Menu
Menu

Bagaimana anggota Bincang Buku Petra menikmati Ibu Susu?


Oleh: Maria Pankratia |

Notulis


IBU SUSU adalah salah satu buku yang tidak selesai saya baca di tahun 2018. Saat itu, saya tidak begitu paham, kenapa saya merasa tersendat ketika membacanya. Padahal saya baru selesai menyelesaikan satu novel dongeng yang lain sebelum membaca buku bersampul hitam ini.

Pertengahan 2020, kawan-kawan di Klub Buku Petra mengusulkan untuk membahas buku ini. Semacam pembuktian bersama, apakah benar kesulitan yang saya rasakan tersebut akan dirasakan juga oleh anggota yang lain?

Cukup sulit mendapatkan 10 eksemplar novel yang terbit tahun 2018. Dengan berbagai cara, akhirnya sejumlah novel Rio Johan ini tiba di Ruteng pada Juli 2020. Beberapa anggota Bincang Buku Petra sudah pernah membacanya dengan cara meminjam dari Perpustakaan Klub Buku Petra. Kami memutuskan membahasnya pada Jumat, 28 Agustus 2020. Yang tidak kami ketahui, pada tanggal itu, penulisnya ternyata berulang tahun.

Tujuh peserta yang hadir: Gerson yang juga bertugas sebagai pemantik, mengajak salah satu kawannya yang juga telah membaca novel ini, Tio, lalu ada Romo Beben, Hermin Nujin, dr. Ronald Susilo, Marcelus Ungkang, dan saya sendiri.

Gerson membuka perbincangan malam itu dengan menyampaikan temuannya; penulis Ibu Susu ternyata adalah seorang gamers dan salah satu yang sering dimainkan berkaitan erat dengan sejarah Mesir Kuno. Bagian ini, menurut Gerson, membuat novel yang dituliskan menjadi menarik; penulis memutuskan untuk melakukan riset dan menulis dongeng berlatar sejarah Mesir kuno.

“Hal-hal seperti mimpi dan ramalan, ramuan-ramuan serta tradisi kerajaan Mesir di zaman lampau memberikan wawasan baru bagi pembaca seperti saya,” ujar Gerson.

Secara keseluruhan Gerson melihat, buku ini berkisah tentang pemerintahan lama Mesir Kuno, juga nasib para perempuan di zaman itu yang sangat didiskriminasi melalui berbagai aturan dan tradisi yang sungguh menyiksa. Selain itu, Gerson mengaku ada beberapa kosa kata baru yang tidak pernah ia temukan sebelumnya, sehingga di beberapa bagian ia sulit mencerna cerita. “Lebih daripada itu, Ibu Susu adalah fiksi sejarah yang patut dibaca karena kisahnya yang tidak biasa,” kata Gerson.

Setelah Gerson, Hermin mendapatkan kesempatan bicara. Bagi Hermin, tema besar dari novel ini adalah pengorbanan. Ini bisa dilihat dari kerja keras Firaun Theb sebagai seorang ayah demi kesembuhan putranya, Pangeran Sem. Firaun rela melakukan apa saja agar anak satu-satunya dan penerusnya dapat kembali sehat. Namun demikian, pada situasi ini, pembaca juga bisa melihat ada ego yang sangat besar muncul begitu saja. Firaun memperlakukan semua orang di bawah kekuasannya dengan semena-mena.

Dari novel ini pula, Hermin kembali menemukan bahwa Hukum Karma itu berlaku di mana-mana. Bagi seorang raja sekalipun. Dikisahkan secara tersirat melalui ramalan Kakek Tua dan pernyataan Perempuan Iksa bahwa Ayah Firaun Theb adalah seorang raja yang memerintah dengan kejam. Pada masanya, perang terjadi di mana-mana dan banyak orang menderita karena itu. Permintaan-permintaan Perempuan Iksa menjadi semacam tuntutan atas kerugian yang ditimbulkan oleh pemerintahan sebelumnya.

“Saya cukup terkesan dengan Perempuan Iksa. Syarat-syaratnya itu membuat saya berpikir lagi bahwa ternyata seburuk apa pun kita di hidup ini, pasti ada hal baik yang patut kita banggakan dan membuat orang lain memperhatikan kita. Walaupun memiliki borok di seluruh tubuhnya, Perempuan Iksa mempunyai kantung susu berkualitas sehingga mau tidak mau Firaun menyediakan kemewahan baginya dan berusaha memenuhi segala persyaratan yang ia minta. Meskipun pada permintaan ketiganya, ia justru dikhianati,” jelas Hermin.

Hal lain yang juga disoroti adalah perlakuan pemerintah dan masyarakat zaman itu kepada perempuan. Beberapa kebiasaan, seperti pemberian ramuan dan menguji kantung susu, terkesan seperti mengeksploitasi tubuh perempuan. Belum lagi perlakuan sesama selir Firaun yang justru merendahkan sesama perempuan, ketika mereka seharusnya saling mendukung dan menghormati.

Buku ini terkesan datar-datar saja bagi Hermin. Tetapi sebagaimana kata orang bijak, sebuah teks kadang tidak menarik untuk dibaca, akan tetapi pasti ada hal-hal penting yang bisa kita dapatkan dari sana. Salah satunya tentang bagaimana sejarah ditulis oleh orang-orang yang menang atau yang berkuasa. “Dari novel ini, saya akhirnya paham, bahwa sejarah bisa ditulis sesuka hati. Tidak perlu sesuai kenyataan. Ternyata hoax itu sudah ada sejak dulu,” pungkas Hermin.

Selanjutnya ada Romo Beben menyampaikan hasil pembacaannya dengan bersemangat. Baginya, novel ini datar dan agak membosankan di bagian awal, apalagi dengan kalimat-kalimat panjangnya. Sepertinya penulis mau menghilangkan kebiasaan kita yang selama ini telah terbiasa menulis kalimat-kalimat pendek. Atau bisa jadi karena saat meneliti dan menulis buku ini, penulis tengah melakukan residensi di Jerman sehingga terpengaruh oleh tulisan-tulisan panjang.

Terkait dengan pendapat Gerson dan Hermin tentang diskriminasi wanita, Romo Beben memiliki pendapat berbeda, khusus tentang Perempuan Iksa dan permintaan-permintaannya. Menurut Romo, Perempuan Iksa adalah perempuan merdeka. Alasannya, ketika kerajaan sedang diterpa masalah dan Firaun bingung, Perempuan Iksa berusaha dicari atau ditemukan setelah mimpi Firaun ditafsirkan. Ia diambil dari kenyamanannya di hulu sungai dengan segala borok yang ia miliki. Ia diminta atau lebih tepatnya diperintahkan untuk menyelamatkan situasi sulit kerajaan. Akan tetapi, alih-alih Firaun memerintahnya untuk segera menjadi Ibu Susu bagi Pangeran Sem, Perempuan Iksa malah mengajukan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh Firaun Theb. Tidak main-main, ada TIGA PERMINTAAN. Permintaan pertama memusingkan hampir seluruh negeri dan memakan waktu yang sangat lama. Permintaan tersebut ia ajukan demi orang-orang yang selama ini hidup dalam penderitaan, terlantar, yang tidak pernah dipedulikan oleh Firaun dan pemerintahannya dari balik tembok istana.

Permintaan kedua, agar kantung susunya yang ranum dapat menghasilkan air susu berkualitas dan setelahnya dapat disusui oleh Pangeran Sem, maka ia ingin Firaun Theb sendiri yang menghamilinya. Bukan orang lain. Dan lebih mengejutkan lagi permintaan ketiga, anak yang nanti ia kandung dari hasil hubungannya dengan Firaun, harus menjadi teman dekat Pangeran Sem. Tiga persyaratan ini, secara tidak langsung menyiratkan bahwa Perempuan Iksa memiliki daya tawar yang tinggi untuk mendapatkan haknya di hadapan Firaun dan aparatusnya yang terkesan meremehkannya. Perempuan Iksa menjadi manusia merdeka.

“Saya akhirnya melihat bahwa Perempuan Iksa ini adalah sosok yang memperjuangkan kemerdekaannya sendiri. Berusaha menunjukkan bahwa ia sebenarnya tidak boleh dianggap remeh. Namun demikian, meskipun memiliki daya tawar yang tinggi, ia tetap memiliki keterbatasan. Hal tersebut dibuktikan dengan hanya ada tiga persyaratan. Tidak lebih. Di sini bisa kita simpulkan bahwa, perjuangan untuk mewujudkan emansipasi itu, kalau hanya perempuan yang bekerja, tidak menjadi perjuangan semua pihak, tetap akan menemukan titik batasnya,” papar Romo Beben.

Malam itu, para peserta diskusi juga meminta sedikit penjelasan kepada Romo Beben terkait mimpi firaun di dalam novel ini yang tidak jauh berbeda dengan kisah-kisah yang juga bisa kita temukan di dalam Alkitab, khususnya Perjanjian Lama.

“Tentang mimpi di dalam novel ini, romo, yang juga biasa kita temukan dalam kisah-kisah perjanjian lama. Secara teologi, apakah ada teori yang bisa menjelaskan tentang hal tersebut?” Tanya Marcelus Ungkang.

Romo Beben menjawab: “Dalam teologi sendiri, memang mimpi dimaknai sebagai salah satu bentuk pewahyuan Tuhan. Contoh paling mirip yang bisa kita temukan, ketika Firaun bermimpi dan meminta Yusuf untuk menafsirkannya. Mimpim diyakini sebagai salah satu cara Tuhan menyampaikan wahyuNya, selain api dan roh. Seorang Romo bahkan pernah melakukan penelitian dan menulis skripsi tentang ini.”

Simak bagian selanjutnya tentang kalimat-kalimat panjang dalam novel Ibu Susu

[nextpage title=”Kalimat-Kalimat Panjang dalam Ibu Susu”]

Setelah diskusi menarik tentang mimpi, peserta selanjutnya diberi kesempatan untuk bicara. Tio menyampaikan tiga catatan penting yang ia dapatkan setelah membaca Ibu Susu. Pertama, tentang penyesalan seorang Istri Agung Met sebagai seorang istri dan seorang ibu yang pada awalnya kesulitan mengandung. Dengan segala macam ramuan yang dijejalkan ke dalam tubuhnya, ia terus berusaha dan mengalami kegagalan berkali-kali. Pada akhirnya ia bisa mengandung dan melahirkan seorang putra, tetapi ia tidak bisa menyusuinya. Kantung susunya kering.

Kedua, tentang kebijaksanaan seorang Perempuan Iksa ketika diminta ikut mengawasi pembagian bahan makanan yang menjadi permintaan pertamanya (Hal.78). Dengan tegas ia menjawab Wazir Agung, biarlah kebenaran dan keyakinan duduk bergandengan dalam neraca keberimbangan. “Saya melihat sesuatu yang relevan sekali dengan kondisi saat ini, yaitu pembagian bansos di tengah pandemik yang terus dikeluhkan masyarakat karena beberapa oknum berlaku tidak adil. Ungkapan Perempuan Iksa ini seharusnya menjadi peringatan untuk kita semua agar tetap berlaku adil sejak dalam pikiran,” tutur Tio.

Hal ketiga, masih datang dari Perempuan Iksa. Ketika Perempuan Iksa menceritakan sejarah bangsanya, keyakinan mereka tentang kemenangan terhadap perang (Hal.94). Menurut Tio, sering sekali ia merasa kurang percaya diri dalam kesehariannya, padahal sebenarnya ia memiliki kemampuan dan talenta yang bisa dikembangkan. “Terkadang pengaruh dari lingkungan sekitar membuat kita sulit mengekspresikan keinginan kita sendiri,” tutup Tio.

Armin Bell yang tidak hadir malam itu, tetapi menjadi salah satu yang mengusulkan agar buku ini dibahas pada Bincang Buku Petra, mengirimkan hasil pembacaannya melalui grup WhatsApp. Armin mengatakan, novel Rio Johan ini menjawab kebutuhannya akan buku yang ditulis dengan kesabaran yang tinggi, kemampuan menjalin puluhan bahkan ratusan kata dalam satu kalimat, dan terutama dongeng; kehidupan di ruang dalam para Firaun yang tidak banyak diketahui.

“Kita mengetahui Firaun dari sumber yang tidak banyak: kisah sengsara Yesus sebagai pengadil, tentang piramida, dan sedikit lagi, Rio menawarkan bahan lain. Rio tahu betul cara mendongeng dengan baik—bagaimana kisah yang biasa saja membuat kita betah karena dituturkan dengan sangat baik, pembabakkan yang sabar dan mengalir, diksi-diksi yang tak biasa, hal-hal yang biasanya dikonotasikan vulgar menjadi ramah, dan bagaimana menggunakan sumber-sumber cerita dengan baik untuk kepentingan fiksi,” ungkap Armin.

Hanya saja, menurutnya, berhubung gaya menulis dalam kalimat panjang tidak banyak dipakai penulis kita, buku ini barangkali akan agak tersendat dibaca pada kesempatan pertama.

Setelah membacakan kesan Armin Bell terhadap novel ini, saya kemudian menyampaikan hasil pembacaan saya sendiri. Ada perbedaan yang signifikan antara membaca di tahun 2018, dan membacanya ulang di tahun ini. Saya tidak mengalami ketersendatan dan lebih menikmati cerita. Barangkali karena saya telah membaca tulisan Rio Johan yang lain dan mulai terbiasa. Sebagaimana yang disampaikan Romo Beben dan Kaka Armin, saya mengidentifikasi kalimat-kalimat panjang tersebut sebagai soalan yang saya alami di 2018. Di masa itu, saya terbiasa membaca buku dengan tempo yang cepat, satu buku dengan ratusan halaman bisa saya selesaikan hanya dalam waktu sehari, maka ketika bertemu kisah yang kalimatnya ditulis panjang-panjang meskipun halamannya sedikit, saya agak sulit menyesuaikan diri dan memutuskan untuk berhenti membaca.

Tentang kisahnya sendiri, saya tidak mendapatkan kesan yang berarti. Saya memaknainya sebagaimana kisah-kisah perjanjian lama, yang juga dipenuhi berbagai jenis kekejaman, Raja yang munafik serta Tuhan yang sangat pencemburu. Banyak kosa kata bahasa Indonesia yang baru saya temukan dari buku ini, kurang lebih 100 kata. Meski demikian, hal tersebut tidak begitu mengganggu, saya menyesuaikannya dengan konteks kalimat yang saya baca.

Peserta selanjutnya yang menyampaikan hasil pembacaan adalah Dokter Ronald, yang mengaku merasa sangat menikmati novel ini karena dekat dengan kisah-kisah perjanjian lama. Seperti sedang membaca dongeng-dongeng lama. Ketika membaca buku ini, mau tidak mau, Dokter Ronald kembali mengingat masa-masanya di Seminari Menengah. “Ada sebuah agenda, namanya Doa Malam. Tiga puluh menit pertama sebelum doa didaraskan, kami harus membaca cerita-cerita Kitab Suci. Dan pasti yang dipilih adalah Perjanjian Lama,” kenang Dokter Ronald.

Bagi Dokter Ronald, kisah ini menjadi menarik karena didongengkan dengan baik. Entah kejadiannya betul atau tidak, berkaitan dengan iman atau tidak, tetapi pada dasarnya penulis mengisahkannya dengan sangat baik. Dokter Ronald juga mengungkapkan kekagumannya terhadap gagasan penulis untuk menulis tentang ibu susu–bagaimana ibu-ibu dikumpulkan dari berbagai penjuru negeri, mengikuti sayembara menjadi ibu susu. Membayangkan proses melihat kantung susu, memilih yang benar-benar berkualitas, benar-benar hal yang luar biasa menarik.

Tentang Perempuan Iksa, menurut Dokter Ronald, bisa jadi itu adalah pilihan penulis untuk berangkat dari sesuatu yang kontradiktif yang tidak berterima dengan kita demi menghasilkan letupan-letupan di dalam cerita. Dan itu terbukti dari komentar teman-teman sebelumnya tentang kisah di dalam novel ini.

Marcelus Ungkang hadir malam itu dan menjadi peserta terakhir yang menyampaikan hasil pembacaannya. Celus, yang tertarik juga dengan narasi panjang di dalam novel ini, menyampaikan satu pertanyaan penting, “bukan masalah panjang atau pendeknya kalimat, tetapi apakah kalimat-kalimat panjang ini menjadi kebutuhan cerita atau tidak? Artinya, itu merupakan pilihan bentuk. Terlepas dari keseluruhan bangun cerita.”

Untuk menjelaskan hal di atas, Celus kemudian memberikan satu contoh dari novel Orang-Orang Oetimu karya Felix K. Nesi. Di novel OOO, penjelasan tentang birokrasi digambarkan begitu rumit. Dari kantor A ke kantor B dulu lalu ke kantor C baru kemudian kembali ke kantor A. Penggambaran situasi dengan kalimat panjang seperti itu menjadi bagian dari kebutuhan cerita. Dari penggambaran tersebut, kita sudah bisa merasakan rumit sekali urusannya, cocok dengan birokrasi itu sendiri.

Bagi Celus sendiri, penggunaan kalimat-kalimat panjang tersebut hanya berterima hingga pada bagian “Permintaan Pertama”. Rinciannya panjang sekali. Efek yang ditimbulkan kemudian adalah ada kekontrasan dengan harapan di dalam cerita. Bahwa orang-orang di dalam kisah ini sendiri ingin sesuatu yang cepat agar mengetahui bagaimana hasilnya setelah permintaan tersebut dipenuhi? Akan tetapi, rincian yang panjang itu menyebabkan prosesnya berjalan menjadi sangat lama.

“Saya bisa terima narasi-narasi panjang itu sebab menjadi bagian dari kebutuhan penceritaan. Di konteks itu, Perempuan Iksa adalah sosok yang tidak diinginkan. Terlepas dari kalimat-kalimat yang panjang itu, dengan penggambaran Iksa sebelumnya yang buruk sekali, ia menjadi orang yang tidak diharapkan. Kemudian permintaannya justru di luar dugaan kita. Rinciannya sangat panjang. Maka kemudian kita sudahi saja membacanya, kita perlu mengidentifikasikan diri kita dengan kelompok yang tidak menginginkan Perempuan Iksa (Firaun dan Aparatusnya),” jelas Celus.

Di titik ini saya akhirnya paham. Apa yang dialami oleh saya di 2018 digambarkan sebagai efek dari situasi tersebut. Saya dan pembaca-pembaca lain yang mengalami hal yang sama, bisa jadi adalah bagian dari orang-orang di dalam cerita yang merasa rincian panjang itu seperti tak ada ujungnya. Orang-orang yang tidak menginginkan kehadiran Perempuan Iksa. Sehingga tidak heran jika saya hanya membacanya hingga bagian permintaan pertama lalu memutuskan untuk berhenti membacanya.

Celus melanjutkan, hal yang kemudian membuatnya tidak nyaman pada bab setelah permintaan pertama adalah kalimat-kalimat panjang itu lebih kepada gaya retorika. Sebuah permainan bentuk. “Jadi sebenarnya, kau bisa menyampaikan dua sampai tiga kalimat tersebut hanya dalam satu kalimat saja. Dengan maksud yang sama. Seperti pekerjaan mengulang-ulang tetapi dalam bentuk yang berbeda untuk mempengaruhi persepsi pembaca,” tutur Celus.

Bagi Celus, hal semacam itu agak membosankan sebab tidak memberikan informasi baru. Beberapa kalimat saja sebenarnya sudah bisa mewakili maksud yang sama. Beda cerita, apabila narasi panjang tersebut menyingkap kisah lain bahwa ternyata bapak dari Firaun Theb memang melakukan apa yang dikatakan oleh Perempuan Iksa. Sehingga, makna tersirat yang juga sebelumnya disampaikan Hermin tentang Karma, menjadi lebih kuat. Jika seperti itu, narasi-narasi panjang tersebut memang memberikan informasi baru. Akan tetapi ketika yang dipilih adalah gaya retorika, hal tersebut menjadi agak kurang nyaman. Barangkali pembaca-pembaca lain juga merasakan hal yang sama.

“Sebenarnya kita sedang membicarakan hal yang sama tetapi bentuk penandanya berbeda. Dalam retorika, penandanya saja yang dimainkan. Contoh: sel, penjara, rumah tahanan, lembaga pemasyarakatan, merujuk pada satu hal yang sama, kurungan,” jelas Celus.

Untuk hal-hal lain di dalam novel Ibu Susu, Celus menanggapi sebagai bukan hal yang baru, apalagi jika pembaca telah familiar dengan kisah-kisah perjanjian lama. “Penulis hanya membuat kita teringat akan kisah-kisah yang pernah kita baca sebelumnya. Itu saja saya pikir,” tutup Celus.

Demikian diskusi novel Ibu Susu pada penghujung Agustus lalu berlangsung menarik dan padat berisi. Bintang Tiga disematkan bagi novel Rio Johan ini. Bincang Buku selanjutnya akan berlangsung pada 08 Oktober 2020 membahas karya fiksi Nirwan Dewanto berjudul Buku Jingga. (*)


Baca juga:
– Puisi-Puisi Afri Meldam – Garis Air
– Dekat dan Nyaring: Selalu Ada Jalan Lain, Tak Semuanya Ada di Dalam Buku

Komentar Anda?