Menu
Menu

Salah satu yang unik dari musik Black Finit adalah sentuhan riddim gitar orisinal darinya yang kerap menjadi fundamen dari rhythm keseluruhan lagu. Modelnya bisa macam-macam.


Oleh: Eka Putra Nggalu |

Bergiat di Komunitas KAHE. Sedang mempelajari teater/seni pertunjukan sebagai disiplin. Kini menjadi pengarah dan pemimpin program Crossing Borders, sebuah proyek kesenian partisipastif yang melibatkan penggiat Komunitas KAHE dan warga komunitas Bajo di Kampung Wuring-Maumere. Proyek ini adalah inisiatif Komunitas KAHE, bekerja sama dengan Teater Garasi dan didukung oleh Voice Global.


Maumere, Juni 2019. Saya dan Gerson duduk berhadap-hadapan di salah satu lopo café Biggong Tedang Kopi, di daerah Lokaria.

Spasi di antara kami diisi sebotol moke merah, beberapa cangkir, dan kuah asam hasil olahan tangan Mama Jabok, juru masak di café itu. Malam sudah sangat larut, sekitar pukul dua waktu Indonesia tengah, tetapi soundsystem belum benar-benar mati. Black Finit—sapaan panggung Gerson yang diakui sebagai musisi reggae Indonesia itu—masih memeluk gitarnya. Kami memang sudah sama-sama mabuk. Dan bagi orang Timur, itu adalah kondisi paling pas untuk mengeluarkan suara malaikat yang sejak lahir dititipkan oleh Tuhan dalam tubuh kami. Tidak hanya dua kali, kami bisa bernyanyi lima kali lebih merdu dari biasanya.

Black Finit meminta saya menyalakan aplikasi perekam suara di samsung tua saya. Ia ingin menyanyikan sebuah lagu yang jarang sekali terdengar di publik. Lagu itu hanya dipakai untuk soundtrack sebuah film pendek karya seorang kawannya di Jogja, tempat Black tinggal dan berkarya selama ini. Dan malam itu, ia akan bernyanyi khusus untuk saya. Begitu katanya; hal yang bisa jadi tidak terulang di lain waktu. Saya percaya saja.

Sambil menyiapkan perekam suara, saya mencari-cari sesuatu untuk dijadikan perkusi, mengiringi petikan gitarnya. Setelahnya, sejak petikan gitar pertama, saya hanya memejamkan mata, duduk menikmati suara berat dan parau Black Finit yang membelah malam, isi mengisi dengan desiran subtil ombak, melupakan gigil akibat angin dingin yang bertiup dari pinggiran pantai tempat kami duduk ke arah laut Flores yang pekat membentang.

Ambilah cinta, bawa sertamu. Kau dan aku selamanya di hati. Ku ‘kan bermain bahagia di jalanan. Hingga waktunya, kau tak akan terlupakan.

Kisah Merintis Jalan dari Jalanan

Black Finit datang ke Jogja pada 2002. Sejak menghabiskan malam pertamanya di jalanan kota itu, ia percaya bahwa mimpinya menjadi seorang musisi bakal terwujud. Di situ. Ia merintis jalan sebagai musisi dari satu angkringan ke angkringan yang lain. Bermodal sebuah gitar bekas seharga Rp. 50.000,00 yang dibeli dari seorang pengamen, ia mulai mengamen di daerah kali Code yang kala itu masih ramai tempat makan.

Pada 2003, ia mulai menulis lagu dan aktif bersama sebuah band melodic punk yang didirikan bersama dua temannya. Band itu diberi nama St. Jimmy, terinspirasi dari salah satu lagu Green Day, grup band punk asal Amerika yang ketika itu sedang naik daun. Karena cuma bertiga, mereka sering meminta penjaga studio rekaman yang mereka sewa untuk menjadi additional player. Kadang mengisi posisi bassist, kadang keyboardist. Dalam perjalanan, ia bertemu dengan beberapa band reggae seperti Marapu Band, hingga membentuk grup band sendiri bernama Revolution, beranggotakan sesama perantau dari Maumere. Salah satu single Revolution, Love is Spread Out sempat hits di radio-radio Jogja yang punya sesi khusus untuk memutar lagu-lagu indie. Di masa-masa itu, uang hasil ngamen lebih banyak habis untuk sewa studio daripada untuk makan.

Tidak hanya mengamen, ia pun kerap bekerja sebagai tukang parkir untuk menyambung hidup. Tak jarang ia dihajar preman setempat, tegal lahan parkir. Namun, dirinya tak pernah kapok dan selalu kembali esok hari. Prinsipnya sederhana. Tak kenal, maka tak sayang. Menurutnya, preman-preman itu belum kenal betul siapa dia. Ia datang cari teman, bukan cari musuh. Kelak, ketika ia mulai manggung di café-café, preman-preman itulah yang menjadi fans sekaligus tim publikasi pertamanya. Cerita tentang Black Finit mulai beredar dari mulut ke mulut.

Pada 2009 ia mulai berhubungan dengan geng Shagy Dog, bekerja serabutan di Doggy House, basecamp band ini. Di sana, ia berkenalan dengan Heruwa, vokalis Shaggy Dog yang percaya kalau Black Finit punya potensi musikal dan bakat performance yang luar biasa. Tahun 2012 ia ikut ajang Hard Rock Rising. Meski tidak juara, ia mendapatkan piagam penghargaan favorit dari 5 label nasional sekaligus. Nama Black Finit kian mengudara.

Sulit memang bercerita soal Black Finit dari diskografinya, karena belum banyak album yang dia publikasikan. Banyak single-nya tercecer di berbagai platform digital, baik dalam bentuk yang sudah selesai, demo, atau pun live jamming session. Namun secara sederhana, diskografi Black Finit bisa dilacak mulai dari 25 November 2011 ketika ia merilis album EP berisi 6 lagu, Kiri Kanan, menggunakan label Gong Waning Production—yang diinisiasinya sendiri. Kompilasi lagu-lagunya yang lebih lengkap dirilis tahun 2015 dan remastered pada tahun 2019 dalam album bertajuk Digiyo Digiye, di bawah label DoggyHouse Records. Dari sana, kita dapat merasakan atmosfir reggae yang kental dan juga unik dari Black Finit. Ia memberi warna yang berbeda dari top artists reggae Indonesia semisal Tony-Q, Steven & Coconut Treez, Gangstarasta atau Ras Muhamad.

Pada masa-masa setelahnya, Black Finit tidak menciptakan album, tetapi banyak single hitsnya bisa dilacak di spotify, dan beberapa platform youtube seperti Eastbae Project, Soba Studio, DoggyHouse dan akun pribadinya, Black Finit dalam beragam nuansa dan bentuk.

Diskografi Lintas Genre

Salah satu yang unik dari musik Black Finit adalah sentuhan riddim gitar orisinal darinya yang kerap menjadi fundamen dari rhythm keseluruhan lagu. Modelnya bisa macam-macam. Bisa pola melodi yang bergerak konstan dalam beberapa bar lagu. Pola melodi gitar ini, pada beberapa lagu diganti dengan beragam sound effect yang variatif. Model yang lain adalah hentakan iringan yang membentuk tempo dan mengatur flow keseluruhan lagu. Beberapa yang paling mencolok misalnya pada lagu Bang Pello, Blague Indo, atau Easy and Slow. Semuanya ada di album Digiyo Digiye.

Di lagu-lagu terbarunya yang dirilis ke publik secara lebih mandiri, pola melodi dan ritme yang ia mainkan sangat dekat dengan nuansa folk, terutama dari nuansa musik etnis krowe, Maumere-Kabupaten Sikka, tempat ia lahir dan dibesarkan. Di lagu Damai Natal, atau Tana yang dimainkan dalam format kolaborasi bersama Ssaksin dan Gaya Jing misalnya, sentuhan folk itu muncul sangat kuat baik dalam rhythm yang kental dengan motif gong waning, melodi lagu, cara bernyanyi, hingga syair yang menggunakan dwi bahasa, bahasa Indonesia dan bahasa krowe. Kita seperti sedang mendengar seorang lelaki krowe bernyanyi mengiringi sako jung, sebuah praktik kerja kebun dengan iring-iringan nyanyian para pekerjanya, yang dilakukan secara bergotong royong oleh masyarakat etnis krowe.

Dari lagu Tana ini, kita juga kemudian bisa mengenal salah satu kecenderungan Back Finit untuk mengolah ke-konstan-an, kesederhanaan, pola yang berulang dalam lagu-lagunya, seperti mantra-mantra dalam meditasi Timur Tengah. Hampir tidak terdengar irama reggae di lagu-lagu model ini, yang belakangan sangat intens digarapnya dengan beberapa artis dan produser musik lokal Maumere. Meski konstan dan sederhana, musiknya tidak hambar dan membosankan. Aura kedalaman dan kekuatan refleksi dari Black Finit masih sangat tajam diwujudkan dalam pilihan sound dan syairnya.

Di beberapa lagu terbarunya, semisal Sadang Bui yang juga dinyanyikan Dian Sorowea dan diproduksi oleh Eastbae Project, nuansa folk khas krowe, melodi yang sederhana, syair yang mudah diulang pun diingat, tempo yang sedikit berat dan subtil yang tidak menimbulkan kantuk tetapi justru membawa pendengar pada situasi sublime dan tenang, sangat matang diolah dan ditampilkan. Kesederhanaan yang sama ada pada lagu lainnya dengan sentuhan masing-masing yang khas, seperti Bawa Sertamu dan Biar Waktu Bicara yang reflektif, Mimpi Indah yang childish dan mirip lullaby, hingga sentuhan country pada Lagu Taman yang diciptakannya bertahun-tahun lalu dan hanya popular dari satu panggung konser ke panggung konser lainnya. Lagu-lagu ini jauh dari nuansa reggae. Lagu lain dengan tampilan sederhana tetapi masih punya nuansa reggae misalnya Etudepen dan 420 Sore. Meski jika didengar lebih teliti, keduanya akan lebih enak dan progresif jika dimainkan dengan sedikit sentuhan blues atau jazz.

Belakangan, Black Finit bereksperimentasi dengan musik-musik elektronik atau yang akrab dikenal dengan istilah EDM (Electronic Dance Music). Beberapa lagunya seperti Mims, No Rules, dan Pink Dinner, atau Here I am yang merupakan hasil kolaborasi dengan Soba Studio dan 8 Digit Music adalah contohnya. Dalam single-single ini, kita hampir tidak menemukan identitas reggae yang stereotype dengan Black Finit, selain kulit hitam dan rambut gilmbalnya yang hanya bisa terlihat pada live jamming session. Bebunyian sintetis, suara-suara yang dieskplorasi dari alam dan lingkungan sekitar, tone dari alat musik konvensional, hingga vokal manusia berpadu menjadi satu komposisi yang menawarkan pengalaman mendengarkan dan mengalami musik yang sama sekali lain dari warna, gaya musik, juga cara bermusik Black Finit sebelumnya.

Black Finit, seperti berkali-kali, berhasil bilang dan membuktikan kepada orang-orang yang suka mendengarkan ia bernyanyi bahwa ada banyak jalan menuju Roma, ada banyak jalan mengapresiasi musik, ada banyak jalan mengalami musik, ada banyak jalan memainkan, mendengarkan dan menikmati musik. Only rainbow can stop the rain.

Apakah pengalaman di jalanan berpengaruh pada hasil karya? Baca bagian selanjutnya…

[nextpage title=”Lagu-Lagu yang Bercerita”]

Karya-karya Black Finit juga sangat kuat karena menyimpan banyak sekali metafora, alegori, dan referensi yang menarik.

Pengalamannya di jalanan membuat ia peka terhadap situasi orang-orang di sekitarnya. Lagu Dedy Dewi yang hit adalah rekaman pengalamannya bersama seorang teman yang siang hari menjadi buruh bangunan, tetapi malam hari mangkal di lampu-lampu merah sebagai seorang waria. Dalam lagu itu ia menulis: tak ada yang salah, tak ada yang benar, hidup adalah pilihan. Orang-orang yang mengenal Black Finit akan langsung tersenyum mendengar kalimat yang sangat tipikal dengan dirinya. Black Finit, sangat menghargai perbedaan, dan pemikiran-pemikiran kritis. Ia menolak status quo dan mengidam-idamkan masyarakat yang setara. Ketika ia diminta menyanyikan lagu Bukan Puisi (2019), ia merasa lagu itu cocok dengannya. Tidak hanya secara estetis, tetapi juga politis. Nuansa yang sama bisa dirasakan di beberapa single lain seperti Bang Pello, Love is Spread Out dan lagu-lagu lain di mini albumnya bersama Revolution.

Di lagu Sadang Bui, ia menampilkan kualitas sastrawi yang dalam pada liriknya. Meskipun secara sekilas terdengar seperti sebuah lagu cinta, lagu Sadang Bui adalah salah satu kritik Black Finit terhadap kebijakan penggantian nama tempat yang dilakukan secara serampangan oleh pemerintah. Sadang Bui adalah frasa bahasa Krowe yang secara sederhana berarti bersandar (sadang), menunggu/menanti (bui).

Sadang Bui sendiri dulunya adalah nama pelabuhan di kota Maumere. Beberapa tahun lalu, pemerintah mengganti nama pelabuhan itu menjadi Lorens Say, yang mengacu pada nama salah satu Bupati Kabupaten Sikka. Bagi Black Finit, penggantian nama itu serentak menghapus ingatan kolektif, kisah historis, dan nilai kultural dari tempat itu yang justru lekat dan dekat dengan kehidupan masyarakat kota Maumere, dan Kabupaten Sikka umumnya. Baginya, nama mantan bupati tidak lebih penting untuk menggantikan nama Sadang Bui yang diberi nama oleh orang-orang kampung, bersandar dan menanti. Sadang Bui telah lebih dahulu hidup di hati dan sanubari para orang tua yang menanti anak-anak mereka pulang kuliah, para ibu dan anak-anak yang menanti para lelaki mereka yang pergi merantau, menjadi TKI di Malaysia, para kekasih lelaki dan perempuan yang terpisah jarak oleh karena bermacam-macam alasan, dari ekonomi hingga politik.

Dalam lagu itu, Black Finit menulis: sadang bui/sadang e wulan/sadang e leron/waten bui megu mai. Sadang Bui bisa berarti nama tempat, nama pelabuhan di Kota Maumere yang penuh kenangan, bisa juga diterjemahkan sebagai bersandar dan menanti. Sementara sadang e wulan bisa diterjemahkan menjadi bersandar di bulan. Kata bulan dapat diartikan secara harafiah sebagai benda langit yang bersinar di waktu malam. Namun, kata bulan dalam struktur kalimat tersebut, bisa bermakna bersandar/menaruh kerinduan selama berbulan-bulan. Selanjutnya, sadang e leron bisa diterjemahkan menjadi bersandar pada mentari. Di sini, pola yang sama diulang. Mentari secara harafiah berarti benda langit yang menerangi hari/siang. Namun padanan kata dalam kalimat tersebut bisa bermakna bersandar/menaruh kerinduan hari demi hari. Menariknya, kata wulan dan leron, sangat identik dengan persona wujud tertinggi yang ber-genus maskulin dan disebut dalam frasa Ama Lero Wulan Reta (Bapa Matahari Bulan yang Ada di Atas) yang berpasangan dengan Ina Nian Tana Wawa (Mama Bumi Tanah, yang Ada di Bawah). Syair yang mengikuti kedua syair di atas berbunyi, waten bui megu mai, bisa diterjemahkan menjadi hati menunggu kekasih datang.

Keseluruhan syair di atas memiliki kelindan makna yang dalam dan terbuka pada berbagai macam tafsir. Salah satunya bisa dibaca seperti ini: di pelabuhan Sadang Bui, seseorang berenjana, sedang menanti kekasihnya yang berada di tempat yang jauh datang/kembali. Dalam penantiannya yang panjang, hari demi hari, bulan demi bulan, ia titipkan segala kerinduannya kepada tuhan, yang jauh di langit sekaligus dekat di hati. Bait ini ditegaskan oleh larik-larik pada bait selanjutnya yang tidak kalah puitis: apu piru megu ‘e waten na’i reta dala poi tena ‘au. Kalimat ini secara sederhana berarti peluk cium sayang yang ada di hati, (ku)letakan pada bintang-bintang hanya untukmu. Yang menarik, dala atau bintang dalam kosmologi suku krowe juga berarti harapan. Bintang tidak sekedar merujuk pada benda langit semata, tetapi juga berarti seluruh cinta, doa, dan penantian sang kekasih itu ditempatkan pada harapan yang selalu bercahaya di kegelapan. Harapan yang tidak pernah pudar.

Dalam lagu Sadang Bui, Black Finit bermain-main dengan metafora, kosmologi, dan imaji visual yang kaya serta berpijak pada kearifan budaya. Ia bermain-main dengan makna konotasi sekaligus denotasi, bahasa yang arbiter sekaligus kontekstual dan imajinatif. Saya tidak tahu apakah Black Finit rajin membaca Injil, tetapi yang pasti lirik lagu ini amat puitis dan memuat tiga batu sendi penting Kristianitas: cinta, iman, dan harapan. Kultur religius yang juga turut membentuk dirinya. Namun yang pasti, ia melampaui seorang musisi: ia adalah seniman. Di tangannya bahasa yang terbatas menjadi begitu kaya dan bisa mewakilkan banyak perasaaan dan pemikiran.

Pada 26 September 2020 yang lalu, Black Finit meninggal dunia. Jenazahnya, yang diterbangkan dari Jogja, dijemput oleh seluruh rekan, teman, sahabat, dan penggemarnya di nian tana Sikka. Bandara Frans Seda Maumere penuh sesak. Massa melakukan pawai, menghantar jenazah beliau ke RSUD TC. Hilers Maumere. Tak peduli situasi pandemi Covid-19, tidak peduli harus dibubarkan polisi berkali-kali. Massa tetap solid. Semua musisi Maumere dari berbagai generasi, dari yang sering mangkal di tenda-tenda pesta, café-café, kampanye pilkada, channel youtube hingga yang keluar masuk tivi. Semua berkumpul di rumah duka, bernyanyi dan memainkan lagu-lagunya, memberikan penghormatan dan perpisahan terakhir bagi Sang Legenda. Yang sering sikut dan mencaci menjadi cair dalam satu lingkaran, yang sering mencari jalan sendiri-sendiri bergilir sloki sambil berbagi cerita.

Obrolan bersama Black Finit di acara pameran KAHE Exhibition Anak dan Rumah tahun 2019 yang lalu, membuat kami sama-sama menarik kesimpulan begini: seni menyembuhkan luka, menghantar orang menemukan dirinya, memberi keberanian untuk memaafkan dan menerima diri. Dan Black Finit kiranya telah mengalami itu. Ia ingin semua orang yang percaya pada kesenian mengalami itu. Seni memersatukan. Seni mencairkan ketegangan, menerobos sekat-sekat pembatas. Black Finit adalah salah satu yang mewujudkannya. Ia adalah seni, adalah mahakarya itu sendiri.

Malam itu, setelah menyanyikan Bawa Sertamu untuk teman minumnya, Black Finit mengulang kembali keinginan yang sudah sering sekali ia sampaikan, baik sebagai nasihat maupun curhatan. Keinginan itu sempat ia utarakan lagi ketika kami bercakap dalam sambungan telepon beberapa waktu sebelum ia pamit untuk selamanya. Katanya, setiap orang ada masanya, dan di setiap masa ada orangnya. Kalimat itu hanya bisa dikatakan oleh orang yang percaya dan berani untuk membuat sejarah. Setelah mati, kau mau dikenang seperti apa? Dengan cara yang bagaimana?

Lalu sepi. Hanya desir angin dan suara perahu motor yang kian menjauh…

Sayang, ia sudah pergi, tanpa sempat merasakan dan mengalami seperti apa ia dikenang oleh semua yang hari-hari ini berduka atas kepergiannya. Atau mungkin memang benar, semua yang ada di dunia ini, termasuk keinginan terdalam setiap manusia, hanyalah kefanaan semata-mata.

Semua kan indah pada waktunya. Semua berpijar pada waktunya. Lakukan yang kau bisa. Jadilah yang kau mau. Biar waktu yang bicara.

Selamat Jalan Wue ami du megu. Horo da’a reta seu, lape pitu! (*)


Baca juga:
Posisi Sastra di Maumerelogia IV
Puisi-Puisi Muhaimin Nurrizqy – Cinta dan Ganja

Komentar Anda?