Menu
Menu

La Palmaverde adalah esai Stefano Benni, seorang penulis Italia, tentang Roberto Roversi dan toko buku yang dikelolanya.


Oleh: Mario F. Lawi |

Buku-buku puisinya adalah “Memoria” (2013), “Ekaristi” (2014), “Lelaki Bukan Malaikat” (2015), “Mendengarkan Coldplay” (2016), “Keledai yang Mulia” (2019), dan buku puisi berbahasa Inggris: “Bui Ihi: The Cooling of the Harvest and Other Poems” (2019). Pada akhir September 2019, Mario berpartisipasi dalam Contains Strong Language Festival di Hull, Inggris.


Ada lubang dalam tiang
Kota Bologna
Seperti neraka, menelan
Para penyair muda
Seorang iblis ramah
Menyesatkan mereka. Mereka keluar
Berubah-rupa, meneriakkan
Puisi-puisi mereka ke matahari
Jika di luar ada kabut
Dari toko buku itu
Kaupandang lewat jendela
(Demi yang jahat)
Langit biru
Buku-buku berbicara
Bahkan ketika mereka ditutup
Berbahagialah orang yang mendengar
Bisikan mereka yang keras kepala.

Aku menulis baris-baris tersebut bertahun-tahun lalu. Puisi itu didedikasikan untuk penyair dan cendekiawan Roberto Roversi, dan toko bukunya, La Palmaverde, yang jadi salah satu keajaiban kultural di Italia 1970-an. Roversi adalah seorang penyair, teman Pasolini, Leonetti dan penulis-penulis lain, tetapi yang terpenting, ia adalah contoh mengagumkan dari gairah bagi kesusastraan. Toko buku tuanya, ruang tua yang penuh sesak dengan meja dan rak buku, adalah tempat pertemuan bagi para penulis dan para mahasiswa Bologna. Roversi adalah “iblis ramah,” lelaki yang ceria dan aneh, dicintai tetapi juga ditakuti karena keras kepala. Para pemuda datang kepadanya dengan segan dan hormat, dan ia menyediakan saran dan bantuan bagi mereka semua. Meski ia mendapat tawaran dari banyak penerbit besar, ia lebih memilih menerbitkan buku-bukunya sendiri, entah membikin salinannya sendiri atau memercayakan pada seniman-seniman cetak. Di toko bukunya, selain volume-volume langka dan berharga, ada ratusan buku tipis para penyair, dari nama-nama mapan hingga debutan. Biasanya tawaran kecil cukup untuk menebus buku-buku itu.

“Tak ada harga untuk puisi,” katanya, “atau, jika ada, bukan dengan uang dari dunia ini.”

Usiaku belum 30 tahun dan aku baru mulai jadi penulis ketika kumasuki gua La Palmaverde yang misterius dan gelap.

Aku terintimidasi. Aku berkeliling di ruangan setengah gelap yang berbau kertas dan tinta itu, yang hanya dihangatkan oleh satu penghangat elektrik. Namun setelah pertemuan-pertemuan pertama itu, lahir sebuah pertemanan indah. Roversi adalah sahabat dan guruku. Kami mengobrolkan segala hal. Tidak hanya tentang puisi-puisi hebat, tetapi juga tentang politik, sepakbola, mobil, lagu-lagu. Ia menulis lirik untuk penyanyi dan pencipta lagu Lucio Dalla. Ia bukan sastrawan yang bengah, ia mencintai semua aspek kehidupan. Ini pelajaran pertamanya:

“Siapa bilang,” ulangnya, “seorang sastrawan hanya boleh berbicara tentang sastra? Itu sama seperti koki hanya berbicara soal mayones.”

Dan ketika aku membawa buku pertamaku kepadanya, dengan dedikasi, sebagai ganti ia memberiku bukunya dengan kata-kata tertera:

“Untuk Stefano yang menulis, membaca dengan bergairah, dan bermain sepakbola dengan baik. Teruskanlah ketiganya.”

Roberto Roversi meninggal empat tahun lalu dalam kemiskinan yang terhormat, dan toko bukunya ditutup, lebih karena ketakpedulian pemerintah kota Bologna. Aku ingin mengingatnya di sini dengan sejumlah kalimatnya yang tak akan pernah kulupakan.

Kalimat pertamanya: “Buku-buku itu hidup, dan tidak suka diperlakukan secara buruk.”

La Palmaverde terkenal ke seluruh penjuru dunia, dan Roversi mengirim buku-buku langka ke sejumlah besar kampus-kampus di Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang. Agar pengiriman tidak merusak buku-buku tersebut, ia telah menjadi, seperti katanya sendiri, “un grande impacchettatore,” pengepak yang hebat. Ketika ia mesti mempersiapkan beberapa paket buku, ia butuh waktu berjam-jam untuk menyusun satu di atas yang lain, membungkusnya lebih dulu dengan kertas karton, kemudian dengan kertas berkualitas terbaik, dan akhirnya mengikatnya secara hati-hati dengan tali. “Nyaris lebih sulit mengirimkan buku-buku daripada menulis mereka,” keluhnya. Dan ia dengan bangga menunjukkan kepadaku sepucuk surat ucapan terima kasih dari seorang profesor Jepang:

“Tuan Roversi yang terhormat, keandalan Anda sebagai penjual buku begitu mengagumkan, tetapi yang paling penting, tak pernah aku menerima paket yang dibungkus dengan keahlian dan seni yang hebat.”

“Bisa kaubayangkan?” katanya kepadaku sambil tersenyum. “Pujian dari seorang Jepang, seniman origami!”

Kalimat kedua yang selalu Roberto ulangi: “Buku-buku memilih siapa yang ingin membeli mereka.” Roversi hanya menjual jika ia menyukai pelanggannya. Jika pelanggannya antipatik, pretensius, tidak menyukai sastra, ia akan segera mencurigainya. Suatu kali aku membuktikannya. Seorang pria berpakaian bagus masuk dan mulai melihat-lihat buku-buku, membolak-balik halamannya dengan buruk, kemudian menunjuk sebuah buku seni yang sangat mahal.

“Aku mau yang itu,” katanya, “untuk hadiah, aku mau terlihat baik.”

“Maaf,” jawab Roversi dengan senyum mengejek, “tetapi yang itu sudah dijual ke Profesor Nihongi di Tokyo.”

Lalu si pelanggan meminta untuk membeli buku-buku lain, tetapi setiap buku yang diinginkannya sudah dijual ke seseorang dengan karakter misterius: seorang profesor Inggris bernama Booker, seorang kritikus Prancis bernama Des Livres, seorang penjual buku Jerman bernama Lohengrin. Sampai si pelanggan pergi dengan tangan kosong.

Kalimat ketiga Roberto: “Tikus tidak mengerat buku tanpa alasan.”

Di antara rak-rak tua dan penuh itu, Roversi sering berperang melawan kerusakan dari tikus dan larva kayu, dan mendedikasikan lebih dari satu puisi untuk mereka. “Mereka bukan musuh,” katanya, “hanya teman yang menerobos. Jika seekor tikus mengerat sebuah buku, itu karena kertasnya berkualitas bagus, cetakannya lezat, atau karena tulisannya mengagumkan. Waspadalah terhadap buku-buku yang dihindari tikus-tikus!”

Kalimat terakhir yang kuingat: “Buku-buku begitu penuh dengan pemikiran, beberapa telah belajar berpikir.”

Dan ia mengisahkan kembali kejadian buku Divina Commedia, sebuah buku tebal dan berharga yang, secara misterius, jatuh tiga kali dari rak tinggi tempat ia diletakkan. Roversi berkata: pasti ada sebab, dan ia segera menemukannya.

“Kau lihat,” ceritanya kepadaku, “aku telah menempatkan buku Divina Commedia di samping sebuah buku abad kesembilan belas yang mengisahkan dan merayakan kehidupan Paus Bonifasius VIII. Dan seperti kau tahu, Dante menganggap paus adalah musuh terburuknya, saking buruknya sehingga Dante menempatkannya di Inferno. Itulah alasan buku itu jatuh: Divina Commedia itu lebih memilih untuk melompat ketimbang bersisian dengan buku yang mengagungkan musuhnya!”

Itulah La Palmaverde, tempat budaya sekaligus keperajinan dan kerja keras. Roberto masih menulis daftar dan urutan buku-buku dengan pena. Suatu hari, istrinya meyakinkannya untuk membeli komputer. Ia memandang istrinya dengan penuh selidik lalu berkata:

“Baiklah, mari menjadi modern. Tetapi hanya engkau yang akan menggunakannya. Berjanjilah bahwa jika kau ingin mengetahui di mana letak sebuah buku, bertanyalah kepadaku, bukan kepada komputer. Aku cemburu.”

Kenyataannya, ia bergerak dalam labirin judul-judul itu dengan ingatan dan ketangkasan yang mengagumkan. Ia memikul tangga besi di bahunya, dan menaikinya untuk menggapai ujung rak-rak yang menjulang menyentuh langit-langit. Ia tahu tempat hampir semua buku berada, di rak dan di laci mana. Lebih dari itu, ia memiliki lemari buku favorit, 100 judul buku yang disukainya. Darinya aku mengetahui bahwa hasrat terhadap kesusastraan adalah aleph yang tak terbatas, tempat kita secara tak terbayangkan terhubung dengan semua cerita dan karya-karya dunia. Namun kemudian kita memilih hapax, kekhasan kita sebagai pembaca dan penulis.

Ia menulis puisi dengan pena, atau kadang-kadang dengan mesin tik yang berbunyi seperti senapan mesin. Suatu kali, ia menunjukkan kepadaku naskahnya, penuh dengan coretan dan bekas sayatan yang nyaris tak terbaca.

“Lihat?” katanya. “Ini adalah sejarah keragu-raguanku.”

Darinya aku belajar bahwa menulis adalah mencari, mencoba lagi, menjadi makin baik.

“Kita membaca dan membaca ulang,” kata Roversi, “tetapi yang lebih penting kita menulis dan menulis ulang. Aku tak percaya kepada penulis yang menulis sebuah buku tanpa satu pun koreksi dan hanya dalam beberapa bulan.”

Namun, ketika kukatakan kepadanya bahwa aku sedang mengerjakan sebuah buku dan telah menulis ulang beberapa halaman lebih dari lima puluh kali, ia tersenyum dan berkata kepadaku, “Mungkin engkau mesti berhenti sekarang. Ada kalanya karyamu selesai dan mulai menjadi milik orang lain.”

Kau tidak memasuki La Palmaverde hanya untuk berbincang soal sastra tinggi. Kau juga pergi untuk bergembira, bermain kartu, menikmati cemilan roti dan mortadella. Yang paling penting, Roversi senang bercanda, khususnya jika ia menemukan beberapa orang yang mudah ditipu atau ahli palsu. Ia akan menemukan judul-judul khayalan, buku-buku gaib, dan penulis-penulis palsu. Kami menciptakan seorang penyair, René Nexistepas, seorang pelanggan, yang mendengarkan kami bercakap sambil memuji-mujinya, percaya dan memesan semua bukunya. Ia kembali beberapa kali untuk membeli buku-buku itu, dan setiap kali itu pula Roversi meminta maaf dengan kerendahan hati yang menggelikan:

“Ini skandal. Bahkan minggu ini mereka belum mengirim satu pun buku René Nexistepas. Saya mohon maaf…”

Roversi membayar sewa terlalu mahal, dan mengorbankan banyak hal untuk menjalankan toko bukunya. Ketika ia menyadari bahwa pemilik gedung mau mengusirnya, dan tak ada satu pun otoritas kota yang akan membantunya, ia merancang sebuah lelucon terakhir.

Kami mulai menyebarkan gosip bahwa ada harta karun kuno tersembunyi di dalam La Palmaverde. Di suatu tempat, di balik tembok-tembok buku, ada sebuah kutipan yang akan mengarahkan ke sebuah ruang rahasia, tempat sesuatu yang berharga tersimpan.

Pemilik gedung mendengar gosip ini, dan dengan alasan mengecek kelayakan tempat, ia mulai berkunjung. Ia berkeliling di antara rak-rak, mengetuk tembok mencari ruang hampa, menggeledah setiap sudut. Sampai kami menunjukkan kepadanya sebuah kunci, yang jelas terlihat di atas meja, dengan tulisan:

Kunci pintu merah.
Masuklah hanya jika mendesak.
Di dalamnya akan kautemukan takhta pualam berharga.

Jebakannya berfungsi. Pemilik bangunan menemukan pintu kecil merah di ujung koridor sempit. Sementara kami pura-pura bercakap-cakap, kami mendengarnya memutar anak kunci dan masuk. Ia menemukan sendiri sebuah ruangan dengan kloset, toilet kecil toko buku. Ia keluar sambil membanting pintu.

Demikianlah Roversi dan toko bukunya yang aneh dan menakjubkan. Aku lebih mencintai aroma buku-buku ruang-ruang gelap itu daripada toko-toko buku modern yang penuh layar dan cahaya.

Dalam puisi pembuka, kusebut La Palmaverde “neraka”. Karena aku mengingat sebuah percakapan antara aku dan si penjual buku ajaib. Sastra (dan bait sucinya, yakni toko buku) adalah bentuk dasar gagasan yang ditempa dalam nyala kreasi dan api penulisan ulang. Buku-buku menyampaikan tentang yang baik dan yang jahat, tentang kutukan untuk turun lebih jauh ke bagian terdalam jiwa. Di surga, segalanya sempurna, tak ada yang perlu diperbaiki, semuanya telah ditulis dalam kaligrafi indah, tanpa koreksi dan pertimbangan. Karena itulah takdir sastra lebih mengingatkan kepada neraka yang indah dan terhukum daripada surga yang damai.

La Palmaverde tak lagi ada. Namun buku-bukunya, kata-katanya, dan pelajarannya tetap mengelilingi dunia, dan memenuhi kepalaku.

***

Tentang Stefano Benni

Lahir pada 12 Agustus 1947. Penulis, penyair, dan jurnalis ini adalah salah satu penulis Italia yang paling terkenal. Karya-karyanya telah diterjemahkan ke lebih dari 20 bahasa. Ia tinggal di Roma. Esai ini diterjemahkan Mario F. Lawi dari esai berbahasa Italia berjudul “La Palmaverde” di situs pribadinya: https://www.stefanobenni.it/benni-racconta-la-sua-libreria-del-cuore-quella-del-poeta-bolognese-roberto-roversi/


Komentar Anda?