… menggelepar jadi padang, kayon pertumpahan darah datu.
Oleh: Lamuh Syamsuar |
Lahir di Lombok Tengah. Puisi-puisinya pernah disiarkan di Suara NTB, Lombok Post, Jurnal Sastra Santarang, Bali Pos, Banjarmasin Post, Harian Rakyat Sultra, Riau Pos, dan Basabasi. Buku puisinya, Mata Damar (Yogyakarta, 2019).
: Hayy Bin Yaqzan
bacalah telapak tanganku, ibu.
binatang apa aku ini. seekor
rusa hijau berbulu merak, berkaki
kumbang padang, mengasuhku.
suaranya jernih seperti nyanyian
mata air sejauh tujuh tahun perjalanan
membesarkan nama yatimku
tanganku gemetar setelah tubuhnya padam
aku diburu air mata penghuni mandala
aku bertanya, darimana datangnya serbuk api
yang menghidupi bumi. “dari selaput mata hari,
dari lubuk mata malam dan dari ekor rasi
bintang berjuta-juta tahun cahaya,” katamu.
Tuhan, tubuhku meluap. seumur
hidupku pecah menjadi seribu anai-anai
bagaimana rasa hatimu, menari
membakar satu-satunya
sepasang sayap dari sehelai daun
damar berwarna kunang-kunang.
ibu, baca kata-kataku ini, ibu.
Lombok, 2020
.
tanah Sasak. barangkali di tiap-tiap persimpangan abad adalah pertempuran. dahulu, sementara samudera itu mengental menjadi nusa. empat orang bijak dari empat penjuru, bermadah ke titik pancer. usai rapat paling sunyi. orang-orang suci bertarung, berebut hidup dan mati.
tuan, dalam tubuh galip ini mengalir darah kapur. mengalir darah panjak. mengalir getah jarak. mata perdu pertama negeri Sasak. meluap jadi martir. menggelepar jadi padang, kayon pertumpahan darah datu.
maka izinkan hamba, sesekali menatap tandur cahaya di ujung wajah tuan. menangkap zikir yang tak pernah putus. rasa paling rahasia yang mendirikan sembahyang dalam tubuh hamba. seperti kelelawar yang bersemedi dalam pelepah pisang.
sebab, tulah kuruksetra yang pecah di telinga hamba, hanya iba. tangis ibu, berguguran serupa gunung sejuta longsor. dilukai sabda para pelancong yang lebih runcing dari pepucuk harpun pemburu paus.
Lombok, 2020
.
seekor kupu-kupu yatim yang tak pernah tua
tak pernah memikirkan nasibnya. menangis
membayangkan tubuhnya terbakar air laut
ia menuntun sayapnya ke arah
senja yang berenang di pucuk pelabuhan
menghidu kata-kata terdekat dari hidupnya
tapi yang ia dapatkan, hanya kata-kata terjauh dari nasibnya
ia memburu nafasnya di kota syahbandar
Ampenan. seperti mengenakan nama Sayyid Saleh
Sungkar yang terkatung-katung di langit kirmizi
ia memungut suara-suara bisu itu, seperti kalam
dalam keheningan malam. seperti sekumpulan
huruf ma’rifat yang menyusun kata SAPAKIRA
: nama toko kitab paling lekat dari ingatannya
Lombok 2019-2020
.
adakah pilahan lain yang lebih kejam
dari kutukan menjadi sebatang pion.
misalnya, sebagai pembabat pelepah talas
di tepi air atau pengoyak tegalan jagung
di antara hujan pasir hingga banjir lahar
yang memaksa kita berebut hidup atau mati
dan mungkin, hanya itu yang kita miliki
aduhai, pengangkut batu. katakan
kapan kau akan menyerah pada maut
suaramu merdu sepahit madu
tak perlu kau menanak mimpi
langkahmu lebih harum dari permata
teruslah diam seperti baling-baling berputar
sebutir peluh di keningmu luruh
bagaimana rasa hatimu
tersungkur dalam bingkai papan catur
maju tampak dada. mundur tampak pungkur
Lombok, 2020
.
ia seekor kupu-kupu kaca yang membatik
sayapnya dengan pohon harap. ingin belajar
memberi maaf untuk dirinya yang belia
sementara aku di sini ingin keluar
dari gelap. dari taring terang
sebab cintamu adalah sekam yang ingin
kuenyahkan tapi tak kuasa kutanggalkan
rasanya pedih. seperti seorang pandir
yang bermalam di tepi telaga. demi terjaga
ia menyibukkan diri menghitung daun maja
menjatuhkannya helai demi helai
“aku lelah,” katanya, sambil
menatap cincin riak di telaga
tapi ia harus tetap tabah. sebab
hidup tak berhutang pada air mata
seekor kupu-kupu bertaring teratai
bersimpuh keras di depan Kemalik. belajar
menerima maaf dari dirinya yang paling sendiri
Lombok, 2020
Ilustrasi: Photo by Quang Nguyen Vinh from Pexels
Baca juga:
– Esai Alberto Manguel – Suara Kassandra
– Puisi-Puisi Derry Saba – Beginilah Kotamu Tertulis dalam Kata-Kata Sepiku