pohon-pohon jati/ tumbuh tinggi/ menyangga langit
Oleh: Pasya Alfalaqi |
Kelahiran Pemalang, 14 Oktober 1998. Mahasiswa Sastra Inggris Universitas Negeri Jenderal Soedirman. Bergiat di Unit Kegiatan Mahasiswa ‘Teater Teksas’. Sesekali menulis di blog pribadi.
langit biru bersih mengatapi halaman
yang belum lama disiangi
adik menggaris tanah
menggulirkan gundu miliknya
ke sana kemari
musim layang-layang seharusnya
sudah sampai di lapangan desa
di tali jemuran, sepotong masker kain
digoyang-goyang angin.
2020
.
satu ditambah satu
tidak sama dengan dua.
kita telah sama-sama
kehilangan lima.
tambah lagi satu alasan
untuk berkata, “tidak apa-apa.”
walau hidup tak memberi kita
sepuluh, tiga pasang kaki
yang berdampingan
lebih dari cukup
untuk menempuh jarak terjauh.
2020
.
ketika kau beranjak ke dapur
mencari lilin untuk diletakkan
di ruang tengah, dalam gulita
terus kucekau genggamanmu.
tak kulihat nyala lampu di rumah
para tetangga dan magrib dan
gerimis mengeras pada lantai.
suaraku membentur-bentur dinding
dan di keningku tumbuh sebutir telur puyuh.
diterangi remang api sepucuk
kau memelukku, tertawa kecil
sembari membuka bungkus kertas
plester luka, “tidak apa-apa, tidak apa-apa.”
kini, setelah sekian tahun berlalu,
aku kerap memandangi langit,
menerka rupa kawanan burung
yang terbang menyekitari kepalaku
di malam itu.
2020
.
sebagai bangunan yang mencuar,
kau cakar habis
langit tempatku berteduh.
aku lupa cara bermain layang-layang
dan debu agustus tak pernah
meliputi kaki adik.
angin berhembus terus.
musim silih berganti.
apa kau juga lupa
cara mengendurkan benang?
2020
.
masa kecilku telah menjelma
rerimbun julang jagung
matahari yang condong ke barat
menyiraminya dengan emas
selepas bekerja, bersama
sekotak korek kayu dan
sebungkus rokok,
aku bersembunyi di sana.
2020
.
pohon-pohon jati
tumbuh tinggi
menyangga langit
di tengah-tengahnya
aku kecil berdiri
mengedarkan pandang
tak jua kutemukan
di mana engkau berada
matahari tak banyak bicara
namun aku suka
kersik daunan tua
di bawah sandal:
langkah demi langkah
tak harus punya arti
dan aku boleh
pulang terlambat.
duh, hampir saja
aku melupakanmu.
2020
Ilustrasi: Photo by Javon Swaby from Pexels
Baca juga:
– Puisi-Puisi Shinta Febriany – Hantu Tahun Baru
– Puisi-Puisi Zulkifli Songyanan – Nyaris Lewat Tengah Malam
– Puisi-Puisi Budi Afandi – Pesta Pelepasan Bulan