Menu
Menu

Ada berapa cerita dalam “Gentayangan: Pilih Sendiri Petualangan Sepatu Merahmu”? 10? 15? Lebih!


Oleh: Yuan Jonta |

Anggota Klub Buku Petra. Tinggal di Ruteng. Kini bekerja sebagai ASN di Pemerintah Kabupaten Manggarai.


30 Oktober 2019, Bincang buku ke-X Klub Buku Petra membahas novel yang ditulis oleh Intan Paramaditha.

Intan mengusung judul “Gentayangan: Pilih Sendiri Petualangan Sepatu Merahmu” (selanjutnya “Gentayangan”). Didominasi warna merah, sampul buku ini akan mencuri perhatian siapa saja yang melihatnya. High heels merah menjadi objek yang dipilih untuk menjadi cover buku. Sepatu dan Gentayangan, dengan common sense, orang akan paham bahwa cerita ini bercerita tentang sebuah perjalanan.

Intan menulisnya dengan cara yang unik. Seperti tagline-nya, pembaca diberi ruang untuk menentukan petualangannya sendiri. Pada halaman tertentu pembaca diberikan opsi untuk memilih alur cerita yang dikehendakinya. Setiap pilihan mengarahkan pembaca pada cerita dan akhir yang berbeda. Tetapi pada setiap pilihan, pembaca akan merasa dirinyalah yang menjadi tokoh utama cerita. Karena, selain memberikan opsi, Intan juga menggunakan sudut pandang cerita yang tidak biasa: orang kedua –kau.

Ada 11 anggota klub yang hadir malam itu. Sebagian besar anggota klub buku mengaku baru pertama kali membaca novel seperti itu. Banyak yang penasaran. Tidak sedikit juga yang mengaku kelelahan saat membaca. Ya, membolak-balik novel yang terdiri dari 500 halaman tidak semudah yang dibayangkan, saudara. Apalagi bila kau tahu rangkai cerita di novel ini berjumlah lebih dari 10? 15? Lebih.

Tentang Gaya Pembacaan

Dari bincang buku malam itu, ada tiga gaya pembacaan anggota klub buku dalam menyusuri tali petualangan dalam novel karya Intan ini. Pertama, adalah mereka yang membaca satu kisah. Dalam menelusuri kisah ‘Gentayangan’, pembaca ini memilih satu kisah utama untuk diikuti. Mereka memilih petualangannya—sebagai seorang pemeran dalam cerita novel ini. Menurut Armin Bell, pembaca tipe ini adalah orang-orang yang berhasil mengidentifikasi dirinya dengan tokoh dalam cerita. Mereka dengan mudah memutuskan kisah apa yang selanjutnya mereka ikuti, tanpa perlu pusing-pusing memetakan cerita. Mereka membaca karena peduli dengan nasibnya sendiri. Sisanya, mereka membaca untaian kisah lain untuk menjawab rasa penasaran, pada pilihan petualangan yang tidak dipilih.

Gaya pembacaan yang kedua, adalah mereka yang membaca novel ini bukan sebagai kepingan-kepingan cerita sebagaimana tujuan novel ini dibuat oleh penulis. Pembaca ini adalah mereka yang ‘memilih petualangannya sendiri’, bahkan bila itu berarti membaca buku ini dengan cara yang konvensional, dari halaman per halaman. Maria Pankratia berkata, pembaca model ini adalah golongan pemalas. Iya, mereka malas mebolak-balik halaman-halaman cerita, tetapi rajin berpikir, mencari benang merah cerita di dalam kepalanya.

Ketiga, adalah mereka yang benar-benar mencari tahu keseluruhan cerita dengan membuat peta pembacaan. Tipe ketiga dan kedua pada sesi bincang ini, adalah pembaca yang sama-sama membaca keseluruhan isi buku. Bedanya, tipe kedua melakukannya dengan mind full, sementara tipe ketiga membuat mindmaping sebagai peta cerita pada sebuah kertas.

Pembaca model terakhir, adalah yang paling niat menemukan berapa banyak cerita yang bisa diperoleh, dan kepada akhir mana kisah-kisah itu berhenti. Maria Pankratia, adalah salah seorang pelaku pembacaan ini. Ia mengaku mentok menemukan 17 rangkai cerita (perolehan terbanyak dari pembaca bincang buku malam itu). Namun, katanya, yang pernah mengikuti bedah buku yang sama, seharusnya ada 30 rangkai cerita yang bisa diperoleh dari novel ini.

Lalu, ke manakah sisa 13 cerita yang lain?

Diskusi: Gentayangan Sebagai Sebuah Proyek Intelektual

“Saat ingin berhenti atau tidak menyukainya (Novel “Gentayangan”), maka salah satu yang perlu kita ingat: Selama buku-buku Indonesia masih menjual mimpi dan bersifat apolitis maka pembaca Indonesia tidak akan pernah belajar berpikir kritis.” Olik Moon (Bincang Buku ke-X, Klub Buku Petra).

Menurut Marcelus Ungkang, “Gentayangan” merupakan sebuah proyek intelektual. Intan sedang menulis sebuah esai, tetapi diramu dalam sebuah karya prosa untuk menggaet pasar pembaca yang lebih banyak. Intan mengkombinasikan dua model kepenulisan dalam novel ini: Writerly dan Readerly Text.

Sebelum kita melangkah lebih jauh membicarakan diskusi bincang buku ini, ada baiknya kita memahami istilah yang disebut dalam paragraf di atas.

Ada dua model kepenulisan yang biasa dipakai seorang penulis dalam menyampaikan idenya. Model pertama adalah, readerly text, yang tidak membutuhkan energi ekstra bagi pembaca untuk mencerna dan menemukan makna/pesan di balik tulisan. Yang artinya, pembaca hanya perlu menelan informasi yang sudah diberikan penulis dalam teksnya. Sementara, writerly text adalah sebaliknya. Model ini mengajak pembaca untuk bersikap kritis, mencerna dan menemukan pesan-pesan yang disampaikan penulis melalui teksnya; pembaca tidak lagi menjadi konsumen informasi, tetapi sebagai produsen ide dari teks. Singkatnya, pembaca tidak melihat teks sebagai objek.

Simpulan ini, bahwa novel ini adalah esai, ditemukan oleh pebincang buku malam itu atas dasar banyaknya pesan-pesan kritis yang dititipkan penulis melalui karyanya. Isu kebangsaan, human trafficking, feminisme,  kosmopolitanisme, dan kritik kelas sosial adalah beberapa poin pesan yang ditemukan. Salah satu isu kebangsaan yang diangkat Intan adalah sejarah G30S yang masih menyisakan luka dan masih tabu untuk diungkit di Indonesia. Menurut dokter Ronald, perhatian Intan juga berhubungan dengan masa lalu hidup keluarganya, di mana pada tragedi ’98 tempat percetakan Ayahnya menjadi salah satu sasaran amuk masa dan dibakar.

Sementara pesan feminis—Intan dikenal sebagai seorang aktivis hak-hak perempuan—ditemukan oleh Febhy Irene, pemantik diskusi malam itu. Menurutnya, pesan yang disampaikan Intan melalui ‘gentayangan’ adalah keberanian kaum perempuan untuk melawan stigma dan berani mengeksplorasi dirinya. Pesan lain ditemukan oleh Marcelus Ungkang, melalui kaitan sepatu-Cinderella-Wizard of Oz. Menurutnya, sepatu adalah simbol yang mengikat perempuan, kaitannya dengan cerita adalah sepatu adalah simbol pasif, di mana perempuan selalu menunggu (untuk ditemukan pangeran).

Hal lain yang mau disampaikan penulis dalam ‘Gentayangan’ adalah masyarakat kelas sosial menengah. Intan memberi perhatian khusus pada isu itu, di mana tokoh ‘kau’ dalam ceritanya adalah seorang wanita yang berasal dari kelas sosial menengah. Olik Moon melihat, bila ditinjau dari teori ekspresif dalam sastra, Intan sendiri berasal dari kelas sosial menengah, mengacu pada pengalaman-pengalaman spesifik yang diceritakan Intan tentang masa kecil seorang anak yang lahir dari kelas sosial itu, contoh tentang tontonan film anak kelas sosial menengah, salah satunya tentang ‘Pendekar Rajawali Sakti’ dan ‘Sundal Bolong’ yang ia bandingkan dengan tontonan anak dari kelas sosial atas tentang ‘Cinderella’ dan ‘The Wizard of Oz’. Ia menilai, dari segi tontonan untuk anak saja, golongan kelas sosial tinggi memperhatikannya dengan serius.

Kritik lain soal kelas sosial adalah kecenderungan golongan sosial menengah untuk mempertahankan status quo dan enggan bersikap kritis. Dalam kaitannya dengan sastra, pembaca golongan menengah cenderung nyaman dengan bacaan-bacaan konvensional. Menurut Olik yang sehari-hari bekerja sebagai dosen di Unika St. Paulus Ruteng, itu menjadi alasan beberapa pembaca bincang buku yang rata-rata awam di dunia sastra merasa lelah dan malas membaca ‘Gentayangan’. Bacaan inkonvensional ‘Gentayangan’ juga menyangkut ending yang diserahkan kepada pembaca. Secara konvensional, biasanya ending disiapkan oleh penulis. Salah satu solusi soal ini ada pada act of reading yang akan saya ceritakan kemudian.

Pandangan lain yang ditemukan pebincang adalah tentang kosmopolitanisme. Maria mengatakan, melalui cerita-cerita keliling dunia novel ‘Gentayangan’, Intan membuka pandangan baru tentang dinamika-dinamika dunia. Pembaca mesti mulai belajar menilai sesuatu dengan referensi seluruh dunia. Simak bagian berikutnya: Beberapa Kajian Teoretis [nextpage title=”Beberapa Kajian Teoretis”]”Dari segi semiotika, pemilihan gambar ‘sepatu merah’ pada  sampul buku ini memiliki arti: merah = tekad, sepatu = teman jalan; sepatu merah berarti tekad melakukan perjalanan. “(Maria Pankratia).

Judul buku “Gentayangan” juga karena memiliki maknanya sendiri. Kata ‘gentayangan’ sendiri dalam KBBI, berarti: pergi ke mana-mana. Namun, menurut Marcelus, kata ini mengalami perubahan makna menjadi: berjalan tak tentu arah dan sering dikaitkan dengan hal mistis. Judul ini mewakili pengalaman ‘berjalan ke mana-mana’ pembaca saat membaca kisah, juga berhubungan dengan pilihan iblis sebagai salah satu plotters.

Tentang plotters, Redaktur Ulasan di bacapetra.co ini menyebutkan, ada empat macam plotters. Tokoh, pengarang, ideologi, dan pembaca. Dalam novel ini, menurutnya, sarat dengan pembaca sebagai plotters. Ia menjelaskan ini dengan mengajak peserta bincang buku untuk memahami etiomologi teks, yaitu ‘tenunan’. Dalam membaca novel ini, pembaca menenun sendiri kisahnya, tapi sebagian besar pembaca justru terperosok saat merajut kisah ini. Pembaca lebih memikirkan nasibnya sendiri daripada nasib tokoh.

Oleh karena itu, lanjutnya, dalam membaca cerita pembaca harus dapat mengubah act of reading-nya. Pembaca harus bisa kembali mendefinisikan aktivitas membaca sebagai sebuah tindakan. Sehingga dapat menemukan kembali cerita sebagai ‘dongeng’. Hemat saya (berdasarkan yang saya pahami dari penjelasan Marcelus), dalam membaca kisah, orang harus dapat memisahkan dirinya sebagai pembaca dan tokoh yang dibaca. Sehingga dalam proses membaca, kita tidak bersikap antipati hanya karena penulis tidak memperlakukan tokoh sesuai yang kita harapkan.

Selain act of reading, Marcelus juga menjelaskan, dalam membaca novel-novel ‘berat’ yang banyak mengandung pesan, interteks, dan rangkai cerita seperti ini, pembaca juga harus memiliki cukup amunisi referensi. Sehingga, pembaca sudah memiliki skemata yang cukup baik dalam menangkap isi cerita. Menurutnya, kemungkinan besar Maria mentok pada 17 rangkai cerita adalah karena ia kekurangan skemata, sehingga ia kesulitan mengakses jalan cerita lain. Tentu dengan catatan, Maria tidak keliru memetakan cerita.

Rating

Gentayangan adalah novel yang ditulis dengan sangat baik dan teliti. Dari sisi teknis penulisan novel ini sempurna. Hanya saja, nilai yang diberikan pebincang  malam itu bukan nilai yang sempurna (lima). Hal ini karena banyak pembaca yang merasa cerita ‘gentayangan’ tidak memiliki intensitas cerita yang menegangkan. Tidak ada konflik tokoh ‘kau’ yang benar-benar menggugah emosi pembaca.

Anggota Klub Buku Petra yang hadir malam itu: Febhy Irene (pemantik), Ronald Susilo, Marcelus Ungkang, Armin Bell, Maria Pankratia, Olik Moon, Febry Djenadut, Daeng Irman, saya sendiri, Hermin Nujin, dan Rio Hamu memberikan Empat Bintang untuk novel ini.

Bincang Buku selanjutnya akan dilaksanakan pada hari Kamis, 28 November 2019. Buku kesebelas yang dibahas Bincang Buku Petra kali ini adalah sebuah novela berjudul Surat-Surat Habel dan Veronika yang ditulis oleh salah satu anggota Klub Buku Petra, Ajen Angelina. Mari bertemu! (*)


Tulisan lain tentang pengalaman para pembaca ada di SAYA DAN BUKU. Simak juga artikel menarik tentang film di ULASAN FILM.

Komentar Anda?