Menu
Menu

Apakah generasi-generasi setelah 90-an yang tidak pernah mengalami peristiwa-peristiwa yang menjadi latar sejarah di dalam novel Orang-Orang Oetimu bisa menerima kisah ini?


Oleh: Maria Pankratia |

Pegiat literasi dan pejalan kaki. Bisa ditemui di dua platform media sosial, Facebook dan Instagram: Maria Pankratia. Tinggal di Ruteng dan masih terus berusaha berbakti pada deadline.


Felix ke Ruteng. Akhirnya penulis yang setahun belakangan ini membiarkan rambutnya berkibar jika tertiup angin itu ke Ruteng.

Beberapa waktu sebelumnya, ketika bacapetra.co baru saja dimulai, Tim Bacapetra yakin, suatu saat semua redaktur akan berkumpul di Ruteng untuk merayakan perjalanan situs kesayangan kawan-kawan ini. Namun demikian, perayaan itu akhirnya dilakukan secara bertahap. Kedatangan Felix adalah perayaan pertama sembari menanti redaktur-redaktur lain mampir ke kota ini.

Saya tahu pengantar di atas sama sekali tidak ada kaitannya dengan hal yang ingin dibahas pada tulisan ini. Tulisan ini barangkali seharusnya dimulai dengan, Bincang Buku VIII yang membahas Orang-Orang Oetimu (OOO) karya Felix K. Nesi berlangsung mengasyikkan sebab Felix hadir di antara para pembaca OOO yang malam itu menyampaikan hasil pembacaannya. Kira-kira seperti itu.

Hari kamis malam, 22 Agustus 2019 bertempat di gedung baru Apotek Wae Laku, Bincang Buku VIII dihadiri kurang lebih lima puluh peserta. Meskipun tidak semuanya datang setelah membaca Orang-Orang Oetimu, hampir semua mengikuti acara yang sejak awal dipandu oleh Febry Djenadut ini dengan khidmat.

Sengaja dibikin berbeda dari Bincang Buku biasanya, Klub Buku Petra menggandeng tiga komunitas untuk terlibat dalam memeriahkan Bincang Buku VIII ini. Mereka adalah, Komunitas Saeh Go Lino yang mengorganisir keseluruhan acara dengan sangat baik, Komunitas Teater Saja yang mengisi Dramatic Reading, dan yang terakhir kawan-kawan Rumah Baca Aksara yang membawakan Live Acoustic di sela Bincang Buku berlangsung.

Sebuah panggung dirancang dan dibangun oleh kawan-kawan. Ide tentang set panggung ini baru muncul dua minggu sebelumnya, kami mencoba mendiskusikan kemungkinan ini bersama-sama. Dalam perjalanan, Febry, Ketua Komunitas Saeh Go Lino, yang telah selesai membaca OOO mengajak Iva dan tentu saja, pasukan serba bisa SGL untuk mengeksekusi ide tersebut. Saenhana atau dalam bahasa Indonesianya adalah tungku api, sekaligus para-para tempat menyimpan kayu bakar, hasil kebun, maupun juga makanan, akhirnya menjadi pilihan.

…Sepeninggal orang-orang itu, Am Siki menaikkan tubuh ringkih perempuan itu ke punggung kuda dan membawanya pulang. Sebab hanya ada satu tempat tidur di dalam rumahnya yang kecil—sebuah dipan bambu yang dipaku sekenanya dan sudah bergoyang berderit, Am Siki menidurkan perempuan itu di situ, dan membawa barang-barangnya ke ‘Saenhana. Di ‘saenhana ia merebus singkong, mencampurinya dengan akar sufmuti, pucuk koknaba, taji elang, dan beberapa ramuan yang lain….(Orang-Orang Oetimu, halaman 45).

Tiga Menguak “Orang-Orang Oetimu”

Malam itu, acara dibuka dengan mendengarkan hasil pembacaan secara mendalam terhadap OOO oleh tiga orang: dr. Ronald Susilo, Ajen Angelina, dan Marcelus Ungkang.

Dokter Ronald tampil membacakan potongan cerita baru yang diberi judul “Blasius Nippon Ruteng.” Cerita ini berkisah tentang Sersan Ipin yang menyampaikan kekesalannya atas nama yang diberikan ayah angkatnya, Am Siki. Sersan Ipin berharap suatu saat ia memiliki seorang anak yang bisa diberi nama sesuai dengan keinginannya. Judul cerita tadi diharapkan bisa menjadi nama anaknya nanti. Di cerita ini, Sersan Ipin juga menceritakan perihal kedekatannya dengan Silvy dan rencana pernikahannya yang akan berlangsung dua minggu lagi.

Kisah lain Sersan Ipin tersebut, dikembangkan dr. Ronald dari beberapa kisah tentang polisi fenomenal itu yang terdapat di dalam novel Orang-Orang Oetimu. Menarik sekali, sebab sebuah kisah lain dapat muncul begitu saja dari cerita-cerita sebelumnya.

Sementara itu, Ajen Angelina menyampaikan kekagumannya terhadap novel pertama Felix K. Nesi ini. Bagi Ajen, OOO kembali menegaskan bahwa, entah cantik atau pintar, terkadang kita akan kalah dengan orang-orang yang beruntung. Ajen kemudian menyoroti tiga tokoh perempuan yang mengisi bab demi bab novel OOO. Mereka adalah Laura, Maria, dan Silvy.

Laura adalah gambaran anak perempuan Portugal yang memiliki budaya tidak jauh berbeda dengan orang Timur. Budaya yang menempatkan anak-anak sebagai pelaksana keputusan orang tua dan keluarga besar. Jika saja Laura diberi pilihan untuk tidak ikut ke Timor-Timur bersama kedua orang tuanya, Laura mungkin tidak akan mengalami kejadian-kejadian buruk saat perang pecah di tanah itu.

Sedangkan Maria, ia adalah perempuan cerdas dan kritis yang sayangnya memiliki sisi ambivalen. Yang dimaksudkan dengan ambivalen di sini adalah, ketika seseorang berada di antara dua perasaan dan dua tradisi yang berbeda. Ia begitu mengkritik gereja dan segala tradisinya, bersamaan dengan itu, ia justru jatuh cinta dan sempat menjalin hubungan dengan Fr. Yosef. Di kemudian hari, saat suami dan anak Maria meninggal akibat kecelakaan, Yosef yang telah menjadi pastor dan masih menyimpan perasaan pada Maria, tanpa sengaja melakukan sesuatu yang seharusnya tidak boleh mereka lakukan. Maria kemudian memutuskan untuk bunuh diri demi menghentikan semua penderitaan dan ketidakpuasan yang sudah sejak lama ia simpan.

Bagaimana dengan Silvy? Menurut Ajen, kisah Silvy sangat merepresentasikan remaja perempuan NTT yang cerdas dan berprestasi tetapi harus gagal di tengah jalan. Seringkali mereka harus terbentur dengan sistem pendidikan di Indonesia yang masih sangat buruk, juga diskriminasi gender yang masih berlaku di masyarakat umum hingga kalangan akademisi. Barangkali jika Silvy adalah seorang remaja laki-laki, ia sudah dikirim untuk belajar ke negeri yang jauh sebagaimana yang sering terjadi untuk individu tertentu yang memiliki prestasi di lingkungan pendidikan kita.

Sebelum diskusi dimulai, sempat ada diskusi lepas di antara pembaca tentang novel Orang-Orang Oetimu. Salah satunya adalah, tempo yang begitu cepat ketika membaca novel ini.

Baca bagian selanjutnya: Tempo Cepat Orang-Orang Oetimu

[nextpage title=”Tempo Cepat Orang-Orang Oetimu”]
Marcelus Ungkang yang menyampaikan pembacaan selanjutnya kemudian menerangkan dua hal yang ia temukan ketika membaca OOO.

Pertama, tempo yang terasa cepat saat membaca Orang-Orang Oetimu sebenarnya dapat dijelaskan dengan salah satu konsep sederhana dari naratologi, yaitu “event”. Untuk disebut “event”, ada beberapa kondisi yang perlu dipenuhi, seperti irrevesibility atau ‘tidak dapat dikembalikan ke keadaan semula’. Event yang dimaksud dapat kita lihat dari kematian-kematian yang terjadi sepanjang kita membaca novel ini. Ada lima kematian yang harus kita lalui, selain kisah-kisah penderitaan lainnya (tentang ini, Marcelus Ungkang menyiapkan ulasan khusus).

Kedua, dari segi bentuk, beberapa bagian dalam penataan teks Orang-Orang Oetimu sebenarnya perluasan dari teknik pengembangan paragraf, yaitu tema-tema. Teknik ini, di antaranya, berkaitan dengan urutan penyajian informasi lama dan baru. “Sebagai contoh, ketika Laura bertemu Am Siki, bagian selanjutnya mengelaborasi karakter Am Siki”, jelas Marcelus.

Setelah mendengarkan pembacaan dari dr. Ronald, Ajen, dan Marcelus Ungkang, acara diselingi dengan dramatic reading dari kawan-kawan Komunitas Teater Saja. Vian, Indah, Egi, dan Rini memilih kisah Linus—salah satu tokoh menarik di dalam novel OOO—untuk dibacakan malam itu.

Sebagaimana Saeh Go Lino yang diminta kesediaannya untuk menciptakan atmosfer Orang-Orang Oetimu melalui tata panggung Saenhana Am Siki, Komunitas Teater saja melalui Vian, Indah, Egi, dan Rini menghadirkan Linus yang menyebalkan di tengah Orang-Orang Ruteng yang datang mengikuti Bincang Buku VIII malam itu.

Bermacam-macam reaksi datang dari para peserta ketika menyaksikan dramatic reading dari kawan-kawan Komunitas Teater Saja, seperti menertawakan kekonyolan Sarjana Ekonomi tersebut yang sebelumnya memiliki cita-cita menjadi seorang Tentara, hingga rasa penasaran apakah benar Linus yang menghamili Silvy padahal di bab sebelumnya ia diceritakan impoten, dan lain sebagainya.

Setelah dramatic reading, sesi selanjutnya, Bincang Karya bersama penulis. Orang-Orang Oetimu merupakan novel pertama Felix K. Nesi setelah kumpulan cerpennya yang terbit lebih dulu di tahun 2016. Novel perdana Felix ini sempat diikutkan pada Sayembara Novel DKJ di tahun 2016, sayangnya hanya masuk 25 besar. Mengalami pergantian judul sebanyak tiga kali dan revisi berkali-kali, naskah teakhir berjudul Orang-Orang Oetimu akhirnya diikutkan pada Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta di tahun 2018 dan keluar sebagai Pemenang Pertama.

Pembaca yang Terlibat

Sebagaimana tradisi Bincang Buku di Klub Buku Petra, para peserta akan diberikan kesempatan untuk membagikan hasil pembacaannya kepada peserta yang lain. Malam itu, para peserta dipersilakan membicarakan apa saja yang ditemukan di dalam novel sementara Felix hadir untuk mendengarkan, sekaligus menanggapi jika perlu.

Kesempatan pertama diberikan kepada Ucique Jehaun. Sebagai pembaca yang selalu terlibat sangat dalam dengan bacaan-bacaannya, Ucique tampil mengejutkan, baik bagi sang penulis maupun juga bagi para peserta lainnya. Ucique menangis ketika membicarakan Laura, perempuan yang menyaksikan kedua orang tuanya dieksekusi mati, diperkosa tentara, dan ditinggalkan begitu saja di jalanan; menyusuri hutan hingga ke perbatasan, Laura akhirnya terdampar dan ditemukan orang-orang Oetimu.

Bagi Ucique, perasaannya ketika membaca kisah Laura yang cukup memakan banyak halaman tersebut seperti mabuk perjalanan yang sangat panjang. Ia cukup menyesal, kenapa setelah melewati banyak penderitaan dan sudah menjalani hidup yang lebih baik, Laura justru memutuskan untuk bunuh diri dan meninggalkan anaknya yang masih bayi?

“Saya mengerti juga kalau dia mau bunuh diri, tapi di dalam hati saya berpikir, aduh akhirnya dia mati seperti ini. Kenapa tidak mau siapkan dulu ASI eksklusif untuk anaknya selama enam bulan ke depan, biar mama-mama tetangganya Am Siki nanti yang bantu menyusui anak itu,” ungkap Ucique dengan wajah sedih yang disambut gelak tawa para peserta yang hadir.

Namun demikian, Ucique mengaku, di bagian tersebut perasaan mabuk perjalanan yang tadi disebutkan seperti berakhir begitu saja. Seperti mabuk lalu muntah sampai puas sehingga tak ada lagi yang terasa sesak di dada. Lega.

Sementara itu, bagi Kaka Ited, sudah saatnya generasi Indonesia membaca bacaan-bacaan seperti Orang-Orang Oetimu. Bacaan dengan kisah-kisah yang sangat dekat dengan kita sehingga membuat kita begitu terlibat di dalam cerita. Satu hal yang kemudian menjadi pertanyaan menarik disampaikan Kaka Ited: apakah generasi-generasi setelah 90-an yang tidak pernah mengalami peristiwa-peristiwa yang menjadi latar sejarah di dalam novel Orang-Orang Oetimu bisa menerima kisah ini?

Baca bagian selanjutnya: Kolonialisme di Pulau Timor

[nextpage title=”Kolonialisme di Pulau Timor”]
Pada kesempatannya bicara, Felix menjelaskan, Orang-Orang Oetimu memang ditulis berlatarkan sejarah kolonialisme di Pulau Timor dan pergolakan yang terjadi di daerah yang dulu sempat menjadi provinsi paling muda di Indonesia: Timor-Timur (sekarang Timor Leste).

Felix mengakui, begitu banyak bahan yang ia temukan pada proses penelitian tentang sejarah Belanda di Timor, juga pemberontakan terhadap Indonesia yang terjadi di Timor Leste. Novel ini memang dibikin dengan tujuan menjadi pintu masuk untuk membaca kembali sejarah Timor-Timur. Namun demikian, ada banyak sekali bagian yang terpaksa dipangkas dari naskah awal karena tidak sesuai dengan kebutuhan cerita. Melewati proses yang panjang, Felix menuturkan betapa sulitnya menulis sebuah kisah dengan latar sejarah peperangan.

“Menulis buku sejarah sungguh jauh berbeda dengan menulis novel sejarah. Kalau buku sejarah, kita hanya memindahkan peristiwa-peristiwa di masa silam itu ke dalam bentuk tulisan. Lengkap dengan hari, tanggal, kejadian dan sebagainya. Sedangkan menulis novel dengan latar sejarah, peristiwa-peristiwa itu hanya merupakan pendukung terhadap kegelisahan-kegelisahan yang sebenarnya ingin kita sampaikan.”

Bagian ini akhirnya menjawab pertanyaan Jeril, salah satu peserta yang hadir malam itu. Jeril mempertanyakan peristiwa-peristiwa pergolakan yang sebenarnya cukup penting untuk disertakan di dalam Orang-Orang Oetimu—ia membandingkannya dengan novel Sentuh Papua karya Aprila Wayar, tidak ditemukan saat membaca OOO.

Sementara itu beberapa tanggapan serius datang dari dua pembaca lain, yaitu Marto Rian Lesit dan Ardi Suhardi. Setelah memaparkan hasil pembacaannya, Ardi menyimpulkan kisah Orang-Orang Oetimu ini dalam satu kalimat pendek; manusia sejatinya lahir dan hidup dalam rantai kebungkaman. Sedangkan Marto, melalui novel pertama Felix ini melihat kesusastraan sebagai penderitaan.

“Sejarah kita adalah sejarah penderitaan, hingga kita merdeka pun penderitaan tetap selalu ada. Novel Felix ini merupakan suatu bentuk ingatan politis untuk menyelamatkan kita dari kelupaan terhadap sejarah dan penderitaan yang terus kita lewati dari masa ke masa”. Ungkap Marto

Tentang tokoh, komentar menarik datang dari Vian Budiarto dan Yuan Jonta yang ikut menyampaikan hasil pembacaannya. Vian menemukan semua tokoh di dalam novel ini fungsional serta memiliki kekhasannya masing-masing. Sedangkan Yuan berpendapat bahwa, sekalipun novel OOO ritmenya cepat, pembaca masih dapat mengikuti dan menikmati cerita dengan baik. “Kita juga dapat mengidentifikasi diri kita melalui tokoh-tokoh yang ada di dalam kisah Orang-Orang Oetimu,” tutur Yuan.

Menurutnya, ini buku kedua yang dibahas Klub Buku Petra dengan latar pinggiran dan mengangkat problem lokalitas masyarakat pada tataran tertentu. Sebelumnya ada Dawuk, yang juga mendapatkan ulasan positif dari para peserta Bincang Buku.

Komentar lain tentang tokoh datang dari Indah Baharun. Bagi Indah, yang fokusnya persis sama seperti Ajen: tokoh Laura, Maria, dan Silvy adalah tokoh-tokoh perempuan luar biasa yang menjalani penderitaan mereka dengan sebaik-baiknya. “Saya kagum sebab Felix menokohkan tokoh-tokoh perempuan ini begitu luar biasa. Maria sebagai perempuan yang tidak ragu-ragu dalam mengekspresikan dirinya. Kemudian pada akhirnya Laura dan Maria mati, saya merasa itu jalan yang lebih baik bagi mereka berdua, hingga tersisa Silvy. Di sini saya justru melihat Silvy sebagai tokoh perempuan yang istimewa dari semua tokoh yang terdapat di dalam novel Orang-Orang Oetimu,” papar Indah.

Berbeda dengan Vian, Yuan, dan Indah, Jeli Jehaut yang malam itu baru bergabung kembali setelah melewatkan beberapa agenda Bincang Buku menyampaikan, dengan tempo cerita yang begitu cepat, ia cukup sulit mengakses Orang-Orang Oetimu. Selain itu, banyaknya tokoh dan kisah-kisahnya yang terlalu singkat membuatnya harus membolak-balik halaman agar bisa memahami alur cerita.

Tanggapan terakhir atau lebih tepatnya pertanyaan kepada Felix datang dari dr. Ronald Susilo. dr. Ronald menanyakan tentang proses kreatif dan kendala-kendala yang dihadapi Felix selama megerjakan novel ini.

Bintang Empat untuk “Orang-Orang Oetimu”

Felix kemudian membagikan ceritanya, mulai dari ide awal, sebenarnya ia hanya ingin menulis tentang pencuri sapi dari Timor yang merencanakan pencurian ketika terjadi Jajak Pendapat di Timor Leste; ketika ia tiba di perbatasan dengan sapi curiannya, ia ditanyai paspor dan visa sebab saat itu Timor Leste telah terpisah dari Indonesia. Penuturan Felix ini mengundang gelak tawa para peserta malam itu. Ironi sekali.

Selanjutnya, bicara tentang kiat menulis, bagi Felix adalah suatu kebohongan besar jika kita sendiri tidak memiliki kebiasaan membaca yang baik. “Suka baca buku dulu!” demikian tegas Felix kepada semua yang hadir. Selain itu, tidak usah takut menerbitkan buku sendiri. Kita harus punya karya yang buruk dahulu, sehingga suatu saat bisa memiliki karya yang baik. Koreksi-koreksi kecil yang datang dari orang lain bagi karya buruk tersebut sebenarnya sangat membantu kita dalam mempelajari hal-hal teknis dalam menulis.

Yang terakhir, untuk segala jenis karya yang ingin kita tulis, HARUS DISELESAIKAN. Deadline menjadi hal penting di sini bagi seorang penulis. Jika tidak menentukan waktu bagi diri sendiri untuk menyelesaikannya, tentu saja tulisan tersebut tidak akan pernah selesai. “Tulis saja, baik atau buruk, selesaikan lalu kirim ke media atau terbitkan sehingga kita punya waktu untuk pikirkan hal lain dan tulis lagi,” tandas Felix.

Malam itu, Bintang Empat diberikan kepada novel Orang-Orang Oetimu oleh para peserta yang hadir. Bincang Buku edisi khusus ini ditutup dengan sebuah lagu dan deklarasi untuk saudara/i kita di Papua yang masih terus mengalami konflik berkepanjangan hingga saat ini. Deklarasi ini dibacakan oleh Jeril Ngalong, diiringi lagu “Tanah Papua” karya Edo Kondologit dari kawan-kawan Rumah Baca Aksara.

Terima kasih tentu saja tidak cukup untuk kebersamaan dan solidaritas yang telah terjalin sejak masa persiapan hingga akhirnya Bincang Buku edisi khusus ini dilaksanakan. Semoga kita semua diberkati dalam kerja-kerja kreatif kolektif selanjutnya. Sampai jumpa pada Bincang Buku Edisi IX, membahas kumpulan cerpen Kelakuan Orang Kaya karya Puthut Ea. (*)


Foto: Orind Vitroz

Komentar Anda?