Menu
Menu

Dalam ulasan ini, penulis mencermati siasat struktur yang dipakai Yusi Avianto Pareanom ketika mengerjakan dongeng tentang Raden Mandasia dan petualangannya bersama Sungu Lembu.


Oleh: Marcelus Ungkang |

Pengajar sastra di Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng.


Sepintas, setelah membaca peristiwa meninggalnya Nyai Manggis, pembaca mungkin berpikir bahwa seorang pengarang memang (musti) tega membunuh tokoh, sekalipun tokoh tersebut, melalui empati, adalah tokoh yang kepadanya pembaca mengidentifikasikan diri.

Namun, dalam struktur plot, mati-hidupnya para tokoh, termasuk Nyai Manggis, adalah soal fungsinya dalam keseluruhan struktur. Seorang tokoh harus mati jika memang fungsinya dalam struktur plot terbatas sampai di situ.

Namun, apakah Yusi Avianto Pareanom sebagai pengarang hanya mengikuti template dongeng yang umum dikenal? Apakah Yusi “memasak” petualangan Lembu Sungu melulu patuh pada “resep” yang ada? Mengapa kenikmatan membacanya, terlepas dari cerita-cerita yang dipinjam, terasa familiar sekaligus segar?

Siasat Struktur Raden Mandasia, Si Pencuri Daging Sapi

Dari segi bentuk, karya ini terasa familiar karena menggunakan struktur dan elemen-elemen dongeng yang derajat keuniversalannya relatif tinggi. Setidaknya ada tiga buku yang dapat dirujuk untuk mencermati itu: The Morphology of Folktale karya Vladimir Propp, The Hero with the Thousand Faces karya Joseph Campbell, dan The Writer’s Journey karya Christopher Vogler – yang merumuskan karya Campbell menjadi lebih operasional untuk proses kreatif naratif.

Dari ketiga nama tersebut, struktur Vogler tampaknya menjadi skema utama Raden Mandasia, Si Pencuri Daging Sapi.

Namun, Yusi tidak menggunakan struktur plot Vogler secara utuh, tetapi secara kreatif menyiasatinya. Dengan begitu, elemen-elemen dalam struktur – yang oleh Carl Jung disebut arketipe – bisa membuat pembaca agak pangling.

Pertama, redistribusi sekuen plot. Yusi mengatur ulang sekuen-sekuen plot. Sekuen ordeal justru ditempatkan pada empat bab awal. Pengaturan itu membuat pembaca langsung berada dalam situasi menegangkan. Secara cerdik sekuen ini ditata sedemikian rupa untuk membangkitkan rasa ingin tahu pembaca, tapi memecah bagian krusial ordeal (bab Perang Besar) dan menempatkannya tetap pada urutan “aslinya”. Siasat ini berkaitan dengan siasat kreatif selanjutnya.

ulasan struktur raden mandasia si pencuri daging sapi

| Gambar struktur Raden Mandasia, Si Pencuri Daging Sapi


Kedua, fragmentasi, penggabungan, dan penghapusan sekuen plot. Selain memecah satu sekuen plot ke dalam bab yang berbeda, Yusi juga menggabungkan sekaligus beberapa sekuen ke dalam satu bab (cek bab Rumah Dadu Nyai Manggis dan Rahasia Dewi Sinta). Untuk membuat suatu bab padat dan variatif, Yusi bahkan meninggalkan sekuen refusal of the call dari template Vogler. Sepanjang konstruksi sekuen call to adventure sudah meyakinkan untuk membangun motivasi tokoh mencapai tujuannya, refusal of the call memang kurang berguna.

Ketiga, plot twist semu dan pengalur jamak. Secara konseptual, bagian inilah menurut saya yang paling kreatif dari siasat struktur dalam Raden Mandasia, Si Pencuri Daging Sapi.

Kesan yang mungkin muncul pada bagian akhir Raden Mandasia adalah Yusi mengakomodasi sekuen struktur plot Frank Daniel yang menggunakan dua resolusi. Bab Rahasia Dewi Sinta seakan-seakan menjadi plot twist.

Namun, pengakuan Dewi Sinta mengenai jatidiri Watugunung, menurut saya, lebih pas disebut plot twist semu. Dikatakan demikian karena pengakuan Dewi Sinta tidak membuat cerita bergerak ke arah baru. Pengakuan itu “hanya” membuat relasi sebab-akibat di balik keberangkatan kerajaan Gilingwesi ke Gerbang Agung tidak dapat diputuskan secara tegas.

Siasat yang mirip juga bisa ditemukan dalam cerpen “Laki-Laki Pemanggul Goni” (2012) karya Budi Darma. Untuk memahami kemiripannya kita perlu memandang plot bukan sebagai kata benda (a plot), tapi sebagai kata kerja (to plot). Alur sebagai kata kerja mengandaikan adanya pengalur (plotter). Baik Watugunung-Dewi Sinta maupun Laki-laki Pemanggul Goni-Karmain adalah para pengalur yang memandang sebuah peristiwa akibat sebagai hasil dari peristiwa sebab yang berbeda.

Penyiasatan struktur ini menantang karena jagat petualangan Raden Mandasia, Si Pencuri Daging Sapi tidak dibangun melalui sihir atau atau dunia peri seperti dongeng-dongeng Barat, Yusi perlu berpikir bagaimana menyusun sekuen act III tanpa jimat, sapu terbang, naga, atau kekuatan supranatural yang biasanya dibawa hero dari sekuen ordeal.

Sungu Lembu memang membawa beberapa kitab dari Gerbang Agung ketika pulang ke Banjaran Waru. Namun, hanya sekadar membawa kitab hasil dari perang besar akan membuat bagian resolusi terasa jomplang dibanding bagian-bagian lain dari struktur. Pengakuan Dewi Sinta, selain membuat pemaknaan final sebab-akibat perang Gilingwesi dan Gerbang Agung tertangguhkan, secara ironis meneguhkan status Watugung sebagai hero. Hanya saja ia hero tragis.

Mengembangkan secara gradual tiga hero dalam sebuah cerita bukan pekerjaan gampang. Namun, dari tiga hero itu, pengembangan hero Watugunung adalah pelajaran penting dari karya Yusi. Kita bisa mengurutkan perubahan gradualnya sebagai berikut.

  • Watugunung adalah antagonis!
  • Watugunung adalah antagonis.
  • Watugunung adalah antagonis?
  • Watugunung adalah hero?
  • Watugunung adalah hero.
  • Watugunung adalah hero tragis.

Membedakan Ordinary World dan Extraordinary World

Model struktur Campbell dan Vogler dapat dibagi menjadi kelompok besar: ordinary world (jagat galib/kebanyakan) dan extraordinary world (jagat petualangan). Tantangan kreatif Yusi terutama menciptakan jagat petualangan yang berbeda dari dunia Barat dan berterima dalam logika internal cerita. Ada dua cara yang digunakan Yusi untuk membedakan antara jagat kebanyakan dan jagat petualangan.

Strategi pertama adalah pembedaan antara dua dunia melalui dinamika plot. Dinamika plot pada jagat kebanyakan menggunakan optionlock (pembatasan pilihan), sedangkan jagat petualangan menggunakan timelock (pembatasan waktu).

Pada jagat kebanyakan, Sungu Lembu harus berhadapan dengan pilihan-pilihan yang terbatas. Setelah Ayahnya meninggal, Sungu Lembu harus hidup dengan pamannya, Banyak Wetan, karena Sungu Lembu tidak bisa hidup bersama saudara-saudara tirinya. Ketika Banyak Wetan dipenjara, ia terpaksa menyingkir dari Banjaran Waru menuju Kotaraja karena ia juga bisa ditangkap kalau terus tinggal di Banjaran Waru. Pada akhirnya, sebelum masuk ke jagat petualangan, Sungu Lembu terpaksa mengikuti Raden Mandasia, selain permintaan Nyai Manggis sebelum meninggal, juga karena itulah peluang agar ia lebih dekat ke sosok Watugunung – yang begitu ingin dibunuhnya.

Sebelum memasuki bagian crossing the first threshold (Bab Berlayar ke Barat) – yang merupakan awal dari jagat petualangan – dinamika plot beralih ke timelock. Sungu Lembu dan Raden Mandasia harus segera menyusul Watugunung dan pasukan Gilingwesi ke Gerbang Agung. Raden Mandasia buru-buru karena ingin menghentikan perang yang tidak perlu antara Gilingwesi dan Gerbang Agung, sedangkan Sungu Lembu, demi tujuannya sendiri, mau tidak mau mengikuti tempo perjalanan itu. Keduanya juga harus bersiasat dengan jadwal kapal, musim, dan situasi tegang jelang perang.

Untuk mengintensifkan tensi yang dibangun melalui pembatasan waktu, Yusi tidak menggunakan teknik sorot balik pada jagad petualangan sebagaimana ia menggunakan pada jagad kebanyakan.

Strategi kedua adalah meminjam cerita-cerita lain dari khazanah dunia ke dalam jagat petualangan. Peminjaman tersebut, selain menciptakan kontras antara jagat kebanyakan dengan jagat petualangan, juga menciptakan efek asing yang familiar. Dikatakan asing karena cerita-cerita tersebut “diimpor”. Namun, karena cerita-cerita tersebut relatif telah diketahui pembaca, terasa akrab.

[nextpage title=”Menyoal Perkembangan Tokoh”]
Meski berhasil bersiasat dengan struktur dongeng, ada bagian yang terasa kurang pas dalam perkembangan tokoh Lembu Sungu. Jika membaca bagaimana Sungu Lembu dibesarkan oleh Banyak Wetan, kita akan menduga bahwa kelak ia akan jadi orang yang cerdas. Namun, setiap kali ia dihadapkan pada Nyai Manggis atau Raden Mandasia, ia terlihat inferior.

Tentu saja dalam kehidupan nyata seseorang bisa relatif kurang cerdas jika dihadapkan pada tokoh lain yang juga cerdas. Namun, lebih baik kita mencari penjelasannya dari dalam percobaan kreatif Yusi sendiri.

Yusi tampaknya ingin membangun hero (Sungu Lembu) yang bisa dicintai oleh pembaca. Untuk itu, selain menempatkan pada situasi yang tidak adil dan sebagai pihak yang kalah untuk membangun empati, Sungu Lembu sebagai hero perlu memiliki sesuatu yang istimewa. Teknik itu, meski bukan barang baru, tapi sering efektif.

Problemnya ada pada relasi fungsional antara Sungu Lembu dengan Nyai Manggis dan Raden Mandasia. Fungsi Nyai Manggis adalah mentor bagi Sungu Lembu. Dalam model Propp, Campbell, atau Vogler, seorang mentor dikarakterisasikan sebagai orang yang lebih bijak dan lebih berpengalaman daripada tokoh utama. Meski Sungu Lembu telah dibekali bermacam pengetahuan dari bermacam kitab oleh Banyak Wetan, toh ia harus kurang tahu daripada Nyai Manggis karena memang begitulah “aturan mainnya”.

Berbeda dengan Nyai Manggis, Raden Mandasia adalah jenis hero lainnya. Pilihan Yusi menggunakan lebih dari satu hero menjadi soal ketika yang dipilih adalah hero katalis. Hero katalis adalah hero yang “sudah jadi”. Fungsi katalis hero adalah membantu hero Sungu Lembu untuk merealisasikan potensi dirinya sekaligus berperan mencapai tujuannya. Namun, sebagai hero yang “sudah jadi”, tentu saja Raden Mandasia punya persona hero yang lebih mapan daripada Sungu Lembu sebagai hero “dalam proses”.

Yusi mengeksposisikan Sungu Lembu kecil terlalu bagus sebagai hero “dalam proses”. Lazimnya pada sekuen ordinary world, character arc tokoh ditandai oleh masih terbatasnya kesadaran (limited awareness). Selain bagian itu, ada keterjalinan erat antara perkembangan plot dan perkembangan tokoh dalam dongeng Raden Mandasia, Si Pencuri Daging Sapi.

siasat struktur raden mandasia

Penutup

Mengulas struktur karya sastra memang kurang diminati lagi – entah karena kesadaran akan keterbatasannya, prinsip “ikuti yang terkini”, atau karena mudahnya buku-buku bajakan teori kritis diperoleh yang membuat pendekatan itu terlihat begitu ketinggalan zaman. Namun, kreativitas atau invensi bisa muncul justru dengan cara membaca kembali yang sudah kuno itu.

Ulasan tentang siasat struktur plot ini – yang barangkali agak rumit dan teknis –hendak menunjukkan betapa lihainya Yusi. Kerumitan teknis itu berhasil disembunyikan secara baik. Yang tampak di permukaan hanyalah kisah petualangan yang kita baca dengan lancar.

Secara teknis, tulisan yang baik adalah tulisan yang berhasil menggunakan sarana-sarana sastra secara efektif untuk kebutuhan penceritaannya.

Namun, tulisan yang hebat adalah tulisan yang juga berhasil memanipulasi (penggunaan) sarana-sarana sastra untuk kebutuhan penceritaannya tanpa mengorbankan kewajarannya. Ibarat bumbu masakan yang diracik membawa cita rasa berbeda, tapi berterima, setidaknya, oleh lidah setempat. Sebagai penikmat, meminjam ungkapan Sungu Lembu, saya bisa berkata: luhur sekali strukturnya, Raden. (*)


Infografis: Daeng Irman

Komentar Anda?