Menu
Menu

Ada banyak momen ‘tiba sebelum berangkat’ dalam novel ini.


Oleh: Maria Pankratia |

Notulis


Sebelas orang hadir malam itu di Perpustakaan Klub Buku Petra. Seperti biasa, kami duduk mengelilingi meja dan berdiskusi, membicarakan novel kedua Faisal Oddang, Tiba Sebelum Berangkat (KPG, 2018). Gregorius Reynaldo bertindak sebagai pemantik.

Rey membukanya dengan menuturkan penemuannya bahwa, di tahun 2016 naskah Tiba Sebelum Berangkat pernah diikutkan dalam Kompetisi Novel Dewan Kesenian Jakarta, dan hanya menembus 25 besar. Hal yang menarik adalah, pertanggungjawaban dewan juri saat itu, khususnya poin 4, yang berbunyi: … Apabila naskah-naskah peserta Sayembara ini dapat dianggap sebagai representasi atas cara sebagian orang Indonesia memandang Indonesia, yang tampak adalah betapa riwayat kekerasan dan luka Indonesia menjadi bahan bakar cerita yang paling digemari. Sayangnya, tidak semua sejarah direkonstruksi sebagai sebuah cerita yang segar. Semua minim pengalaman kontemplatif. Konsekuensinya, lagi-lagi, kami seperti sedang membaca karya nonfiksi yang tidak menawarkan apa-apa selain sekadar pengingat akan luka bangsa sendiri.

“Entah mengapa, setelah membaca novel ini dan menemukan pertanggungjawaban dewan juri tersebut, saya lalu merasa poin ini sangat identik dengan Tiba Sebelum Berangkat. Novel ini berkisah tentang riwayat pemberontakan DII/TII di Sulawesi Selatan pada tahun 1950-an, jika melihat lagi pertanggungjawaban di atas, saya tidak tahu, mungkin saja benar novel ini masuk dalam kategori tersebut, yang sangat minim kontemplasi, yang pada akhirnya tidak menawarkan apa-apa selain sejarah kekerasan dan luka masa lalu Bangsa Indonesia. Namun demikian, jujur saya katakan, saya sangat menyukai novel ini karena kepadatannya. Intens sekali. Mengangkat konflik sejarah yang apabila kita perhatikan lebih seksama, masih sangat relevan sampai dengan hari ini,” jelas Reynald.

Rey kemudian melanjutkan pembahasannya tentang Bissu di Sulawesi Selatan. “Bicara tentang lima gender di Sulawesi, pada mulanya, saya pikir ini adalah karangan Faisal sepenuhnya. Sesuatu yang muncul dari kepalanya. Akan tetapi, saya lalu melakukan beberapa investigasi dan dari beberapa situs di internet, saya menemukan bagaimana budaya Bugis mengakui kelima jenis kelamin yang telah hidup dan melebur dalam tradisi dan budaya mereka sejak berabad-abad lalu. Dan kini, tradisi itu terancam punah. Hal-hal yang kemudian membuat saya tertarik terutama karena sejarah LGBT yang belakangan mulai ramai dibicarakan, harus dipandang dengan cara lain di Sulawesi Selatan. Apakah benar Bissu di Sulawesi Selatan masuk dalam kelompok LGBT? Atau sebenarnya kita harus melihat ini secara terpisah karena memang budaya ini telah hidup sejak lama? Bisa jadi ketidakpahaman banyak orang yang akhirnya menyederhanakannya begitu saja, begitu terburu-buru memasukkan Bissu ke dalam kategori yang kita kenali sebagai LGBT. Saya pikir, jika novel ini dibaca beberapa tahun lagi, dia masih relevan dan layak untuk dibicarakan,” tutur Reynald.

Rey juga menambahkan, hal yang cukup membikin novel ini seru untuk dibaca adalah bagaimana Faisal mengisahkan Bissu yang berkonflik dengan kelompok-kelompok mayoritas, berkonflik juga dengan Negara oleh karena Undang-Undang.

Menurut Rey, dari novel ini, kita bisa melihat pandangan masyarakat Indonesia Timur terhadap Indonesia secara keseluruhan, pun sebaliknya. Rey juga menyatakan antusiasnya terhadap novel ini. “Ini tipikal novel yang menurut saya bisa dihabiskan dalam sekali duduk. Bahasanya mudah dipahami, temponya cepat, transisi dari bab yang satu ke bab yang lain berhasil membuat penasaran pembaca. Tidak sulit. Dan mungkin bagi teman-teman yang agak sedikit merasa ngilu di beberapa bagian, atau terlalu jorok, terlalu sadis, dan lain sebagainya. Kita jelas berbeda. Karena saya justru menikmati cerita-cerita seperti ini,” tutup Reynald.

Setelah Reynald, Nadya Tanja yang menyampaikan hasil pembacaannya. Nadya yang malam itu baru pertama kali bergabung menyatakan keheranannya. “Saya baru tahu bahwa di Sulawesi Selatan, khususnya Suku Bugis, ada lima gender yang diakui: Laki-Laki, Perempuan, Calabai, Calalai, dan Bissu. Tentang Bissu, jika melihat fungsinya setelah membaca novel ini, saya melihat ada sedikit kesamaan dengan Tua Adat di Manggarai. Di mana untuk hal-hal tertentu, masyarakat akan datang untuk meminta pendapat atau masukan, seperti dalam bidang pertanian, penyakit, dan lain sebagainya. Saya suka novel ini, karena Faisal juga bicara tentang pola pikir yang tumbuh akibat kebiasaan. Kisah Mapatta dan Batari, Alibaba, maupun tokoh-tokoh lainnya, memberikan sudut pandang baru yang perlu dimaknai lebih jauh oleh saya sebagai pembaca,” tutup Nadya.

Selanjutnya ada Tio, yang malam itu datang bersama Gerson. Bagi Tio, ada beberapa hal yang ia dapatkan setelah membaca novel Tiba Sebelum Berangkat. “Satu hal yang sangat membekas adalah tentang pengkhianatan. Bagaimana ibunda Mapatta mengkhianati bapaknya dengan menikahi lawan politik bapaknya. Hubungan Puang Matoa Rusmi dan Andi Upe yang sangat rumit. Mapatta yang pada akhirnya dikhianati oleh Batari, yang kemudian memilih kabur dengan Sumiharjo. Puang Matoa Rusmi terhadap Mapatta, yang memanfaatkannya menjadi Taboto dan kemudian melantiknya menjadi Bissu tanpa sepengetahuan Bissu lain, dan mungkin masih banyak lagi,” tutur Tio.

Bagi Tio, novel ini mengajarkan banyak hal tentang kehidupan: “Ada beberapa kutipan yang sangat berkesan bagi saya dari novel ini, yang pertama di halaman 20 ketika Puang Matoa Rusmi menasihati Mapatt; Hidup ini, nak, adalah perang melawan masa lalu dan pertaruhan untuk mengalahkan masa depan. Kutipan ini secara tidak langsung mengingatkan saya untuk tidak berlarut-larut dengan kesalahan di masa lalu, saya sebaiknya fokus untuk pertaruhan yang berikutnya di masa depan yang serba tidak pasti. Yang kedua di halaman 77 ketika Batari mengajak Mapatta mengunjungi makam. Mapatta mengatakan: saya belajar banyak dari kehilangan. Salah satunya kini saya mengerti bahwasannya satu per satu dari diri kita akan hilang perlahan. Dan satu-satunya yang bisa kita jadikan alasan untuk kuat menghadapinya adalah hanya satu kenyataan bahwa kita memang tidak pernah memiliki apa-apa, bahkan ketika kita bercermin, seseorang di dalam cermin itu, bukan milik kita,” tutup Tio.

Bagian selanjutnya tentang gaya bahasa dalam Tiba Sebelum Berangkat

[nextpage title=”Tiba Sebelum Berangkat: Mengalir dan Dekat”]

Setelah Tio, Gerson mendapatkan kesempatan membagi pengalaman membaca novel karya Faisal Oddang ini.

Bagi Gerson, novel ini tidak terlalu berat karena gaya penceritaannya yang mengalir dan gaya bahasanya yang sangat dekat dengan keseharian kita di Manggarai. Saat membaca novel ini, Gerson juga tengah membaca buku lain, Cara Menulis Kreatif karangan Ayu Utami. Ada beberapa hal yang coba ia bedah dari novel Tiba Sebelum Berangkat berdasarkan penjelasan Ayu Utami dalam buku tersebut, khususnya tentang perkembangan tokoh utama, Mapatta.

Bagi Gerson, karakter Mapatta sudah telanjur dirusak sejak ia masih kecil. “Berawal dari ibunya yang berselingkuh, ayahnya yang mati dipenggal, hingga akhirnya ia beranjak dewasa dan menjadi Taboto bagi Puang Matoa Rusmi. Di sini karakternya menjadi lebih baik karena Mapatta seperti menemukan jati dirinya sebagai seorang laki-laki yang ternyata menyukai sesama jenis. Namun kemudian semua berubah setelah ia bertemu Batari dan konflik pun kembali terjadi. Mapatta harus kabur bersama Batari, dan berlanjut dengan kejadian-kejadian yang lain,” pungkas Gerson.

Aliran Kisah Tiba Sebelum Berangkat

Berikutnya ada Retha yang setelah membaca novel ini merasa bahwa sugesti sangat berpengaruh terhadap bagaimana cara kita memandang diri kita sendiri. “Di awal-awal bagaimana Sukeri memberitahu Mapatta bahwa ada setan perempuan di dalam diri Mapatta yang harus dikeluarkan, saya pikir Sukeri memang tengah memberi sugesti kepada Mapatta. Juga yang dialami Alibaba. Ada sugesti di dalam kepala mereka sehingga mereka mengambil keputusan dan melakukan sesuatu berdasarkan apa yang disampaikan oleh orang lain. Kita semua juga, barangkali kerap hidup dengan sugesti-sugesti yang ada di dalam kepala kita yang berasal dari lingkungan sekitar kita sehingga kita terus berusaha mencari tahu siapa diri kita,” papar Retha.

Sebagai lulusan Matematika, Retha kemudian melanjutkan hasil pembacaannya dari sudut pandang matematika, khususnya tentang desain cerita. Ia mengakui sedikit bingung dengan alur cerita yang seperti maju mundur. “Bagi saya dari kacamata matematis, novel yang baik kalau menggunakan alur maju itu kan linear dan membangun sistematika berpikir pembaca. Nah, novel ini membuat saya masih bingung apakah menggunakan alur maju atau alur mundur, ceritanya juga seperti berlapis-lapis,” terang Retha.

Ia kemudian melanjutkan, “Kemudian saya juga ingin menambahkan, bagaimana novel ini kalau dilihat dari kacamata Etnomatematikanya. Ada sekitar enam alasan fundamental agar kita bisa tahu apakah budaya erat kaitannya dengan matematika? Dari enam alasan tersebut, saya akan membahas dua hal saja. Yaitu, lokasi dan cara mengukur jarak. Kalau dilihat dari lokasi di dalam novel ini, banyak sekali bicara tentang pandangan masyarakat Bugis terhadap ruang. Ada batasan jelas antara hutan, pemukiman, dan lahan. Letak rumah Arajang yang ditempati khusus oleh para Bissu membelakangi hutan dan menghadap pemukiman warga. Jika kita perhatikan, para Bissu di masa itu, memiliki ritual-ritual khusus dan konsep tentang ruang yang mereka pakai. Mereka memiliki keyakinan ada korelasi antara masyarakat dan sesuatu tentang Ketuhanan, dan mereka hadir di antara dua hal tersebut. Peristiwa-peristiwa yang dikisahkan dalam novel ini, terjadi di ruang-ruang itu. Tetapi setelah pemberontakan, terjadi perubahan paradigma tentang konsep ruang itu. Di mana yang sebelumnya ada sistem kepercayaan masyarakat terhadap Dewata atau Tuhan dengan pergi ke hutan dan menganggap ada yang Esa di sana, berubah menjadi tempat persembunyian pasukan gerilyawan. Sedangkan dari konsep mengukur jarak, bagaimana pasukan gerilyawan mengukur jarak tempat persembunyian ke pemukiman warga, atau lahan perkebunan penduduk ke tempat persembunyian, mereka memperkirakannya dengan sangat akurat. Tentu saja, ada konsep matematika di dalamnya. Terakhir untuk desain rumah Arajang, juga dijelaskan ada terasnya, ruang tengah, lantai dua untuk menyimpan hasil panen. Itu juga bisa dijadikan bahan untuk membedah konsep matematis. Ada konsep ruang dan relasi fungsi di sana. Itu jika dilihat dari kacamata matematis,” papar Retha.

Bagi Retha, ini novel yang sangat kaya karena membahas banyak hal. Ada topik tentang tanah ulayat, homoseksualitas, kepercayaan dan tradisi dan lain sebagainya. Retha juga menyukai tokoh Batari yang menurutnya memiliki pandangan sendiri tentang seksualitas. Namun Retha juga menyayangkan klimaks cerita yang terlalu datar, tidak sesuai ekspektasi.

Mendapatkan giliran selanjutnya, Hermin mencoba menjawab pertanyaan Retha tentang alur. Menurut Hermin, Tiba Sebelum Berangkat menggunakan alur maju mundur. “Menurut saya, karena ini kisah sejarah masa lalu, jadi kadang dia harus menceritakan apa yang terjadi di belakang yang menyebabkan apa yang terjadi di hari ini, makanya alurnya maju mundur,” tutur Hermin.

Selanjutnya, Hermin mengomentari hubungan Mapatta dan Batari yang baginya begitu menarik dan menyenangkan. “Mereka saling berbagi ruang, ada ruang yang jelas atas kebutuhan mereka, dalam hal ini seks. Mapatta yang lebih menikmati hubungan dengan sesama jenis, dan Batari yang terus bergonta-ganti pasangan. Terlepas daripada itu, mereka tetap hidup berdampingan dengan nyaman. Mungkin yang dimaksud dengan relasi memang seharusnya seperti itu. Ada penghormatan atas ruang pribadi masing-masing,” jelas Hermin.

Hermin sendiri mengakui bahwa ketika duduk di bangku sekolah, ia memiliki pandangan yang aneh terhadap orang-orang yang menyukai sesama jenis. Menurutnya, orang-orang seperti itu tidak mensyukuri apa yang telah diberikan Tuhan. Namun ia kemudian mengerti dan sadar, bahwa setiap orang punya hak untuk menciptakan bahagianya sendiri. Dari novel ini, Hermin juga mempelajari sesuatu, beberapa orang hadir di dunia ini menjadi aktor utama untuk hidup orang lain, dan sebaliknya hanya menjadi sekadar figuran untuk hidupnya sendiri. “Ada banyak hal yang semestinya tidak kita lakukan, tetapi demi seseorang yang kita cintai, kita rela melakukannya, bahkan dengan menjual tubuh sendiri, seperti yang dilakukan Batari untuk Mapatta,” tutup Hermin.

Setelah Hermin, dr. Ronald Susilo menyampaikan hasil pembacaannya. Masih membicarakan alur cerita, menurut Dokter Ronald, alur dalam novel Tiba Sebelum Berangkat, biasa diistilahkan dengan Stream of Consciousness atau aliran kesadaran. Dalam karya sastra, aliran kesadaran adalah metode narasi yang menggambarkan kejadian-kejadian dalam aliran pemikiran benak para tokoh. “Istilah ini awalnya diciptakan oleh Psikolog William James dalam penelitiannya, The Principles of Psychology.  William menulis: “… it is nothing joined; it flows. A ‘river’ or a ‘stream’ is the metaphors by which it is most naturally described. In talking of it hereafter, let’s call it the stream of thought, consciousness, or subjective life.” Demikian yang bisa dijelaskan dari alur cerita yang terus bergerak mengalir dan seolah-olah menampilkan cerita baru di atas cerita sebelumnya,” tutur Dokter Ronald.

Lebih lanjut, Dokter Ronald menyatakan kekagumannya atas kemampuan penulis menciptakan tokoh-tokoh cerita yang seluruhnya memiliki fungsi masing-masing untuk kebutuhan cerita. Sebagaimana yang disampaikan Gerson, Dokter Ronald juga merasakan kedekatan dengan cerita akibat gaya bahasa yang tidak jauh berbeda antara Bugis-Makassar di Sulawesi Selatan dengan Flores di Nusa Tenggara Timur. Kekaguman lainnya disampaikan Dokter Ronald ketika menemukan: ada tiga bekal hidup yang harus dimiliki oleh seorang lelaki; ujung lidah, ujung kemaluan, dan ujung badik. Dokter Ronald meyakini, ungkapan ini tidak sembarang didapatkan oleh Faisal. “Biasanya ungkapan-ungkapan seperti ini muncul ketika kita duduk ganda (duduk bercengkrama) dengan mereka yang suka minum mabok, yang kadang kita tidak anggap, hanya di antara orang-orang seperti itu, ungkapan ini dapat muncul, dan pasti tiba-tiba. Di sini saya semakin yakin, tidak ada penulis yang benar-benar original. Kalau mau jadi penulis, kau harus sering keluar, duduk ngobrol atau diskusi dengan orang banyak. Tidak bisa penulis hanya duduk mengurung diri di dalam kamar lalu otomatis dapat ilham. Tidak mungkin,” jelas Dokter Ronald.

Sedikit mengomentari tentang Bissu di dalam novel ini, Dokter Ronald menyampaikan: “Ada hal-hal yang selalu disayangkan ketika Negara berseteru dengan kelompok tertentu. Pasti ada pihak yang dikorbankan; masyarakat, etnis/suku/agama tertentu yang sesungguhnya tidak memahami duduk persoalan sebenarnya. Seperti Bissu dalam kisah Tiba Sebelum Berangkat ini,” tutup Dokter Ronald.

Giliran berikutnya yang menyampaikan hasil pembacaan adalah Marto. Cukup panjang Marto berbicara malam itu, dimulai dari sastra dan sejarah hingga bagaimana doktrinisasi mempengaruhi cara berpikir dan bertindak seseorang. Marto menyampaikan, novel ini mau tidak mau membuatnya mengingat lagi Max Havelar, Pramoedya Ananta Toer, Amba, Orang-Orang Oetimu, Pulang, Laut Bercerita, dan akhirnya Tiba Sebelum Berangkat.

Bagi Marto, novel ini memanggil kembali beberapa topik diskusi tentang sastra dan sejarah.

“Saya ingat dulu ada perdebatan panjang, bagaimana posisi sastra dan juga sejarah. Apakah sastra itu hadir ketika kita mau menulis sejarah atau hanya sebagai penghias saja agar sejarah itu lebih menarik dibaca? Ataukah sejarah itu hadir untuk menguatkan karya sastra yang sedang kita tulis? Itu perdebatan yang panjang sekali. Tetapi dari hasil refleksi yang panjang itu, kita kemudian bisa menemukan bahwa, ketika sejarah ditulis dalam bentuk karya sastra, kita akan kehilangan detil dan kedalaman cerita yang sesungguhnya. Sebaliknya, dengan media sastra, kita menjadi lebih dekat dengan sejarah,” tutur Marto.

Ia melanjutkan: “Ketika membaca novel ini, saya jadi ingat ketika dulu masih mendalami Pram. Bahwa memang benar sejarah yang kita konsumsi sekarang ini, sejarah para pemenang. Sejarah orang-orang kalah itu sudah dipastikan tenggelam, hilang. Dan yang coba dilakukan oleh Faisal (Oddang), Felix (K. Nesi), Laksmi Pamuntjak, Leila S. Chudori, mereka mengangkat kembali narasi-narasi kecil tersebut. Orang-orang yang dinyatakan kalah oleh sejarah. Dan memang benar, orang Sulawesi Selatan sendiri melihat Indonesia juga sebagai penjajah. Bukan hanya Belanda atau Jepang. Pada tataran itu, saya bersyukur bisa membaca novel ini, dan mencoba mengupasnya lebih jauh melalui pendekatan Filsafat Tindakan oleh Hannah Arrendt,” ungkap Pemenang Pertama Lomba Cerpen ODGJ ini.

Bagian selanjutnya tentang doktrin dan tindakan

[nextpage title=”Doktrin dan Tindakan”]

Marto kemudian menjelaskan tentang Hannah Arrendt (1906-1975).

Hannah merefleksikan bagaimana manusia sebagai pekerja, pencipta karya, dan pelaku politik, dalam bukunya The Human Condition (1959). Ia menggunakan istilah “Vita Activa” (kehidupan yang aktif) dalam upayanya menganalisa kondisi kemanusiaan modern. Menurut Arrendt, kegiatan mendasar manusia terdiri dari (1).vita contemplativa dan (2).vita activa. Yang pertama merupakan aktivitas mental yang meliputi berpikir (thinking), berkehendak (willing), dan mempertimbangkan (judging). Sedangkan vita activa, mencakup kerja (labour), karya (work), dan tindakan (action). Filsuf ini berpendapat, puncak pencapaian manusia bukanlah pada pemikiran (contemplativa), melainkan pada kehidupan yang aktif (vita activa).

“Seperti yang saya sampaikan sebelumnya. Dari ketiga unsur Vita Activa tersebut, ada satu hal penting yang menjadi bagian dalam hidup manusia yakni, tindakan. Tindakan melibatkan proses berpikir, kita merenung kemudian membuat pertimbangan demi pertimbangan. Orang-orang yang digambarkan Faisal di dalam novel ini, adalah orang-orang yang memiliki peran tertentu. Kalau pun kita melihatnya sebagai pelaku, bagi saya, mereka adalah juga korban. Kita melihat orang-orang yang meninggal karena perang sebagai korban, akan tetapi yang tidak kita sadari, orang-orang yang menyebabkan mereka meninggal, yang membunuh, yang menciptakan perang, mereka juga sebenarnya korban. Korban dari doktrin-doktrin tentang agama tertentu, doktrin tentang kebesaran sosok tertentu dalam tatanan hidup sosial, adat istiadat, doktrin tentang Negara seperti Indonesia, dan lain sebagainya.”

“Mereka sebenarnya hanya melaksanakan tugas karena sudah demikian fungsi mereka. Seperti Sumiharjo yang terlibat dengan sadar bersama Alibaba, meskipun ia memiliki istri dan anak, ia tetap merasa harus melaksanakan tugasnya. Ada proses berpikir, merenung, yang membuatnya tidak menjadi dirinya sendiri. Jati dirinya dipertanyakan. Karena kebenaran otoritatif itu membuat mereka mengalami kehilangan proses berpikir yang lazimnya dilakukan oleh manusia dengan pemikiran yang lebih terbuka. Doktrin lah yang mempengaruhi orang-orang seperti Alibaba, Sumiharjo, dan Mapatta. Tadi teman-teman juga sudah menyinggung tentang sugesti, penanaman karakter sejak kecil, bagi saya lebih tepat apabila menggunakan istilah doktrin. Mereka telah didoktrin sejak kecil karena saat itu kemampuan berpikir belum begitu bagus, tetapi sampai dewasa doktrin-doktrin tersebut sudah tertanam di dalam kepala. Atau jika dikatakan doktrin itu ditanamkan pada suatu rentang masa yang cukup lama ketika mereka telah menjadi manusia dewasa sehingga setiap keputusan dan tindakan mereka masih dilandasi oleh doktrin tersebut,” papar Marto.

Marto lalu menambahkan tentang kelahiran baru dalam pendekatan filsafat Hannah Arrendt, bahwa manusia, dari hari ke hari, menuju masa depan, selalu mengalami kelahiran baru. Jadi ada peluang untuk kita berefleksi dan berubah. “Kalaupun hari ini saya jahat, saya bisa berubah, masih ada kesempatan. Yang penting, lingkungan, dan saya sendiri memiliki komitmen untuk berubah, maka saya bisa berubah menjadi lebih baik. Pada posisi tersebut, sebenarnya rekonsiliasi menjadi mungkin untuk kita. Kita mengampuni orang. Kita bisa mengampuni saudara-saudara yang melakukan pembantaian karena kita yakin sebagai manusia, selalu ada kesempatan untuk kelahiran baru. Berubah, merefleksi diri menjadi manusia yang lebih baik dari hari ke hari karena proses menjadi manusia itu, terus mencari jati diri. Proses menjadi. Membaca novel Faisal Oddang ini, untuk saya pribadi, saya belajar untuk sampai pada bagaimana saya mengampuni nanti. Bahwa orang-orang yang bersalah itu juga memiliki alasan. Pertama, karena mungkin dipengaruhi doktrin-doktrin, dan lain sebagainya. Tetapi terlepas dari itu semua, mereka juga memiliki hak yang sama untuk berubah sebagaimana manusia lainnya,” tutup Marto.

Saya mendapatkan kesempatan berbicara setelah Marto. Tidak banyak yang saya sampaikan malam itu, kecuali sampul novel yang menampakkan beberapa ekor kucing. Mulanya saya sempat bingung, kenapa kucing? Sampai akhirnya saya, dan juga kawan-kawan menemukan di dalam kisah ini bahwa, dalam tradisi Bugis, kucing adalah lambang atau simbol bagi seorang Bissu. Pelindung dan perawat tradisi. Di halaman 61, saya juga menemukan keterkaitan ini. Masyarakat Bugis percaya bahwa pada mulanya, ada maklhuk dari langit dan maklhuk dari bumi yang kemudian bersatu dan menjadi awal mula kehadiran manusia di dunia. Untuk menjaga keseimbangan antara kedua makhluk ini, Dewata kemudian menghadirkan Bissu di antara mereka. Hampir serupa dengan falsafah hidup orang Manggarai yang memaknai tanah sebagai ibu atau bunda, seperti dalam idiom tana kuni agu kalo atau tanah tumpah darah, soga le ronan tiba le winan atau langit (yang menumpahkan hujan) sebagai laki-laki dan bumi (yang menerima hujan) sebagai perempuan. Pandangan ini sejalan dengan konsep ketuhanan yang bersifat monodualisme dalam hampir setiap kebudayaan di Flores.

Setelah saya, Armin Bell menyampaikan hasil pembacaannya. Sebagaimana Dokter Ronald, Armin juga melihat kemampuan Faisal dalam menggunakan semua orang semua hal yang dia pilih untuk membangun cerita ini.

“Saya membayangkan dalam proses menulis itu, Faisal punya satu papan besar, dan dia menulis nama orang, nama tempat, peristiwa, lalu mengembangkannya satu per satu dengan sangat baik. Karena kedisiplinan itu, hampir tidak ada orang atau benda dalam cerita ini yang menjadi sia-sia,” ungkap Armin.

Armin lalu menambahkan tentang perihal menulis. “Kalau kita lihat, sebagian besar yang menulis novel ini adalah Mapatta. Ketika Mapatta menulis tentang Puang Matoa Rusmi, ia melakukannya dengan baik sekali, bahkan di tengah kondisi tertekan. Di ruang yang sepi, dan penyiksaan yang berlangsung sangat sering. Saya kira itu pelajaran tentang kontemplasi. Kau tidak bisa menghasilkan sesuatu di tengah kemewahan, dan merasa sudah cukup melihat dunia dengan berselancar di dunia maya. Kau harus mengalami penderitaan paling tragis, seperti laki-laki yang ujung penisnya ditindih kaki kursi, yang ujung lidahnya dipotong, dan ujung badiknya dilucuti. Seluruh kesombonganmu harus diambil terlebih dahulu, baru kau bisa menulis dengan baik,” tutur Armin.

Kita tiba pada peserta terakhir, Yuan Jonta. Pada mulanya Yuan menyampaikan kengeriannya atas adegan-adegan sadistik yang begitu detil ditulis oleh Faisal di dalam novel ini. Yuan bertanya-tanya, kira-kira bagaimana Faisal melakukan riset sebelum menulis novel ini?

Selanjutnya Yuan mengomentari beberapa bagian novel, tentang bagaimana seseorang mampu memanipulasi orang lain. “Pada adegan Puang Matoa Rusmi hendak menyucikan Mapatta misalnya, beliau menganjurkan Mapatta untuk berserah. Seolah-olah ini peristiwa yang luhur dan suci. Saya pernah membaca di salah satu buku, kadang orang-orang yang memanipulasi orang lain, bukan karena dia memiliki standar moral yang sama dengan orang-orang pada umumnya, melainkan karena memang realita yang dia pandang adalah seperti itu. Barangkali ini sama dengan yang dimaksud dengan Marto, doktrin yang bekerja. Artinya, ketika Puang melakukan hubungan seksual dengan Mapatta dalam konteks beliau sebagai Bissu, demikianlah realita yang beliau pahami. Bahwa apa yang akan dibuat ini adalah proses pembersihan. Seringkali yang terjadi, korban pelecehan baru menyadarinya setelah hal tersebut terjadi,” jelas Yuan.

Yuan juga menyampaikan kesannya terhadap sejarah Islam yang sebagian kisahnya terdapat di dalam novel ini. “Memang Islam itu memiliki sejarah yang panjang sekali, yang kuat sekali, dan punya pengaruh atas kemerdekaan Indonesia. Jadi tidak salah apabila kelompok-kelompok organisasi Islam tidak berhasil dirangkul saat ini oleh pemerintah atau pemimpin, mereka pasti akan merasa terluka. Karena mereka sadar akan sejarah perjuangan yang telah mereka lalui. Di dalam novel ini, Faisal juga sempat menyelipkan pengetahuan tentang radikalisme. Bahwa ketika orang mengatakan saya radikal, saya bangga karena itu berarti saya punya pemahaman yang mendalam tentang hal yang saya yakini. Saya rasa itu juga terjadi di organisasi-organisasi yang lain,” papar Yuan.

Terkait Bissu, Yuan melihatnya dari sudut pandang yang berbeda. “Saya justru melihat Bissu dalam konteks pemuka adat di Bugis, dan bisu dalam kaitannya dengan situasi Mapatta yang lidahnya dipotong. Apakah itu memang disengaja oleh penulis agar ceritanya beriringan? Terlepas dari itu, hal tersebut yang membuat cerita ini menjadi lebih hidup karena tokoh utama menuturkan kisahnya melalui tulisan bukan dialog. Saya juga ingin mengomentari tentang LGBT. Dari novel ini, terbukti bahwa penerimaan terhadap kaum LGBT itu besar pengaruhnya oleh konstruksi sosial. Maka perjuangan orang-orang yang mendukung LGBT ini, yang paling pertama adalah mengubah mindset kita semua untuk menyadari bahwa LGBT bukan sesuatu yang terjadi di jalan hidup kita, tetapi sudah terberikan. Saya rasa kenapa para Bissu kemudian nyaman sekali dengan posisi mereka sebagai pemuka adat karena dari sisi kebutuhan biologis, mereka terpenuhi, selain itu mereka merasa diterima di lingkungan masyarakatnya sendiri. Oleh karena itu, tidak mungkin mereka dengan ikhlas berpindah agama menjadi Islam ketika ada yang memaksanya melakukan itu. Barangkali bisa saja terjadi, dalam konteks paham, mereka bisa terpengaruh, tetapi secara kebutuhan biologis, itu berat sekali,“ tutup Yuan.

Tiba Sebelum Berangkat

Ada satu pertanyaan yang tiba-tiba muncul sebelum diskusi diakhiri malam itu. pertanyaan tersebut datang dari Reynald dan Nadya, Kenapa Faisal Oddang memilih judul Tiba Sebelum Berangkat untuk merangkum keseluruhan kisah di dalam novel ini?

Jawaban pertama datang dari Marto: “Menurut saya, ada bagian di mana ketika Puang Matoa Rusmi mau membalas dendam. Beliau ambil badiknya, siram dengan jeruk nipis, lalu menunggu musuh di balik pohon. Momen ketika Puang akan berangkat untuk membalas dendam itu, beliau telah merasa yakin bahwa beliau sudah menang. Momen itu mempengaruhi Puang, bahkan ketika belum berangkat untuk membunuh, beliau merasa sudah pulang. Sudah tiba. Sudah menang. Dan itu yang menjadi pesan sesungguhnya ketika Puang menceritakannya kembali kepada Mapatta.”

Lain lagi dengan jawaban Yuan: “Menurut saya karena bab “Tiba Sebelum Berangkat” itu, sebenarnya bisa diletakkan di bab pertama, karena itu fondasi cerita. Kenapa Tentara Islam Indonesia sampai mengincar para Bissu? Itu yang saya pikir menjadi awal cerita, sebab musabab hingga cerita ini bisa mengalir dan lengkap menjadi novel ini.”

Jawaban lainnya datang dari Armin Bell. Menurut Armin, ada banyak sekali momen ‘tiba sebelum berangkat’ di dalam novel ini. “Momen Batari pergi berobat ke Arajang salah satunya, dan Puang Matoa Rusmi sudah tahu apa sakit Batari, lalu meminta Mapatta memberikannya air. Ada banyak sekali situasi dalam cerita ini, yang kau sudah tahu kejadiannya di depan dan kau hanya harus menjalaninya. Itu persis juga yang membuat saya tertarik dengan novel ini. Kita tahu nasib Mapatta, atau kita tahu nasibnya Puang Matoa Rusmi, kita tahu mereka akan tetap hidup setelah melewati konflik yang panjang. Tetapi ketika mereka berangkat, ketika mereka berusaha melawan situasi-situasi sulit itu, ada ketegangan-ketengangan. Saya kira pertanyaan Rey dan Nadya tadi muncul, justru karena momen-momen itu bertebaran di dalam cerita. Salah satu adegan yang seksi sekali dan juga jelas-jelas menggambarkan Tiba Sebelum Berangkat itu adalah menikam bayangan,” tutup Armin.

Demikian perbincangan panjang dan seru tentang novel Tiba Sebelum Berangkat karya Faisal Oddang yang berlangsung pada 26 November 2020 lalu. Bincang Buku akhir tahun telah berlangsung pada 17 Desember 2020, membahas Cerpen Pilihan Kompas 2019, Mereka Mengeja Larangan Mengemis. Nantikan notulennya di Bacapetra bulan depan. Selamat Tahun Baru. Salam dari Ruteng! (*)


Baca juga:
– Sejarah, Ingatan, Fiksi (Jafar Suryomenggolo)
– Pengalaman Membaca Kubah dan Ronggeng Dukuh Paruk

Komentar Anda?