Menu
Menu

Tulisan ini diterjemahkan dari esai Italo Calvino berjudul “Before the Alphabet” dalam buku Collection of Sand: Essays (Penguin, 2013: 54-60, terjemahan Inggris Martin McLaughlin).


Oleh: Janoary M. Wibowo |

Seorang pembaca, sesekali menulis dan menerjemahkan; tinggal di Cepu, Jawa Tengah.


Tulisan pertama kali muncul di Mesopotamia Bawah, di padang Sumeria, beribukota di Uruk, sekitar 3300 SM. Di sana adalah negeri tanah liat: dokumen-dokumen administratif, nota-nota jual beli, teks-teks keagamaan atau yang mengagulkan raja-raja dipahatkan dengan ujung segitiga sebatang jerami atau bulu unggas pada tablet tanah liat yang kemudian dikeringkan atau dibakar. Permukaan dan perangkat itu memastikan piktogram-piktogram primitif dengan cepat menjadi sederhana dan berlanggam secara ekstrem. Lambang-lambang piktografik (untuk ikan, burung, kepala kuda) kehilangan lekuk-lekuk mereka karena tak muncul dengan baik pada tanah liat. Oleh karena itu, keselarasan antara lambang dan hal yang diwakilinya cenderung memudar. Lambang-lambang yang mendominasi ialah apa-apa yang dapat digambar melalui serangkaian tarikan gegas bulu unggas.

Secara umum, lambang-lambang ini mempunyai pangkal segitiga yang kemudian memanjang jadi sebuah garis menyerupai paku, atau membelah jadi dua garis seperti baji. Ini yang dinamakan aksara kuneiform (cuneus berarti baji dalam Bahasa Latin), sistem tulisan yang memberi kesan tentang kegegasan, gerak, keberaturan yang elegan dan komposisional. Manakala inskripsi yang dipahatkan pada batu lebih didominasi rangkaian lambang secara vertikal, aksara pada tanah liat cenderung memanjang ke samping, horisontal, bergaris-garis paralel. Gerakan pena yang selaras, padat, dan tegas yang kita kenali pada dokumen-dokumen kuneiform inilah yang kelak menjadi gerakan yang dilakukan oleh siapa pun setiap kali mereka menggunakan pena tinta atau biro di masa kita.

Sejak kala itu, menulis berarti menulis dengan cepat. Sejarah tulisan adalah sejarah tulisan tangan berlekuk (kursif); atau boleh dibilang bahwa dari bentuk melekuk-lekuk aksaranyalah, kuneiform perlahan meraih ketenarannya. Hemat waktu, tetapi sekaligus hemat ruang: menempatkan sebanyak mungkin tulisan pada sebuah permukaan menjadi suatu tour de force yang dengan cepat diamini. Sebidang tablet pernah ditemukan, berluas dua kali dua sentimeter, dan berisi 30 baris renungan-renungan liturgis dalam aksara kuneiform yang mikroskopis.

Bahasa Sumeria berkarakter aglutinatif, berlekatan: silabel tunggal yang disertai sejumlah prefiks dan sufiks. Seiring lambang-lambang kian berjarak dari piktogram dan ideogram muasal mereka, mereka secara perlahan menjadi terasosiasikan dengan bunyi-bunyi silabel. Namun, biarpun begitu, aksara kuneiform tetap mempertahankan jejak-jejak dari pelbagai fase evolusinya. Pada teks yang sama, bahkan pada baris yang sama, lambang-lambang ideogram (raja, dewa, kata-kata sifat seperti “bersinar”, “berkuasa”) diikuti oleh penanda-penanda phonetis silabel (terutama untuk nama orang: Pendeta Dudu dituliskan dengan sebuah gambar dua kaki lantaran ‘Du’ berarti ‘kaki’) dan penanda gramatika determinatif (untuk gender kata feminin, mereka menggunakan tanda segitiga yang diambil dari bentuk bulu pubis perempuan).

Museum Louvre menyimpan banyak dokumen-dokumen seperti itu—tablet tanah liat, batu berpahat, atau lempeng logam—tetapi hanya para ahli yang sanggup membuat benda-benda itu berbicara kepada kita. Kemudian pameran yang belum lama ini dibuka di Grand Palais, bertajuk Kelahiran Tulisan: Kuneiform dan Hieroglif, menampilkan lebih dari 300 item (hampir semuanya dari Museum Louvre, dan beberapa dari British Museum), disertai dengan keterangan-keterangan yang ekstensif dan informatif. Keseluruhan pameran itu sendirilah yang mestinya dibaca: baik papan penjelasan, yang pastinya amat penting, maupun sistem tulisan di dalam dokumen aslinya, pada batu, tanah liat, atau papirus, betapapun sedikitnya yang dapat dibaca di sana. Barangkali terdapat terlalu banyak materi, baik dari hal-hal yang dipamerkan ataupun dari informasi-informasi tentang hal-hal tersebut. Tetapi pengunjung yang cara pandangnya tak terlalu sempit dan mampu menguasai ketakutan bakal kebanjiran informasi (sebuah fase tak terelakkan yang akan dialami di lokasi) pada akhirnya boleh mengklaim telah mengerti bagaimana kita mengenal tulisan alfabetis.

Kelinieran aksara memiliki sejarah yang sama sekali tak linier, biarpun secara keseluruhan berlangsung di dalam area geografis yang terbatas, dalam rentang dua setengah milenium. Semuanya terjadi di antara Semenanjung Persia, pesisir Mediterania Timur dan Sungai Nil (Mesir punya babak panjangnya sendiri dalam sejarah ini). Dan jika benar bahwa aksara India dan bahkan mungkin aksara China juga bermuasal sama, kita pun dapat berkesimpulan: terkait aksara (berkebalikan dengan bahasa) boleh jadi terdapat satu kelahiran tunggal. (Bagaimana dengan pra-Colombia America? Pameran tersebut tidak menyentuh persoalan ini.)

Yang pasti, aksara (tak seperti bahasa) merupakan sebuah fakta budaya, bukan alamiah. Dan terkait asal muasalnya, ia melibatkan sejumlah kecil peradaban. Hal ini pernah dinyatakan di dalam sebuah katalog karya Jean Bottéro (dikenal lantaran esai briliannya tentang teknik-teknik ramalan di Mesopotamia, dalam buku yang diterbitkan oleh Vernant, Divination et Rationalité (Ramalan dan Rasionalitas)). Dia menyatakan bahwa mayoritas bahasa lisan tidak pernah mencapai bahasa tulis, walaupun kini banyak dari mereka telah memberlakukan alfabetisasi dari budaya lain.

Selanjutnya: Sesungguhnya Ada Apa dengan Mesopotamia Bawah?

[nextpage title=”Ada Apa dengan Mesopotamia Bawah?”]
Sesungguhnya, ada apa dengan Mesopotamia Bawah? Lima ribu tahun lalu, di kawasan gersang itu, suatu sistem ekonomi dan politik yang baru tercipta, berpusat pada kota dan monarki terpimpin. Kerja-kerja irigasi memungkinkan perkembangan agrikultur yang pesat, sekaligus juga ledakan demografi. Hal itu mengarah pada kebutuhan akan suatu sistem akuntansi canggih untuk memeriksa pajak yang dibayarkan, perdagangan barang, dan kepemilikan tanah bagi sedemikian banyak orang yang mendiami kawasan yang sedemikian luas. Bahkan, sebelum digunakan untuk tulisan, tanah liat, yang merupakan alat bantu ingatan esensial, digunakan untuk mencatat data yang awalnya hanya angka-angka. Tak lama kemudian, menyertai coretan hitungan-hitungan itu, mereka menorehkan tanda-tanda yang melambangkan benda (hewan, sayuran, barang) atau nama-nama orang.

Apa kemudian kita dapat menyimpulkan bahwa semata kebutuhan praktis perdagangan, atau malah kebutuhan terkait perpajakan lah yang membuka semesta tanpa batas dari budaya tulisan? Ceritanya sedikit lebih rumit dari itu. Bentuk-bentuk awal dari simbol gambar diadopsikan pada memoranda untuk mencatat pemasukan dan pengeluaran karena bentuk-bentuk itu sebelumnya sudah pernah dikembangkan di dalam dunia seni, terutama lukisan pada keramik. Dan seiring perkembangannya, pada sejumlah prasasti dan benda peribadatan, serta pada barang sehari-hari, ‘nama’ individu atau dewa-dewa dilambangkan oleh bentuk-bentuk yang sekaligus merupakan ekspresi-ekpresi pemujaan, ketakutan, cinta, atau kekuasaan: kondisi pikiran, sikap-sikap manusia terhadap dunia. Ekspresi dari sesuatu yang akhirnya dapat kita maknai sebagai yang puitik pada satu sisi dan catatan ekonomi pada sisi lain ialah dua kebutuhan yang mengiringi kelahiran aksara; kita tidak dapat menulis sejarah aksara tanpa memperhatikan kedua elemen tersebut.

Menjelang milenium ketiga sebelum Masehi, aksara kuneiform diwariskan Bangsa Sumeria kepada Bangsa Akkadia (beribukota di Agade, atau Akkad), yang kemudian menyebarkan praktik menulis ke seluruh kekaisaran mereka hingga mencapai Mesopotamia Utara. Bangsa Akkadia menggunakan bahasa Semit (dengan akar trikonsonantal-nya) yang sepenuhnya berbeda dengan Bahasa Sumeria. Lambang yang sama digunakan untuk menjelaskan hal yang sama. Biarpun begitu, mereka diacukan pada bunyi-bunyi yang berbeda (dengan kata lain, mereka kembali pada basis ideogram setelah menjadi fonetis). Atau, mereka dikenali dengan bunyi baru, membuat hubungan lambang dengan makna awalnya menghilang (dengan kata lain, mereka menjadi fonetis setelah hadir sebagai ideogram).

Semua menjadi kian rumit salah satunya dikarenakan juga proliferasi tanda (beberapa ratus dari mereka). Belum lagi, melalui Bangsa Akkadia inilah tulisan kuneiform menyebar hingga ke seluruh Timur Tengah (ia ditemukan kembali di perpustakaan di Ebla, terungkap belum lama ini), berkembang ke Asyur-Babilonia dan Syiria, ke Elam di Persia Selatan, ke Kanaan di Palestina, hingga ke orang-orang Aramaik yang bahasanya tersebar dari India hingga Mesir pada milenium pertama sebelum Masehi.

Ketika dokumen-dokumen terlama menyediakan kata-kata terpisah, kebanyakan berupa nama, yang belum terangkai ke dalam kalimat—sebagaimana orang-orang sudah mampu mengenal bagaimana menulis jauh sebelum tahu apa yang akan ditulis—pada masa Niniwe dan Babilonia coretan ceker ayam tebal itu pun sudah mampu memberi kita Epik Gilgamesh, atau menyediakan kita sebuah kamus, sebuah pustaka katalog atau sebuah catatan tentang ukuran Menara Babel (yang tampaknya adalah tujuh tingkat ziggurat, setinggi 90 meter).

Dan ketika di Mesopotamia kita dapat mempelajari perkembangan dari pra-tulisan (atau pra-bilangan) hingga menjadi tulisan kuneiform, di Mesir hieroglif muncul secara tiba-tiba, diakui secara coba-coba dan acak-acakan pada awalnya, tetapi kemudian tanpa penjelasan pendukung yang dapat kita ketahui. Mungkinkah hal itu berarti tulisan tersebut diadopsi Mesir dari Mesopotamia? Secara kronologis, hipotesis ini mungkin saja berterima (piktogram pertama di Uruk terpisah hanya beberapa abad dari hieroglif pertama), akan tetapi, sistem di Mesir benar-benar berbeda. Kalau begitu, apakah kita sedang berurusan dengan sebuah penemuan yang swatantra? Barangkali kebenarannya terletak di antaranya: orang-orang Mesir memiliki hubungan dagang yang dekat dengan Mesopotamia, dan dengan cepat mereka mendapat kabar bahwa orang Sumeria ‘menulis’. Kabar tersebut mungkin menyibakkan horizon baru bagi jiwa penemu mereka, dan tak butuh waktu lama mereka pun berhasil menciptakan sebuah teknik menulis yang canggih dan unik ciri khas mereka sendiri. Dan kisaran 3080 SM, ada sekitar 70 prasasti yang membuktikan bahwa hieroglif Mesir kala itu memiliki tak kurang dari 21 lambang alfabetis (konsonan-konsonan kita saat ini sudah mulai tampak di kala ini), serta sejumlah lambang lain yang menandakan kelompok kata, aksara-aksara rebus dan tanda-tanda yang berfungsi menegaskan arti tertentu dari tanda lain yang hendak dinyatakan.

Ketakmenentuan antara elemen-elemen figuratif dan sistem tulisan menyelimuti aktivitas grafik selama hampir dua milenium, dan ambiguitas itulah yang membuat pameran di Grand Palais menarik untuk ditonton sekaligus kaya informasi untuk ‘dibaca’ dan diselidiki. Satu prasasti Mesir yang indah menampilkan relief-bawah berupa seekor elang falcon, seekor ular dan tembok-tembok kota; kita dapat saja membicarakan apa pun dari komposisi harmonis gambar-gambar itu di luar bahwa sejatinya ia merupakan suatu tulisan. Kota bertembok itu nyatanya menandakan seorang raja, burung berwibawa itu dewa Horus, yang wujud duniawinya sendiri adalah seorang raja, dan ular berliukan mendukung kedudukan raja. Pada sisi lain, sejumlah relief burung tak lain hanyalah model grafis untuk U dan A yang dibuat oleh seorang perupa penuh inspirasi dari zaman Ptolemaik.

Bahkan ketika hieroglif telah menjadi suatu sistem tulisan yang terkodifikasi sempurna, para penulis Mesir cenderung tidak mengikuti suatu penataan linier tertentu. Mereka lebih memilih mengkomposisikan pengelompokan-pengelompokan yang ditujukan mencapai keindahan penataan secara keseluruhan, biarpun hal itu bisa saja bertentangan dengan tatanan logis dan proporsi di antara tanda-tandanya.

Penataan dalam kolom vertikal, yang sudah ditemukan lebih dulu sebelum moda horisontal (dari kanan ke kiri) mengalami kejayaannya (selama Kekaisaran Pertengahan), memberi kebebasan membaca tulisan hieroglif baik secara vertikal ataupun horisontal (dari kanan atau dari kiri): pada masa itulah, permainan-permainan kata yang rumit bermula, ketika mereka mulai memadukan satu atau dua arah dalam membaca dan menciptakan teka-teki silang.

Pada periode itu terdapat pula patung-patung hieroglif, atau bongkah-bongkah rebus. Satu pahatan meriah dari dinasti abad 18 menjejalkan secara bersamaan ke dalam sebongkah batu seekor ular, dua tangan menengadah, sebuah keranjang, dan seorang wanita berlutut. Apa artinya semua itu? Penjelasan kriptografis (yang tak semestinya coba diringkaskan) mengarah pada suatu pemaknaan yang tidak berdasarkan logika gambar-gambarnya tetapi dari suatu rangkaian bunyi-bunyi.

Di dalam sejumlah relief dan gambar pada makam di Mesir Kuno, karakter-karakter berupa sosok diposisikan berdampingan dengan kolom-kolom tulisan yang adalah kata-kata si karakter, seperti di dalam komik masa sekarang. Namun menariknya, sosok-sosok manusia itu, berlanggam dan tergambar utuh, tampak memiliki karakteristik yang sama dengan lambang grafik aksara, yang membedakan keduanya hanyalah ukuran. Sejatinya kata-kata di dalam hieroglif masih merupakan bagian dari semesta gambar-gambar. Analogi antara komik dan prosedur Mesir tersebut memang hendak digaungkan kembali oleh pameran di Grand Palais, yang mana mereka membayar sejumlah artis buku komik untuk menciptakan padanan modern dari adegan-adegan di mana para Firaun dan para pendeta saling bertukar kata-kata agung, para ksatria meneriakkan ancaman atau ejekan, dan para pelaut dan nelayan bertukar olok-olok tentang satu sama lain.

Semesta imaji benar-benar tak terbatas. Lambang-lambang baru dapat saja ditambahkan ke dalam galaksi hieroglifik itu. Aksara ‘Ptolemaik’ sendiri berhasil mencapai total jumlah lebih dari lima ribuan lambang. Di balik kelenturan ini terkandung ketaknyamanan praktis dari aksara hieroglif, dan sekaligus kekayaan puitiknya: di dalam sebuah papirus persembahan, nama Dewa Amun dituliskan dalam lima cara yang berbeda, masing-masing disesuaikan dengan konten religius dan filosofis yang berbeda. Akan tetapi, ketakberhasilannya dalam menjadi suatu sistem tertutup inilah yang juga membuat hieroglif gagal menyebar melampaui Mesir, sementara aksara kuneiform telah mampu menaklukkan seluruh kawasan Timur Tengah.

Biarpun begitu, pada milenium pertama sebelum Masehi, para penulis Mesir sudah berhasil mengembangkan tulisan berlekuk mereka sendiri, suatu sistem yang bahkan lebih ringkas dan ekspresif ketimbang kuneiform, dan mampu bertahan setidaknya hingga abad pertama era kita. Burung hantu, dengan kata lain huruf M, mula-mulanya berupa cakaran ayam, berubah menjadi serupa Z, lalu serupa 3, yang mana sepanjang itu pula ia masih mempertahankan sesuatu dari muasal hieroglifiknya. Di sini, seperti dalam kuneiform, alat tulis dan bahan pun punya peran penting: dalam kasus ini, yaitu tinta dan papirus. Segala sesuatu telah tersedia: tak ada lagi yang bisa ditambahkan ke dalam seni tulisan. Kecuali satu hal: alfabet.

Alfabet, atau lebih tepatnya serangkaian tanda yang mana tiap-tiap tanda bersesuaian dengan suatu bunyi tertentu, dan ketika digabungkan dalam berbagai cara dapat mewakili seluruh fonem dari suatu bahasa, bermula dengan 22 tanda dari pesisir Fenisia (sekarang Libanon) sekitar 1100 SM. Bahasa Moab, Aram, Ibrani, dan kemudian Yunani diturunkan langsung dari konsonan linier Bahasa Fenisia. Bahasa Koptik, dikembangkan dari tulisan berlekuk Mesir, dan alfabet Arab, meski memiliki sejarah yang sedikit berbeda, masih berkaitan dengan yang satu ini.

Namun, hati-hati. Aku tahu jika saat ini para ahli menuliskan ‘Bahasa Fenisia’ dalam tanda petik, atau mereka menyebutkan ‘Orang-orang yang dikenal sebagai Bangsa Fenisia …’. Aku tak tahu apa yang ada di balik ini semua; dan aku dapat bilang kalau aku pun tak sedang terburu-buru mencari tahu. Kisah-kisah terkait Fenisia adalah salah satu dari sekian kejelasan yang masih aku renungkan. Sekarang, biarpun tampaknya seperti sudah terakui bersama bahwa merekalah yang menciptakan alfabet, rasa-rasanya satu kecurigaan masih saja mengemuka, yaitu: bahwa mereka tak pernah ada.

Kita hidup pada suatu zaman ketika tak ada yang benar-benar suci, tak satu hal pun dan tak seorang pun. [1982] ***

[nextpage title=”Siapa Italo Calvino?”]
Tentang Italo Calvino:

Italo Calvino (15 Oktober 1923 — 19 September 1985) adalah seorang penulis fiksi, esais, jurnalis, dan penerjemah kebangsaan Italia. Tergabung dalam grup Oulipo (Ouvroir de littérature potentielle) di Paris, grup para penulis dan matematikawan yang bereksperimen dengan struktur-struktur dan pola-pola baru dalam sastra. Grup ini mempertemukan Calvino dengan beberapa nama-nama tenar lain: Roland Barthes, Raymond Queneau, Georges Perec, Claude Lévi-Strauss, dan lain-lain. Karya-karya ternamanya adalah Invicible Cities, The Complete of Cosmicomics, dan trilogi Our Anchestor. Esai ini diterjemahkan Janoary M. Wibowo dari esai berjudul “Before the Alphabet” dalam buku Collection of Sand: Essays (Penguin, 2013: 54-60, terjemahan Inggris Martin McLaughlin).


Baca juga:
– Mencari Jejak Perlawanan Dalam Dua Cerpen Seno Gumira Ajidarma
– Gerakan Sentrifugal dalam Mama Menganyam Noken

Komentar Anda?