Menu
Menu

Semua yang datang menggunakan pakaian terbaiknya, beraroma wangi, bersih, dengan wajah yang bersinar. Siti akan menunggu …


Oleh: Puspa Seruni |

Penulis kelahiran Situbondo, Jawa Timur yang saat ini menjadi pengajar di Politeknik Kelautan dan Perikanan Jembrana, Bali. Penulis terpilih sebagai Emerging Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2022.


Setiap Jumat, dia akan mengeluarkan pakaian terbaik dari sebuah kardus besar yang difungsikan sebagai lemari. Dia akan mengusap-usap pakaian berwarna putih kusam, kemudian menciumnya sambil memejamkan mata. Dia akan mengenakannya secara perlahan seolah takut serat-serat kainnya yang sudah rapuh akan terkoyak. Ada detail bordiran benang perak di bagian dada dengan kerah tegak mirip pakaian perempuan-perempuan Cina. Pakaian itu diakuinya sebagai pemberian anaknya yang sedang bekerja di luar negeri dan sudah enam tahun tak pernah pulang. Sebagai pelengkap, dia akan memadukan atasan putih itu dengan sebuah kain panjang berwarna cokelat yang juga kusam, sebuah selendang yang tersampir di kepala dan menyilang di kedua pundaknya, juga sebuah sandal jepit tipis yang tali-talinya hampir putus. Dia berniat melakukan ibadah.

Sebelum keluar dari rumah, Siti, nama perempuan itu, akan menggunakan parfum yang dibeli dari toko parfum isi ulang di sekitar pertokoan. Hari Jumat adalah hari raya dalam keyakinan yang dianutnya. Sebagaimana lazimnya hari raya, dia akan memberi tampilan terbaik untuk merayakannya. Setelah mematut dirinya pada potongan kaca yang dia dapat di tempat sampah di depan rumah Bu Setyo, salah satu tetangganya, Siti akan melangkah ke luar rumah.

Dia akan menarik napas panjang sebelum berjalan keluar dari rumahnya. Bibirnya yang berkerut akan tersenyum tipis. Dia tidak akan peduli hari sedang terik, kakinya dengan gugup akan berjalan menyusuri gang sempit dan panjang yang diapit gedung-gedung tinggi. Rumahnya terletak di perkampungan padat yang ada di belakang gudang-gudang pertokoan. Langkahnya tidak cepat, cenderung lambat karena usía sudah menggerus kelincahannya. Setelah keluar dari gang, Siti akan berbelok ke kanan menyusuri pertokoan kemudian membelok ke kanan lagi setelah pangkalan ojek. Dia akan melintasi gerbang sebuah perumahan, melewati sebuah lapangan yang biasa digunakan untuk bermain bola. Kakinya akan berhenti melangkah di depan sebuah bangunan yang memiliki kubah berwarna emas.

Pada bagian atas gerbangnya, tertulis Masjid Al Quddus. Siti akan mengarahkan pandangan mengitari seluruh bangunan masjid bahkan hingga pada kubah dan menaranya. Matanya berbinar dengan sudut bibir yang tertarik ke pipi. Meski wajahnya menunjukkan rasa gembira melihat bangunan berwarna hijau muda itu, dia tidak akan masuk ke halaman. Siti memilih menggelar tikar kecil lusuh, yang dibawanya dari rumah, di bawah pohon akasia yang sedikit jauh dari gerbang. Dari tempatnya duduk, dia—dengan mulut berkomat-kamit—akan memperhatikan orang-orang yang berdatangan masuk ke halaman masjid.

Semua yang datang menggunakan pakaian terbaiknya, beraroma wangi, bersih, dengan wajah yang bersinar. Siti akan menunggu, sampai lebih banyak lagi orang yang datang. Beberapa orang, yang sempat memperhatikan sebelum masuk masjid, sering kali bertanya-tanya mengapa perempuan tua itu tak masuk saja ke dalam dan bergabung dengan jamaah wanita. Tetapi mereka hanya memendam pertanyaan itu untuk diri mereka sendiri dan memilih diam seolah mengabaikan keberadaan Siti yang bagi mereka mungkin tampak seperti seorang peminta-minta. Orang-orang yang iba akan melemparinya koin atau bahkan uang kertas. Perempuan yang rambutnya sudah memutih keseluruhan itu hanya tersenyum tipis dan mengangguk saat beberapa jamaah memberinya sedekah.

Saat suara adzan berkumandang dan semua orang sedang bersiap untuk mendengarkan khotbah Jumat, saat itulah Siti masuk ke halaman masjid. Kepalanya akan menengok ke kanan dan ke kiri untuk memastikan tak ada seorang pun yang memperhatikannya. Siti akan duduk di undakan, tangan kurusnya yang keriput akan menyentuh sandal-sandal yang ada di sana. Dengan cekatan, dia meletakkannya berjajar sepanjang undakan. Dia melakukan itu pada setiap undakan, di sekeliling masjid di mana sandal-sandal diletakkan. Dari jauh, sandal-sandal itu akan terlihat bagai shaf-shaf solat yang rapat dan rapi. Setelah semua sandal ditata, dia akan keluar dari halaman masjid untuk kembali ke bawah pohon akasia. Dia akan kembali menunggu, sampai orang-orang di dalam masjid keluar.

Bagi tetangganya, Siti dikenal tidak mau menerima uluran tangan siapa pun. Untuk makan sehari-hari, dia akan berjalan berkeliling kampung menawarkan tenaga demi mendapat sepiring nasi untuk dimakan hari ini. Pekerjaan apa saja dia lakoni. Warga akan memberinya upah atas setiap peluh yang dihasilkannya. Jika tidak ada seorang pun di kampung yang menggunakan tenaganya, Siti tak menyerah, dia akan mencari di luar kampung.

Seingat warga, Siti datang ke kampung itu beberapa saat setelah Ramadhan. Ada yang mengatakan bahwa Siti diusir dari rumah kontrakannya di kampung sebelah, ada juga yang mengatakan bahwa Siti dibuang oleh keluarganya. Seorang pemilik kebun berinisitaif memberi Siti tumpangan. Bangunan yang terbuat dari kayu-kayu murahan, dengan atap rendah dan lantai tanah, dianggap masih layak untuk menjadi tempat tinggalnya dibanding harus tidur di depan pertokoan. Dia tinggal sendirian di dalam bekas kandang kambing itu. Beberapa warga memberinya sumbangan spanduk bekas untuk ditempel di dinding dan beberapa lainnya memberinya kardus-kardus dan kasur kapuk tipis untuk alas tidur.

Orang-orang kampung menilai Siti sebagai pendatang yang tak pernah berbuat onar, mengganggu atau menyusahkan. Meski usianya sudah lebih dari setengah abad dan tubuhnya sedikit bungkuk, dia tidak pernah meminta di kasihani. Semua orang di kampung yang pernah mengenalnya dengan yakin dapat mengatakan bahwa Siti adalah orang baik dan bukan peminta-minta. Kegiatan rutin yang dilakukan setiap Jumat Siti di depan masjid Al Quddus juga tak membuat orang-orang berpikir bahwa dia berniat meminta-minta.

Siti hanya akan duduk di bawah pohon akasia sejak masjid belum mengumandangkan adzan hingga solat Jumat selesai ditunaikan. Uang-uang yang diberikan kepadanya akan dia kumpulkan untuk kemudian dia masukkan ke dalam kotak amal di beranda masjid. Setelah masjid sepi, Siti akan kembali masuk ke dalam masjid untuk meletakkan uang sedekah yang dilempar kepadanya. Biasanya, dia akan berdiri cukup lama di undakan, menghadap sisi sebelah kanan di mana tempat biasanya jamaah perempuan berada. Dia akan menatap dengan mata yang berembun pada lemari kaca tempat mukena-mukena tergantung.

Dulu, saat awal-awal Siti datang ke kampung dan melihat masjid Al Quddus, dia tidak hanya duduk di bawah pohon akasia. Dia masuk ke dalam masjid, duduk di teras dan bersandar pada tiang-tiang yang kokoh sambil menunggu adzan berkumandang. Matanya berbinar saat mengetahui banyak mukena bersih di masjid itu. Satu-satunya mukena yang dimiliki Siti adalah mukena mahar pernikahan pemberian suaminya lima puluh tahun lalu. Serat kain pada mukena itu sudah lapuk, membuat beberapa bagiannya robek sehingga tidak bisa lagi digunakan.

Seorang perempuan, mungkin istri dari pengurus masjid, yang melihat Siti tertidur di teras datang menghampiri kemudian mengusirnya. Pakaian kumal yang dikenakannya telah membuat perempuan paruh baya itu menaruh curiga, Siti diminta meninggalkan masjid dan tidak diijinkan kembali. Dengan berat hati Siti berjalan keluar dan memilih duduk di bawah pohon akasia dan berharap perempuan tadi jatuh iba dan mengijinkannya untuk menggunakan mukena dan solat di sana. Hingga solat berjamaah selesai, Siti tidak memiliki kesempatan untuk masuk lagi ke dalam masjid karena masjid dikunci dan Siti hanya bisa memandang mukena-mukena itu dari luar.

Sejak pengusiran itu, Siti tidak lagi berani masuk ke dalam masjid dan hanya datang di hari Jumat saat mendekati pelaksanaan solat Jumat. Siti hanya akan berdiri di depan pagar di bawah pohon akasia sambil berharap seseorang mengajaknya masuk dan mengijinkannya menggunakan mukena yang ada di dalam masjid. Siti akan datang dengan pakaian terbaik setiap Jumat, seperti jamaah lain yang akan melaksanakan solat. Jika saja istri pengurus masjid itu dulu tak mengusirnya, Siti ingin ikut solat jamaah Jumat karena hanya di hari itulah masjid raya ini dibuka dan dia bisa menggunakan mukena yang ada di lemari kacanya.


Ilustrasi diambil dari Wikiart.org.

Baca juga:
Pedang Terhebat dari Pedang-Pedang Terhebat
Suna Tak Pernah Berjalan Mundur


6 thoughts on “Mukena Siti”

  1. Akas berkata:

    Kayaknya yang nulis bukan orang Islam. Perempuan tidak ikut shalat Jumat, lho…

    1. Puspa berkata:

      Alhamdulillah, saya Islam. Perempuan memang tidak wajib solat Jumat, tetapi juga tidak dilarang untuk solat Jumat.

  2. Ajeng Leodita berkata:

    bagus bangettttttt…..
    cuma aku bingung ini setting latar di daerah mana kak yg prempuannya sholat jumat?

    1. Akas berkata:

      Iya di mana ada perempuan sholat Jumat? Dan ga ada merebot perempuan. Dan sandal juga tidak boleh melewati batas suci. Ini aneh ceritanya…

      1. Puspa berkata:

        Coba dicermati lagi, Kak. Saya tidak menulis marbot perempuan, kok.

    2. Puspa berkata:

      Di kampung saya masih ada perempuan ikut solat Jumat

Komentar Anda?