tatkala penyair berbicara dengan kata/ penyihir berderma dengan angannya/ keduanya memiliki ular yang sama/ jauh terlelap di dasar cakra manusia galeh pramudianto
Oleh: Galeh Pramudianto |
Lahir di Tangerang Selatan, Banten, 20 Juni 1993. Bekerja sebagai pendidik dan salah satu pendiri platform Penakota.id. Buku puisinya “Asteroid dari Namamu” (2019) menerima beasiswa penerjemahan dari Komite Buku Nasional. Ia menerima penghargaan Acarya Sastra 2019 dari Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan, Kemendikbud.
aku ingin berbahasa
untuk menyampaikan dunia
yang dirundung kesedihan
karena
dunia akan berakhir beberapa saat lagi
saat kau bertanya tentang kapan
dan di mana kita bertemu
tentang kata-kata
tak pernah bisa diucap
tentang kerangkeng di tubuhmu
dan plester di mulutmu
tentang kamera selalu
mengintai kegiatanmu
karena
bahasa paling menyedihkan adalah
ada teriakan di dalam gua
dan tak pernah terdengar gemanya.
2019
.
tak ada lagi manna dan salwa di kemah itu
semua telah dihisapnya hingga debu
seperti penyihir salem dan pengadilannya
dosa dan doa abu-abu warnanya
tatkala penyair berbicara dengan kata
penyihir berderma dengan angannya
keduanya memiliki ular yang sama
jauh terlelap di dasar cakra manusia
aku mendengarnya dan mencoba membangunkan
di antara batu-batu padas dan padang gurun
kutemukan lubang menganga
dan kumasuk hingga bertemu dinding hitam
kulihat ular beludak sedang menggembungkan lehernya
lidah yang berjulur, merisik, dan melata hingga singgasana:
“desismu malam itu meninggalkan bekas luka
tatkala mulutmu melumatku dan kutelan suara
hingga kesik-kesik itu tertinggal di dalam jiwa.”
2019
.
Ia tak hendak mengimbit ke parit
segala purwarupa bekas manusia
ia memutuskan menuju riak pada laut
mengantarnya sampai di pulau tak bertuan
membasuh luka pada panjangnya nyanyian
Bahasa kita mungkin lahir dari opera sabun
di saat para Siren mengganggu kapal Odisseus
bersamaan dengan itu ia telah berserah pada keindahan
Samudra memadat dan semilir angin kian riuh
kelapa berjatuhan di bibir pantai
oleh lengking burung mencari kawan
dan debur ombak menabrak bebatuan
Sementara di bawah sini
di dalam takhta lautannya
putri duyung bernyanyi
mengundang para pelaut yang lalai
siapa tergoda, apa daya dipunya:
Sectumsempra!
2019
.
Aku belum pernah mengalami ini
sampai membacanya di bahasa ibu
langit dari segala celah
Membuat lidah ini lincah dan terus menjelajah
Dari miliaran tahun cahaya
belitan kuantum mengaburkan atom
yang telah terangkai dan meneleportasikanku
dari bahasanya ke bahasaku
silabel jadi bundak dalam kombat tak jemu
Di luar tabut kata
planet terjauh telah menyigi aksara
ia berturap atmosfer bumi
menjadi buhul bagi ras yang bertempur
Hari ini hari yang tepat untuk mati
ia telah apostrof di tengah kosmos
bahasa yang melampaui galaksi
juga kerutan pada dahi
telah memilih gugur dalam pertempuran
atau merayakannya dengan anggur darah
sampai rintihan opera dalam langkah kerja
Tak ada bangkai dan nausea kali ini
percik granular telah sabitah di awan
lewat hamlet, sakramen itu dilengkapkan.
2019
.
“Dunia berubah:
aku bisa merasakannya di dalam air,
aku bisa merasakannya di bumi,
aku bisa mencium baunya di udara.”
― J.R.R. Tolkien
Hari-hari ketika perang terjadi
muncul cahaya bintang paling terang
Menuntunku mencipta sebuah bahasa dan fabula
Terpujilah
dunia tengah dari segala ras dan alam
dari segala perang dan pelayaran
menghadirkan kapal menembus kegelapan
bagai semburat cahaya keperakan
di angkasa
bahasa di sini bukan dari kapal terbakar
bukan dari buritan yang tertinggal
karena bahasa kita adalah sinar bintang
menembus akar menjalar di pohon dedalu
lalu saat kau menjadi diri baru
daun-daun luruh menyambutmu
kau mewirunya seperti lipatan kain
dan menjadikannya alas untuk bermain
karena
di dunia tengah ini
tak ada ramalan salah dan menumbuhkan keluh kesah
sebab telah ditanamkannya dunia lewat cerita
bahasa terus menyala
telah manggala sebelum rencana
telah tahir sedari lahir.
2019 galeh pramudianto
Ilustrasi: Photo by Harrison Candlin from Pexels
Baca juga:
– Puisi-Puisi Shinta Febriany – Hantu Tahun Baru
– Puisi-Puisi Bayu Pratama – Lucid