima. Lalu bagaimana nasib mereka yang puisinya tidak diterima?”

Beberapa cerpen bagi Romo Beben bisa ditebak dan bukan hal-hal yang baru. Cerpen-cerpen seperti “Tujuh Puluhan”, “Musim Politik”, “Wakyat”, dan “Semangkus Perpisahan di Meja Makan” bisa ditebak alur ceritanya. Sementara “Ramin Tak Kunjung Pulang” bagi Romo Beben bukan hal yang baru.

Pada cerpen “Mek Mencoba Menolak Memijit,” Romo Beben menggambarkan Mek sebagai perempuan merdeka, karena keputusannya untuk tidak memijit, lantaran masa lalunya. Mek telah kehilangan tanahnya, juga harga dirinya, dan sebagai perempuan merdeka, Mek memilih untuk tidak memijit wanita muda tersebut. Cerpen ini oleh Romo Beben dipilih sebagai cerpen favorit dari buku Cerpen Pilihan Kompas 2019 ini.

Selanjutnya: Seberapa dekat kita dengan tokoh-tokoh dalam tiap cerita?[nextpage title=”Cerita yang Dekat dan Cerita yang Jauh”]

Kesempatan selanjutnya menjadi milik Nadya. Sama seperti pembaca sebelumnya, Nadya juga memiliki kesan-kesan tertentu terhadap masing-masing cerpen.

Ada cerpen yang menurutnya menarik, ada juga cerpen yang berakhir dengan biasa saja. Pada cerpen “Mek Mencoba Menolak Memijit”, Nadya tertarik dengan bagaimana cerita itu berakhir dengan Mek menolak memijit si wanita muda. “Kalau saya lihat, Mek dalam kondisi tidak punya pekerjaan, terusir ke kota provinsi, kondisi ekonominya susah. Tapi kalau dia mau membuang sedikit saja egonya, mungkin dia bisa menyelamatkan keluarganya. Itu yang saya pikirkan sebagai pembaca. Namun pada akhirnya, kita tentu tidak bisa menjadi Mek pada cerita tersebut,” tutur Nadya.

Selanjutnya Nadya menggunakan analogi bawang merah untuk menggambarkan keseluruhan cerita pada cerpen “Pembunuh Terbaik”, yang menurutnya cukup sulit ditebak. Bawang merah yang berlapis-lapis menggambarkan tokoh-tokoh yang saling mempengaruhi dalam cerita. “Siapa yang ada di balik itu (kita kesulitan menebak), misalnya si pembunuh bayaran, ternyata ada orang di balik dia. Di balik orang-orang yang memerintah dia juga, ada tokoh-tokoh di baliknya, hingga kita tidak pernah tahu puncak dari keseluruhan cerita ini sebenarnya siapa yang memiliki peran paling penting?” tanya Nadya

Cerpen lainnya yang juga disoroti oleh Nadya adalah “Mbak Mar” dan “Kisah Cinta Perempuan Perias Mayat.” Cerpen pertama menurut Nadya cukup dekat, persis seperti kehidupan keluarga di mana-mana: “Seperti ibu yang punya kekhawatiran, tetapi perasaan khawatirnya itu tidak berani disampaikan. Akhirnya ditumpahkan ke orang lain, yang dalam cerita, perasaan-perasaan seperti ini dirumpahkan kepada suaminya.” Sedangkan pada cerpen yang kedua, meski menyukainya, ada hal yang mengganggu menurut Nadya. “Kenapa seringkali topik tentang pelecehan seksual menjadi isu paling banyak dan seolah-olah dijadikan gampang untuk dipakai dalam cerita mana pun?”, ungkap Nadya.

Menutup hasil pembacaannya, Nadya mengaku tidak bisa mengambil kesimpulan. Dia juga ingin menyoroti topik kematian yang banyak digunakan dalam cerita-cerita di buku ini. Dengan menggambarkan para penulis yang ingin bermain-main dengan topik kematian lewat cerita mereka masing-masing, cerpen pilihannya jatuh pada “Pembunuh terbaik.”

Armin Bell  mendapat kesempatan selanjutnya. Ada dua cerpen yang menurut Armin baik di Cerpen Pilihan Kompas kali ini, yang pertama adalah “Bambu-bambu Menghilir” karya Raudal Tanjung Banua. “Itu cerpen yang ketika saya baca saat terbit di korang Kompas, saya pikir ini akan masuk di buku Cerpen Pilihan Kompas 2019. Cerpen ini menampilkan setiap hal dengan efektif. Ketika dia berpindah dari bagian satu ke bagian yang lain, dia tidak harus berhenti bercerita, atau tidak harus menggunakan tanda-tanda bahwa dia akan berpindah ke bagian yang lain,” papar Armin. Pada cerpen ini, Armin juga menyoroti penggunaan lanskap pada cerita yang oleh penulis dipakai sebagai bahan cerita, bukan hanya sebagai latar sehingga kehadirannya sangat fungsional.

Cerpen yang kedua adalah “Minuman Buat Para Penyair”. Menurut Armin, penulis berhasil memindahkan kisah-kisah mitologi Nordik ke dalam cerita ini dengan sangat baik. Cerita  ini juga merupakan kritik atas kesusastraan Indonesia akhir-akhir ini, dengan pengkultusan, dan lain-lain. Cerpen ini sekaligus juga menjadi pilihan Armin di Cerpen Pilihan Kompas 2019.

Hermin yang mendapat kesempatan berikutnya mengaku puas dengan Cerpen Pilihan Kompas kali ini. “Saya pikir para penulis mencoba mengangkat hal-hal yang ada di sekitar, yang realis, yang objektif. Ketika membaca ini saya merasa berada di dalam cerita,” ungkapnya.

Hal menarik lainnya dalam buku ini menurut Hermin adalah, semua cerpen menceritakan tentang perempuan, entah perempuan yang menjadi sumber konflik maupun perempuan yang menjadi penyelesai konflik. “Pada cerpen “Mereka Mengeja Larangan Mengemis”, tokoh utamanya perempuan. Lalu di “Mek Mencoba Menolak Memijit” juga perempuan. “Hyang Ibu”, hingga “Semangkuk Perpisahan di Meja Makan” juga mengisahkan konflik antara seorang ibu dengan anak perempuannya, dan cerpen-cerpen lainnya pada buku ini,” tutur Hermin.

Dari kedua puluh cerpen ini, Hermin memilih “Hyang Ibu” sebagai cerpen pilihannya. Hal yang menarik menurut Hermin pada cerpen ini adalah kemampuan Made Adnyana Ole mengangkat hal-hal yang dekat dengan keseharian di Bali. Hal ini tampak seperti pada pisang yang dipakai Made dalam cerita, yang sangat melekat dengan masyarakat Bali terutama dalam upacara-upacara tertentu.

Selanjutnya: Tentang perjumpaan-perjumpaan[nextpage title=”Perjumpaan Tokoh dalam Cerita”]

Saya mendapat kesempatan selanjutnya membagikan hasil pembacaan. Pertama, tidak semua cerpen di buku ini saya baca. Setidaknya, ada tiga cerpen terakhir yang saya lewatkan begitu saja. Padahal buku ini cukup realis jadi tidak terlalu sulit untuk mencerna ceritanya dan tentu saja lebih cepat berpindah dari satu cerpen ke cerpen selanjutnya.

Tidak banyak hal saya pikir cukup menonjol dalam cerpen-cerpen pilihan Kompas kali ini, kecuali pada perjumpaan-perjumpaan tokoh dalam cerita yang digambarkan dalam beberapa cerpen, menegaskan bahwa dunia begitu kecil ketika berada dalam cerita. Pada cerpen “Bambu-bambu Menghilir” misalnya, Serel yang sudah pergi jauh dari pulaunya kembali bertemu dengan Darlis yang merupakan musuh bebuyutannya di kampung. “Mek Mencoba Menolak Memijit” juga melakukan hal yang sama.

Saya memilih “Minuman Buat Para Penyair” sebagai cerpen pilihan pada kesempatan ini. Saya tertarik dengan proses mencari minuman tersebut dalam cerita. Yang muncul di kepala saya adalah ini adalah proses yang mungkin  dialami orang-orang saat berusaha menjadi penyair, yaitu pada proses kreatifnya yang terbilang panjang dan menyertakan banyak kejadian.

Setelah saya, Febhy Irene membagikan pengalaman membacanya. Menurut Febhy, Cerpen Pilihan Kompas 2019 ini diangkat dari kisah-kisah keseharian masyarakat. Penggambaran tentang kota metropolitan dan anak-anak yang bekerja sebagai pengemis menurutnya cukup dekat. Yang menarik, sikap atau kepedulian dari orang dewasa sebagai bentuk kepekaan terhadap anak-anak ini. Padahal anak-anak sebenarnya membutuhkan tuntunan dan teladan dari orang dewasa.

“Di cerita ini, orang dewasa tidak selalu memberikan penyelesaian atau tidak selalu memberikan pelajaran yang baik, dia hanya menunjukkan kekuasaannya sebagai orang dewasa. Sehingga di akhir cerita, tidak ada penyelesaian masalah bagi mereka (anak-anak), dan mereka tetap mengemis. Mereka hanya berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain,” jelas Febhy.

Febhy memilih cerpen “Kisah Cinta Perempuan Perias Mayat” sebagai cerpen favoritnya dari buku ini. Menurut Febhy, stigma tentang laki-laki yang terlalu menilai perempuan tanpa mengenalnya lebih jauh, hanya melihatnya dari pekerjaan, atau status sosial, sebenarnya sangat mengesampingkan perempuan. Febhy juga menanggapi pertanyaan Nadya soal pelecehan seksual yang sering sekali dipakai sebagai bahan cerita.

“Bagi saya pribadi, kenapa topik ini masih terus dijadikan bahan cerita, karena masih relevan, pelecehan seksual itu sendiri sudah banyak terjadi dan sangat umum didengar, tetapi ini juga masalah serius yang hingga saat ini serngkali tidak ada penyelesaiannya,” ujar Febhy. Lebih lanjut, Febhy menegaskan stigma di masyarakat juga membuat perempuan kerap merasa malu untuk mengungkapkan kasus tersebut kepada khalayak.

Yuan Jonta, yang mendapat kesempatan selanjutnya langsung fokus ke dua cerpen pihannya yaitu “Hyang Ibu” dan “Semangkuk Perpisahan di Meja Makan.” Ada dua hal yang membuat Yuan menyukai dua cerpen ini.

“Pertama, saya suka cerpen ini karena dekat sekali dengan keseharian di Manggarai. Kedua, saya ingat Ka Armin sempat bilang hal paling sulit dalam membuat cerpen adalah menciptakan metafora yang masih menjadi satu kesatuan dengan cerita. Ketika saya baca ini, saya membayangkan sulitnya penulis membuat perumpamaan-perempumaan tentang masakan dan makanan. Saya juga ingat ketika Om Celus berbicara tentang fungsi-fungsi dalam cerita, bahwa apa yang dipakai di cerita harus memiliki fungsi. Saya kemudian ingat, Om Celus pernah mengomentari pemilihan warna-warna pada ular untuk cerpen saya (Mimpi Ular, Bacapetra.co Desember 2020), yang setelah saya pikir, mungkin idenya bagus sebagai simbol tapi fungsinya dalam cerita ternyata tidak ada,” ungkap Yuan.

Berkaitan dengan pertanyaan Nadya soal pelecehan seksual dalam cerpen “Kisah Cinta Perempuan Perias Mayat”, Yuan punya pandangan tersendiri. “Cerita yang baik itu, penulis harus tahu lebih sedikit dari tokoh. Jadi di cerpen ini, cukup masuk akal kalau kita kaitkan alasan kenapa laki-laki menolak menjalin hubungan dengan si perempuan ini. Dengan adanya penjelasan tentang pelecehan seksual, kita bisa menduga-duga bahwa ini mungkin yang membuat si perempuan memiliki trauma tertentu, sehingga ada sikap-sikapnya terhadap laki-laki yang mengamini hubungan tersebut tidak terjadi. Itu yang saya maksud tidak diketahui oleh penulis, tetapi ada dalam diri tokoh, dan itu adalah hak pembaca untuk menerjemahkannya,” jelas Yuan. Sebelum mengakhiri sesinya, Yuan memilih cerpen “Semangkuk Perpisahan di Meja Makan” sebagai pilihan.

Maria Pankratia mendapat giliran kesepuluh. Seperti juga peserta lain, Maria juga hanya menyoroti beberapa cerpen yang menurutnya memiliki kesan pembacaan yang baik. Pada cerpen “Minuman Buat Para Penyair” misalnya, yang oleh Maria fantasinya membuat pikiran pembaca jadi ke mana-mana. “Saya tertarik baca cerpen ini karena penulisnya Gunawan Maryanto. Saya penah ikut kelas cerpennya dan dia mengajarkan bagaimana mengembangkan tokoh. Ini cerpen yang menurut saya tokohnya banyak. Ketika membaca ini, saya rasa, cerpen ini berusaha menggambarkan realitas yang lain, tentang penyair atau hal-hal lainnya yang sudah diangkat oleh teman-teman sebelumnya,” tutur Maria.

Penggunaan medium mimpi pada cerpen “Mek Mencoba Menolak Memijit” juga disoroti oleh Maria, karena menurutnya dengan adanya medium tersebut, cerita bisa terus berlanjut hingga akhirnya menemukan klimaksnya. “Ini cerpen khas masalah sosial dan agraria, sebagaimana banyak terjadi saat ini di mana-mana,” ujuar Maria menanggapi tema cerpen tersebut.

Kekuatan tradisi Bali pada cerpen “Hyang Ibu” yang selanjutnya diulas oleh Maria dalam hasil pembacaannya. “Karena saya pernah tinggal di Bali, saya bisa membayangkan Made menggambarkan lanskap itu, bagaimana pisang tumbuh di tepi-tepi jurang, bagaimana orang Bali bergotong-royong setiap kali ada yang meninggal dunia tanpa pernah memperhitungkan apa yang sudah dilakukan atau diberikan orang tersebut.”

Sementara pada cerpen “Semangkuk Perpisahan di Meja Makan”, Maria merasakan kedekatan dengan cerpen tersebut. “Saya suka cerpen ini karena saya kemudian terkenang ibu saya di rumah, dan masakannya yang selalu enak. Itu juga yang menjadikan alasan saya tetap memasak sampai saat ini, sesekali, untuk menemukan ibu saya di antara masakan-masakan itu,” tutur Maria. Namun demikian, pada akhirnya cerpen “Minuman Buat Para Penyair” yang menjadi cerpen favoritnya dari Cerpen Pilihan Kompas 2019 ini.

Marcelus Ungkang yang mendapatkan kesempatan terakhir malam itu, menutup bincang buku dengan komentar singkat. Pertama, karena ia tidak membaca keseluruhan cerpen dalam Cerpen Pillihan Kompas 2019, sementara pada yang lain hanya membaca kalimat pembukanya saja.

Celus, yang saat ini tengah melakukan penelitian terkait perkembangan penggunaan paragraf pembuka di cerpen, sambil membaca cerpen-cerpen tahun 1950-an menuturkan, “Kurang lebih kalau melihat (cerpen-cerpen) ini, bagian-bagian pembukanya memang tidak jauh berbeda setelah lima puluh atau tujuh puluh tahun. Polanya masih sama, kalau bukan kejadian tidak biasa, kemudian bisa dibuka dengan pengecualian,” ujar Om Celus.

Pola pengecualian tampak seperti pada kalimat pembuka cerpen “Mereka Mengeja Larangan Mengemis”. “Mereka lima anak tanggung dan hanya Gupris yang perempuan. Atau pada cerpen “Hyang Ibu”, di sisi jenazah ibu, satu anak di antara sepuluh anak yang menangis bercerita tentang pisang.” Selain itu, Dosen di Unika Santu Paulus ini juga menyoroti tipe cerita yang menonjol di media. “Karena media harus merebut perhatian pembaca sejak bagian pembuka, maka yang umum dipakai adalah ancaman. Kita bisa lihat di cerpen “Celurit di Atas Tanah Kubur” dan “Ramin Tak Kunjung Pulang,” jelasnya.

Secara keseluruhan, Celus juga melihat bahwa kebanyakan cerita di Cerpen Pilihan Kompas 2019 bernuansa realis tapi bukan realisme. Menurutnya, agak sulit untuk media bermain dengan cerpen realisme, karena realisme umumnya bermain pada detail.

Sebagaimana biasanya, Bincang Buku yang diselenggarakan di penghujung tahun biasanya diakhiri dengan acara tukar kado. Kadonya adalah buku yang sudah pernah dibaca dan menurut kita perlu direkomendasikan kepada orang lain. Dan karena buku kali ini adalah kumpulan cerpen, maka tidak ada bintang yang disematkan.

Bincang buku selanjutnya akan membahas Burung Kayu karya Niduparas Erlang, Pemenang Penghargaan Kusala Sastra Indonesia tahun 2020. Sampai jumpa!


Baca juga:
Tidak Ada Internet di Kampung, Portal Mana yang Akan Terbuka?
Memasuki Cerpen “Singgah di Sirkus” Karya Nukila Amal

Komentar Anda?