Menu
Menu

Kura-Kura Berjanggut sebenarnya adalah dongeng yang sangat menarik. Namun pada bagian kedua dan ketiga, pembaca bisa saja kehabisan stamina.


Oleh: Maria Pankratia |

Pernah mengunjungi Aceh pada tahun 2004. Pengunjung Kilometer Nol Indonesia yang ke 6595. Sekarang tinggal di Ruteng dan berharap bisa melihat Lamuri sebelum akhir hayatnya.


Ketika mulai menulis notulen untuk Bincang Buku Klub Buku Petra yang ketujuh, saya bingung akan memulainya dari mana?

Barangkali ini yang dialami Azhari Aiyub juga saat menulis Kura-Kura Berjanggut. Banyak sekali yang harus diceritakan.

Ada sepuluh peserta Bincang Buku di LG Corner Ruteng pada Kamis Malam, 25 Juli 2019 itu. Masing-masing mengisahkan hasil pembacaannya terhadap novel setebal 960 halaman tersebut.

Tentang Kekuasaan dan Balas Dendam

Kura-Kura Berjanggut adalah novel dengan latar abad 19. Berkisah tentang Kesultanan Maritim bernama Lamuri yang menguasai jalur rempah-rempah dengan komoditi utamanya adalah merica. Kesultanan ini terletak di sebuah teluk, dengan istana Darud Dunya sebagai pusat pemerintahan, dan Bandar Lamuri yang menjadi sentral perekonomian.

Diceritakan, para pedagang datang silih berganti ke Lamuri menggunakan kapal-kapal mereka yang berlabuh di lepas pantai Lamuri, demi mendapatkan merica terbaik.

Kesultanan ini dipimpin oleh Sultan Nurudinsyah yang juga dijuluki Anak Haram, sebab ia lahir dari perut seorang budak bernama Ramla. Ia dijebloskan ke penjara pada usia 18 tahun oleh ayahnya, Sultan Maliksyah. Itu terjadi setelah ibunya, Ramla, ditemukan tewas di kamarnya sendiri akibat racun mematikan. Nuruddinsyah menduduki tahta setelah melakukan pemberontakan besar-besaran dari dalam Penjara Jalan Lurus dengan dibantu Asoekaya dan kawan-kawannya.

Asoekaya yang merupakan salah satu bandit paling berbahaya di Lamuri masa itu, tidak sempat menikmati masa kejayaan tersebut bersama Anak Haram. Ia telanjur mati setelah melewati berbagai penyiksaan dan penyakit usia lanjut di penjara.

Ramla dan Kamaria, dua perempuan Abesy turun di Bandar Lamuri pada paruh waktu abad ke-16, ketika Sultan Maliksyah dan saudara-saudaranya yang dikabarkan mandul akibat menanggung kutukan dari Sang Ayah, Sultan Awaluddinsyah, yang membantai seluruh saudara laki-lakinya demi menduduki tahta.

Sultan Maliksyah yang awalnya hanya ingin meniduri budak belia Abesy tersebut, menemukan bahwa Ramla hamil. Situasi ini memicu Maliksyah untuk kemudian menjadikan Ramla sebagai istri dan anak di kandungan perempuan tersebut sebagai alasan untuk menjatuhkan pemerintahan ayahnya serta membunuh saudara-saudaranya demi menduduki tahta Kesultanan.

Tokoh utama sekaligus narator dari cerita ini adalah Si Ujud, yang kemudian ketika menekuni novel ini diketahui memiliki nama asli Syahmardan (hal. 872). Si Ujud sedang belajar di Sekolah Perkapalan dan Lautan Istamboel saat mengetahui kedua orang tuanya menjadi korban pembantaian dari pemberontakan Anak Haram terhadap orang-orang yang menjadi kaki tangan pada masa pemerintahan ayahnya.

Demi membalaskan dendam, ia rela menempuh jalan berputar; merompak bersama Tata Sifr melawan Liga Suci, memimpin eskader Bumbu Hitam di perairan Sulu, bahkan menjadi mata-mata Anak Haram Lamuri.

Namun, tak hanya Si Ujud yang bergerak. Persaudaraan rahasia Kura-Kura Berjanggut berkali-kali mengirimkan pembunuh bayaran demi mendapatkan kepala Sultan Lamuri.

Siapa sebenarnya persaudaraan rahasia Kura-Kura Berjanggut, yang juga digunakan sebagai judul novel ini? Silakan temukan buku ini dan bacalah.

Menurut Tommy Hikmat, salah satu peserta Bincang Buku malam itu, perebutan tahta dari generasi sebelumnya ke generasi sesudahnya yang dikisahkan Azhari dalam Kura-Kura Berjanggut, sebenarnya lumrah terjadi pada masa-masa kerajaan seperti Kesultanan Lamuri. Kurang lebih mirip dengan cerita-cerita kerajaan lainnya yang sering kita baca atau tonton.

[nextpage title=”Kesulitan Mengakses Kura-Kura Berjanggut”]

Pada lembar ungkapan terima kasih, kita akan menemukan bahwa novel ini dikerjakan selama kurang lebih satu dekade, melewati berbagai penelitian dan diskusi yang melibatkan banyak penulis lain.

*Jika kita menilik pada sejarah, menurut T. Iskandar dalam disertasinya De Hikayat Atjeh (1958), diperkirakan bahwa Kesultanan Lamuri berada di tepi laut (pantai), tepatnya berada di dekat Krueng Raya, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Nangroe Aceh Darussalam.

H. M. Zainuddin, salah seorang peminat sejarah Aceh, menyebutkan bahwa kesultanan ini terletak di Aceh Besar dekat dengan Indrapatra, yang kini berada di Kampung Lamnga. Peminat sejarah Aceh lainnya, M. Junus Jamil, menyebutkan bahwa kesultanan ini terletak di dekat Kampung Lam Krak di Kecamatan Suka Makmur, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh.

Berdasarkan sejumlah data di atas, sejarah berdirinya dan letak kesultanan ini masih menjadi perdebatan di kalangan pakar dan pemerhati sejarah Aceh. Namun demikian, dapat diprediksikan bahwa letak Kesultanan Lamuri berdekatan dengan laut atau pantai dan kemudian meluas ke daerah pedalaman.

Persisnya, letak kesultanan ini berada di sebuah teluk di sekitar daerah Krueng Raya. Teluk itu bernama Bandar Lamuri. Kata “Lamuri” sebenarnya merujuk pada “Lamreh” di Pelabuhan Malahayati (Krueng Raya). Istana Lamuri sendiri berada di tepi Kuala Naga (kemudian menjadi Krueng Aceh) di Kampung Pande sekarang ini dengan nama Kandang Aceh.

Berdasarkan sumber-sumber berita dari pedagang Arab, Kerajaan Lamuri telah ada sejak pertengahan abad ke-IX M. Artinya, kesultanan ini telah berdiri sejak sekitar tahun 900-an Masehi.

Pada awal abad ini, Kerajaan Sriwijaya telah menjadi sebuah kerajaan yang menguasai dan memiliki banyak daerah taklukan. Pada tahun 943 M, Kesultanan Lamuri tunduk di bawah kekuasaan Sriwijaya.

Meski di bawah kekuasaan Sriwijaya, Kesultanan Lamuri tetap mendapatkan haknya sebagai kerajaan Islam yang berdaulat. Hanya saja, kesultanan ini memiliki kewajiban untuk mempersembahkan upeti, memberikan bantuan jika diperlukan, dan juga datang melapor ke Sriwijaya jika memang diperlukan.

Azhari mengisahkan Kura-Kura Berjanggut dengan menjadikan Kesultanan Lamuri sebagai latar utama cerita bukan tanpa alasan. Selain penulis sendiri adalah seorang Aceh, tantangan menulis tentang bajak laut dan sejarah maritim Indonesia di pantai barat Sumatera merupakan jalan panjang yang luar biasa menegangkan sekaligus melelahkan.

Sebagian besar peserta Bincang Buku berpendapat, dongeng Kura-Kura Berjanggut karya Azhari Aiyub ini cukup menarik sebab dipadu dengan beberapa fakta sejarah Nusantara yang kian hari kian dilupakan.

Akan tetapi, bagi Rio Hamu, salah satu peserta Bincang Buku yang mendapat kesempatan kedua menyampaikan hasil pembacaannya malam itu, padatnya materi yang ingin disampaikan penulis melalui buku ini membuat Kura-Kura Berjanggut (KKB) begitu melelahkan untuk dibaca. Azhari sepertinya tidak ingin menyia-nyiakan kerja dua belas tahunnya begitu saja, sehingga semua bahan yang ia miliki dibukukan dalam novel sangat tebal itu.

Lain lagi dengan pendapat Yuan Jonta, peserta Bincang Buku lainnya. Pertama kali ia membaca KKB, ia cukup terkejut, mengapa penulis terlibat di dalam cerita sebagai tokoh utama (Si Ujud) untuk novel setebal 960 halaman?

Menggunakan sudut pandang orang pertama tunggal, penulis tentu saja harus melihat dari berbagai macam sudut pandang (Helicopter View). Penulis sudah pasti membutuhkan kemampuan bercerita yang bagus untuk mendalami karakter tokoh, perasaan-perasaan yang dialami, serta situasi-situasi yang melatari kejadian di dalam cerita.

Apa yang diungkapkan Yuan, kemudian diduga kuat menjadi kesulitan bagi Ajen Angelina dan Febry Djenadut ketika membaca novel ini. Selain narator mengambil alih seluruh cerita, alur ceritanya yang maju mundur membikin aktivitas membaca menjadi sangat tidak nyaman.

Hal yang sama diungkapkan oleh Armin Bell. “Terkait keterampilan menciptakan alur cerita, pada bagian tertentu, penulis memancing kita dengan mengisahkan waktu yang baru, kemudian tiba-tiba saja sudah ada perpindahan waktu ke masa yang berbeda dengan tidak cukup meyakinkan,” tuturnya.

Menurutnya, paragraf yang menceritakan masa baru tersebut kadang tidak cukup kuat hubungannya dengan cerita pada paragraf sebelumnya; jika ditemukan hubungannya maka justru terdapat pada bagian yang berjauhan. “Situasi ini membuat pembaca tidak muda merasa dekat dengan tokoh manapun yang ada di dalam cerita,” kata Armin.

Sementara itu, menurut Febry tidak ada tokoh yang benar-benar menjadi jagoan di dalam novel ini.

Tentang tokoh-tokoh di dalam novel. Setelah membaca Kura-Kura Berjanggut di kesempatan pertama dan menemukan kesulitan mengakses peran para tokoh, maka di kesempatakan kedua, saya mencoba membuat semacam grafis penokohan dengan memisahkannya ke dalam dua bagian.

Pertama, tokoh yang paling sering diceritakan, dalam hal ini orang-orang yang berada di lingkaran Anak Haram dan Si Ujud. Kedua, tokoh-tokoh pendukung, yang hanya sekedar lewat demi melengkapi kebutuhan cerita. Cukup terbantu dengan cara ini, karena saya tidak perlu membolak-balik halaman lagi untuk memahami cerita ketika terjadi perpindahan karakter.[nextpage title=”Mengapa Kita Lelah Membaca Kura-Kura Berjanggut?”]Marcelus Ungkang, Dosen Sastra di UKI St. Paulus Ruteng yang juga menjadi salah satu peserta Bincang Buku malam itu menuturkan faktor-faktor yang menyebabkan pembaca merasa cukup sulit menikmati dongeng Azhari Aiyub ini.

Pertama, penulis berusaha meng-cover banyak hal di buku ini (atau barangkali karena memang begitu banyak bahan yang ia miliki) maka pembaca seperti melihat sesuatu yang begitu jauh jaraknya. Usaha tersebut justru membuat pembaca kehilangan detil cerita.

Beberapa hal di dalam buku ini, bagi Marcelus, sangat tidak meyakinkan. Pada bagian-bagian tertentu ketika detil dibutuhkan, malah tidak dimunculkan oleh penulisnya. Misalnya di fase-fase krusial seperti, bagaimana Anak Haram dan Asoekaya berkomunikasi melalui permainan catur.

Perihal itu, hanya disebutkan pembukaan pertama dan kedua lalu selesai. Sama sekali tidak meyakinkan. Setelah pembaca dibuat antusias dan sangat penasaran, tidak digambarkan strategi yang dimaksud dengan terperinci. Jika pembaca yang sangat ingin tahu, hal tersebut bisa sangat membikin frustrasi.

Kedua, untuk menjawab keingintahuan tentang rasa lelah ketika berusaha menyelesaikan novel KKB ini, Marcelus memaparkan sebuah teori terkait time order dan teks orderTime order: waktu – masa lalu, masa kini, masa depan; teks order: peristiwa – bagaimana waktu diproyeksikan menjadi intensitas.

Sebagai pembanding, Marcelus mengambil contoh bagaimana Paulo Coelho bercerita dalam Veronica Memutuskan Mati. Adegan menuju bunuh diri dalam novel itu sebenarnya hanya membutuhkan waktu sekitar 10 menit. Tetapi Paulo Coelho membutuhkan hampir 20 halaman untuk mengisahkannya. Bagaimana waktu bisa menjadi sangat panjang, pendek, dangkal atau dalam, itu menjadi persoalan teks order.

“Azhari memiliki kelemahan pada bagian ini. Bayangkan, begitu banyak tempat yang didatangi Si Ujud, orang-orang yang ia jumpai, momen-momen penting yang dilewati, semuanya diceritakan hanya dalam satu hingga dua kalimat,” jelas Celus.

Ada bagian tertentu Azhari memang menjadikannya lebih panjang, dan itu terbaca sempurna. Yaitu pada bagian Si Ujud bertemu Laila dan bagaimana Laila menyembuhkan Setan Colombus yang Si ujud derita. Bagian tersebut dikisahkan cukup panjang dan detil, tetapi kemudian setelah Si Ujud meninggalkan Bumbu Hitam dan kembali ke Lamuri, cerita tentang Laila menghilang begitu saja.

“Tokoh yang semula dianggap penting, juga dinantikan kemunculannya kembali oleh pembaca, justru menghilang hingga akhir cerita,” ungkap Celus.

Menurutnya, jika kita membuat perbandingan lagi dengan Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi, yang memang memiliki alur dan plot cerita yang kurang lebih sama—balas dendam dan petualangan—maka kita akan menemukan bahwa teks order pada RMSPDS jauh lebih bagus. Penulis tahu, kapan suatu kejadian mesti diintensifkan, bagaimana membedakan antara waktu obyektif dan waktu psikis.

Contoh waktu psikis: seperti orang yang sedang duduk pacaran, sudah berdua hampir empat jam tetapi seolah-olah baru lima menit berlalu. Sebaliknya, orang yang sedang menunggu kabar. Baru sepuluh menit menunggu, seakan-akan sudah satu jam.

[nextpage title=”Membandingkan Kura-Kura Berjanggut dengan RMSPDS”]Di RMSPDS, bab “Berlayar ke Barat” dikisahkan dengan sangat intensif oleh penulis. Pembaca seolah-olah ikut melakukan perjalanan tersebut bersama Sungu Lembu, Raden Mandasia dan Loki Tua.

Hal-hal seperti di atas yang tidak ditemukan saat membaca Kura-Kura Berjanggut. Semua disampaikan lebih seperti kronologi sebuah kejadian. Waktu-waktu objektifnya ditonjolkan, tetapi tidak dengan waktu psikis. Sehingga ilusi perjalanan yang ingin disampaikan penulis sama sekali tidak sampai kepada pembaca sebab pembaca tidak menemukan pengaturan yang sesuai dengan porsi yang benar.

Kapan bagian yang satu harus diintensifkan dengan pendek, kapan bagian yang lainnya mesti diintensifkan lebih panjang dan seterusnya.

Ketiga, dalam konsep filsafat, kita memahami sesuatu melalui waktu. Sebab kita mengorganisasikan waktu sebelum ada jam dan melakukan segalanya dengan pola naratif.

Menjadi melelahkan karena Azhari menggunakan teks penunjuk waktu dan penunjuk tempat. Temporal dan Spasial. Waktu yang progresif, baru beberapa kali maju, bisa mundur kembali ke belakang.

Dalam hal ini, cara tersebut tidak begitu baik untuk meta kognitif pembaca. Seorang penulis yang baik, seharusnya terampil dalam hal ini.

Ada beberapa bagian di mana Azhari cukup baik meta kognisinya. Kognisi, berpikir tentang berpikir, seperti saat ahli nujum kedua dipanggil terkait mutiara hitam. Bagian ini, Azhari terlihat mengantisipasi pembaca, apakah masih mengikuti jalan cerita atau tidak?

Keempat, penulis memang terlihat tidak begitu baik dalam mengorganisasikan tokoh. Jika dibuat struktur naratifnya, Si Ujud sebagai narator kadang terlalu banyak tahu daripada tokoh/karakter. Itu buruk!

Selain itu, sangat melelahkan bagi pembaca ketika harus menghafal nama-nama tokoh yang begitu banyak dan memahami perannya dalam cerita.

George Martin, penulis serial Game of Thrones, mengatasi kontradiksi tokoh-tokoh yang banyak dalam ceritanya dengan memenggal bab-bab berdasarkan peran tokoh-tokoh tersebut. Sehingga kemudian, sudut pandang cerita dikontrol dari sudut pandang para tokoh. Sementara di KKB, semua tokoh diambil alih oleh narator (Si Ujud).

Pada penutup komentarnya, Marcelus menyampaikan poin yang terakhir. Kelima, menurut Marcelus, pengetahuan Azhari tentang fungsi-fungsi tokoh belum terlalu bagus.

Tidak jelas masing-masing tokoh berada di posisi yang mana. Si Buduk misalnya, salah satu tokoh yang sangat menarik (Shapeshifter) dalam novel ini, dan berpotensi untuk lebih menghidupkan cerita. Sayangnya, tidak digambarkan begitu bagus oleh penulis.

Akan tetapi, membayangkan penulis mengerjakan novel setebal 960 halaman, menurut Marcelus, penulis sendiri pasti mengalami banyak kesulitan. Sangat melelahkan.

Seandainya Kura-Kura Berjanggut Dijadikan Berseri

Setelah mendengarkan leraian panjang tentang permasalahan teknis pada novel Kura-Kura Berjanggut, dr. Ronald Susilo yang juga hadir pada Bincang Buku malam itu kemudian menyampaikan hasil pembacaannya.

Kura-Kura Berjanggut sebenarnya adalah dongeng yang sangat menarik. Bagian pertama, Buku Si Ujud itu, luar biasa sekali. Namun pada bagian kedua dan ketiga, Buku Harian Tobias Fuller dan Catatan Perjalanan Jean Claude (Lubang Cacing), ia mengungkapkan bahwa, ia sepertinya kehabisan stamina untuk membaca.

Seandainya penulis memenggal tiga buku tersebut ke dalam beberapa jilid yang berbeda, mungkin akan lebih efisien dan nyaman bagi pembaca untuk menikmati dongeng panjang tentang kerajaan maritim, perompak dan bajak laut tersebut.

***

Kura-Kura Berjanggut merupakan buku kedua Penerbit Banana yang dibahas di Bincang Buku Klub Buku Petra. Setelah membaca dua buku ini, para peserta melihat ada kecenderungan bahwa buku-buku terbitan Banana adalah dongeng dengan latar sejarah yang dikemas menarik oleh para penulisnya. Tommy Hikmat bahkan menyampaikan terima kasih di akhir acara kepada penerbit ini.

Memahami Rasa Lelah yang Disebabkan Kura-Kura Berjanggut

Malam itu, Kura-Kura Berjanggut diberi Bintang Tiga oleh para peserta yang hadir; Ucique Jehaun, Armin Bell, Yani D-, Yuan Jonta, Maria Pankratia, Rio Hamu, Ajen Angelina, dr. Ronald Susilo, Tommy Hikmat, dan Febry Djenadut yang menitipkan hasil pembacaannya.

Bincang Buku edisi Delapan akan berlangsung pada Kamis, 22 Agustus 2019. Buku yang akan dibicarakan adalah Pemenang Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2018, Orang-Orang Oetimu karya Felix K. Nesi. Penulisnya akan hadir di Ruteng. (*)

——————————————————

*Sejarah Kerajaan Lamuri – tengkuputeh.com

Komentar Anda?