Menu
Menu

Lakon Peer Gynts di Larantuka, sebagai bagian pertama dari proyek Multitude of Peer Gynts mencoba merefleksikan kegelisahan dan kecemasan, serta isu mobilitas/imobilitas…


Oleh: Eka Putra Nggalu |

Tinggal di Maumere, Flores. Penggiat di Komunitas KAHE, Maumere. Esai-esainya tersebar di sejumlah media.


Indonesia, Indonesia
Samishi kokoro
Kirei na oshiro
Minna minna inai

Indonesia, Indonesia
Hati yang sunyi
Puri cantik nan permai
Semua semua tiada

***

Nyanyian Micari, aktor Jepang itu, terdengar begitu puitis. Suaranya yang liris,  dicampur aksen serta tone Jepang yang asing seolah-olah menyelinap menembusi hawa dingin pinggir pantai Taman Kota Larantuka yang malam itu dijejali kerumunan orang-orang yang khusuk menyaksikan pertunjukan Peer Gynts di Larantuka, inisiasi Teater Garasi/Garasi Performance Institute.

Sebelumnya, dalam posisi berbaring, dengan gerakan-gerakan kecil yang begitu intens, Micari menubuhkan racauan Aase, ibu Peer Gynt di saat-saat terakhir jelang kematiannya.

Meski menubuhkan racauan gelisah maut, dialog antara tubuh Micari dan teks yang dibacakan oleh Mama Vero di atas panggung terasa begitu tenang. Intensitas dan ketenangan yang tercipta itu seoalah menarik penonton kepada pergulatan yang dialami Micari.

Ia sedang berusaha menyambut sakratul mautnya dengan damai. Seolah kegelisahan itu adalah dialog-dialog yang niscaya ia dan siapa pun bakal lalui. Menjadi lagu yang menghantarkan tubuh dan jiwanya pada perjalanan berikutnya ke suatu dunia setelah kehidupan di dunia sekarang, yang mungkin juga penuh dengan tanya dan serba ketidakpastian.

Larantuka dan Idiom-Idiom Perihal Kegelisahan-Kediaman

Micari menemukan dirinya menyanyikan tembang itu jauh sebelum ia mengenal Indonesia. Dalam sesi workshop penciptaan pertunjukan, kepada para seniman yang terlibat, ia mengaku telah menyanyikan tembang tersebut ketika masih berumur tiga tahun.

Kejadian itu berlangsung secara spontan dan terus diingatnya hingga ia beranjak dewasa. Dan ketika ia harus berinteraksi dengan seniman-seniman Indonesia dalam dialog yang serba terbatas, ia mengingat kembali tembang itu, lantas merefleksikannya secara personal sebagai materi penciptaan karya kolaborasi yang nantinya dipresentasikan di hadapan publik Larantuka.

Pengalaman Micari ini cukup mencengangkan para peserta workshop. Pasalnya, peristiwa ketika Micari pertama kali melantunkan tembang itu terjadi di antara tahun 1965-1966. Sebagai orang Indonesia yang mewarisi memori kolektif bangsanya, rentang tahun tersebut langsung mengingatkan sebagian besar peserta workshop akan kudeta militer yang mengambinghitamkan Partai Komunis Indonesia.

Kudeta militer 1965-1966 lantas menciptakan gelombang pembantaian massal dengan berbagai motif di berbagai daerah yang memakan berjuta korban jiwa. Kudeta militer ini juga membuka babak baru pemerintahan negara Indonesia dengan segala lika-liku sejarah yang dimanipulasi dan bergerak dalam dikte totalitarian.

Keterhubungan paling awal antara Micari dengan Indonesia dalam cerita pengalamannya di atas mungkin terkesan mistis dan dipaksakan. Meski demikian, satu yang pasti adalah dunia, sejarah, dan kehidupan manusia-manusia senantiasa bergerak dan beririsan dalam berbagai aspek, lewat berbagai cara.

Mengadopsi dan menafsirkan kembali naskah klasik Henrik Ibsen sebagai kerangka dramaturgi, lakon Peer Gynts di Larantuka, sebagai bagian pertama dari proyek Multitude of Peer Gynts mencoba merefleksikan kegelisahan dan kecemasan, serta isu mobilitas/imobilitas yang timbul dan hadir sebagai akibat dari dunia yang kian hari kian terhubung oleh karena bebagai gerak perubahan. Dunia yang kian terhubung itu menjadi semakin telanjang sekaligus semakin belantara.

Seniman-seniman yang terlibat dalam Peer Gynts di Larantuka tentu punya refleksi kegelisahan masing-masing atas isu besar itu. Takao Kawaguchi menaruh perhatian pada isu globalisasi dan modernitas yang menggerakkan lingkungan kehidupannya di Jepang.

Dualisme perkembangan teknologi ia rasakan bergesekan dan tarik-menarik dalam intensitas yang begitu tinggi. Di satu sisi, perkembangan teknologi menjadikan hidup manusia semakin dipermudah. Di sisi lain, kasus bunuh diri, jenjang antara yang kaya dan miskin, dan tingkat stres manusia-manusia modern semakin tinggi dan mencemaskan. Ia merasakan, globalisasi tidak serta merta menjamin pertumbuhan ekonomi masyarakat, tidak pun segera meningkatkan kesejahteraan hidup tiap-tiap individu.

peer gynts di larantuka


Takao menggelisahkan satu determinasi yang nyata, yang mau tak mau harus dilalui manusia akibat dunia yang terus bergerak dan bertumbuh. Kegelisahan Takao mengingatkan kita pada teori evolusi. Bahwa apa pun di dunia akan binasa, seturut seleksi alam, seleksi dunia, dengan segala kompleksitas yang dibawa oleh tiap-tiap perubahan.

Meski demikian, Takao sendiri, dan pilihan hidupnya sebagai seniman, sebagai aktivis kebudayaan adalah pernyataan yang cukup tegas bahwa manusia yang berbudaya adalah yang mampu melampaui determinisme-determinisme alam.

Idealnya, manusia mesti selalu awas dan sesungguhnya memiliki kesanggupan untuk berdialektika dengan segala perubahan yang melingkunginya. Di panggung, Takao menghadirkan dialektika itu, dalam Peer yang berlayar ke berbagai dunia baru, secara lentur menari dan beradaptasi, juga kerap berganti-ganti pakaian, merespons situasi baru yang ia alami dalam pelayaran-pelayarannya.

[nextpage title=”Menggelisahkan Konflik dan Perang”]Venuri Perera, koreografer dan penari asal Sri Lanka, menggelisahkan konflik dan perang berkepanjangan di negaranya. Di panggung, ia hadir sebagai Anitra. Sebagai penumpang gelap sekaligus sebagai natif yang menyembah dan lantas menyesatkan Peer dalam petualangannya.

Ia menghadirkan dualisme yang lain, subjek yang terhimpit dalam intrik-intrik politik yang pelik, pasar yang monopolis dan ancaman-ancaman politik ekonomi neoliberal yang menghisap dan memiskinkan bangsanya. Venuri seolah-olah menjadi representasi dari lanskap masyarakat di negaranya. Yang cemas dan gelisah, yang tereksklusi sebagai subaltern dalam beberapa dimensi sekaligus.

Ia adalah representasi negara dunia ketiga yang lain; bergulat dengan isu identitas orang luar dan dalam; Muslim, Hindu, atau Kristen sebagai yang mayoritas dan minoritas; perempuan dan budaya patriarki yang kental; dan sekali lagi cengkraman pasar.

Di lakon ini, Venuri selalu berada pada jarak yang cukup untuk melihat aktivitas Peer dan aktor-aktor lain di atas panggung, hadir bersama penonton, dan pada waktunya tampil dan membuka diri lewat satu monolog yang personal tentang negaranya.

Situasi ini seolah-olah mengakomodasi kebutuhan Venuri untuk melihat dirinya dan negaranya dari luar. Menjadikan diri asing, bertemu situasi yang baru untuk kembali menemukan posisinya di antara segala kerumitan yang ia gelisahkan, terutama perihal situasi sosial politik di lingkungan tempat ia hidup.

Jika Takao dituntut untuk kian bergerak mengikuti laju perubahan yang begitu cepat di masyarakat dan lingkungannya, Venuri memilih berhenti, mengambil jarak dan melihat kemungkinan-kemungkinan lain yang bisa dijadikan tawaran respon untuk situasi yang ia alami.

Kegelisahan para seniman di atas menjadi semacam titik tolak masing-masing yang bisa dipertukarkan dan didiskusikan untuk membahasakan dan menampilkan kegelisahan yang lebih global yang dirujuk sebagai isu oleh lakon Peer Gynts di Larantuka.

Meski demikian, idiom-idom perihal kegelisahan dan kediaman di atas tak cukup dan tentu akan makin kuat jika dibaca bersama dengan konteks dan lanskap Larantuka, yang secara khusus dipilih sebagai tempat penyelenggaraan workshop dan pertunjukan tersebut.

Di salah satu bagian dalam Peer Gynts  di Larantuka, narator Inno Koten seorang Imam Katolik yang malam itu berjubah putih meneriakan dengan lantang, ada pencari mutiara, pemburu gading, mente, kopi, kopra dan nabi palsu.

Kalimat pendek ini seakan membuka kembali sebuah jendela yang mengarah kepada lanskap Larantuka. Dan Flores Timur umumnya pada masa lalu. Di sana bisa dilihat sejarah kolonialisme sekaligus diselidiki praktik-praktik neokolonialisme yang mungkin masih berakar dan dijalankan oleh kolonial-kolonial lokal maupun pasar global.

Sebagai sebuah kota pesisir, kontak dan keterhubungan Larantuka dengan daerah-daerah di luar Flores seakan menjadi sesuatu yang niscaya. Penyelidikan sejarah menemukan sisa-sisa pengaruh Hinduisme Majapahit di daerah ini.

Lebih kemudian, agama Katolik masuk melalui interaksi dengan bangsa Portugis. Di dalamnya terjadi dialektika yang rumit antara tradisi yang telah lestari dalam komunitas-komunitas primodial dan agama baru yang membawa serta corak dan logika modernisme.

Dalam cerita dan pandangan Silvester Hurit, kontak antara misi Katolik dan budaya pada taraf tertentu membawa logika orientalisme yang kental. Penduduk asli dianggap primitif dan tak beradab, sehingga butuh pemberadaban melalui mekanisme-mekanisme yang dibangun secara sistematis lewat institusi agama.

Kerajaan didirikan, praktik-praktik adat dicap berhala, ritus budaya digantikan devosi-devosi keagamaan, pendidikan dilembagakan dalam tradisi Katolik, eksklusi-eksklusi dan pembedaan kelas sosial mulai ditegakkan dan diberlangsungkan.

Silvester mengalami dan mendengar cerita bagaimana korke-korke, rumah adat tempat masyarakat bermusyawarah dan situs penyembahan kepada Lera Wulan, Tana Ekan di Lewolema kampungnya dibakar dan dimusnahkan oleh kekuatan lain yang punya otoritas melebihi komunitas adat yang cenderung lebih cair dan organik.  Kekuatan dan otoritas itu tidak lain tidak bukan adalah institusi gereja dan negara.

Logika kolonial sejak awal memang menempatkan tanah jajahan sebagai lahan untuk digarap, sasaran eksploitasi. Pengalaman pertemuan antara penduduk lokal dan pendatang tak lepas dari dialog yang di dalamnya menyertakan relasi kuasa yang merampas, dan menghisap.

Pencari mutiara, pemburu gading, mente, kopi, kopra, dan nabi palsu menjadi semacam frasa yang berada dalam batas antara yang eksplisit dan implisit, presentasi dan representasi, masa lalu dan kolonialisme dalam wajah baru.

Dalam terma Gramscian, hegemoni tidak akan berlangsung tanpa kerelaan dari pihak subaltern untuk dikuasai, atau paling tidak tanpa menciptakan ilusi dan mekanisme yang membuat subaltern rela dikuasai.

Dalam konteks Flores Timur, kerelaan itu bisa saja terjadi akibat kamuflase-kamuflase yang diciptakan oleh janji-janji kesejahteraan yang ditawarkan para investor asing pemilik perusahaan-perusahaan mutiara; iming-iming gaji dan negosiasi-negosiasi afektif dari pengelola-pengelola pabrik kopi; tekanan langsung dari para tengkulak mente dan kopra yang punya posisi tawar lebih kuat dalam menentukan harga; atau bahkan penghiburan-penghiburan tokoh-tokoh agama dan wakil rakyat yang meyakinkan bahwa surga senantiasa terbuka bagi semua yang menderita dan berbeban berat di dunia.

Kolonialisme wajah lama, boleh jadi telah mewujud secara baru dalam diri para investor rakus, pejabat korup, pemuka agama yang tamak, yang memegang kendali pembangunan di Larantuka, dan Flores Timur pada umumnya, yang membiarkan kota mungil itu seperti lambat sekali berubah dan bergerak, nyaris sama seperti saat terakhir kali Belanda mengangkat kaki dari kota tersebut.

Sekali lagi, deskripsi di atas mungkin berada dalam tegangan yang eksplisit dan implisit, yang presentatif dan representatif. Namun, bukankah dalam kekaburanlah neokolonialisme senantiasa bekerja?

Yang juga menarik dari Larantuka, perihal isu kegelisahan dan kediaman adalah betapa kota ini kian riuh dengan gerak perubahan di satu sisi. Tetapi di sisi lain masih sangat mudah terhubung dengan komunitas-komunitas primodial yang mempraktikan ritus, kebiasaan hidup, dan meyakini filosofi yang bercorak tradisional.

Di satu sisi, ada subjek-subjek berjiwa pengelana, yang keluar mencari kehidupan baru, yang nyata dalam diri para misionaris Katolik, politisi, tenaga kerja, kaum intelektual dan di sisi lain masih berdiam dengan cukup tenang para penjaga tradisi yang nyata dalam diri tetua adat, masyarakat yang tak punya banyak pilihan untuk bersekolah, para pewaris adat di pelosok-pelosok kampung sepanjang Solor, Konga, Adonara, atau Tanjung Bunga.

Dualisme antara penjaga dan pengelana ini, seperti mendapat kesempatan yang relevan untuk direfleksikan secara baru dan kreatif. Oleh para seniman yang terlibat dalam Peer Gynts di Larantuka dan tentu oleh publik di Larantuka melalui kehadiran dan interaksi dengan seniman-seniman asing, keseluruhan proses penggarapan, dan tampilan lakon ini yang bisa diamati secara langsung oleh publik.

[nextpage title=”Teater Garasi dan Estetika yang Terus Bergerak”]Jika dibandingkan dengan masterpieces Teater Garasi, semisal Waktu Baktu hingga Gong Ex Machina, Peer Gynts di Larantuka jauh dari nuansa mewah, kompleks, dan tidak setegas pun sedetail karya-karya sebelumnya dalam hal garapan artistik.

Lakon ini dimainkan di area terbuka, di atas panggung berpasir. Dengan satu instalasi sederhana berbentuk kapal layar serupa pinisi yang dibuat dari bambu. Kenyataan-kenyataan produksi di Flores, waktu penggarapan karya, dan orientasinya sebagai karya work in progress mungkin berpengaruh dalam hal ini.

Di samping hal-hal teknis seputar panggung, karya ini justru menjadi menarik karena beberapa hal seputar tendensi artistik yang tidak tampak, dan kejutan-kejutan lain dalam hal bentuk yang muncul.

Peer Gynts di Larantuka memperlihatkan tendensi-tendensi yang hilang, yang mungkin kerap ditemukan seketika ketika kita melihat komposisi karya Teater Garasi.

Tendensi yang tidak ditemukan itu misalnya koreografi-koreografi yang menonjolkan tubuh, yang kerap diduplikasi dan diulang dalam ragam-ragam tempo dan level seperti pada karya Jejalan, ragam monolog atau dialog yang puitis yang mungkin dipengaruhi oleh improvisasi-improvisasi verbal Gunawan Maryanto, imaji ruang dan cahaya yang kuat dan asosiatif dengan isu lokalitas yang dibicarakan seperti dalam Tubuh Ketiga, hingga pilihan-pilihan musik sebagai sebuah teks.

Peer Gynts di Larantuka lebih memperlihatkan dinamika proses dan interaksi antara disiplin-disiplin, budaya, bahasa, sejarah keberkaryaan, dan preferensi estetika yang berbeda dari para peserta workshop.

Seniman-seniman lokal yang terlahir secara organik dipertemukan dengan seniman-seniman mancanegara yang mungkin lahir dari lembaga-lembaga pendidikan dan pelatihan seni dan menghidupi kesenian sebagai profesi. Mereka berdiskusi, berbagi, bertukar ide dan bentuk-bentuk kesenian yang masing-masing mereka geluti.

Yudi Ahmad Tajudin, selaku sutradara dan Ugoran Prasad selaku dramaturgi terlihat sedang bermain-main dan mencoba menguji metodologi collaborative creation yang telah dikembangkan Teater Garasi dalam satu dasawarsa terakhir di antara para performer yang tidak terbiasa dan mungkin awam dengan metodologi tertentu dalam penciptaan karya seni. Seperti kata Yudi sendiri, sebagai sebuah penciptaan dan pertunjukan, Peer Gynts di Larantuka menjadi satu tahapan riset tersendiri.

peer gynts di larantuka kegelisahan


Komposisi Peer Gynts di Larantuka seolah menegaskan kelenturan dan fleksibilitas teater sebagai sebuah bahasa. Sebagai sebuah bahasa, bentuk ditempatkan pada urutan yang ke sekian, melampaui kategori atau pun genre tertentu.

Penciptaan pertama-tama menimbang modal-modal kultural, yang mungkin bisa direkreasikan dan dibentuk sebagai sebuah ekspresi yang mewakili isu-isu yang dibicarakan.

Dalam Peer Gynts di Larantuka modal-modal kultural itu diakomodasi dalam satu komposisi yang padu. Idiom-idiom lokal seperti dendang koda, ritus-ritus di sekitar nuba nara, sole oha, tenun ikat, musik gambus, ditampilkan dalam pertunjukan tidak sebagai sebuah sajian eksotis belaka tetapi sebagai sebuah bahasa lokal-kultural yang bertaut dengan isu besar yang sedang dibicarakan.

Idiom-idiom lokal ini berpadu dengan ragam bahasa Jepang dan Sinhala yang diucapkan Micari dan Venuri, monolog tubuh Takao yang kontras dengan tubuh kultural masyarakat Flores, hingga tarian Venuri yang oleh sebagian besar penonton langsung diasosiasikan dengan tarian-tarian di film-film Bollywood yang sangat mudah ditemukan sebagai konsumsi massal masyarakat di Flores. Aktor-aktor Teater Garasi seperti MN Qomaruddin dan Arsita Iswardhani tampil secara proposional bersama aktor-aktor Flores Timur.

Peer Gynts di Larantuka mewujudkan suatu kualitas estetik yang melampaui batas-batas teritorial dan administrasi negara, melampaui batas-batas identitas, egosentrisme, dan obsesi-obsesi individual. Kualitas estetik yang sama-sama ditatap dan dituju itu menjadi penghubung sekaligus katalisator yang menjembatani dan mencairkan relasi-relasi kuasa, dan perbedaan-perbedaan dan ketimpangan di antara para partisipan yang terlibat.

Kenyataan ini sekaligus menjadi refleksi yang kuat bagi penyelenggaraan dan visi berkesenian di Flores dan NTT pada umumnya yang masih berkutat pada agenda-agenda turistik serta bisnis-bisnis yang eksotis dan mengabaikan inovasi ide, komunikasi-komunikasi intersubjektif lintas disiplin, dan pengembangan sumber daya manusia serta profesi-profesi ahli.

Sungguh pembanding yang baik bagi program-program pemerintah yang cenderung sok tahu dan merasa paling tepat sasaran.

Tahun 2016 Teater Garasi pertama kali datang ke Flores, menyinggahi Maumere dan Flores Timur. Dalam proyek Antarragam kala itu, Yudi mengaku gerah dengan stagnansi yang ia alami di Jawa.

Stagnansi itu bukan sekadar kebuntuannya dalam menemukan ide-ide artistik, melainkan juga dalam kenyataan bahwa wacana-wacana keindonesiaan yang diproduksi dalam berbagai aspek entah sosial, politik, ekonomi, dan budaya pada skala nasional secara massif hanya berkutat pada persoalan-persoalan di sekitar Jawa, jika tidak Jakarta.

Antarragam yang membawa visi unlearning bagi Teater Garasi lantas membangun kontak dan pertemuan, serta aktivasi praktik-praktik kesenian bersama dengan komunitas-komunitas lokal.

Lebih jauh, jika di masa akhir 1998, lakon End Game direfleksikan Yudi sebagai pilihan cara merayakan kemerdekaan dan kebebasan di era reformasi, yang momentual sekaligus belum selesai, yang juga serentak membuka babak baru penjelajahan artistik Teater Garasi dalam karya-karya setelahnya, publik mungkin bertanya-tanya tawaran apa yang bakal dihadirkan oleh proyek ambisius dan isu besar Multitude of Peer Gynts secara estetik, politis, maupun ekonomi, sekurang-kurangnya bagi para penonton Teater Garasi dan ekosistem kesenian di sekitarnya, di Indonesia? (*)


Foto-foto: Dokumentasi Panitia

Komentar Anda?