Menu
Menu

Banyak komunitas baik yang akan kelelahan karena merasa sudah berbuat banyak tetapi perubahan yang diharapkannya tak kunjung terjadi.


Oleh: Armin Bell |

Tinggal di Ruteng, bergiat di Komunitas Saeh Go Lino dan Klub Buku Petra. Kumpulan cerpennya “Perjalanan Mencari Ayam” (2018) diterbitkan oleh Komunitas Sastra Dusun Flobamora. Blog: www.ranalino.id.


Mengapa orang-orang senang bergabung dalam komunitas? Saya bertanya kepada sejumlah orang.

Mendengar jawaban mereka, menggabungkannya dengan hasil pencarian di sumber-sumber lain, saya menyimpulkan bahwa, ada dua alasan utama mereka melakukannya. Ya. Ada dua. Dan sama sekali tidak mengejutkan. Internal dan eksternal. Duh. Standar sekali. Tetapi begitulah. Mau bilang apa?

Namun, sebelum membahas dua hal itu, saya mau cerita dulu. Sesungguhnya pertanyaan di atas saya ajukan ke banyak orang demi tujuan mulia: memindahkan bola panas itu ke orang lain. Pertanyaan itu sesungguhnya untuk saya. Beberapa teman menanyakannya karena saya begitu rajin bagi-bagi cerita soal komunitas kami, berapi-api pula, ditambah bumbu sana-sini bahwa komunitas kami adalah yang paling ideal.

Saya kira wajar. Sebagai pemain komunitas, kita harus merasa bahwa kita punya su yang paling mantap.

Demi mengumumkan kemantapan itu, sebagai anak milenial, kita bikin laman facebook, IG, twitter, linkedin, google+ (yang lalu dihapus lagi karena produk google yang ini mau dimatikan), dan akun medsos lainnya atas nama komunitas kita. Kemudian para anggotanya klik sendiri, like sendiri, love sendiri, bagikan sendiri, indah sekali hidup ini.

Lalu, kaget sendiri ketika berhadapan dengan pertanyaan: “Kaka dorang su buat apa saja selain foto-foto? Su ada efeknya kah?” Lalu menggerutu sendiri. Lalu cari bahan konfirmasi yang mendukung keyakinan kita bahwa membentuk dan hidup dalam satu komunitas itu sungguh baik dan mulia adanyaaaa, berpegangan tangaaaan, dalam satu citaaa, demi masa depaaaan, Indonesa jayaaaa. Terima kasih, Om Harvey Malaiholo.

Kemudian saya ingat enam orang di Sacramento. Mereka bergabung dalam satu komunitas baca. Bernadette memulainya karena terpanggil untuk menghibur seorang teman yang sedang susah hatinya. Lalu anggotanya menjadi enam orang. Membahas novel-novel Jane Austen.

Sebagaimana klub buku atau komunitas pada umumnya, yang anggotanya memiliki latar belakang berbeda-beda tetapi karena memiliki ketertarikan terhadap hal yang sama kemudian menjadi lebih akrab, Bernadette, Sylvia, Alegra, Jocelyn, Prudie, dan Grigg juga mengalaminya.

Meski tentu saja pada pertemuan pertama, ketika mereka membahas Mansfield Park (1814), terdapat kecanggungan-kecanggungan namun pada pertemuan selanjutnya suasana menjadi lebih cair.

Hal seperti itu kerap kita (atau saya saja?) jumpai dalam kehidupan berkomunitas; canggung ke akrab. Beberapa komunitas di mana saya bergabung juga begitu. Bedanya, pada Bernadette dan kawan-kawannya, cerita berakhir baik. Komunitas saya? Sebagian telah mati karena hilang kabar, terlampau sibuk, beda pilihan politik, ada komunitas baru yang lebih cocok, terlibat cinta lokasi yang berakhir buruk, merasa diabaikan, merasa dimanfaatkan, merasa anggota lain tidak bisa bikin apa-apa. Sedih juga…

Oh, iya. Sudah tahu, kan? Lima perempuan dan seorang lelaki di Sacramento tadi ada dalam film “The Jane Austen Book Club” (2007), sebuah film garapan sutradara Robin Sciword yang mengadaptasi novel berjudul sama karya Karen Joy Fowler.

Beberapa hal yang saya anggap menarik dari kisah ini, dan karenanya dipakai sebagai material untuk Jangka edisi pertama ini, di antaranya: 1) alasan personal/internal yang menjadi dasar terbentuknya klub buku Jane Austen, 2) interaksi antaranggota menjadi bahan pelajaran tentang menghargai perbedaan pendapat, dan 3) setiap anggota memetik manfaat untuk dirinya sendiri—tetap merdeka tetapi menggunakan ‘percakapan dalam klub’ sebagai sarana menguatkan kemerdekaan itu.

Dalam bahasa paling mutakhir barangkali, keputusan bergabung di klub buku seperti yang dilakukan oleh Bernadette dan kawan-kawannya adalah bagian dari usaha meningkatkan kapasitas personal atau menyembuhkan diri.

Tentu saja setelah kapasitas diri sendiri telah membaik, kita dapat menggerakkan komunitas baik kita ke hal-hal ideal sebagaimana tercantum dalam visi dan misi yang alangkah indahnya oh betapa hebatnya. Yang paling penting adalah kenyataan bahwa sebuah komunitas dibentuk oleh orang-orang yang merasa bahwa dirinya akan lebih bahagia jika menjadi anggota atau bergumul di dalamnya.

[nextpage title=”Apa Kabar Komunitas Kita?”]Saya mendadak ingat beberapa komunitas saya yang kini seumpama pusara tak bernama, dan alasan kami membentuknya dulu. Aduh, mulia sekali.

Kami ingin komunitas baik kami mengubah wajah dunia, memajukan derajat literasi di tanah air, mewujudkan bumi bebas sampah, dan lain-lain. Alih-alih berkomunitas karena alasan internal (dari dalam diri, seperti anggota klub buku Jane Austen tadi), kami justru melakukannya karena melihat beberapa hal di luar harus dibenahi; apa yang saya sebut sebagai alasan eksternal.

Saya membayangkan ada komunitas lain yang dibentuk agar seorang playboy dapat berubah hidupnya. Yang bergabung adalah barisan para mantan. Bayangan macam apa ini? Atau, ada komunitas lain yang merasa bahwa masyarakat harus back to nature dan para anggotanya bersatu dalam em-el-em yang menjual produk-produk herbal. Yaaa… ujung-ujungnya dagang dan menginjak para kaki-kaki.

Maksud saya, ada banyak komunitas (untuk tidak menyebut komunitas sendiri, yang mana tidak mungkin saya lakukan) yang niatnya baik tetapi gagal berkembang karena mimpi yang terlalu besar itu tidak diawali memerhatikan kebutuhan anggotanya.

Tak jarang, pemilik mimpi hanya satu atau dua orang, mengajak banyak orang terlibat, tetapi melupakan bagian paling penting dari pembentukan komunitas yakni “kepemilikan bersama”. Para tokoh a.k.a pendirinya merasa bahwa setiap anggotanya harus bergerak ke arah yang dia/mereka cita-citakan. Yang begitu kan bikin sedih. Iya to? Bagus kalau setiap hasil diakui sebagai pencapaian bersama. Kalau tidak?

Sering rasanya kita mendengar ada orang yang angkat dada-dagu-kaki-kepala karena merasa komunitasnya (dia anggap adalah dirinya seorang) berhasil membawa perubahan. Komunitas menjadi semacam stepping stone. Batu loncatan. Kita juga sering mendengar curhatan para tokoh yang menyalahkan anggotanya karena komunitasnya hilang tak berbekas seperti air di daun talas.

Akibatnya ya, itu tadi! Keinginan mulia semacam ‘menjadi penjaga gawang kebudayaan’ atau ‘mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia’ atau ‘membuat bumi ramah anak’ atau ‘equality for all’ atau ‘antidiskriminasi gender’ atau ‘produk ini baik untuk anak dan lingkungan’ atau hal-hal yang terlampau besar lainnya, justru berakibat buruk: pecahnya komunitas, bubarnya komunitas, panjangnya daftar orang-orang yang kita anggap bersalah karena tidak mendukung. Adoh, Fergusso e.

[nextpage title=”Kalau Kesadaran Awal Sudah Keliru”]Di sebuah forum komunitas, saya menemukan satu alasan yang saya sukai sungguh.

“Mengapa bergabung di komunitas?”
“Makin tua kita, makin banyak kehilangan teman-teman lama. Jadi harus nambah teman-teman baru, biar saat tua beneran gak kesepian!”

Mammamia. Itu indah sekali. Yang saya bayangkan, pemilik jawaban itu benar-benar mencintai kehadiran dirinya di dan bagi komunitas. Kesadaran terutama adalah dia tak ingin sendiri (saat tua beneran gak kesepian), yang berarti apa pun yang terjadi pada komunitasnya adalah hasil kerja bersama.

Tanpa kesadaran seperti itu, banyak komunitas baik yang akan kelelahan karena merasa sudah berbuat banyak tetapi perubahan yang diharapkannya tak kunjung terjadi. Mereka mengumpat: “Gila. Saya harus buat apa lagi supaya mereka bisa cerdas? Buku gratis, sudah. Komunitas kami turun ke jalan dan ikut bersihkan sampah, sudah. Bikin tagar #stopdiskriminasi sudah. Harus buat apa lagi?” Saya sedih mendengarnya.

Maksud saya, jika suatu saat hendak bergabung di komunitas, mulailah dengan keyakinan bahwa yang ingin kau perbaiki atau yang semestinya bahagia adalah dirimu sendiri, Rossalinda. Mulai dari sana dulu. Dalam percintaan juga begitu, bukan?

Kadang-kadang kau harus jungkir balik mengubah standarmu sendiri agar kau bahagia karena akhirnya hubungan kasih-mengasihi itu langgeng adanya. Dengan melihatmu berubah, kesayanganmu juga pasti perlahan melakukannya. Kalau tidak, hubunganmu mungkin akan berakhir secepat gerak cahaya. Atau kita hanya akan jadi penggerutu.

Contoh Gerutuan:
Sa su kasi buku gratis, kamu tir baca. Sa su bikin hastag #pungutsampah tapi tir ada yang ikut.

Kemungkinan Jawaban:
Helooo… Kaka dorang su baca banyak ka tida sehingga bisa bikin pedoman bagus untuk kegiatan mulia itu. Kaka dorang buang sampah pada tempatnya ka tida? Atau hanya pungut sampah yang kita buang sendiri sembarangan beberapa hari sebelumnya?

Itu satu hal. Hal lain adalah—juga saya baca di forum yang sama dengan jawaban yang indah di atas tadi: “Satu alasan yang sebenarnya orang ngga mau akui kenapa mereka ikutan klub… adu GENGSI bro, alias buat PAMER.”

Tuan Deo e. Sa begini ju ka? Bisa jadi. Maksud saya, meski tidak akan pernah mau saya akui, tetapi saya sesungguhnya menikmati ‘dikenal’ sebagai orang komunitas.

Sehingga kalau ada yang tanya “su buat apa” atau “su bawa dampak apa untuk sekitar” dan saya menyadari bahwa saya belum berhasil mewujudkan visi dan misi hebat kami, dengan senang hati saya akan bilang: “Hei, yang penting kami su mulai e. Kau sendiri buat apa?” Lalu saya hidup happily ever after karena curriculum vitae saya semakin panjang. Siapa tahu suatu saat jadi caleg. Pukultuju e.

Semacam Catatan Akhir

Mengingat kembali The Jane Austen Book Club, saya ingat peristiwa beberapa tahun silam. Kami memutuskan membuat klub buku. Niat awalnya sungguh remeh. Biar ada teman ngobrol setelah baca satu buku. Dan itu menyenangkan. Menambah panjang daftar CV adalah bonus. Meningkatkan kecerdasan literasi di sekitar kami adalah mimpi yang (terlalu) besar.

Sederhana saja pada mulanya. Menyenangkan diri dengan bergosip tentang tokoh dalam cerita dan para penulis yang menciptakan mereka. Lalu belajar sesuatu dari sana.

Sekarang, klub buku yang dulu bernama Petra Book Club itu berubah menjadi Klub Buku Petra. Yang menjadi payung BACAPETRA.CO ini. Entah beberapa tahun lagi akan menjadi apa, kami ingin bersenang-senang. Siapa tahu kegembiraan itu akan ikut membuat orang lain senang. (*)

Komentar Anda?